Penatalaksanaan Epistaksis

dokumen-dokumen yang mirip
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

BAB I PENDAHULUAN. tujuan mencegah keadaan bertambah buruk, cacat tubuh bahkan kematian

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perdarahan Pasca Ekstraksi Gigi, Pencegahan dan Penatalaksanaannya

Kelompok Umur. Frekuensi Umur Responden Guru di Narada National Plus School Jakarta. Umur Frekuensi (Orang) Persentase (%) tahun 26 77,52

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

Etiologi, Gejala dan Penatalaksanaan Epistaksis. Aetiology, clinical manifestation and Management of epistaxis

BAB I PENDAHULUAN. suplai darah kebagian otak (Baughman, C Diane.dkk, 2000). Menurut europen

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan sistem simbol (Wilkinson, 2012) keseluruhan terhenti. Hal ini disebabkan oleh aterosklerosis yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiforis, biasanya

BAB VI HASIL PENELITIAN. analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan karakteristik masing masing

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi.

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi

PANDUAN SKILL LAB BLOK MEDICAL EMERGENCY DISLOKASI TMJ DAN AVULSI JURUSAN KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. individu maupun masyarakat. Identifikasi awal faktor risiko yang. meningkatkan angka kejadian stroke, akan memberikan kontribusi

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI LOW BACK PAIN ET CAUSA MYOGENIK DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah

EPISTAKSIS - HIDUNG BERDARAH - MIMISAN DEF. : PERDARAHAN MELALUI HIDUNG YANG ASALNYA DARI RONGGA HIDUNG ATAU DAERAH SEKITAR HIDUNG.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Bedah Digestif. rekam medik RSUP Dr. Kariadi Semarang.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran. yang menyumbat arteri. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah otak

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

BAB I PENDAHULUAN. rectal yang terkadang disertai pendarahan. mengenai gejala-gejala yang timbul dari penyakit ini.

BAB I PENDAHULUAN. ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Farokah, dkk Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran

BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH. Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB I PENDAHULUAN. kacamata. Penggunaan lensa kontak makin diminati karena tidak mengubah

BAB 2 CELAH LANGIT-LANGIT. yaitu, celah bibir, celah langit-langit, celah bibir dan langit-langit. Celah dari bibir dan langitlangit

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Mencapai derajat sarjana S-1. Diajukan Oleh : NURHIDAYAH J FAKULTAS KEDOKTERAN

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

REFERAT EPISTAKSIS. Pembimbing: dr. Chippy Ahwil, Sp.THT-KL. Disusun Oleh: Ruth Dameasih / Anita Darmawijaya /

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 1 PENDAHULUAN. pada kesehatan umum dan kualitas hidup (WHO, 2012). Kesehatan gigi dan mulut

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN: POST APPENDIKTOMY DI RUANG MELATI I RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGALAMAN PERAWAT PADA PERTOLONGAN PERTAMA PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS

BAB I PENDAHULUAN. namun juga sehat rohani juga perlu, seperti halnya di negara sedang

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

BAB I PENDAHULUAN. Efusi pleura adalah keadaan dimana terjadi akumulasi cairan yang abnormal. dalam rongga pleura. (Tierney, 2002)

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

Pengampu : DR.Dr.Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS. Judul Mata kuliah : Sistem Trauma dan kegawatdaruratan (3 SKS)

Dry Socket Elsie Stephanie DRY SOCKET. Patogenesis Trauma dan infeksi adalah penyebab utama dari timbulnya dry soket.

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB I PENDAHULUAN. maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J,

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Kajian epidemiologi menunjukkan bahwa ada berbagai kondisi yang. non modifiable yang merupakan konsekuensi genetik yang tak dapat

BAB I DEFENISI A. LATAR BELAKANG

Sehat merupakan kondisi yang ideal secara fisik, psikis & sosial, tidak terbatas pada keadaan bebas dari penyakit dan cacad (definisi WHO)

BAB I PENDAHULUAN. biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian

Glaukoma. 1. Apa itu Glaukoma?

BAB I PENDAHULUAN. secara keseluruhan karena dapat mempengaruhi kualitas kehidupan termasuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Mata berair adalah salah satu dilema yang sering dihadapi dokter mata dan dokter

BAB I PENDAHULUAN. data statistik yang menyebutkan bahwa di Amerika serangan jantung. oleh penyakit jantung koroner. (WHO, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery

BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi sangat penting artinya, kesehatan reproduksi

BAB I PENDAHULUAN. Spondylitis tuberculosis atau yang juga dikenal sebagai Pott s disease

DETEKSI DAN MANAJEMEN PENYAKIT SISTEMIK PADA PASIEN GIGI-MULUT DENGAN KOMPROMIS MEDIS. Harum Sasanti FKG-UI, Departemen Ilmu Penyakit Mulut

BAB I PENDAHULUAN. meluas ke rongga mulut. Penyakit-penyakit didalam rongga mulut telah menjadi perhatian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. di Jalan Wirosaban No. 1 Yogyakarta. Rumah Sakit Jogja mempunyai visi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. tahun (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

Satuan Acara penyuluhan (SAP)

Definisi Bell s palsy

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai kesatuan antara jasmani dan rohani, manusia mempunyai

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bells Palsy adalah kelumpuhan atau kerusakan pada nervus facialis

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesejahteraan dan ketersediaan pangan dapat. mengakibatkan sejumlah masalah, termasuk meningkatnya kejadian penyakit

ENDODONTIC-EMERGENCIES

PHLEBOTOMY. Oleh. Novian Andriyanti ( ) PSIK Reguler 2. Fakultas Kedokteran. Universitas Brawijaya. Malang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004).

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Transkripsi:

1 Penatalaksanaan Epistaksis Dr. HARI PURNAMA, SpTHT-KL RSUD. Kabupaten Bekasi Pendahuluan Epistaksis merupakan salah satu masalah kedaruratanmedik yang paling umum dijumpai, diperkirakan 60 % dari populasi pernah mengalami epistaksis, dan sebanyak 6% memerlukan penanganan medik. Epistaksis ringanbiasanya berasal dari anterior septum nasisebagai akibat dari cidera kecil pada mukosa septum, pada anak-anak seringkali terjadi akibat mengorek hidung, sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat mukosa kering sebagai akibat pengaruh kelembapan udara, trauma, ulkus dan hipertensi. Epistaksis anterior umumnya terjadi akibat rusaknya dinding a. etmoidalis anterior atau a. etmoidalis posterior. Gambar 1. Epistaksis dan penekanan cuping hidung Epistaksis sendiri dapat terjadi dalam berbagai derajat tingkat keparahan, mulai dari yang ringan dan dapat berhenti dengan sendirinya tanpa tindakan apapun, berikutnya adalah epistaksi yang memerlukan penanganan di UGD klinik ataupun RS, sampai pada tingkatan yang memerlukan penanganan secara sungguh-sungguh dan dengan risiko ancaman terhadap kelangsungan hidup. Berbagai upaya konservatif dapat dilakukan seperti memberikan tekanan langsung dengan penekanan pada cuping hidung, pemasangan tampon hidung,

2 pemberian kauterisasi pada pembuluh darah yang terlihat berdarah. Biasanya dengan beberapa tindakan diatas dapat berhasil mengontrol perdarahan, sedangkan intervensi bedah sendiri jarang diperlukan. Epistaksis yang cukup beratbiasanya dapat dicirikan dari terjadinya perdarahan hebat disertai dengan sulitnya pasien mengontrol perdarahan hidungnya dalam perjalanannya ke rumah sakit, kesulitan mengontrol ritme alur napas yang mengakibatkan kecemasan. Epistaksis jenis ini sering menyebabkan kegawatdaruratan yang cukup berarti dan dapat saja mengancam jiwa. Hampir sebagian besar epistaksis adalah idiopatik, namun melalui anamnesis yang cermat dan pemeriksaan yang teliti seringkalidapat ditemukan berbagai faktor risiko pada penderita misalnya sajariwayat cidera berulang, penggunaan obat-obat antikoagulan, riwayat perdarahan dalam keluarga, proses inflamasi akut maupun kronik dan peningkatan fragilitas pembuluh darah. Epidemiologi Gambar 2. Grafik Bimodal Epistaksis Epistaksis di Amerika memberi kontribusi sekitar 1 dari 200 kunjungan diugd, dan secara statistik epistaksis memiliki distribusi bimodaldengan puncak pertama berasal dari golongan usia anak dan puncak berikutnya adalah pada golongan usia 70-79 tahun.

3 Penelitian di Amerika membuktikan bahwa penggunaan antioksidan pada perokok yang berusia 50-64 tahun terbukti bermakna meningkatkan insidens epistaksis sebesar 7,6 %, demikian juga dengan penggunaan preparat asetil salisilat yang sering pada penderita kelainan pembuluh darah terbukti dapat meningkatkan. Pada populasi anak dan dewasa muda cenderung lebih berisiko untuk menderita epistaksisberulangpada daerah anterior hidung yang melibatkan Pleksus Kiesselbach, sedangkan pada golongan usia tua dan lansia, risiko untuk terjadinya epistaksis posterior lebih sering muncul. Epistaksis juga lebih sering terjadi berkaitan dengan risiko aktifitas olah raga, misalnya saja pemain sepak bola jelas lebih berisiko daripada seorang pehobi pecatur, sedangkan buruh bongkar muat barang jelas lebih berisiko dibanding dan pekerja di perpustakaan, pekerja diruang terlampau panas atau lebih berisiko untuk terjadinya epistaksis dibandingkan bekerja diruangan yang dilengkapi dengan pengatur suhu. Pertimbangan Anatomi Mukosa hidung memiliki jaringan pembuluh darah yang letaknya submukosa. Tepat dia anterior septum hidung terdapat suatu anyaman pembuluh darah yang mudah sekali berdarah bila terkena tersentuh, teriritasi radang kronis. Gambar 3. Vaskularisasi Hidung Daerah kecil dengan cukup banyak anyaman pembuluh darah itu disebut Pleksus Kiesselbach atau Littles Area, secara anatomis terdapat 3 pembuluh darah yang

4 mendarahi daerah tersebut yaitu a. etmoidalis anterior, a. sfenopalatina dan a. labialis superior. Pendarahan pada mukosa superior ronggahidung disuplai oleh a. etmoidalisdan a. ethmoidposterior, mungkin terdapat lebih dari dua pembuluh darahyang berasal dari a. oftalmika yang merupakan cabang a. karotis interna. Pembuluh darah ini berada pada jaringan orbital, selanjutnya memasuki rongga hidung melaluiforamen tulang sepanjang garis sutura frontoethmoidalis untuk memasok mukosa rongga hidung, danmasuk kembali rongga tengkorak tepi lateral, sedangkan a. etmoidalis anterior lebih besar dari a. ethmoidposterior. Etiologi Epistaksis Secara umum penyebab epistaksis dapat dibagi atas : 1. Idiopatik Epistaksis, epistaksis jenis ini penyebabnya tidak kita ketahui atau belum dapat kita ketahui, bisa berasal dari kelainan lokal dihidung itu sendiri atau sistemik, insidensnya berkisar 70 % dari epistaksis keseluruhan. Berbagai kelainan lokal adalah : Septum deviasi, Benda asing hidung, Trauma digital, Inflamasi, Insuflasi / dekongestan topikal, kelembapan rendah, Tumor jinak dan ganas. Sedangkan untuk kelainan sistemik adalah : alkoholic, anemia, peran berbagai obat, riwayat keluarga, ITP dll 2. Epistaksis Sekunder, epistaksis disebabkan kelainan yng lain misalnya saja pasca trauma, pasca operasi hidung, dll 3. Penyebab spesifik lain: Gangguan system pembekuan, hypertensi, gangguan hati, penyakit keturunan. Gambaran Klinis Epistaksis biasanya unilateral akan tetapi dapat juga bilateral, biasanya bila perdarahan cukup banyak maka darah akan keluar juga dari sisi sebelahnya dan akan terlihat bilateral. Bila perdarahan cukup masif maka pasien akan terlihat gelisah bila begitu hebat mungkin dapat menimbulkan risiko pada jalan napas, biasanya disebabkan

5 oleh epistaksis posterior, pada umumnya kelainan ini muncul sebagai akibat terdapatnya perdarahan dari cabang arteri sphenopalatina. Epistaksis posterior biasanyasering ditemukan pada pasien yang berusia lanjut denganriwayat komorbid yang jelas.epistaksis pada pasien tertentu membutuhkan pertimbangan khusus,termasuk didalamnya adalah mereka yang memiliki riwayat hemoragik telangiektasia,neoplasma sinonasal, dan pasien pascaoperasi hidung atau pasca trauma hidung atau muka. Penatalaksanaan Epistaksis Penatalaksanaan epistaksis ini dapat dibagi menjadi penatalaksanaan pada keadaan akut dan penatalaksanaan definitif. Penatalaksanaan akut adalah upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi sumber pendarahan dan menghentikannya, sedangkan penatalaksanaan definitif adalah upaya yang dilakukan untuk mengetahui penyebab dari epistaksis tersebut termasuk didalamnya upaya mencegah berulangnya epistaksis tersebut. Termasuk didalam penatalaksanaan definitif adalah, pemasangan tampon anterior dan posterior, irigasi air panas dari rongga hidung, angiografi dan embolisasi arteri karotid eksternal, dan pembedahan. Beberapa pilihan bedah termasuk elektrokauter danligasi pembuluh darah hidung. Beberapa upaya ligasi arteri yang dapat dilakukakan adalah ligase apada a. sphenopalatina arteri, a. ethmoidalis, ligasi a. karotis eksternal, ligasia. maksilaris interna. Berikut adalah cara yang lazim dilakukan dalam memeriksa dan melakukan penanganan terhadap pasien dengan epistaksis. 1. Gunakan pelindung diri (APD) yang memadai 2. Amankan jalan napas dan fungsi vital lain 3. Bila memungkinkan pasien dalam posisi duduk tegak menghadap kearah dokter 4. Lakukan penekanan sedang pada cuping hidung selama 10-15 menit Bila masih berdarah, bersihkan bekuan darah dan semprotkan vasokonstriktor lokal (adrenaline 1/200.000 ), dengan catatan tekanan darah pasien normal

6 Bila perdarahan berhenti, tenangkan pasien dan observasi ketat. 5. Lanjutan dari (4), lakukan pemeriksaan dengan lampu kepala yang terang dan fokus, Bila sumber perdarahan ditemukan dan diidentifikasi, lakukan kauterisasi dengan AgNo3 10-30 %, atau gunakan tampon gel, setelah itu segera lakukan upaya mengoreksi status hemodinamik pasien. Bila sumber perdarahan tidak ditemukan lakukan pemasangan tampon anterior bisa dibalurkan dengan Kemycitine zalf atau Adrenaline 1/200.000. 6. Bila Perdarahan berhenti, upayakan pasien observasi 4-6 jam Bila perdarahan menetap rujuk untuk penanganan lebih lanjut. Beberapa pilihan penanganan epistaksis 1. Kauterisasi mukosa hidung Pembuluh darah / focus perdarahan terlihat Gunakan AgNO3 10 30 % Perhatian terhadap ulkus septum 2. Kauterisasi endoskopi Bahan yang digunakan sama dengan diatas Menggunakan endoskop hidung yang rigid Dapat digunakan untuk perdarahan yang letaknya lebih dalam Perlu keterampilam 3. Pemasangan tampon hidung Tampon berupa kasa gulung, tampon kapas, Merocell atau Rapid Rhinos Perlu spekulum hidung, pinsep bayonet panjang Tampon kasa gulung yang sudah dibaluri betadine + kemycitine zalf Perlu keterampilan dan keberanian 4. Septoplasty 5. Ligasi arteri 6. Oklusi / embolisasi arteri

7