Sekolah sebagai Tempat Pesemaian Nilai Multikulturalisme

dokumen-dokumen yang mirip
Pemahaman Multikulturalisme untuk Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. satu negara multikultural terbesar di dunia. Menurut (Mudzhar 2010:34)

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

ARTIKEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN MULTIKULRAL MELALUI MODUL DI SEKOLAH DASAR SEBAGAI SUPLEMEN PELAJARAN IPS

PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

PLURALISASI PEMBELAJARAN MOTIF BATIK NUSANTARA. Oleh: Ismadi Pendidikan Seni Rupa FBS UNY

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menampilkan sikap saling menghargai terhadap kemajemukan masyarakat

Memahami Budaya dan Karakter Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang heterogen, kita menyadari bahwa bangsa

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN LATIHAN 5

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama,

Kurikulum SD Negeri Lecari TP 2015/ BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu

industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKARAKTER. Muh.Anwar Widyaiswara LPMP SulSel

Kata Kunci: Pendidikan multikultural, keberagamaan inklusif, dan materi PAI

BAB I PENDAHULUAN. yang tertulis dalam Pembukaan UUD Negara Indonesia Tahun 1945 dalam Alinea

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat apabila diolah dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin. Topik Makalah. RUH 4 PILAR KEBANGSAAN DIBENTUK OLEH AKAR BUDAYA BANGSA Kelas : 1-IA21

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri

Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin. Topik Makalah/Tulisan RUH 4 PILAR KEBANGSAAN DIBENTUK OLEH AKAR BUDAYA BANGSA

PERAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM MENGEMBANGAKAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA Sisca Rahmadonna

I. PENDAHULUAN. Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Repubik Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

LANDASAN SOSIOLOGIS. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang :

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dinamika Multikulturalisme Kanada ( ). Kesimpulan tersebut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam etnis,

Pendidikan Vokasi Bercirikan Keunggulan Lokal Oleh: Istanto W. Djatmiko Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Kanada merupakan salah satu negara multikultur yang memiliki lebih

Dibacakan OIeh: Ir. Sayuti Asyathri Nomor Anggota: A-152

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi pembentukan karakter

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Thomy Sastra Atmaja, 2013

BAB I PENDAHULUAN. kualitas kepribadian serta kesadaran sebagai warga negara yang baik.

PENDAHULUAN. yang dimilikinya. Keragaman memang indah dan menjadi kekayaan bangsa yang. dari pada modal bangsa Indonesia (Hanifah, 2010:2).

BAB I PENDAHULUAN. memberi dorongan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi.

Budaya (kearifan local) Sebagai Landasan Pendidikan Indonesia Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa

PERAN PANCASILA SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA

BAB I PENDAHULUAN. jarak antar Negara melalui fitur-fitur komunikasi yang terus dikembangkan. Hal ini

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE

KESADARAN MASYARAKAT MAJEMUK DAN KEBHINEKA TUNGGAL IKAA-AN KEBUDAYAAN DI INDONESIA Oleh : Wilodati*)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,

VISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Adicita itu pulalah yang merupakan dorongan para pemuda Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian

1. Pancasila sbg Pandangan Hidup Bangsa

Mata Kuliah Kewarganegaraan

STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD/MI

BAHAN TAYANG MODUL 11 SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK 2016/2017 RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH.

ULTURAL DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM DI SEKOLAH PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

BAB II LANDASAN PEMBANGUNAN HUKUM TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan

PERAN GURU DALAM MENANAMKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DASAR 1

Manfaat Belajar Pendidikan Pancasila bagi Mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. berdampingan dengan berbagai latarbelakang budaya, ras, dan agama yang berbeda

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan terdiri dari tiga definisi yaitu secara luas, sempit dan umum.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan wahana mengubah kepribadian dan pengembangan diri. Oleh

Peningkatan Kesalehan Sosial demi Terjaganya Harmoni Sosial

CATATAN UNTUK RENCANA INDUK NASIONAL PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Tahun Baru Imlek 2563 Nasional, Jakarta, 3 Februari 2012 Jumat, 03 Pebruari 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

WAWASAN NUSANTARA. Dewi Triwahyuni. Page 1

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2

BAB IV STANDAR KOMPETENSI GURU. Setelah membaca materi ini mahasiswa diharapkan memahami standar

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

EKSISTENSI PANCASILA DALAM KONTEKS MODERN DAN GLOBAL PASCA REFORMASI

Sasaran dan. Pengembangan Sikap Profesional. Kompetensi Dasar

BAB I PENDAHULUAN. yakni Bhineka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap

I. PENDAHULUAN. pemerintahannya juga mengalami banyak kemajuan. Salah satunya mengenai. demokrasi yang menjadi idaman dari masyarakat Indonesia.

PENDAHULUAN DAN GAMBARAN UMUM PANCASILA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sudah disusun secara matang dan terperinci. (

TUGAS AKHIR KONFLIK DI INDONESIA DAN MAKNA PANCASILA

KEDUDUKAN DAN FUNGSI PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. siswa, Departemen Pendidikan Nasional yang tertuang dalam rencana srategis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN. by. EVY SOPHIA

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

MATA KULIAH PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU. Dr. Ali Mustadi, M. Pd NIP

Sistem pendidikan nasional adalah sekaligus alat dan tujuan yang amat penting dalam perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

PLEASE BE PATIENT!!!

dengan pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea ke-4 serta ingin mencapai

Transkripsi:

Sekolah sebagai Tempat Pesemaian Nilai Multikulturalisme Anwar Efendi *) *) Penulis adalah dosen di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Yogyakarta, kini sedang menempuh program Doktor di Universitas Negeri Malang. Abstract: A nation s reality showing cultural diversity, directed us to grasp multiculturalism principle. In this principle, there s consciousness that nation is not singular, but plural, consist of many different components. Historical realities showing that Indonesian nation stand in midst cultural diversity. We can call Indonesia as most complete plural country in the world, beside America. In America, we know et pluribus unum slogan, resemble with bhineka tunggal ika, literally stand for many but one. Latest condition showed that cultural diversity became source of conflict between nations-components. Multidimensional crisis suffered by Indonesian nation still not ending yet. Therefore, we need explicit and clear action and step to maintain society s attitude to care, respect, and understand cultural diversity values that become fundament of this nation and state. One of its steps is make cultural pluralism as educational strategy at school. Keywords: multiculturalism and multiculturalism education. Pengantar Sebuah bangsa terbentuk apabila dalam kelompok manusia itu terdapat nilai-nilai yang sama dan berkeinginan kuat untuk hidup bersama. Nilai-nilai yang sama ini dapat benar-benar sama yang dapat berakar dari kebudayaan yang lebih kurang sama, dapat pula berupa aspirasi untuk bersatu dengan dilandasi realita bahwa dalam kesamaan dan kebersamaan itu pada hakikatnya terdapat berbagai perbedaan. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan ditetapkan asas yang dianut oleh suatu bangsa. Penetapan suatu asas yang akan dianut tentu saja berdasarkan kesepakatan bersama antarkomponen penting dalam bangsa tersebut. 1 Penetapan untuk memilih suatu asas disesuaikan dengan realitas dalam bangsa itu sendiri. Realitas suatu bangsa yang menunjukkan adanya kondisi keanekaragaman budaya mengarahkan pada pilihan untuk menganut asas multi-kulturalisme. Dalam asas multikulturalisme ada kesadaran bahwa bangsa itu tidak tunggal, tetapi terdiri atas sekian banyak komponen yang berbeda. Multikluturalisme menekankan prinsip tidak ada kebudayaan yang tinggi, dan tidak ada kebudayaan yang rendah di antara keragaman budaya tersebut. Semua kebudayaan pada prinsipnya sama-sama ada. Oleh karena itu, harus diperlakukan dalam konteks duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Asas itu pulalah yang diambil oleh Indonesia, yang kemudian dirumuskan dalam semboyan bhineka tunggal ika. Pernyataan tersebut mengandung makna meskipun berbeda-beda tetapi ada keinginan untuk tetap menjadi satu. Indonesia adalah potret sebuah negeri yang memiliki keragaman budaya. Dalam pandangan Koentjaraningrat Indonesia dapat disebut sebagai negara plural terlengkap di dunia di samping Amerika. Di Amerika dikenal semboyan et pluribus unum, yang mirip dengan bhineka tunggal ika, yang berarti banyak namun hakikatnya satu. 2 Realitas historis menunjukkan bahwa bangsa Indonesia berdiri tegak di antara keragaman budaya yang ada. Salah satu contoh nyata adalah dengan dipilihnya bahasa Melayu sebagai akar bahasa persatuan yang kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia. Dengan kesadaran yang tinggi semua komponen bangsa menyepakati sebuah konsensus bersama untuk menjadikan bahasa 1

Melayu sebagai bahasa persatuan yang dapat mengatasi sekaligus menjembatani jalinan antarkomponen bangsa. Pertanyaan yang segera muncul adalah bagaimanakah realitas yang terjadi di Indonesia saat ini. Apakah pandangan multikulturalisme dan asas pluralisme tetap utuh sebagaimana yang diidamidamkan oleh para pendiri bangsa ini. Tanpa harus berpikir panjang, jawaban akan segera ditemukan. Realitas bangsa Indonesia saat ini telah jauh dari kondisi ideal yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Makna pluralisme yang mengedepankan pemahaman keragaman budaya (multikulturalisme) telah bergeser. Pluralisme kemudian berkembang ke arah dominasi suatu kelompok tertentu sehingga kelompok-kelompok lain menjadi terdesak. Dalam bahasa Ariel Heryanto semboyan kebhineka-an telah berubah arah menjadi ke-eka-an. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa keragaman budaya justru menjadi sumber pertentangan antarkomponen bangsa. Krisis multidimensional yang dialami bangsa Indonesia belum berakhir sampai saat ini. Berbagai kerusuhan dan konflik sosial, baik yang bersifat horisontal maupun vertikal sudah mengarah pada disintegrasi bangsa. Sungguh ironis ketika pada kenyataannya bahwa apresiasi dan interaksi tentang keberagaman kebudayaan itu belum sepenuhnya menjadi keniscayaan. Sebagian besar anggota masyarakat saat ini belum memahami arti penting pluralisme budaya. Masyarakat belum meyakini bahwa kehidupan dapat dibangun dalam naungan keragaman budaya. 3 Persoalan yang harus segera mendapat perhatian adalah bagaimana mengatasi kondisi di atas. Diperlukan suatu aksi dan langkah yang jelas bagaimana mengembangkan sikap masyarakat untuk peduli, hormat, dan memahami nilai-nilai keragaman budaya sebagai landasan berdirinya bangsa dan negara Indonesia? Salah satu di antaranya adalah menjadikan sekolah dengan pluralisme budaya sebagai strategi pendidikan untuk hidup bersama. Konsep Multikulturalisme Keragaman, kebhinnekaan, dan multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat pada kebudayaan di masa silam, kini, dan di waktu-waktu mendatang. Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, negara tidak mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal. Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai kepercayaan kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia multikulturalisme seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan pondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban. Multikulturalisme dapat dipandang sebagai landasan budaya (cultural basic) bagi kewargaan, kewarganegaraan, dan pendidikan. 4 2

Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah monokultural juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru. 5 Pandangan dunia multikultural secara substantif sebenarnya tidaklah terlalu baru di Indonesia. Prinsip Indonesia sebagai negara bhinneka tunggal ika, mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan, kesatuan. Pembentukan masyarakat multi-kultural Indonesia tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya, harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan. Langkah yang paling strategis dalam hal ini adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, dan bahkan informal dalam masyarakat luas. Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Alhasil, sampai saat ini wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak masyarakat majemuk (plural society). Dengan demikian, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaannya, tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. 6 Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. 7 Dalam model multikulturalisme ini, masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat mempunyai kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti mosaik tersebut. Model multikulturalisme sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah. Pendidikan Berwawasan Multikulturalisme Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan menara gading yang berusaha menjauhi 3

realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (objek) dan sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau mengerti (difference), atau politics of recognition politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan, baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakankebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti; (1) toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama; (2) bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi; (3) HAM, demokratis dan pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan. 8 Dalam konteks teoretis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju ini dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia. Secara konseptual, sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh, dan terpadu. Semesta berarti pendidikan bersifat terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara. Menyeluruh dalam arti pendidikan harus mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Selanjutnya, terpadu berarti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional. Sistem pendidikan nasional harus dapat memberi pendidikan dasar bagi setiap warga negara. Dengan demikian, setiap warga negara dapat memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar yang meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, serta menggunakan bahasa Indonesia. Kemampuan dasar itulah yang diperlukan oleh setiap warga negara untuk dapat berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam perspektif keragaman budaya, sistem pendidikan nasional harus memberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Oleh karena itu, dalam penerimaan sebagai peserta didik, tidak dibenarkan adanya perbedaan atas jenis kelamin, agama, ras, latar belakang sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi. Perluasan istilah dan konsep satu sistem pengajaran nasional menjadi satu sistem pendidikan nasional dalam UU Sistem Pendidikan Nasional memungkinkan pemberian perhatian terhadap unsur pendidikan yang berhubungan dengan kepribadian manusia. Pada gilirannya, hal tersebut diharapkan dapat mewujudkan bangsa Indonesia 4

sebagai bangsa yang bertakwa, memelihara kemanusiaan, dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman. Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan. Pendidikan merupakan social production, menyiapkan generasi muda untuk mengambil alih peran pendahulunya. Di samping mempelajari hal-hal yang bersifat akademis, pembekalan kepribadian penting artinya untuk menghadapi lingkungan dalam situasi apapun. Pendidikan diarahkan untuk memekarkan eksistensi kemanusiaan, dan bukan sekadar agar manusia dapat hidup secara biologis meteriil semata. 9 Sekolah sebagai suatu institusi diharapkan mampu menjadi persemaian bibit-bibit bagi kekuatan kehidupan masyarakat di masa datang. Pendidikan merupakan bagian dari proses pembudayaan nurani dan pemerdekaan berpikir. Semuanya diarahkan pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa dan berbudi pekerti luhur, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN Bab II, pasal 4). Sekolah sebagai Suatu Organisasi Sekolah sebagai suatu organisasi mempunyai ciri khas yang terkait dengan anggota atau bagian dari organisasi tersebut, salah satunya adalah keberadaan siswa. Siswa merupakan bagian esensial dari setiap sekolah dan mempunyai ciri khusus dibandingkan dengan unsur yang lain, seperti guru dan karyawan. Secara perorangan siswa melewatkan waktu lebih singkat dibandingkan dengan guru maupun pegawai administrasi. Oleh karena itu, sebagai suatu organisasi, sekolah terus-menerus dihadapkan pada tugas menyosialisasikan siswa-siswa baru dengan karakteristik yang berbeda-beda. Di sinilah pentingnya menerapkan prinsip struktur terbuka dalam organisasi sekolah. Dengan struktur organisasi yang terbuka memungkinkan sekolah mengantisipasi kemungkinan menyangkut keberadaan siswa. 10 Pada saat pertama memasuki sekolah, siswa akan bertemu dengan teman sebaya, guru, dan unsur organisasi sekolah lainnya dalam suasana dan lingkungan yang baru. Dengan bersekolah, anak berada dalam suatu lingkungan sosial yang berbeda dan lebih luas daripada lingkungan keluarga. Di sinilah diperlukan adanya proses sosialisasi agar anak dapat menempati dan diterima dalam lingkungan yang baru. Proses sosialisasi merupakan proses yang senantiasa ada dan dialami oleh manusia. Sosialisasi dilakukan dengan upaya internalisasi nilai-nilai dan penyesuaian serta pengubahan perilaku sejalan dengan respon yang diterima. Yang dimaksud nilai-nilai dalam hal ini adalah kebudayaan suatu masyarakat tempat proses tersebut berlangsung. Apabila nilai-nilai kebudayaan tersebut sudah 5

terinternalisasi dan terintegrasi dalam diri seseorang, akhirnya akan membentuk struktur kepribadian dasar (basic personality structure). Menurut Parson 11 struktur kepribadian dasar yang telah diletakkan dalam masa kanak-kanak bersifat relatif statis selama hidup. Secara sosiologis terdapat tiga perspektif sosialisasi yang dapat dimanfaatkan dalam proses sosialisasi anak di sekolah; (1) perspektif sosialisasi pasif, (2) perspektif sosialisasi aktif, dan (3) perspektif sosialisasi radikal. Dalam hubungannya dengan upaya menciptakan kondisi yang kondusif pada proses sosialisasi siswa, pihak sekolah, terutama guru, dapat mempertimbangkan tiga perspektif tersebut. Perspektif sosialisasi pasif mendasarkan diri pada asumsi bahwa anak hanya sekadar memberi respon kepada rangsangan-rangsangana yang diterima, baik dari guru maupun orangtua. Dalam hal ini ada suatu bentuk pengabaian kemungkinan bahwa siswa akan mengalami beberapa konflik dalam dirinya mengenai perilaku yang layak. Perspektif sosialisasi aktif berasumsi bahwa anak tidak sekadar memberi respon pada perannya melainkan secara aktif menciptakan perannya dalam kondisi-kondisi tempat ia hidup. Seorang anak sebagai individu-individu menciptakan model sosial mereka, merundingkan makna-makna yang dianut bersama dan mendefinisikan situas-situasi tempat mereka bertindak. Selanjutnya, perspektif sosialisasi radikal beranggapan bahwa sosialisasi berlangsung dalam suatu kelompok atau masyarakat yang berlapis-lapis. Dalam arti bahawa latar belakang sosial siswa sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi di sekolah. Perspektif ini mengakui bahwa tindakan seorang siswa merupakan bagian dari suatu struktur sosial yang lebih luas. Pada akhirnya, sekolah diharapkan dapat menjamin jalannya proses sosialisasi anak didik. Proses sosialisasi harus diarahkan pada terbentuknya struktur kepribadian yang timbuh dan berkembang menjadi sistem kepribadian yang stabil. Dengan kepribadian yang mantap dan stabil setiap anak didik akan memiliki persiapan dan kesiapan melakukan peran-peran baru di masa yang akan datang. Faktor terpenting dalam proses sosialisasi adalah keinginan untuk melakukan sesuatu dengan baik, kepuasan untuk mencapai prestasi pribadi. Hal itulah yang dinamakan kebutuhan akan prestasi (need of achievment) sebagaimana yang dikemukakan oleh D.C. McCelland. Seseorang yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi lebih tinggi cenderung untuk bekerja lebih keras, belajar lebih cepat, bekerja sebaik mungkin. Selanjutnya, Rosen menjelaskan bahwa orientasi prestasi mempunyai dua dimensi; pertama, karakteristik kepribadian terhadap prestasi, yaitu dorongan dari dalam untuk melebihi orang lain. Kedua, karakteristik kultural yang menjunjung tinggi nilai prestasi. 12 Dalam rangka keberhasilan proses sosialisasi dan pembentukan struktur kepribadian yang mantap, tugas utama sekolah adalah membangun kebersamaan dalam suasana keberagaman. Dengan kata lain, yang lebih penting bagi sekolah bukan menjamin adanya kesatuan dengan menegasikan keanekaan, tetapi menjaga kebersamaan dalam ke-bhineka-an. Pada aspek inilah sikap dan nilai multikulturalisme tampak jelas relevansinya. Ditinjau dari perspektif yang lebih luas, sekolah harus menjadi tempat tumbuhnya bibit-bibit demokrasi. Sebagaimana yang diuangkapkan Azumardi Azra bahwa pemeliharaan tradisi 6

demokrasi tidak diwariskan begitu saja. Pola berpikir, tindakan, dan juga budaya demokrasi adalah sesuatu yang harus disosialisasikan, diajarkan, serta diaktualisasikan kepada generasi muda melalui pendidikan. 13 Dengan demikian, sudah menjadi suatu hal yang sangat penting apabila sekolah ikut membentuk pola pikir, perilaku, dan budaya pada anak didik untuk selalu menghargai keberagaman. Lingkungan sekolah harus memungkinkan siswa dapat membiasakan diri berada dalam kebersamaan tanpa mengorbankan kebhinekaan sebagai suatu hal yang bersifat asasi dalam diri manusia. Penutup Dalam setiap sisi kehidupan, manusia selalu berada pada dua sisi, yaitu sebagai individu dengan segala karateristiknya dan sebagai bagian dari kelompok manusia yang lain. Dua sisi tersebut menempatkan manusia pada dimensi personal dan dimensi sosial. Dimensi sosial akan tampak eksistensinya bila didukung oleh keberadan personal, seba-liknya dimensi personal akan semakin bermakna jika berada pada konteks soisal. Dimensi personal membawa impilkas ke-bhineka-an yang dibawa masing-masing individu. Sementara itu, dimensi sosial mengandaikan adanya ke-ekaan sebagai wujud menyatunya ke-bhineka-an. Hal itulah yang menjadi inti dari adanya pluralisme budaya. Sikap mengakui ke-bhineka-an dalam ke-eka-an tidak serta merta dapat tumbuh pada diri setiap manusia. Hal itu bersumber dari karakteristik individual yang melekat pada diri manusia. Oleh karena itulah diperlukan suatu institusi untuk menjaga tumbuh kembangnya sikap tersebut. Salah satu lembaga yang dimaksud adalah lembaga pendidikan, baik yang bersifat formal maupun nonformal. Pelaksanaan pembelajaran di sekolak diharapkan dapat mempertemukan anak didik dengan pikiran, gagasan, harapan, dari berbagai pihak. Semua hal itu pada akhirnya akan sampai pada diri anak didik dan melahirkan pemahaman yang terwujud pada perilaku. Melalui pendidikan, manusia dibudayakan. Salah satu tujuan akhir pendidikan adalah untuk meneruskan dan menanamkan kebudayaan kepada setiap warga pemilik budaya tersebut. Endnote 1 Budi Darma, Sastra dan Pluralisme, dalam Makalah SEMNAS di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Oktober 2001. 2 I Made Bandem, Seni dalam Perspektif Pluralisme Budaya, dalam Makalah SEMNAS di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Oktober 2001. 3 Ibid. 4 Parsudi Suparlan, Menuju Indonesia Baru, dalam Perhimpunan Indonesia Baru Asosiasi Antropologi Indonesia (Yogyakarta: TP, 2001). 2003. 5 Parsudi Suparlan. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, dalam http:// www.scripps.ohiou.edu/new. 6 Azyumardi Azra, Pendidikan Multikultural, Membangun Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika, dalam Republika, Rabu 3 September 2003. 7 Parsudi Suparlan, Menuju Indonesia Baru. 7

8 Khoirul M. Muqtafa, Paradigma Multikultural, dalam Sinar Harapan, Kamis, 05 Februari 2004. 9 Fuad Hasan, Cacatan Perihal Sastra dan Pendidikan, dalam Warta HISKI No. 9/10 Desember 1993. 10 Philip Robinson, Beberapa Perpsektif Sosiologi Pendidikan, Terj. Hasan Basri (Jakarta: Penerbit Radjawali, 1986). 11 Ibid., hal. 58. 12 Ibid. 13 Azyumardi Azra, Pendidikan Multikultural. Daftar Pustaka Azra, Azyumardi. 2003. Pendidikan Multikultural, Membangun Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika, dalam Republika, Rabu 3 September 2003. Bandem, I Made. 2001. Seni dalam Perspektif Pluralisme Budaya, dalam Makalah SEMNAS di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Oktober 2001. Darma, Budi. 2001. Sastra dan Pluralisme, dalam Makalah SEMNAS di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Oktober 2001. Ma hady, Muhaemin. 2004. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural, dalam http://www.pendidikan.network. Hasan, Fuad. 1993. Cacatan Perihal Sastra dan Pendidikan, dalam Warta HISKI No. 9/10 Desember 1993. Muqtafa, Khoirul M. 2004. Paradigma Multikultural, dalam Sinar Harapan. Kamis, 5 Februari 2004. Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perpsektif Sosiologi Pendidikan. Terj. Hasan Basri. Jakarta: Penerbit Radjawali. Rusyana, Yus. 1991. Untuk Meningkatkan Pengajaran Sastra bagi Pengembangan Budaya Bangsa Diperlukan Pengalaman Membaca Hasil Sastra yang Bermakna, dalam Makalah Semnas Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: FPBS IKIP Yogyakarta.. 2001. Menuju Pengajaran Sastra yang Ideal, dalam Makalah Workshop Kurikulum. Malang: Fakultas Sastra Universitas Malang. Suparlan, Parsudi. 2001. Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Suku Bangsa atau Kebudayaan, dalam Makalah Seminar.. 2001. Menuju Indonesia Baru, dalam Perhimpunan Indonesia Baru Asosiasi Antropologi Indonesia. Yogyakarta: TP.. 2003. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, dalam http://www.scripps.ohiou.edu/new. Harian Kompas, pada 18 dan 20 oktober 2001. 8