BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1Teori Keagenan (Agency Theory) Jensen dan Meckling (1976) menggambarkan adanya hubungan kontrak antara agen (manajemen) dengan pemilik (principal). Agen diberi wewenang oleh pemilik untuk melakukan operasional perusahaan, sehingga informasi yang dimiliki agen lebih banyak dibandingkan dengan pemilik. Agen akan melakukan tindakan terbaik demi kepentingan prinsipal. Prinsipal akan memberikan imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh agen. Wewenang dan tanggung jawab agen maupun prinsipal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama (Ujiyhanto, 2010). Eisenhardt (1989) menyatakan ada tiga asumsi sifat manusia terkait teori keagenan, yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut agen akan cenderung bertindak oportunis, yaitu mengutamakan kepentingan pribadi dan hal ini memicu terjadinya konflik keagenan sehingga diperlukan peran pihak ketiga, yaitu auditor independen untuk mengevaluasi pertanggungjawaban keuangan manajemen dan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen.
Auditor adalah pihak yang dianggap mampu menjembatani kepentingan pihak prinsipal dengan pihak agen dalam mengelola keuangan perusahaan (Setiawan, 2006). Prinsipal mengharapkan auditor memberikan peringatan awal mengenai kondisi keuangan perusahaan. Data-data perusahaan akan lebih mudah dipercaya oleh investor dan pemakai laporan keuangan lainnya apabila laporan keuangan yang mencerminkan kinerja dan kondisi keuangan perusahaan telah mendapat pernyataan wajar dari auditor (Komalasari, 2007). Tugas auditor adalah memberikan opini atas laporan keuangan tersebut mengenai kewajarannya. Selain itu, auditor saat ini juga harus mempertimbangkan akan kelangsungan hidup (going concern) perusahaan. Semakin berkualitas auditor kemungkinan perusahaan untuk mendapat opini going concern akan semakin besar karena auditor akan semakin teliti untuk memeriksa semua kejadian yang ada dalam laporan keuangan. 2.1.2 Opini Audit Auditor bertugas memberikan opini atas laporan keuangan perusahaan dalam melakukan penugasan umum. Opini yang diberikan merupakan pernyataan kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum (SPAP, 2001). Dalam melaksanakan proses audit, auditor dituntut tidak hanya melihat sebatas pada hal-hal yang ditampakkan dalam laporan keuangan saja tetapi juga harus lebih mewaspadai hal-hal potensial yang dapat mengganggu kelangsungan hidup (going concern) suatu
perusahaan. Inilah yang menjadi alasan kenapa auditor diminta untuk mengevaluasi atas kelangsungan hidup perusahaan dalam batas waktu tertentu (SPAP SA 341). Laporan auditor merupakan sarana bagi auditor untuk menyatakan pendapatnya, atau apabila keadaan mengharuskan, untuk menyatakan tidak memberikan pendapat. Baik dalam hal auditor menyatakan pendapat maupun menyatakan tidak memberikan pendapat, ia harus menyatakan auditnya telah dilaksanakan berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, 2012). Menurut Halim (2008:75), terdapat lima jenis pendapat yang dapat diberikan oleh auditor, yaitu sebagai berikut ini. 1) Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) Pendapat wajar tanpa pengecualian dapat diberikan auditor apabila audit telah dilaksanakan atau diselesaikan sesuai dengan standar auditing, penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan tidak terdapat kondisi atau keadaan tertentu yang memerlukan bahasa penjelasan. 2) Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan tambahan bahasa penjelasan (Unqualified opinion with explanatory language) Pendapat ini diberikan apabila audit telah dilaksanakan atau diselesaikan sesuai dengan standar auditing, penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, tetapi terdapat keadaan atau kondisi tertentu yang memerlukan bahasa penjelasan. Kondisi atau keadaan yang memerlukan bahasa penjelasan tambahan antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pendapat auditor sebagian didasarkan atas laporan auditor independen lain, b. Adanya penyimpangan dari prinsip akuntansi yang ditetapkan oleh IAI, c. Laporan keuangan dipengaruhi oleh ketidakpastian yang material, d. Auditor meragukan kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, e. Auditor menemukan adanya suatu perubahan material dalam penggunaan prinsip dan metode akuntansi. 3) Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion) Sesuai dengan SA 508 paragraf 38 dikatakan bahwa jenis pendapat ini diberikan apabila: a. Tidak adanya bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan lingkup audit yang material tapi tidak memengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan, b. Auditor yakin bahwa laporan keuangan berisi penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum yang berdampak material tetapi tidak mempengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan. Penyimpangan tersebut dapat berupa pengungkapan yang tidak memadai, maupun perubahan dalam prinsip akuntansi. Auditor harus menjelaskan alasan pengecualian dalam satu paragraf terpisah sebelum paragraf pendapat.
4) Pendapat tidak wajar (adverse opinion) Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Auditor harus menjelaskan alasan pendukung pendapat tidak wajar, dan dampak utama dari hal yang menyebabkan pendapat tidak wajar diberikan terhadap laporan keuangan. 5) Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion) Pernyataan auditor untuk tidak memberikan pendapat ini diberikan apabila: a. Ada pembatasan lingkup audit yang sangat material baik oleh klien maupun karena kondisi tertentu, b. Auditor tidak independen terhadap klien. Opini audit diberikan oleh auditor melalui beberapa tahapan. Arens (2010) mengemukakan bahwa laporan audit adalah langkah terakhir dari seluruh proses audit. Dengan demikian, auditor dalam memberikan opini didasarkan pada keyakinan profesionalnya. 2.1.3 Opini Audit Going Concern Opini audit going concern merupakan opini audit yang dikeluarkan oleh auditor untuk mengevaluasi apakah ada kesangsian tentang kemampuan entitas untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (SPAP, 2011). Auditor menetapkan opini audit going concern apabila dalam proses audit ditemukan kondisi dan peristiwa yang mengarah pada kesangsian terhadap kelangsungan hidup perusahaan.
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP, 2011) seksi 341 menyatakan apabila auditor tidak menyangsikan kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (going concern) dalam jangka waktu pantas, maka auditor memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian. Apabila auditor menyangsikan kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas, maka auditor wajib mengevaluasi rencana manajemen. Auditor akan memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan jika rencana manajemen perusahaan dapat secara efektif dilaksanakan untuk mengatasi dampak dari kondisi dan peristiwa yang menyebabkan kesangsian auditor tentang kelangsungan usahanya. Apabila auditor menganggap bahwa rencana manajemen tidak dapat secara efektif mengurangi dampak negatif kondisi atau peristiwa tersebut maka auditor menyatakan tidak memberikan pendapat. Opini wajar dengan pengecualian diberikan kepada auditee apabila auditor menyangsikan kelangsungan hidup perusahaan dan auditor berkesimpulan bahwa manajemen tidak membuat pengungkapan mengenai sifat, dampak, kondisi dan peristiwa yang menyebabkan auditor menyangsikan kelangsungan hidup perusahaan. Jika pengungkapan di dalam rencana manajemen tidak memadai pengungkapannya dan tidak dilakukan penyesuaian, padahal dampaknya sangat material dan terdapat penyimpangan dari prinsip akuntansi berterima umum, maka auditor akan memberikan opini tidak wajar (Sari, 2012:20).
Berikut ini adalah contoh kondisi dan peristiwa yang mengarah pada kesangsian atas kelangsungan hidup perusahaan (SA Seksi 341) : a. Trend negatif. Contoh: kerugian operasi yang berulangkali terjadi, kekurangan modal kerja, arus kas negatif dari kegiatan usaha, rasio keuangan penting yang jelek. b. Petunjuk lain tentang kemungkinan kesulitan keuangan. Contoh: kegagalan dalam memenuhi kewajiban utangnya atau perjanjian serupa, penunggakan pembayaran dividen, penolakan oleh pemasok terhadap pengajuan permintaan pembelian kredit biasa, rektrukturisasi utang, kebutuhan untuk mencari sumber atau metode pendanaan baru, atau penjualan sebagian besar aktiva. c. Masalah intern. Contoh: pemogokan kerja atau kesulitan hubungan perburuhan yang lain, ketergantungan besar atas sukses projek tertentu, komitmen jangka panjang yang tidak bersifat ekonomis, kebutuhan untuk secara signifikan memperbaiki operasi. d. Masalah luar yang telah terjadi. Contoh: pengaduan gugatan pengadilan, keluarnya undang-undang, atau masalah-masalah lain yang kemungkinan membahayakan kemampuan entitas untuk beroperasi; kehilangan franchise, lisensi atau paten penting; kehilangan pelanggan atau pemasok utama; kerugian akibat bencana besar seperti gempa bumi, banjir, kekeringan, yang tidak diasuransikan atau diasuransikan namun dengan pertanggungan yang tidak memadai.
Gambar 2.1 Pedoman Pernyataan Pendapat Going Concern Apakah ada kondisi dan/atau peristiwa yang berdampak terhadap kelangsungan hidup entitas? Tidak Opini wajar tanpa pengecualian Ya Apakah auditor sangsi atas kelangsungan hidup entitas? Ya Apakah ada rencana manajemen? Tidak Ya Tidak memberikan pendapat Tidak Apakah rencana manajemen dapat dilaksanakan? Ya Tidak Tidak memeberikan pendapat Apakah cukup pengungkapan? Tidak Ya Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelas Berkaitan dengan Going Concern Pendapat Wajar dengan Pengecualian atau Pendapat Tidak Wajar Sumber : (Ikatan Akuntan Indonesia, 2001: SA seksi 341 Paragraf 19)
2.1.4 Komite Audit Price Waterhouse (1993) menyatakan tujuan utama dibentuknya komite audit adalah untuk memperkuat kepercayaan masyarakat akan independensi auditor eksternal dalam menilai kewajaran laporan keuangan manajemen. Karenanya fungsi dari komite audit secara langsung berdampak kepada auditor eksternal. Menurut Boynton et al. dalam bukunya Modern Auditing (2001), fungsi dari komite audit yang secara langsung berpengaruh pada independensi auditor eksternal adalah sebagai berikut: a. Menunjuk akuntan publik untuk melaksanakan pemeriksaan tahunan terhadap laporan keuangan. b. Membicarakan luas pemeriksaan audit dengan auditor. c. Meminta komunikasi langsung dengan auditor mengenai masalah-masalah besar yang ditemukan dalam pemeriksaan. d. Mereview laporan keuangan dan laporan audit pada saat pemeriksaan auditor selesai dilakukan. 2.1.5 Ukuran Perusahaan Dewayanto (2011:88) menyatakan bahwa auditor lebih sering mengeluarkan modifikasi opini audit going concern pada perusahaan yang lebih kecil. Hal ini dimungkinkan karena auditor mempercayai bahwa perusahaan yang lebih besar dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan keuangan yang dihadapinya daripada perusahaan yang lebih kecil. Selain itu, perusahaan besar lebih banyak mengeluarkan fee audit
yang lebih tinggi daripada yang ditawarkan perusahaan yang lebih kecil. Dalam kaitannya mengenai kehilangan fee audit yang signifikan tersebut, auditor dapat meragukan pengeluaran opini going concern pada perusahaan besar (Mc.Known et al.,1991). Ukuran perusahaan klien yang diproksikan dengan log natural total asset yang dimiliki perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menjaga kelangsungan usaha. Semakin tinggi total aset yang dimiliki, maka perusahaan dianggap memiliki ukuran yang besar sehingga mampu mempertahankan kelangsungan usahanya. Perusahaan besar memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengelola perusahaan dan menghasilkan laporan keuangan yang lebih berkualitas (Junaidi dan Hartono, 2010:9). Semakin kecil skala perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan yang lebih kecil dalam pengelolaan usahanya. Hal ini menyebabkan perusahaan lebih berpeluang mendapatkan opini audit going concern (Widyantari, 2011:55). 2.1.6 Audit Tenure Gheiger dan Raghunandan (2002) menyatakan tenure adalah lamanya hubungan auditor klien diukur dengan jumlah tahun. Ketika auditor memiliki jangka waktu hubungan yang lama dengan kliennya, hal ini akan mendorong pemahaman yang lebih atas kondisi keuangan klien dan oleh karena itu mereka akan dapat mendeteksi masalah going concern. Dalam sudut pandang kedua, menjaga hubungan dengan kantor akuntan publik yang sama untuk jangka waktu yang lama dianggap
lebih ekonomis untuk klien. Adanya hubungan antara auditor dengan kliennya dalam waktu yang lama dikhawatirkan akan membuat auditor kehilangan independensinya. Karena antara auditor dengan klien sudah terikat hubungan yang nyaman dan saling menguntungkan sehingga kualitas audit menjadi rendah. Hilangnya independensi auditor dapat dilihat dari kesulitan auditor dalam memberikan opini going concern untuk kliennya (Sari,2012:21). Dalam hal menjaga independensinya, beberapa negara menetapkan peraturan mengenai rotasi KAP (Dewayanto,2011:89). Cadbury Comittee di Inggris merekomendasikan rotasi terhadap audior yang mengaudit bukan Kantor Akuntan Publik-nya. Peraturan di Indonesia melalui Keputusan Ketua Bapepam dan LK No: Kep-310/BL/2008 dalam Peraturan No. VIII.A.2 tentang independensi akuntan publik yang memberikan jasa di pasar modal, menyebutkan bahwa Kantor Akuntan Publik mempunyai pengendalian mutu dengan tingkat keyakinan yang memadai bahwa Kantor Akuntan Publik dan karyawannya dapat menjaga sikap independen. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 17/PMK.01/2008 tentang jasa akuntan publik disebutkan bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dilakukan oleh KAP paling lama enam tahun buku berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama tiga tahun berturut- turut. 2.1.7 Reputasi KAP Auditor memiliki tanggung jawab untuk menyediakan informasi yang berkualitas tinggi yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan. KAP bigfour
cenderung akan menerbitkan opini audit going concern jika klien terdapat masalah berkaitan going concern perusahaan (Junaidi dan Hartono, 2010:7). DeAngelo (1981) secara teoritis telah menganalis hubungan antara kualitas audit dan ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP). Dia berargumen bahwa auditor besar akan memiliki lebih banyak klien dan fee total akan dialokasikan diantara para kliennya. DeAngelo (1981) berpendapat bahwa auditor besar akan lebih independen, dan karenanya, akan memberikan kualitas yang lebih tinggi atas audit. Ukuran auditor berhubungan dengan kualitas audit. Economics of scale KAP yang besar akan memberikan insentif yang kuat untuk mematuhi aturan SEC sebagai cara pengembangan dan pemasaran keahlian KAP tersebut (Dewayanto,2011:90). Pada tahun 2002 terjadi kasus antara Arthur Andersen yang merupakan KAP dengan reputasi tinggi dengan kliennya yakni Enron. Kasus Enron ini membuktikan bahwa tidak semua KAP big four menghindari tindakan-tindakan yang mempengaruhi nama baiknya. Natawidyanata (2008) menjelaskan bahwa Kasus Enron telah menyeret Arthur Andersen, yang mengaudit laporan keuangan Enron. Kantor akuntan Arthur Andersen didakwa melawan hukum karena menghancurkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengauditan Enron, dan menutup-nutupi kerugian jutaan dolar. Hasil keputusan hukum secara efektif menyebabkan kebangkrutan global dari bisnis Arthur Andersen. Kantor akuntan di seluruh dunia yang berada di bawah bendera Arthur Andersen seluruhnya dijual dan kebanyakan menjadi anggota kantor akuntan internasional lainnya. Setelah kejadian Enron, KAP skala internasional tersebut menyusut menjadi empat atau lebih dikenal dengan istilah
KAP big four. KAP big four ini akan berafiliasi dengan kantor akuntan publik lokal yang ada di Indonesia. KAP big four beserta afiliasinya terdiri atas: 1) Ernst & Young berafiliasi dengan KAP Purwantono, Suherman dan Surja. 2) Deloitte Touche Tohmatsu berafiliasi dengan KAP Osman Bing Satrio. 3) KPMG berafiliasi dengan KAP Sidharta dan Widjaja. 4) Price Waterhouse Coopers berafiliasi dengan KAP Tanudiredja, Wibisana dan Rekan. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Komite Audit terhadap Opini Audit Going Concern Komite Audit mulai diperkenalkan kepada dunia usaha di Amerika Serikat pada tahun 1930-an. Kemudian pada tahun 1970-an, New York Stock Exchange (NYSE) mulai mewajibkan keberadaan komite audit sebagai persyaratan pencatatan. Sejak itu banyak negara yang membuat ketentuan mengenai Komite Audit apakah itu dalam bentuk Code of Best Practices, peraturan perundang-undangan, maupun persyaratan di bursa. Sejalan dengan kecenderungan internasional ini, persyaratan semacam ini juga telah ditetapkan di Indonesia melalui Pedoman Good Corporate Governance yang diterbitkan pada bulan Mei 2002. Pada umumnya dewan komisaris membentuk komite-komite dibawahnya sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan peraturan perundangan yang berlaku. Komite tersebut ditujukan untuk membantu dewan komisaris dalam melaksanakan tanggung jawab dan wewenangnya secara efektif. Berkaitan dengan peran komite
audit sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian perusahaan, FCGI membagi tanggung jawab komite audit pada tiga bidang, yaitu: laporan keuangan, tata kelola perusahaan, dan pengawasan perusahaan. Komite audit berfungsi untuk meningkatkan fungsi audit internal dan eksternal serta meningkatkan kualitas laporan keuangan. Dengan adanya komite audit maka akan ada pengawasan yang lebih kuat agar laporan keuangan yang dihasilkan berkualitas. Hasil penelitian Ramadhany (2004) dan Linoputri (2010) yang menyatakan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pemberian opini mengenai going concern oleh auditor. Namun penelitian tersebut bertentangan dengan pendapat Pearce dan Zahra (1992) yang menyatakan efektivitas komite audit akan meningkat bila ukuran komite meningkat karena memiliki sumber daya lebih untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi oleh perusahaan. Selain itu McMullen (1996) dalam Santosa dan Wedari (2007) menunjukkan bahwa komite audit berhubungan dengan lebih sedikit tuntutan hukum pemegang saham karena kecurangan dan tindakan illegal. Auditor yang melihat adanya tuntutan hukum pemegang saham akan menilai hal tersebut sebagai salah satu faktor keraguan akan kelangsungan hidup perusahaan, sehingga ia akan memberikan opini going concern pada perusahaan tersebut. H 1 : Keberadaan komite audit berpengaruh terhadap opini audit going concern 2.2.2 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Opini Audit Going Concern
Kartika (2012:29) menyatakan bahwa auditor lebih sering mengeluarkan modifikasi opini audit going concern pada perusahaan yang lebih kecil. Ukuran perusahaan yang diproksikan dengan logaritma natural total asset yang dimiliki menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menjaga kelangsungan usaha. Semakin tinggi total asset yang dimiliki, maka perusahaan dianggap memiliki ukuran yang besar sehingga mampu mempertahankan kelangsungan usahanya. Semakin kecil skala perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan yang lebih kecil dalam pengelolaan usahanya. Hal ini menyebabkan perusahaan lebih berpeluang mendapatkan opini audit going concern. Hasil penelitian Rahayu (2009), Warnida (2011), Widyantari (2011), Muttaqindan Sudarno (2012) membuktikan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini going concern. Namun berbeda dengan hasil penelitian Sari dan Rahardja (2012) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern. Dengan beberapa pendapat mendukung dapat disusun hipotesis berikut: H 2 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap opini audit going concern. 2.2.3 Pengaruh Audit Tenure terhadap Opini Audit Going Concern Audit tenure merupakan jangka waktu perikatan yang terjalin antara kantor akuntan publik (KAP) dengan auditee yang sama. Semakin lama hubungan auditor dengan klien, maka dikhawatirkan semakin rendah pengungkapan atas ketidakmampuan perusahaan dalam menjaga kelangsungan usahanya. Hal tersebut
akan mempengaruhi penerimaan opini audit going concern terhadap perusahaan (Junaidi dan Hartono, 2010). Ketika hubungan antara auditor dengan klien suatu KAP telah berlangsung bertahun- tahun klien dapat dipandang sebagai sumber pendapatan yang sudah biasa berlangsung terus, yang secara potensial dapat mengurangi independensi KAP (Widyantari, 2011:58). Penelitian sebelumnya menyatakan hasil yang berbeda. Berdasarkan penelitian Junaidi dan Jogiyanto (2010), Lim dan Tan (2009) menyatakan bahwa audit tenure memiliki pengaruh yang signifikan terhadap opini audit going concern, sedangkan menurut Sari (2012) dan Ardiani Dkk. (2012) menyatakan bahwa audit tenure tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern. Oleh karena itu dirumuskan hipotesis satu sebagai berikut: H 3 : Audit tenure berpengaruh terhadap opini audit going concern. 2.2.4 Pengaruh Reputasi KAP terhadap Opini Audit Going Concern Craswell et al. (1995) menyatakan bahwa klien biasanya mempersepsikan bahwa auditor yang berasal dari Kantor Akuntan Publik besar dan yang memiliki afiliasi dengan Kantor Akuntan Publik internasional-lah yang memiliki kualitas yang lebih tinggi karena auditor tersebut memiliki karakteristik yang dapat dikaitkan dengan kualitas, seperti pelatihan, pengakuan internasional, serta adanya peer review. Penelitian yang dilakukan oleh Junaidi dan Hartono (2010), Mutaqin dan Sudarno (2012), Astuti dan Darsono (2012), Foroghi (2012) berhasil membuktikan bahwa reputasi KAP berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going
concern, sedangkan menurut Rudyawan dan Badera (2009) & Dewayanto (2011) menyatakan bahwa reputasi auditor tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern. Oleh karena itu dirumuskan hipotesis satu sebagai berikut: H 4 : Reputasi KAP berpengaruh terhadap opini audit going concern.