BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Diabetes Mellitus Type II

CLINICAL SCIENCE SESSION DIABETES MELITUS

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004).

Definisi Diabetes Melitus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hiperglikemi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan metabolisme

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN. dicapai dalam kemajuan di semua bidang riset DM maupun penatalaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. insulin atau keduanya (American Diabetes Association [ADA] 2004, dalam

BAB I PENDAHULUAN. Association, 2013; Black & Hawks, 2009). dari 1,1% di tahun 2007 menjadi 2,1% di tahun Data dari profil

BAB I PENDAHULUAN. manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat (Price & Wilson, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Ermita (2002 dikutip dari Devita, Hartiti, dan Yosafianti, 2007) bahwa fluktuasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, ketidakseimbangan antara suplai dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas PTM semakin meningkat baik di negara maju maupun

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme dari karbohidrat,

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam

BAB I PENDAHULUAN. secara efektif. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 yang terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit. degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas fisik, life style, dan lain-lain (Waspadji, 2009). masalah kesehatan/penyakit global pada masyarakat (Suiraoka, 2012).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

BAB I PENDAHULUAN. modernisasi terutama pada masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi

I. PENDAHULUAN. usia harapan hidup. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, berarti semakin

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Asuhan Keperawatan Pasien Rujuk Balik dengan Diabetes Mellitus di Instalasi Rawat Jalan. RSUD Kota Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi

EVALUASI PEMILIHAN OBAT ANTIDIABETES PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SALATIGA TAHUN 2008 SKRIPSI

SATUAN ACARA PENYULUHAN DIABETES MELLITUS

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pada seseorang yang disebabkan adanya peningkatan kadar glukosa darah

BAB I PENDAHULUAN. hidup yaitu penyakit Diabetes Melitus. Diabetes Melitus (DM) merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, dan pankreas dapat menghentikan

BAB I PENDAHULUAN. insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus (DM) adalah penyakit akibat adanya gangguan

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Diabetes Melitus atau kencing manis, seringkali dinamakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit diabetes melitus (DM) adalah kumpulan gejala yang timbul pada

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang telah diproduksi secara efektif. Insulin merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) sebagai suatu penyakit tidak menular yang cenderung

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. terus menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Diabetes melitus

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk Indonesia (Krisnantuni, 2008). Diabetes melitus merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut ADA (American Diabetes Association) Tahun 2010, diabetes

Jurnal Keperawatan, Volume X, No. 1, April 2014 ISSN KOLESTEROL TOTAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS YANG MELAKUKAN SENAM DIABETES

BAB I PENDAHULUAN. adanya kenaikan gula darah (hiperglikemia) kronik. Masalah DM, baik aspek

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme kronik yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan Rumah Sakit Umum Daerah Toto Kecamatan Kabila Kabupaten

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di

BAB I PENDAHULUAN. utama bagi kesehatan manusia pada abad 21. World Health. Organization (WHO) memprediksi adanya kenaikan jumlah pasien

glukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai : (b) Banyak kencing waktu 2 4 minggu)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes. mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

BAB I PENDAHULUAN. darah / hiperglikemia. Secara normal, glukosa yang dibentuk di hepar akan

DM à penyakit yang sangat mudah kerja sama menjadi segitiga raja penyakit : DM CVD Stroke

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada sel beta mengalami gangguan dan jaringan perifer tidak mampu

ANALISA KASUS. Apabila keton ditemukan pada darah atau urin, pengobatan harus cepat dilakukan karena

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Taufik Hidayat, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. tertentu dalam darah. Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi pankreas

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. atau keduanya (Sutedjo, 2010). Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif merupakan transisi epidemiologis dari era penyakit

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari pasien DM sendiri.

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

*Dosen Program Studi Keperawatan STIKES Muhamamdiyah Klaten

04/09/2013. Proyeksi WHO Populasi Diabetes Melitus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manis atau penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus Menurut ADA (2010) DM merupakan penyakit metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah akibat gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Perkeni, 2011). DM merupakan kelainan metabolik dengan etiologi multifaktoral yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Ramachandran dan Chamukuttan, 2009). Diabetes Melitus tipe 2 atau Non-Insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan oleh resistensi insulin perifer atau produksi insulin berkurang (sekresi insulin). Sering ditemukan keadaan bahwa hormon insulin di dalam tubuh masih ada bahkan masih tersedia dengan jumlah yang cukup di dalam tubuh, namun insulin ini tidak bisa masuk ke dalam pembuluh darah perifer sehingga insulin tidak bisa diserap oleh pembuluh darah dan kadar gula di dalam darah menjadi tinggi. Keadaan lainnya yaitu kurangnya insulin yang diproduksi oleh sel β pankreas sehingga kadar hormon insulin tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tubuh dalam menormalkan kadar gula darah (Marewa, 2015). 2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus Risiko terkena DM akan meningkat dengan bertambahnya usia. DM tipe 2 biasa terjadi pada usia > 40 tahun. Di negara berkembang kasus DM tipe 2 paling banyak ditemukan pada usia antara 45 64 tahun. Sedangkan di negara maju kasus DM tipe 2 terbanyak ditemukan pada kelompok usia > 65 tahun. Namun saat ini kasus 8

9 DM tipe 2 sudah mulai ditemukan pada usia anak-anak dan remaja, yang kasusnya semakin meningkat. Secara umum kasus DM tipe 2 pada pria lebih banyak ditemukan pada usia < 60 tahun dan wanita pada usia > 65 tahun (Marewa, 2015). Kelebihan berat badan atau obesitas (IMT > 25 kg/m 2 ) merupakan faktor risiko utama terjadinya DM tipe 2. Orang dengan berat badan berlebih berisiko 3 kali lipat dan meningkat 7 kali lebih besar pada orang dengan obesitas dibandingkan dengan orang-orang dengan berat badan ideal. Lingkar pinggang yang lebar juga dikaitkan peningkatan risiko DM tipe 2. Pria berisiko lebih tinggi terkena DM tipe 2 jika memiliki lingkar pinggang 94 102 cm dan berisiko sangat tinggi jika > 102 cm. Perempuan berisiko lebih tinggi jika memiliki lingkar pinggang 80 88 cm dan berisiko sangat tinggi jika > 88 cm (Gatineau et al, 2014). Prevalensi DM tipe 2 pada ras kulit putih berkisar antara 3 6% dari orang dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa ras kulit hitam, Asia, dan kelompok etnis minoritas lainnya berisiko lebih besar terkena DM tipe 2 dibandingkan dengan ras kulit putih Eropa pada tingkat IMT yang setara. Penelitian di Inggris menemukan bahwa orang dewasa non-kulit putih berusia 40 69 tahun berisiko 2 4 kali lebih cenderung menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan orang dewasa berkulit putih. Sedangkan prevalensi DM pada ras Asia Selatan dengan IMT 22 kg/m 2 setara dengan prevalensi DM pada ras kulit putih dengan IMT 30 kg/m 2 (Gatineau et al, 2014). Laporan dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980 menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta (daerah urban) dari prevalensi DM 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada

10 tahun 1993 dan kemudian menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta (Perkeni, 2006). 2.1.3 Diagnosis Diabetes Melitus Diagnosis klinis DM umumnya akan dilakukan bila ada keluhan klasik berupa poliuri, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lainnya seperti lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah yang dapat dilakukan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl dengan adanya keluhan klasik. Ketiga Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dl (Soegondo, 2015). Sumber: Perkeni (2011) Gambar 2.2 Langkah-langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa

11 2.1.4 Komplikasi Diabetes Melitus Komplikasi DM dapat dibedakan menjadi dua yaitu komplikasi akut dan kronik. 1. Komplikasi Akut Komplikasi yang akut akibat DM terjadi secara mendadak. Keluhan dan gejalanya terjadi dengan cepat dan biasanya berat. Komplikasi akut umumnya timbul akibat glukosa darah yang terlalu rendah (hipoglikemia) atau terlalu tinggi (hiperglikemia) (Tandra, 2008). Keadaan hiperglikemia terdiri dari Keto Asidosis Diabetik, Hiperosmolar Non Ketotik, dan Asidosis Laktat (Boedisantoso, 2015). 2. Komplikasi Kronik Komplikasi kronik terjadi karena glukosa darah berada di atas normal yang berlangsung selama bertahun-tahun. Komplikasi kronik diartikan sebagai kelainan pembuluh darah yang akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung, gangguan fungsi ginjal, dan gangguan saraf (Tandra, 2008). Komplikasi kronik bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu komplikasi vaskular dan non-vaskular. Komplikasi vaskular terbagi lagi menjadi mikrovaskular (retinopati, neuropati, dan nefropati) dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskular). Sedangkan komplikasi non-vaskular dari DM yaitu gastroparesis, infeksi, dan perubahan kulit (Powers, 2010 dalam Restu, 2013). 2.1.5 Pengendalian Diabetes Melitus Tujuan pengendalian DM secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Untuk jangka pendek tujuannya adalah menghilangkan keluhan/gejala DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian

12 glukosa darah. Untuk jangka panjang, tujuannya yaitu mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangipati, makroangiopati, dan neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortalitas DM (Perkeni, 2011). Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1c juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Penatalaksanaan dan pengelolaan DM tipe 2 dititik beratkan pada 4 pilar utama yaitu (Perkeni, 2011): 1. Edukasi Tujuan pendidikan kesehatan kesehatan bagi penyandang DM adalah meningkatkan pengetahuan, perubahan sikap sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. 2. Terapi gizi medis Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari. Prinsip diet yang dianjurkan adalah teratur dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan. Pengaturan diet pada penderita DM diatur dalam 3 makanan utama (pagi, siang, sore) dan 2-3

13 makanan selingan diantara makanan utama jarak waktu makan dilakukan tiap 3 jam (Waspadji, 2015). 3. Latihan jasmani Latihan jasmani secara teratur (3 5 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. 4. Intervensi farmakologis Dalam pengendalian DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengelolaan non farmakologi, berupa perencanaan makan dan kegiatan jasmani. Namun, jika dengan langkah-langkah tersebut sasaran pengendalian diabetes yang ditentukan belum tercapai, dilanjutkan dengan penggunaan obat/pengelolaan farmakologis yang terdiri dari: a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi beberapa golongan: pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue), penambah sensitifitas terhadap insulin, penghambat glukoneogenesis, penghambat absorpsi glukosa, dan DPP-IV inhibitor. b. Insulin Insulin diperlukan pada keadaan: penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis

14 laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO. Tabel 2.1 Kriteria Pengendalian DM Baik Sedang Buruk Glukosa darah puasa (mg/dl) 80 - < 100 100 125 > 126 Glukosa darah 2 jam pp (mg/dl) 80 144 145 179 > 180 A1c (%) < 6,5 6,5 8 > 8 Kolesterol total (mg/dl) < 200 200 239 > 240 Kolesterol LDL (mg/dl) < 100 100 129 > 130 Kolesterol HDL (mg/dl) Pria: > 40 Wanita: > 50 Trigeliserida (mg/dl) < 150 150 199 > 200 IMT (kg/m 2 ) 18,5 - < 23 23 25 > 25 Tekanan darah (mmhg) < 130/80 > 130 140/ > 140/90 > 80 90 Sumber: Perkeni (2006) Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa < 150 mg/dl dan sesudah makan < 200 mg/dl), demikian pada kadar lipid, tekanan darah, dll mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjur dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat (Waspadji, 2015). Perilaku 2.2.1 Definisi perilaku Perilaku dapat diartikan suatu respons atau reaksi seseorang terhadap rangsangan (stimulus) yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya (Sarwono, 2012). Sedangkan perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang

15 baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan (Notoatmodjo, 2014). 2.2.2 Faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan Menurut teori Lawrence Green, perubahan perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu (Notoatmodjo, 2010): 1. Faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainnya. a. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2010). Hasil penelitian Tazkiyya (2010) menunjukkan adanya hubungan bermakna antara pengetahuan dengan perilaku upaya pencegahan sekunder pada pasien DM tipe 2 di Layanan Kesehatan Cuma-Cuma Ciputat Tangerang Selatan (p = 0,008). b. Sikap Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2010). Hasil penelitian Tazkiyya

16 (2010) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku upaya pencegahan sekunder pada pasien DM tipe 2 di Layanan Kesehatan Cuma-Cuma Ciputat Tangerang Selatan (p = 0,042). 2. Faktor pendukung (enabling factors) Faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan seperti sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan serta kemudahan untuk mencapainya. a. Persepsi Jarak Fasilitas Kesehatan Jarak fasilitas kesehatan yang mudah terjangkau dapat membantu meningkatkan kepatuhan penderita DM untuk selalu teratur menjalankan pengobatan dan pemeriksaan gula darah secara rutin (Purwitaningtyas, 2015). Hasil penelitian Purwitaningtyas (2015) menunjukkan bahwa jarak fasilitias kesehatan merupakan salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan kendali glikemik buruk pada pasien DM tipe 2 (p = 0,021). b. Persepsi Biaya Pengobatan DM Biaya pengobatan dapat menjadi hambatan yang signifikan terutama bagi pasien dengan status sosial ekonomi rendah dan tidak memiliki asuransi kesehatan (Nam, et al., 2011). Hasil penelitian Balkrishnan et al (2003) menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kepatuhan pengobatan DM dengan biaya perawatan kesehatan pada pasien DM Tipe 2 di wilayah tenggara Amerika Serikat (p < 0,001).

17 3. Faktor pendorong (reinforcing factors) Faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, keluarga, dan teman sebaya yang merupakan kelompok referensi dari perilaku seseorang yang bersangkutan. a. Dukungan Keluarga Dukungan keluarga diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga yang lain sehingga akan memberikan kenyamanan fisik dan psikologis pada orang yang dihadapkan pada situasi stress (Taylor, 2006 dalam Yusra, 2010). Hasil penelitian Lestari (2012) menyatakan bahwa dukungan keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan kepatuhan diet pada pasien DM tipe 2 rawat jalan di RSUP Fatmawati (p = 0,001). b. Dukungan Petugas Kesehatan Komunikasi, informasi, dan edukasi yang dilakukan oleh petugas kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pasien DM terhadap penyakit dan pengobatannya (Perkeni, 2011). Hasil penelitian Kusniawati (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi petugas kesehatan dengan pengendalian DM pada pasien DM tipe 2 di RSU Tangerang (p = 0,001).