BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia arti penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian yang dimuat dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah pengertian dalam arti luas, yakni yang menyangkut termasuk perasaan atau bathiniah. Sedangkan yang dimaksud penganiayaan dalam hukum pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam KUHP, namun kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat sarjanah, doktrin, dan penjelasan menteri kehakiman. Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, pengertian penganiayaan sebagai berikut: Menganiaya adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan. Menurut ilmu pengetahuan (doktrin) pengertian penganiayaan adalah sebagai 1
berikut : Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Berdasarkan doktrin diatas bahwa setiap perbuatan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya diancam pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh yang terhadap pelakunya tidak semestinya diancam dengan pidana. Sedangkan menurut penjelasan menteri kehakiman pada waktu pembentukan pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain : 1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain. 2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan pada orang lain. Penyidik merupakan pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 KUHAP). Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik harus memiliki pengetahuan yang mendukung karena pelaksanaan penyidikan bertujuan memperoleh kebenaran yang lengkap. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu penguasaan beberapa pengetahuan tambahan disamping pengetahuan tentang hukum pidana dan hukum acara pidana. 2
Dengan KUHAP yang baru digunakan sistem Penyelidikan dan Penyidikan yang bersifat Ilmiah atau Scientific Crime Detection atau yang lebih populer di negara kita dengan sebutan Ilmu Penyelidikan. Berdasarkan Pasal 17 KUHAP Bahwa perintah penangkapan pada seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dan dari penjelasan Pasal 17 diantaranya ditegaskan: Bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Penegasan ini, memberi peringatan kepada pihak Penyidik, sebelum mengeluarkan perintah penangkapan harus lebih dulu mengumpulkan fakta yang benar-benar mampu mendukung kesalahan yang dilakukan Tersangka melalui Penyidikan (Investigasi) yang memerlukan keterampilan teknis dan keluwesan taktis 1 Seperti yang telah dijelaskan, bahwa tujuan pelembagaan fungsi Penyelidikan dimaksudkan sebagai langkah pertama atau sebagai bagian yang tak terpisah dari fungsi Penyidikan, guna mempersiapkan semaksimal mungkin fakta, keterangan dan bahan bukti sebagai landasan hukum untuk memulai Penyidikan. Sebab seandainya Penyidikan dilakukan tanpa persiapan yang memadai, bisa terjadi tindakan-tindakan Penyidikan yang bertentangan dengan hukum atau terjadinya kekeliruan 1 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhp, Jilid I, Cetakan Ii, Penerbit Pustaka Kartini, Hal 38. 3
terhadap orang yang disidik. Akibat dari hal-hal seperti ini, yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi dan rehabilitasi melalui praperadilan. Pada umumnya menunjukkan bahwa suatu kekeliruan atau kekurangan dalam memenuhi prosedur yang ditentukan oleh Undang- Undang, selalu menimbulkan akibat yang lebih besar. Sah atau tidaknya pemanggilan Terdakwa dan Saksi, batalnya suatu dakwaan, sah atau tidaknya penangkapan, penyitaan, penahanan, dan lain sebagainya sangat ditentukan oleh ketepatan prosedur tindakan yang dilakukan. Di masa lampau, yakni pada waktu hukum Acara Pidana Di Indonesia berpedoman pada H.I.R, pahit getirnya kekeliruan tindakan itu, mungkin hanya dirasakan oleh tersangaka atau Terdakwa, tetepi di bawah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mustahil suatu kesalahan atau kekurangan demikian itu menimpa secara nyata terhadap aparat pelaksana penegak hukum sendiri 2 Hal ini sesuai dengan penjelasan umum sub 3 (d) tentang Asas- Asas Hukum Acara Pidana, bahwa: Para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaian menyebabkan asas hukum tersebut di langgar, (pejabat itu) dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi 3 Oleh karena itu agar dapat berhasil mengumpulkan fakta, keterangan dan bukti serta sekaligus tidak terjerumus ke muka sidang 2 Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHP Sistem Dan Prosedur, Penerbit Alumni 1982 Bandung, Hal 46. 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit Karya Anda Surabaya, Hal 128. 4
praperadilan sudah waktunya penyelidikan mempergunakan metode tehnik dan taktik yang lebih baik Demikian pula prosedur atau proses pengambilan tindakan dalam rangka Hukum Acara Pidana meminta kecermatan secara sungguhsungguh. Karena akibat dari kekeliruan atau kekurangannya bukan hanya menyangkut penyelesaian perkara yang bersangkutan saja, tetapi akan mempengaruhi kehidupan dalam arti luas. Kekeliruan atau kekurangan itu mungkin dapat berakibat seorang yang tidak bersalah menjadi menanggung aib serta penderitaan yang mendalam, tetapi sebaliknya juga dapat mengakibatkan orang yang bersalah, tetap bebas tanpa pemidanaan. Kedua hal itu sama-sama dirasakan oleh masyarakat sebagai yang tidak selaras dengan rasa tenteram, rasa aman dan merupakan syarat untuk mendorong segala perkembangan masyarakat. Bertolak dari pemikiran tersebut, maka dalam KUHAP (UU nomer 8 tahun 1981), ditetapkan Polisi sebagai Penyidik tunggal, artinya tidak ada aparatur lain selain Polisi yang dibebani tugas kewajiban melakukan pemeriksaan pendahuluan (Vooronderzeok) kecuali ditetapkan lain oleh Undang-Undang. Adapun tujuan pemeriksaan pendahuluan oleh Penyidik ialah mencari dan mengumpulkan bahan-bahan pembuktian. Dalam hal 5
ini Penyidik sering kali menjumpai kesulitan-kesulitan maupun hambatan-hambatan 4 Jika atas dasar pertimbangan dan pendapat Penyidik bahwa pembuktian tidak ada atau kelengkapan pembuktian tidak mungkin dicukupi lagi, maka Penyidik harus menghentikan pemeriksaan pendahuluan. Demikian juga dalam hal peristiwa yang ternyata bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran atau penyidikan dihentikan demi hukum. Maka Penyidik wajib menghentikan pemeriksaan dan jika Tersangka berada dalam tahanan ia harus segera dibebaskan/dimerdekakan dari tahanan (Pasal 109 ayat (2) KUHAP). Atas dasar uraian di atas, maka penulis dalam pembuatan skripsi ini mengambil judul: Tinjauan Hukum Pidana Dalam Kasus Penganiayaan dan Pelaksanaan Penyidikan Serta Hambatannya (Studi Kasus di Polres Kendal). 2. Rumusan Masalah Sesuai dengan Pasal 110 ayat (4) KUHAP, batas waktu proses penyidikan adalah 14 hari. Namun dalam kenyataannya proses penyidikan suatu perkara tidak terselesaikan dalam waktu 14 hari, atau dengan kata lain proses perkara pidana dalam penyelesaiannya melebihi batas waktu yang ditentukan, sehingga perkara tersebut menjadi berlarut-larut dan 4 Maartiman Prodjo Hamidjojo, Penyelidikan Dan Penyidikan, Seri Pemerataan Keadilan 2, Penerbil Ghalia Indonesia, Hal 26. 6
terkatung-katung penyelesaiannya, bahkan keterlambatan tersebut bisa sampai setengah tahun atau lebih. Penyidik, pada waktu menjalankan tugasnya yaitu melakukan penyidikan suatu tindak pidana atau peristiwa pidana, sesuai Pasal 109 ayat (1) KUHAP, Penyidik harus memberitahukan selain kepada Tersangka dan keluarganya juga kepada Penuntut Umum. Dan apabila Penyidik menghentikan Penyidikan misalnya tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana maka Penyidik juga harus memberitahukan kepada Penuntut Umum. Dari uraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan tugas Penyidik di dalam praktek sehari-hari belum tentu dapat dilaksanakan dengan/secara mulus. Hal ini merupakan tantangan atau hambatan yang dihadapi para penegak hukum khususnya Penyidik, sehingga praktek dengan teori yang ada kadang-kadang tudak sesuai lagi, untuk itu perlu adanya pengaturan pelaksanaan kerja sama antara Penegak Hukum dalam menyelesaikan perkara-perkara pidana secara khusus. Atas dasar tersebut di atas, maka timbullah permasalahanpermasalahan sebagai berikut: a. Apakah proses penyidikan perkara pidana yang dilakukan oleh Penyidik di POLRES Kendal sudah sesuai dengan KUHAP? b. Hambatan-hambatan apa yang ditemui oleh Penyidik dalam penyidikan perkara pidana dan upaya-upaya penanggulangannya? 3. Sistematika Penulisan 7
Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan, dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang judul, permasalahan, dan sistematika penulisan. Bab II : Beberapa tinjauan umum tentang proses penyidikan perkara pidana. Bab ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: pengertian penyidik dan penyidikan tugas dan wewenang Penyidik dalam penyidikan perkara pidana. Bab III: Metode penelitian, dalam bab ini membahas metode pengumpulan data dan metode pengolahan data. Bab IV : Penyidikan perkara pidana beserta hambatan-hambatannya di POLRES Kendal. Dalam bab ini mengenai permasalahan dibagi 4 bagian yaitu: tujuan penyidikan perkara pidana, obyek dan subyek Penyidikan perkara pidana, proses penyidikan perkara di POLRES Kendal, hambatanhambatannya dalam penyidikan perkara pidana serta cara penanggulangannya di POLRES Kendal. Bab V : Penutup. Terdiri dari kesimpulan dan saran-saran kemudian hal terakhir adalah mengenai daftar pustaka yang memuat buku-buku yang menjadi pegangan dalam penulisan skripsi ini. 8