LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KERANGKA TEORI. ini, yang berkaitan dengan: (1) pengertian pragmatik; (2) tindak tutur; (3) klasifikasi

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup, terutama bagi kehidupan manusia. Setiap manusia akan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam pembelajaran di sekolah menengah atas, pelajaran sains dianggap

BAB II KAJIAN TEORI. Fraser dalam Irawan (2010:7) mendefinisikan kesopanan adalah property

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 TINDAK TUTUR DAN SLOGAN IKLAN. Pandangan Austin (Cummings, 2007:8) tentang bahasa telah menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. situasi tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 82) yang. menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang

BAB I PENDAHULUAN. bersosialisasi mereka membentuk sebuah komunikasi yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. umum dari komunikasi adalah percakapan. Percakapan menurut Levinson

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Jurnal Sasindo Unpam, Volume 3, Nomor 3, Desember 2015 PELANGGARAN PRINSIP-PRINSIP KESOPANAN PADA MEMO DINAS DI SALAH SATU PERGURUAN TINGGI DI BANTEN

I. PENDAHULUAN. Bagian pendahuluan dalam tesis ini terdiri dari, latar belakang yang berisi hal-hal

BAB I PENDAHULUAN. ide, gagasan, isi pikiran, maksud, realitas dan sebagainya. mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang digunakan.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah pemikiran rancangan suatu karya dasar yang ada diluar bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Levinson (1987: 60) disebut dengan FTA (Face Threatening Act). Menurut Yule

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan, konsep, dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. sebuah tujuan bersama. Di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. (Alwi, dkk. 203:588). Sesuai dengan topik dalam tulisan ini digunakan beberapa

BAB I PENDAHULUAN. identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

BAB I PENDAHULUAN. berupasistemlambangbunyiujaranyang kompleks dan aktif. Kompleks,

BAB I PENDAHULUAN. manusia satu dengan lainnya. Manusia pasti menggunakan bahasa untuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L.

BAB I PENDAHULUAN. Berbahasa merupakan aktivitas sosial bagi manusia. Seperti aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. diperhatikan oleh para pengguna bahasa itu sendiri. saling memahami apa yang mereka bicarakan. Fenomena ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Penggunaan bahasa

ANALISIS PRAGMATIK PELANGGARAN TINDAK TUTUR GURU DI SMA LENTERA

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antarpesona dan memelihara hubungan sosial. Tujuan percakapan bukan

BAB I PENDAHULUAN. misalnya di rumah, di jalan, di sekolah, maupundi tempat lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Bahasa merupakan sebuah hal yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi, sebab bahasa adalah alat komunikasi yang sangat penting,

TINJAUAN PRAGMATIK TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM SCRIP ADA APA DENGAN CINTA? KARYA RUDI SOEDJARWO

SEMINAR NASIONAL PRASASTI (Pragmatik: Sastra dan Linguistik)

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Tindak tutur adalah bagian dari pragmatik yang digagasi oleh Austin

STRATEGI KESANTUNAN PADA PESAN SINGKAT (SMS) MAHASISWA KE DOSEN

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia berkomunikasi menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. dalam penelitian ini. Hasil penelitian yang memiliki kaitan dengan penelitian ini,

BAB I PENDAHULUAN. karena bahasa merupakan sistem suara, kata-kata serta pola yang digunakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pendapat Austin (1962) yang kemudian dikembangkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. mendalam adalah pragmatik. Pragmatik merupakan ilmu yang mempelajari

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat untuk menyampaikan pesan, ungkapan perasaan, dan emosi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu tuturan saat seseorang

BAB I PENDAHULUAN. pertimbangan akal budi, tidak berdasarkan insting. dan sopan-santun non verbal. Sopan-santun verbal adalah sopan santun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada empat, yaitu tuturan,

TUTURAN IKLAN KECANTIKAN PADA MAJALAH KARTINI DALAM KAJIAN PRAGMATIK

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahasa dapat menjalin hubungan yang baik, dan dapat pula

BAB 5. KESIMPULAN dan SARAN. pemakaiannya. Bahasa juga kerap dijadikan media dalam mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Septianingrum Kartika Nugraha Universitas Sebelas Maret Surakarta

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Pustaka. penelitian yang bersumber dari acara infotainment talkshow baru pertama kali

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sosial kita selalu berkomunikasi dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Oleh: Wenny Setiyawan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhamadiyah Purworejo

ANALISIS PESAN BAHASA KELUHAN WARGA DESA PILANG KECAMATAN RANDUBLATUNG KABUPATEN BLORA SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia kita selalu menggunakan bahasa untuk berkomunikasi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat

BAB I PENDAHULUAN. dengan usia pada tiap-tiap tingkatnya. Siswa usia TK diajarkan mengenal

BAB I PENDAHULUAN. ucap yang bersifat arbiter dan konvensional, yang dipakai sebagai alat komunikasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Prinsip kerja..., Ratih Suryani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Rapat sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Rasanya tidak

JENIS TINDAK TUTUR GURU DAN RESPON SISWA DALAM KBM DI SMPN SURAKARTA. Woro Retnaningsih IAIN Surakarta

I. PENDAHULUAN. lain, sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan

KEKUASAAN DALAM BAHASA (ANALISIS PERCAKAPAN MELALUI KLASIFIKASI TINDAK TUTUR)

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan manusia, karena melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan

PRINSIP KESANTUNAN DAN KEBERHASILAN KETERAMPILAN BERBICARA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan pendekatan

TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU TAMAN KANAK-KANAK DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR TK AISYIYAH 29 PADANG

PERAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI ALAT PEMERSATU DI KALANGAN PEDAGANG PASAR TRADISIONAL MODERN (PTM) KOTA BENGKULU

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hasil penelitian sebagai

I. PENDAHULUAN. Manusia umumnya mempunyai bidang keahlian untuk menunjang kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan sesama.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, mulai dari sarana untuk menyampaikan informasi, memberi perintah, meminta

KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA PADA PESAN SINGKAT (SMS) MAHASISWA KE DOSEN

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Tesis ini membahas tentang pelanggaran maksim-maksim prinsip

TINDAK TUTUR DALAM DIALOG DRAMA KISAH CINTA 40 MENIT KARYA DIDI ARSANDI

BAB I PENDAHULUAN. kalimat. Objek dalam sebuah kalimat adalah tuturan. Suatu tuturan dapat dilihat

I. PENDAHULUAN. Suatu kenyataan bahwa manusia mempergunakan bahasa sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. dalam bukunya Speech Act: An Essay in The Philosophy of Language dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain. Mereka saling berinteraksi dengan orang di sekitarnya maupun

BAB I PENDAHULUAN. selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik dia bertindak sebagai. sebuah tuturan dengan maksud yang berbeda-beda pula.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri di dunia ini, manusia

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan sebuah alat komunikasi. Alat komunikasi tersebut digunakan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, harapan, pesan-pesan, dan sebagainya. Bahasa adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk dapat berkomunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Cara pengungkapan maksud dan tujuan berbeda-beda dalam peristiwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pragmatik merupakan salah satu ilmu yang dimasukkan dalam kurikulum tahun Ilmu

BAB I PENDAHULUAN. sekolah, sidang di pengadilan, seminar proposal dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah di dalam interaksi lingual itu.

BAB I PENDAHULUAN. Film The Great Gatsby adalah film visual 3D karya Baz Luhrmann yang

Transkripsi:

LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA ANALISIS TANYA-JAWAB BERBAHASA JEPANG DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA ANTARA WISATAWAN JEPANG DAN PEMANDU WISATA INDONESIA DI KAWASAN WISATA CANDI BOROBUDUR Oleh: 1. Akhmad Saifudin,S.S.,M.Si. (Ketua) 2. Bayu Aryanto,S.S.(Anggota) 3. Iwan Setiya Budi,S.S.(Anggota) DIBIAYAI DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI SESUAI SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN HIBAH PENELITIAN NO. 005/SP2H/PP/DP2M/III/2007 TANGGAL 29 MARET 2007 PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO SEMARANG NOVEMBER, 2007

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN HASIL PENELITIAN DOSEN MUDA 1. Judul Penelitian : Analisis Tanya-Jawab Berbahasa Jepang dalam Komunikasi Lintas Budaya Antara Wisatawan Jepang dan Pemandu Wisata Orang Indonesia di Kawasan Wisata Candi Borobudur 2. Bidang Penelitian : Sastra dan Filsafat (Linguistik) 3. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap : Akhmad Saifudin,S.S.,M.Si. b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. NIP. : 2000.242 d. Pangkat/Golongan : Penata Muda III-a/Asisten Ahli e. Jabatan : Dosen f. Fakultas/Jurusan : FBS/Sastra Jepang 4. Jumlah Tim Peneliti : 3 orang 5. Lokasi Penelitian : Candi Borobudur 6. Waktu Penelitian : 10 bulan 7. Biaya : Rp.9.600.000,00 Semarang, 10 November 2007 Mengetahui, Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra Ketua Peneliti, Mahmud,S.E.,M.M. NIP. 1995.078 Akhmad Saifudin,S.S.,M.Si. NIP.2000.242 Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Dian Nuswantoro Zaenal Arifin,S.E.,M.Kom. NIP.1993.041

PRAKATA Kajian kebahasaan tidak hanya berkutat pada masalah-masalah internal bahasa, seperti tata bahasa dan tata bunyi. Melalui penggunaan bahasa kita dapat mengkaji banyak hal di luar bahasa, seperti masalah budaya, sosial dan prilaku individu dalam interaksi. Penelitian ini juga membahas penggunaan bahasa yang dikaji tidak berdasarkan segi internal bahasa. Penelitian ini membahas penggunaan bahasa berdasarkan fungsi pragmatis, yaitu membahas maksud tuturan pertanyaan berdasarkan konteksnya, serta membahas mekanisme percakapan berdasarkan prinsip kerja sama. Penelitian juga membahas kesantunan bahasa Jepang dan latar belakang social budaya Jepang dalam komunikasi lintas budaya. Alhamdulillah, akhirnya penelitian yang berjudul Analisis Tanya-Jawab Berbahasa Jepang dalam Komunikasi Lintas Budaya antara Wisatawan Jepang dan Pemandu Wisata Indonesia di Kawasan Wisata Candi Borobudur dapat diselesaikan. Selesainya penelitian ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak, seperti 1) Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Departemen Pendidikan Nasional yang telah mendanai penelitian ini. 2) Lembaga Universitas Dian Nuswantoro secara keseluruhan, termasuk di dalamnya Rektorat dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, yang telah mendukung dan membina dalam penelitian, 3) Ogata Ayumi, Tsuboi Yuuichii, Tokuzumi Natsuko, Naroni, dan salah seorang pemandu wisata, serta pihak PT. Taman Wisata Candi Borobudur yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian. 4) Dekan dan Sekretaris Dekan, serta rekan-rekan dosen dan staf administrasi Fakultas Bahasa dan Sastra Udinus, 5) mahasiswa Program Studi Sastra Jepang Udinus. Atas segala bantuan dan kerja sama, kami mengucapkan terima kasih. Penelitian ini sebenarnya belum benar-benar selesai, dalam arti bahwa masih sangat terbuka untuk saran dan kritik, serta penelitian lanjutan agar penelitian ini lebih sempurna. Akhir kata, mudah-mudahan hasil penelitian ini dapat bermanfaat. Amiin. Tim Peneliti

SISTEMATIKA LAPORAN Halaman HALAMAN PENGESAHAN... i A. LAPORAN HASIL PENELITIAN... RINGKASAN DAN SUMMARY... ii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... vii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB I PENDAHULUAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA... BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN... BAB IV METODE PENELITIAN... BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... B. DRAFT ARTIKEL ILMIAH... C. SINOPSIS PENELITIAN LANJUTAN...

BAB 1 PENDAHULUAN Penelitian ini difokuskan pada pembahasan atau analisis tanya-jawab dalam komunikasi percakapan lintas budaya antara wisatawan orang Jepang dan pemandu wisata orang Indonesia yang terjadi di kawasan wisata Candi Borobudur. Tema penelitian ini sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan, padahal masalah ini sangat penting karena mengingat bahwa keberhasilan komunikasi percakapan lintas budaya ini secara langsung akan dapat meningkatkan citra pelayanan wisata Indonesia, khususnya pelayanan terhadap wisatawan Jepang. Kegiatan percakapan menduduki porsi yang sangat besar dan penting dalam komunikasi antarpersona. Manusia, sebagai makhluk sosial melakukan kegiatan bercakap-cakap dalam rangka membentuk interaksi dengan manusia lain dan memelihara hubungan sosial yang harmonis. Tujuan percakapan, yang merupakan produk bahasa, bukan semata-mata untuk saling bertukar informasi melainkan juga untuk menciptakan dan memelihara realitas sosial. Dalam kaitannya dengan hal ini, Brown dan Yule (1983) menyatakan bahwa kegiatan percakapan merupakan salah satu wujud interaksi. Sementara Servic (1975) menyatakan bahwa kegiatan percakapan sebagai salah satu wujud interaksi sosial dapat dikembangkan melalui tiga cara, yakni memberi pertanyaan, perintah, dan pernyataan. Ketiga cara tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dalam satu peristiwa percakapan maupun dapat digunakan sendirisendiri. Penerapannya misalnya dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, pertanyaanjawaban, pernyataan-persetujuan atau penolakan, dan perintah-persetujuan atau penolakan (Bustanul Arifin dan Abdul Rani, 2000). Pemakaian bentuk bahasa pertanyaan merupakan salah satu bagian fundamental dalam pemakaian bahasa, terutama pada pemakaian bahasa interaksional, atau pemakaian bahasa yang melibatkan adanya arus timbal balik. Dalam kegiatan seharihari pertanyaan dapat digunakan untuk memperoleh informasi, memberi perintah, membuka percakapan, mengembangkan percakapan, mengontrol percakapan, dan lainlain. Seperti juga apa yang dikemukakan oleh Allen (1987) bahwa percakapan dapat berfungsi untuk (1) meminta informasi, izin, dan konfirmasi, (2) mengubah topik

pembicaraan, (3) meminta penjelasan, pengulangan, pembuktian kebenaran, atau juga meminta informasi yang lebih terinci, dan (4) mengembangkan percakapan. Pertanyaan, sebagai satuan kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat tertentu, dapat dikaji berdasarkan kaidah linguistik dan kaidah pragmatik. Kaidah linguistik yang dimaksud di sini adalah kaidah-kaidah yang berlaku menurut sistem internal bahasa tertentu, misalnya menyangkut tata bahasa dan tata bunyi. Sementara kaidah pragmatik menyangkut sisi eksternal bahasa yang mengemban suatu fungsi tertentu seperti fungsi pesan (meminta informasi, saran, konfirmasi, dan lain-lain), mengemban tatahubungan, interaksi, dan konteks penggunaan bahasa (Searle, 1969). Dalam penelitian ini, akan dibahas pertanyaan dan sekaligus jawaban dalam peristiwa komunikasi berbahasa Jepang yang terjadi di kawasan wisata Candi Borobudur. Oleh karena setting peristiwa terjadi di Indonesia, dalam hal ini di kawasan Candi Borobudur, dan melibatkan dua pihak berlatarbelakang budaya yang berbeda, maka komunikasi yang terjadi adalah komunikasi lintas budaya, yaitu budaya Jepang dan Indonesia. Bahasa yang dikaji adalah bahasa Jepang yang digunakan dalam percakapan antara wisatawan Jepang dan orang Indonesia. Sepengetahuan peneliti, kajian mengenai bahasa Jepang di Indonesia sangat jarang dilakukan, sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat terutama dalam bidang penelitian kajian bahasa Jepang. Penelitian ini lebih difokuskan pada segi pragmatik pada penggunaan pertanyaan dan jawaban yang dilakukakan oleh subjek penelitian, yaitu wisatawan Jepang dan pemandu wisata asal Indonesia. Segi pragmatik di sini menyangkut tindak tutur pertanyaan yang digunakan, aspek kesantunan bahasa Jepang, dan implikatur pragmatis yang digunakan dalam percakapan. Dengan demikian penelitian ini akan mengkaji faktor-faktor di luar kebahasan yang melatarbelakangi terjadinya tindak komunikasi pertanyaan dan jawabannya. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor sosial budaya dari penggunaan bahasa Jepang sebagai bahasa kajian. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini merupakan bagian dari ilmu pragmatik, yaitu mengenai tindak tutur pertanyaan-jawaban dan implikatur percakapan. Tindak tutur yang dimaksud adalah seperti yang diutarakan oleh Searle (1969; hal senada juga dikemukakan oleh perintis teori tindak tutur Austin, 1962) bahwa...speaking a language is performing speech acts, acts such as making statements, giving commands,

asking questions, making promises, and so on. Sementara implikatur percakapan yang dimaksud adalah meliputi implikatur percakapan yang bersumber dari prinsip kerja sama (Grice, 1975) dan prinsip kesantunan (Leech, 1983). Dalam penelitian ini terdapat empat fokus pertanyaan penelitian yang akan dikaji yang dirumuskan sebagai berikut. 1. Fungsi pragmatik apakah yang terdapat dalam pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh wisatawan Jepang kepada pemandu wisata orang Indonesia? Masalah ini akan dikaji dengan menggunakan teori tindak tutur Searle yang merupakan pengembangan yang lebih sistematis dari teori tindak tutur Austin. 2. Apakah dalam situasi percakapan pertanyaan-jawaban yang terjadi mematuhi atau terjadi penyimpangan prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan? Masalah ini akan dikaji berdasarkan prinsip kerjasama Grice (1975). 3. Bagaimanakah penggunaan tindak tutur kesantunan bahasa dalam percakapan? Masalah ini akan dikaji berdasarkan teori kesantunan Ide Sachiko (1982,1986). 4. Faktor-faktor sosial budaya Jepang yang bagamana yang melatarbelakangi tindak tutur pertanyaan? Untuk mengkaji masalah ini digunakan teori-teori sosial budaya seperti yang dikemukakan oleh Nakane Chie (1970), Lebra (1976).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Di dalam bab ini akan dikemukakan dua hal, yakni kajian pustaka mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan kajian teoretis yang digunakan sebagai alat analisis. Kajian Pustaka Ilmu Pragmatik yang merupakan payung teoretis penelitian ini mulai berkembang sejak awal tahun 1960-an. Pelopornya adalah J.L. Austin yang mengembangkan teori tindak tutur yang menjadi salah satu pusat kajian Pragmatik. Dalam teori ini dikemukakan gagasan mengenai tuturan performatif dan konstatif. Teori tindak tutur kemudian dikembangkan oleh murid Austin, yang bernama John Searle. Searle membuat kategorisasi tindak tutur yang dibagi menjadi lima kategori, yaitu tindak representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Adapun pemakaian bentuk bahasa pertanyaan pernah diteliti oleh Goody (1978) yang meneliti fungsi pertanyaan dalam wawancara pada budaya Afrika Barat. Hasilnya menyatakan bahwa pertanyaan tidak hanya berfungsi untuk meminta informasi, melainkan juga dapat digunakan untuk memerintah, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status. Mengenai analisis pertanyaanjawaban pernah dilakukan oleh Bustanul Arifin (2000) yang meneliti implikatur percakapan pertanyaan-jawaban yang terjadi di pengadilan. Hasilnya menyatakan bahwa dalam percakapan tanya-jawab di pengadilan terjadi tindak direktif, ekspresif, dan representatif serta menyimpulkan bahwa secara umum prinsip kerja sama dipatuhi meskipun beberapa tindak percakapan melanggar prinsip kerja sama. 3. 2 Kajian Teoretis 3.2.1 Teori Tindak Tutur Teori ini secara garis besar menyatakan bahwa fungsi sebuah tuturan tidak hanya menyampaikan informasi, sebenarnya terdapat tindak melaksanakan sesuatu dalam sebuah tuturan. Misalnya dalam sebuah tuturan Berkat bantuan Bapak, saya

dapat melanjutkan kuliah. Tuturan ini sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menyampaikan informasi, karena besar kemungkinan petutur sudah tahu informasi tersebut. Tuturan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan suatu tindakan, yakni tindak berterima kasih. Studi tentang tindak tutur kemudian dilanjutkan oleh murid Austin, yaitu Searle (1969) melalui bukunya yang berjudul Speech Act: An Essay in the Philosophy of Language. Austin dan Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis tindak tutur terbagi atas tiga macam yang terjadi secara serentak (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, dan (3) tindak perlokusi. Sehubungan dengan tindak lokusi, Lyons (1977) menjelaskan bahwa tindak lokusi adalah suatu tindak berkata, yaitu menghasilkan ujaran dengan makna dan referensi tertentu. Dengan demikian, sesuatu yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi ujaran yang diungkapkan oleh penutur. Tindak ini merupakan dasar bagi diberlakukannya tindak tutur lain, lebih-lebih terhadap tindak ilokusi (Austin 1962). Dalam kaitannya dengan tindak ilokusi, Austin (1962) mengatakan bahwa tindak mengatakan sesuatu (of saying) berbeda dengan tindak dalam mengatakan sesuatu (in saying). Tindak mengatakan sesuatu hanyalah bersifat menuturkan sesuatu, tindak dalam mengatakan sesuatu mengandung tanggung jawab penutur untuk melaksanakan sesuatu sehubungan dengan isi ujarannya. Austin menyatakan bahwa tindak dalam melakukan sesuatu inilah yang disebutnya tindak ilokusi dan tindak mengatakan sesuatu disebutnya lokusi. Dalam tindak ilokusi terdapat daya yang mewajibkan penutur untuk melaksanakan tindak tertentu. Apabila tindak lokusi lebih ditekankan pada tuturan yang diungkapkan, dan ilokusi pada diri penutur, maka tindak perlokusi lebih ditekankan pada diri petutur. Austin (1962,130) mengatakan bahwa mengungkapkan suatu tuturan sering menimbulkan pengaruh bagi petutur. Implikasi tindak lokusi terhadap petutur inilah yang disebut tindak perlokusi, yaitu tindak tutur yang menghasilkan pengaruh tertentu bagi petutur, misalnya menjadikannya marah, senang, simpati, dan sebagainya. Klasifikasi yang dibuat oleh Searle (1975) terutama dalam hal tindak ilokusi adalah sebagai berikut. 1. Tindak tutur representatif (asertif), yaitu tindak tutur yang menyatakan suatu keadaan yang memungkinkan adanya penilaian benar atau salah. Contoh dari tindak tutur ini adalah kata kerja menyatakan, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan.

2. Tindak tutur direktif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan agar petutur melakukan suatu tindak yang disebutkan dalam tuturan, misalnya menyuruh, memohon, menyarankan. 3. Tindak tutur komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melakukan apa yang disebutkan dalam tuturannya, misalnya berjanji dan bersumpah. 4. Tindak tutur ekspresif, yaitu tindak tutur yang menyatakan sikap atau penilaian atas suatu keadaan tertentu, misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, meminta maaf. 5. Tindak tutur deklaratif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan atau menciptakan suatu keadaan baru, misalnya memutuskan, menyatakan, membatalkan, mengizinkan. 3.2.2 Prinsip Kerja Sama Prinsip kerja sama dikemukakan oleh Grice (1975) digunakan untuk mengatur percakapan agar tercapai suatu kerja sama antara penutur dan petutur. Grice menyatakan bahwa berikan bantuanmu seperti yang dibutuhkan pada tingkat di mana hal itu terjadi, sesuai dengan tujuam atau arah pertukaran pembicaraan yang mana Anda terlibat di dalamnya. Untuk mendukung pernyataan tersebut, Grice melengkapi dengan empat maksim yang perlu diperhatikan dalam suatu tindak percakapan, yaitu sebagai berikut. 1. Maksim Kuantitas, berikan jumlah informasi yang tepat, yaitu a. Sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan. b. Sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan. 2. Maksim Kualitas, usahakan agar sumbangan informasi Anda benar, yaitu a. Jangan mengatakan suatu yang Anda yakini bahwa itu tidak benar. b. Jangan mengatakan suatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan. 3. Maksim Hubungan, usahakan agar perkataan Anda ada relasinya. 4. Maksim Cara, usahakan agar mudah dimengerti, yaitu a. Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar. b. Hindarilah ketaksaan. c. Usahakan agar ringkas (hindarilah pernyataan-pernyataan yang panjang lebar dan bertele-tele).

d. Usahakan agar Anda berbicara dengan teratur. 3.2.3 Kesantunan Menurut Fraser (1978), kesopanan adalah a property associated with an utterance in which, in the hearer s opinion, the speaker has neither exceeded any rights nor failed to fulfill any obligation. (sebuah properti yang berkaitan dengan tuturan yang menurut pendapat petutur, penutur tidak melampaui hak-haknya maupun gagal dalam memenuhi kewajibannya). Kesopanan tidak hanya berkaitan dengan aturan-aturan, melainkan juga strategi. Dasar yang terutama dalam kesopanan menurutnya adalah conversation contract, yaitu adanya batasan-batasan tertentu dari suatu topik yang dapat dibicarakan antara penutur dan petutur. Fraser membedakan antara istilah kesopanan (politeness) dan penghormatan (deference). Menurutnya, penghormatan adalah component of activity which functions as a symbolic means by which appreciation is regularly conveyed. (komponen tindakan yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyampaikan penghargaan secara tetap). Fraser membagi kesopanan dalam tiga aspek, yaitu 1) kesopanan sebagai properti yang terkait dengan tindakan sukarela, verbal maupun nonverbal, atau dengan kata lain orang dikatakan sopan jika tindakannya sopan; 2) fakta yang menyatakan bahwa tidak ada kalimat sopan atau tidak sopan, dalam hal ini bergantung pada konteks pembicaraan yang dilakukan; dan 3) fakta bahwa apakah tuturan terdengar sopan atau tidak bergantung pada pendapat petutur. Sementara Thomas (1995), menyatakan bahwa Kesopanan merupakan penunjukan tenggang rasa terhadap hal lainnya, dan dapat dimanifestasikan melalui sikap sosial di dalam komunikasi. Kadangkadang kita tidak mengetahui motivasi apa yang melatari orang atau alter menggunakan kesopanan. Kita hanya dapat melihat penutur menuturkan sesuatu dan petutur melakukan reaksi atas tuturan tersebut.

Seperti halnya Fraser, Thomas juga membedakan antara kesopanan dan penghormatan. Jika kesopanan adalah masalah yang umum dari tenggang rasa, maka penghormatan adalah suatu hal yang dibuat menurut bentuk tata bahasa dari suatu bahasa tertentu. Contoh kesopanan misalnya, memberikan tempat duduk kepada orang yang tua di dalam kereta yang penuh, dan contoh penghormatan misalnya, tindakan berdiri ketika peserta sidang MPR ketika presiden memasuki ruang sidang. Lebih jauh, Lakoff (1995) menyatakan bahwa kesopanan dalam percakapan digunakan lebih untuk menghindari pertentangan. Ini penting dalam rangka memperkokoh dan memperkuat hubungan interaksional. Lakoff membuat dua kaidah kompetensi pragmatik, yaitu, be clear and be polite. Kesopanan, menurut Lakoff, menjadi faktor utama dalam penggunaan bahasa hormat. Menurut Peter Grundy (1995) kesopanan adalah salah satu contoh paradigma pemakaian pragmatik dan merupakan manivestasi konsep yang lebih luas dari etika atau perilaku yang tepat. Faktor penentu pilihan bahasa dalam kesopanan ditentukan oleh hubungan power-distance interactant dan tingkat ketergantungan atau kebutuhan akan sesuatu penutur kepada petuturnya. Dalam berbuat sopan, penutur mencoba menciptakan konteks atau membuat strategi agar dipandang tepat oleh petuturnya. Leech (1983), dalam bukunya The Principles of Pragmatics mengklarifikasikan kesopanan dalam dua kategori, yaitu kesopanan absolut dan relatif. Konsep absolut mengacu pada norma-norma umum yang berlaku pada setiap masyarakat bahasa yang ikut mempengaruhi kesopanan berbahasa. Konsep kesopanan absolut ini menjadi bidang kajian dari pragmatik umum. Sebaliknya kesopanan relatif bervariasi mengikuti standar yang hanya berlaku secara khusus di antara masyarakat bahasa tertentu. Leech mengemukakan prinsip-prinsip kesopanan yang dapat digunakan untuk menganalisis tuturan. Prinsip-prinsip ini digunakan untuk menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan, karena hanya dengan hubungan-hubungan yang demikian kita dapat mengharapkan bahwa peserta yang lain akan bersedia bekerja sama. Secara umum prinsip kesopanan dapat dirumuskan sebagai berikut, gunakanlah sesedikit mungkin tuturan- yang mengungkapkan tindakan yang tidak sopan dan gunakanlah sebanyak mungkin tuturan yang sopan. Dalam hubungannya dengan tindak tutur terima kasih, Leech mengkategorikan sebagai tindak tutur convivial menyenangkan, yaitu tindak tutur kesopanan positif yang dapat dicapai dengan penambahan keterangan intensifier

dan piranti prosodic (berhubungan dengan tekanan, nada, atau intonasi). Dalam kaitannya dengan prinsip kesantunan, Leech memberikan enam maksim kesantunan sebagai berikut. 1. Maksim kearifan (tact maxim) a. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin. b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. 2. Maksim kedermawanan (generocity maxim) a. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin. b. Buatlah kerugian diri sebesar mungkin. 3. Maksim pujian (approbation maxim) a. Kecamlah orang lain sesedikit mungkin. b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin. 4. Maksim kerendahan hati (modesty maxim) a. Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin. b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. 5. Maksim kesepakatan (agreement maxim) a. Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin. b. Usahakan agar kesepakatan antara diri dan orang lain sebanyak mungkin. 6. Maksim simpati (sympathy maxim) a. Kurangilah rasa anti-pati antara diri dan orang lain hingga sekecil mungkin. b. Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan orang lain. Kajian mengenai kesopanan yang banyak memperoleh perhatian adalah kajian yang dilakukan oleh Brown dan Levinson (1987), dalam buku mereka yang berjudul Politeness: Some Universals in Language Usage. Dengan data yang dikumpulkan dari penutur Tamil di India Selatan, penutur Tzeltal di Meksiko, serta penutur Inggris, mereka mengemukakan sebuah deskripsi sistematis fenomena kesopanan berbahasa yang dapat digunakan untuk mendukung model penjelasan dan analisis kesopanan bahasa. Mereka membahas nosi muka yang merupakan investasi emosi, yang dalam sebuah interaksi dapat dilindungi dan dapat juga dipermalukan. Jadi dalam berinteraksi, peserta tutur wajib saling menjaga muka nya agar jangan sampai dipermalukan. Setiap

peserta tutur harus mempertahankan status mukanya masing-masing untuk dihargai. Brown dan Levinson membagi nosi ini menjadi dua, yakni negative face dan positive face. Nosi yang pertama merupakan tuntutan dasar pada wilayah, pemeliharaan atau kepuasan pribadi, pemenuhan hak-hak tanpa adanya batasan atau gangguan, dapat juga mempunyai makna bahwa setiap orang berkeinginan agar tindakannya tidak dihambat oleh orang lain, atau dengan kata lain ia ingin bebas melakukan apa yang ia mau (lihat juga Yule 1996,61). Yang kedua adalah penggambaran diri atau kepribadian yang positif akan perlunya penghargaan atau pengakuan yang terpelihara secara konsisten, atau dengan kata lain bermakna bahwa setiap orang ingin dihargai atau diakui oleh orang lain. Nosi yang pertama berkaitan dengan kesopanan negatif, yaitu kesopanan yang diorientasikan kepada negative face petutur, dan yang kedua dengan kesopanan positif, yakni yang ditujukan terhadap positive face petutur. Dalam kaitannya dengan nosi muka, Brown dan Levinson mengemukakan FTA (tindakan yang mengancam muka), yakni tindakan-tindakan yang dapat mengancam negative maupun positive face peserta tutur. Dengan demikian, menurut Brown dan Levinson yang dinamakan sopan adalah menjaga muka, dan sesuatu yang dapat mengancam muka adalah tidak sopan. Konsep kesopanan Brown dan Levinson sebenarnya merupakan konsep yang diturunkan dari teori Goffman. Menurut Goffman (Wardaugh 1986) para peserta tutur menerima muka yang ditawarkan oleh mitra tuturnya. Adapun yang dimaksud muka dalam hal ini adalah citra diri yang harus diperhatikan oleh mitra tutur. Muka yang ditawarkan berbeda-beda bergantung pada situasi tuturan. Pada suatu saat sebagai muka seorang teman dekat, seorang atasan, dan citra-citra yang lain. Dengan demikian, setiap peserta tutur harus mampu memahami muka-muka yang ditawarkan, dan menentukan bobot FTA yang ada dalam setiap muka. Ide Sachiko (1982,1986), yang meneliti kesopanan dan jender, mengemukakan bahwa pilihan penggunaan bahasa yang berkaitan dengan kesopanan melibatkan dua jenis aturan, yaitu aturan linguistik dan aturan sosial. Aturan linguistik berarti berhubungan dengan bentuk tata bahasa, dan dalam bahasa Jepang terdapat sistem yang mengatur penggunaan tingkat kesopanan berbahasa, yakni sistem kei-go bahasa hormat. Aturan sosial berarti perilaku yang patut yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa ternyata faktor jender tidak terlalu berpengaruh secara signifikan dalam penentuan pilihan bahasa.

Faktor yang terutama adalah tergantung pada situasi yang lebih banyak ditentukan oleh faktor distance jarak yang dirasakan oleh peserta tutur. Hasil penelitian ini sangat relevan dengan karakteristik studi pragmatik yang sangat menekankan pada konteks. Kesopanan merupakan salah satu faktor terpenting dalam interaksi sosial. Selain mempunyai sifat-sifat yang universal, kesopanan juga memiliki karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh penutur suatu bahasa tertentu. Berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji dalam penelitian ini, penulis mendefinisikan kesopanan, khususnya dalam bidang bahasa sebagai aturan yang menuntut individu untuk berperilaku yang patut sesuai dengan nilai dan norma sosial dan sesuai dengan aturan-aturan bahasa masyarakat pemakainya. Konsep kesantunan yang disebutkan oleh Ide, dijadikan alat analisis untuk membahas kesantunan dalam penelitian ini. Pilihan akan hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa subjek dan objek penelitian berhubungan orang dan budaya Jepang. Sehingga konsep kesantunan Ide yang membahas konsep kesantunan bahasa dan budaya Jepang lebih tepat dan mengena dalam mengkaji kesantunan berbahasa Jepang. 3.2.5 Konsep Sosial Budaya Jepang Menurut Nakane Chie, di dalam masyarakat Jepang terdapat kelompokkelompok sosial yang dibentuk berdasarkan kerangka (frame atau ba), yang mencakup para anggota dengan atribut (shikaku) yang berbeda-beda. Perbedaan pada kerangka ditekankan pada lokasi persamaan aktifitas ekonomi, sementara perbedaan atribut Jepang dipengaruhi oleh jenis kelamin, garis keturunan dan usia. Pemunculan kerangka dan atribut ini dapat berbeda-beda bergantung pada situasi, satu sama lain dapat muncul sama kuat atau dalam situasi tertentu salah satu yang lebih kuat muncul. Sebagai contoh, ketika individu Jepang melakukan interaksi sosial dengan individu di luar kelompoknya maka yang muncul lebih kuat adalah kerangkanya. Individu akan mengidentitaskan diri berdasarkan kerangkanya, yaitu sebagai anggota kelompok tertentu atau pegawai dari suatu perusahaan tertentu. Sebaliknya, jika interaksi terjadi di dalam ruang lingkup uchi-mono, atributlah yang cenderung muncul lebih kuat. Misalnya, di dalam suatu perusahaan ketika terjadi interaksi, pegawai yang memiliki pangkat yang lebih tinggi akan diperlakukan sebagai superior terhadap bawahannya. Suatu kelompok

yang terbentuk berdasarkan persamaan atribut memiliki perasaan eksklusifitas yang sangat kuat. Perasaan eksklusif ini timbul berdasarkan homogenitas yang dimiliki anggotanya. Pengelompokan ini terutama berakar pada struktur sosial untuk memenuhi kebutuhan emosi perorangan yang mencari rasa aman di dalam kelompok, dan memperoleh kompensasi bagi kekurangan otonomi perorangannya. Kelompokkelompok sosial yang ada menumbuhkan kesadaran akan adanya kelompok kita dan kelompok mereka. Di dalam kelompok sosial itu sendiri, diatur berdasarkan jougekankei, yakni sistem hubungan vertikal (senpai-koohai) dan horisontal (douryou). Dalam sistem vertikal hubungan antaranggota diatur berdasarkan perbedaan kualitas, dan sistem horisontal berdasarkan kualitas yang sama. Penerapan hubungan vertikal misalnya dalam hubungan antara bawahan dan atasan terjadi hubungan vertikal, dan antara rekan sejawat terjadi hubungan horisontal. Meskipun demikian, pada dasarnya hubungan yang terjadi adalah atas dasar hubungan vertikal, karena meskipun misalnya seseorang mempunyai jenjang yang sama dalam suatu perusahaan masih saja dibedakan berdasarkan umur, senioritas, dan sebagainya. Dari apa yang dikemukakan Nakane, ada dua hal yang penting yang menjadi dasar hubungan antarindividu dalam masyarakat Jepang, yaitu pentingnya hubungan yang berlandaskan pembedaan uchi-mono dan sotomono (Tokunaga 1992; Matsumoto 1996; Lebra 1976) serta pembedaan hubungan vertikal. Pada kenyataannya kedua hal tersebut memang sangat berpengaruh dalam sistem sosial dan kebudayaan Jepang, termasuk dalam hal penggunaan bahasa untuk komunikasi. Nakane juga membagi pola komunikasi interpersonal orang Jepang menjadi tiga, yaitu (1) uchi-mono, yaitu percakapan yang terjadi di dalam lingkungan in-group; (2) soto-mono, percakapan di luar kelompoknya (out-group); (3) shitashii-mono, percakapan antara peserta tutur yang sudah saling mengenal dengan baik latar belakangnya masing-masing. Dalam hubungannya dengan konsep situasi yang terjadi dalam interaksi orang Jepang, Lebra menyatakan bahwa ada tiga ranah situasi yang terjadi dalam interaksi, yakni intimate situation (situasi intim/akrab), ritual situation, dan anomic situation (situasi asing/tidak saling kenal). Ketiga situasi ini sangat tergantung pada konteks yang mempengaruhi perilaku individu. Faktor utama yang membedakan situasi satu dengan yang lain adalah adanya dikotomi uchi dan soto. Uchi berarti di dalam, internal, privat,

soto berarti di luar, eksternal, publik. Dikotomi ini sangat mewarnai perilaku sosial orang Jepang. Tidak dapat disangkal, bahwa orang Jepang sangat membedakan perilaku interaksi mereka terhadap orang yang termasuk dalam kategori uchi dan soto. Perbedaan ini menjadi ciri khas budaya orang Jepang secara umum. Yang termasuk uchi adalah anggota keluarga, kelompok, sekolah, perusahaan, maupun negaranya, dan yang termasuk dalam soto adalah orang-orang yang berada di luar kelompoknya atau orang asing. Lebra juga membagi perilaku interaksi sosial individu Jepang dalam tiga jenis, yakni perilaku intimate, ritual, anomic. Dalam praktiknya, meskipun tidak selalu, antara ranah situasi dan perilaku interaksi sering kali berkoresponden. Dalam situasi intimate, baik ego maupun alter memperlakukan sebagai insider dan merasa yakin bahwa perilaku ego terhadap alter terjaga dari publik. Perilaku ini pada umumnya terjadi karena seringnya ego dan alter berinteraksi. Alter biasanya adalah orang-orang yang berada di lingkungannya, baik teman main, teman sekolah, teman kerja, dan seterusnya, seperti yang disebut Nakane sebagai orang-orang yang berada dalam satu kerangka. Hubungan yang mendalam dalam intimate situation menimbulkan ego tidak lagi merasa perlu untuk selalu mengungkapkannya dengan kata-kata. Sering terjadi komunikasi tanpa kata-kata (ishin denshin komunikasi dari hati ke hati ), dan terjadi penyatuan perasaan antara ego dan alter. Apa yang dirasakan oleh alter dirasakan juga oleh ego. Ada dua hal utama yang melandasi perilaku intimate, yakni situasi santai, saat bermain, piknik, dan situasi lain yang terbebas dari situasi kerja. Yang kedua adalah faktor kesamaan usia. Berlawanan dengan intimate, dalam situasi ritual ego memperlakukan alter sebagai outsider dan ada kesadaran bahwa perilakunya dinilai dan diperhatikan oleh alter atau orang ketiga sebagai audience. Keterjagaan dari audience yang menjadi ciri situasi intimate sangat sedikit dalam situasi ritual. Perilaku ritual biasanya terjadi dalam situasi ceremonial, situasi pada waktu rapat, atau dalam pekerjaan. Situasi ritual juga dapat terjadi dalam situasi yang seharusnya intimate. Biasanya situasi ini terjadi karena kehadiran orang ketiga. Contohnya adalah ketika suami istri yang seharusnya berperilaku intimate, mengubah menjadi perilaku ritual dikarenakan kehadiran anak, dengan tujuan agar anak belajar mengenai sopan santun. Dalam situasi ritual ego sangat menjaga agar jangan sampai kehilangan muka nya. Menurut Matsumoto (1996) muka bagi orang Jepang adalah simbol, yang mungkin oleh orang Barat disamakan dengan citra atau reputasi. Bagi orang Jepang, muka tidak hanya cermin dari perasaan hati

manusia, melainkan juga sebagai simbol kekuasaan dalam masyarakat dan kebudayaan. Karena itu, orang Jepang selalu menjaga agar tidak kehilangan muka dan menghilangkan muka orang lain agar terjaga keharmonisan. Kesalahan atau perbuatan yang mengancam muka seseorang dapat berakibat serius. Yang ketiga, yaitu situasi anomic, juga kontras dengan situasi anomic karena ego memperlakukan alter sebagai outsider, juga kontras dengan situasi ritual karena dalam anomic, ego terbebas dari perhatian audience yang orang-orang yang memperhatikannya. Situasi anomic terjadi ketika ego memperlakukan alter sebagai orang asing atau musuh sehingga ia tidak terlalu perlu memperhatikan norma-norma ego. Biasanya situasi ini terjadi jika ego berada dalam lingkungan baru dan dia merasa orang-orang tidak mengenalnya sehingga ia merasa bebas berbuat sekehendak hatinya. Seperti juga diungkapkan oleh Matsumoto (1996) bahwa secara psikologis orang Jepang akan merasa lebih dapat mengekspresikan emosinya di luar lingkungan sosialnya. Anomic cenderung mengabaikan norma dan tidak dibatasi oleh faktor muka, baik muka ego maupun alter. Pada satu saat ego dapat berada pada situasi intimate, pada saat yang lain juga dapat berada pada situasi ritual maupun anomic, bahkan jika dengan alter yang sama. Contohnya, seorang teman dekat yang seharusnya berada pada situasi intimate, tiba-tiba berganti dalam situasi ritual karena berada dalam situasi formal dan diperhatikan oleh audience lain, atau berganti pada situasi anomic ketika terjadi perselisihan yang menimbulkan retak atau menjauhnya hubungan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Di dalam bab ini akan dikemukakan dua hal, yakni kajian pustaka mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan kajian teoretis yang digunakan sebagai alat analisis. Kajian Pustaka Ilmu Pragmatik yang merupakan payung teoretis penelitian ini mulai berkembang sejak awal tahun 1960-an. Pelopornya adalah J.L. Austin yang mengembangkan teori tindak tutur yang menjadi salah satu pusat kajian Pragmatik. Dalam teori ini dikemukakan gagasan mengenai tuturan performatif dan konstatif. Teori tindak tutur kemudian dikembangkan oleh murid Austin, yang bernama John Searle. Searle membuat kategorisasi tindak tutur yang dibagi menjadi lima kategori, yaitu tindak representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Adapun pemakaian bentuk bahasa pertanyaan pernah diteliti oleh Goody (1978) yang meneliti fungsi pertanyaan dalam wawancara pada budaya Afrika Barat. Hasilnya menyatakan bahwa pertanyaan tidak hanya berfungsi untuk meminta informasi, melainkan juga dapat digunakan untuk memerintah, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status. Mengenai analisis pertanyaanjawaban pernah dilakukan oleh Bustanul Arifin (2000) yang meneliti implikatur percakapan pertanyaan-jawaban yang terjadi di pengadilan. Hasilnya menyatakan bahwa dalam percakapan tanya-jawab di pengadilan terjadi tindak direktif, ekspresif, dan representatif serta menyimpulkan bahwa secara umum prinsip kerja sama dipatuhi meskipun beberapa tindak percakapan melanggar prinsip kerja sama. 3. 2 Kajian Teoretis 3.2.1 Teori Tindak Tutur Teori ini secara garis besar menyatakan bahwa fungsi sebuah tuturan tidak hanya menyampaikan informasi, sebenarnya terdapat tindak melaksanakan sesuatu dalam sebuah tuturan. Misalnya dalam sebuah tuturan Berkat bantuan Bapak, saya

dapat melanjutkan kuliah. Tuturan ini sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menyampaikan informasi, karena besar kemungkinan petutur sudah tahu informasi tersebut. Tuturan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan suatu tindakan, yakni tindak berterima kasih. Studi tentang tindak tutur kemudian dilanjutkan oleh murid Austin, yaitu Searle (1969) melalui bukunya yang berjudul Speech Act: An Essay in the Philosophy of Language. Austin dan Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis tindak tutur terbagi atas tiga macam yang terjadi secara serentak (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, dan (3) tindak perlokusi. Sehubungan dengan tindak lokusi, Lyons (1977) menjelaskan bahwa tindak lokusi adalah suatu tindak berkata, yaitu menghasilkan ujaran dengan makna dan referensi tertentu. Dengan demikian, sesuatu yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi ujaran yang diungkapkan oleh penutur. Tindak ini merupakan dasar bagi diberlakukannya tindak tutur lain, lebih-lebih terhadap tindak ilokusi (Austin 1962). Dalam kaitannya dengan tindak ilokusi, Austin (1962) mengatakan bahwa tindak mengatakan sesuatu (of saying) berbeda dengan tindak dalam mengatakan sesuatu (in saying). Tindak mengatakan sesuatu hanyalah bersifat menuturkan sesuatu, tindak dalam mengatakan sesuatu mengandung tanggung jawab penutur untuk melaksanakan sesuatu sehubungan dengan isi ujarannya. Austin menyatakan bahwa tindak dalam melakukan sesuatu inilah yang disebutnya tindak ilokusi dan tindak mengatakan sesuatu disebutnya lokusi. Dalam tindak ilokusi terdapat daya yang mewajibkan penutur untuk melaksanakan tindak tertentu. Apabila tindak lokusi lebih ditekankan pada tuturan yang diungkapkan, dan ilokusi pada diri penutur, maka tindak perlokusi lebih ditekankan pada diri petutur. Austin (1962,130) mengatakan bahwa mengungkapkan suatu tuturan sering menimbulkan pengaruh bagi petutur. Implikasi tindak lokusi terhadap petutur inilah yang disebut tindak perlokusi, yaitu tindak tutur yang menghasilkan pengaruh tertentu bagi petutur, misalnya menjadikannya marah, senang, simpati, dan sebagainya. Klasifikasi yang dibuat oleh Searle (1975) terutama dalam hal tindak ilokusi adalah sebagai berikut. 6. Tindak tutur representatif (asertif), yaitu tindak tutur yang menyatakan suatu keadaan yang memungkinkan adanya penilaian benar atau salah. Contoh dari tindak tutur ini adalah kata kerja menyatakan, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan.

7. Tindak tutur direktif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan agar petutur melakukan suatu tindak yang disebutkan dalam tuturan, misalnya menyuruh, memohon, menyarankan. 8. Tindak tutur komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melakukan apa yang disebutkan dalam tuturannya, misalnya berjanji dan bersumpah. 9. Tindak tutur ekspresif, yaitu tindak tutur yang menyatakan sikap atau penilaian atas suatu keadaan tertentu, misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, meminta maaf. 10. Tindak tutur deklaratif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan atau menciptakan suatu keadaan baru, misalnya memutuskan, menyatakan, membatalkan, mengizinkan. 3.2.2 Prinsip Kerja Sama Prinsip kerja sama dikemukakan oleh Grice (1975) digunakan untuk mengatur percakapan agar tercapai suatu kerja sama antara penutur dan petutur. Grice menyatakan bahwa berikan bantuanmu seperti yang dibutuhkan pada tingkat di mana hal itu terjadi, sesuai dengan tujuam atau arah pertukaran pembicaraan yang mana Anda terlibat di dalamnya. Untuk mendukung pernyataan tersebut, Grice melengkapi dengan empat maksim yang perlu diperhatikan dalam suatu tindak percakapan, yaitu sebagai berikut. 1. Maksim Kuantitas, berikan jumlah informasi yang tepat, yaitu c. Sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan. d. Sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan. 2. Maksim Kualitas, usahakan agar sumbangan informasi Anda benar, yaitu c. Jangan mengatakan suatu yang Anda yakini bahwa itu tidak benar. d. Jangan mengatakan suatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan. 3. Maksim Hubungan, usahakan agar perkataan Anda ada relasinya. 4. Maksim Cara, usahakan agar mudah dimengerti, yaitu e. Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar. f. Hindarilah ketaksaan. g. Usahakan agar ringkas (hindarilah pernyataan-pernyataan yang panjang lebar dan bertele-tele).

h. Usahakan agar Anda berbicara dengan teratur. 3.2.3 Kesantunan Menurut Fraser (1978), kesopanan adalah a property associated with an utterance in which, in the hearer s opinion, the speaker has neither exceeded any rights nor failed to fulfill any obligation. (sebuah properti yang berkaitan dengan tuturan yang menurut pendapat petutur, penutur tidak melampaui hak-haknya maupun gagal dalam memenuhi kewajibannya). Kesopanan tidak hanya berkaitan dengan aturan-aturan, melainkan juga strategi. Dasar yang terutama dalam kesopanan menurutnya adalah conversation contract, yaitu adanya batasan-batasan tertentu dari suatu topik yang dapat dibicarakan antara penutur dan petutur. Fraser membedakan antara istilah kesopanan (politeness) dan penghormatan (deference). Menurutnya, penghormatan adalah component of activity which functions as a symbolic means by which appreciation is regularly conveyed. (komponen tindakan yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyampaikan penghargaan secara tetap). Fraser membagi kesopanan dalam tiga aspek, yaitu 1) kesopanan sebagai properti yang terkait dengan tindakan sukarela, verbal maupun nonverbal, atau dengan kata lain orang dikatakan sopan jika tindakannya sopan; 2) fakta yang menyatakan bahwa tidak ada kalimat sopan atau tidak sopan, dalam hal ini bergantung pada konteks pembicaraan yang dilakukan; dan 3) fakta bahwa apakah tuturan terdengar sopan atau tidak bergantung pada pendapat petutur. Sementara Thomas (1995), menyatakan bahwa Kesopanan merupakan penunjukan tenggang rasa terhadap hal lainnya, dan dapat dimanifestasikan melalui sikap sosial di dalam komunikasi. Kadangkadang kita tidak mengetahui motivasi apa yang melatari orang atau alter menggunakan kesopanan. Kita hanya dapat melihat penutur menuturkan sesuatu dan petutur melakukan reaksi atas tuturan tersebut.

Seperti halnya Fraser, Thomas juga membedakan antara kesopanan dan penghormatan. Jika kesopanan adalah masalah yang umum dari tenggang rasa, maka penghormatan adalah suatu hal yang dibuat menurut bentuk tata bahasa dari suatu bahasa tertentu. Contoh kesopanan misalnya, memberikan tempat duduk kepada orang yang tua di dalam kereta yang penuh, dan contoh penghormatan misalnya, tindakan berdiri ketika peserta sidang MPR ketika presiden memasuki ruang sidang. Lebih jauh, Lakoff (1995) menyatakan bahwa kesopanan dalam percakapan digunakan lebih untuk menghindari pertentangan. Ini penting dalam rangka memperkokoh dan memperkuat hubungan interaksional. Lakoff membuat dua kaidah kompetensi pragmatik, yaitu, be clear and be polite. Kesopanan, menurut Lakoff, menjadi faktor utama dalam penggunaan bahasa hormat. Menurut Peter Grundy (1995) kesopanan adalah salah satu contoh paradigma pemakaian pragmatik dan merupakan manivestasi konsep yang lebih luas dari etika atau perilaku yang tepat. Faktor penentu pilihan bahasa dalam kesopanan ditentukan oleh hubungan power-distance interactant dan tingkat ketergantungan atau kebutuhan akan sesuatu penutur kepada petuturnya. Dalam berbuat sopan, penutur mencoba menciptakan konteks atau membuat strategi agar dipandang tepat oleh petuturnya. Leech (1983), dalam bukunya The Principles of Pragmatics mengklarifikasikan kesopanan dalam dua kategori, yaitu kesopanan absolut dan relatif. Konsep absolut mengacu pada norma-norma umum yang berlaku pada setiap masyarakat bahasa yang ikut mempengaruhi kesopanan berbahasa. Konsep kesopanan absolut ini menjadi bidang kajian dari pragmatik umum. Sebaliknya kesopanan relatif bervariasi mengikuti standar yang hanya berlaku secara khusus di antara masyarakat bahasa tertentu. Leech mengemukakan prinsip-prinsip kesopanan yang dapat digunakan untuk menganalisis tuturan. Prinsip-prinsip ini digunakan untuk menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan, karena hanya dengan hubungan-hubungan yang demikian kita dapat mengharapkan bahwa peserta yang lain akan bersedia bekerja sama. Secara umum prinsip kesopanan dapat dirumuskan sebagai berikut, gunakanlah sesedikit mungkin tuturan- yang mengungkapkan tindakan yang tidak sopan dan gunakanlah sebanyak mungkin tuturan yang sopan. Dalam hubungannya dengan tindak tutur terima kasih, Leech mengkategorikan sebagai tindak tutur convivial menyenangkan, yaitu tindak tutur kesopanan positif yang dapat dicapai dengan penambahan keterangan intensifier

dan piranti prosodic (berhubungan dengan tekanan, nada, atau intonasi). Dalam kaitannya dengan prinsip kesantunan, Leech memberikan enam maksim kesantunan sebagai berikut. 1. Maksim kearifan (tact maxim) c. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin. d. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. 2. Maksim kedermawanan (generocity maxim) c. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin. d. Buatlah kerugian diri sebesar mungkin. 3. Maksim pujian (approbation maxim) c. Kecamlah orang lain sesedikit mungkin. d. Pujilah orang lain sebanyak mungkin. 4. Maksim kerendahan hati (modesty maxim) c. Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin. d. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. 5. Maksim kesepakatan (agreement maxim) c. Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin. d. Usahakan agar kesepakatan antara diri dan orang lain sebanyak mungkin. 6. Maksim simpati (sympathy maxim) c. Kurangilah rasa anti-pati antara diri dan orang lain hingga sekecil mungkin. d. Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan orang lain. Kajian mengenai kesopanan yang banyak memperoleh perhatian adalah kajian yang dilakukan oleh Brown dan Levinson (1987), dalam buku mereka yang berjudul Politeness: Some Universals in Language Usage. Dengan data yang dikumpulkan dari penutur Tamil di India Selatan, penutur Tzeltal di Meksiko, serta penutur Inggris, mereka mengemukakan sebuah deskripsi sistematis fenomena kesopanan berbahasa yang dapat digunakan untuk mendukung model penjelasan dan analisis kesopanan bahasa. Mereka membahas nosi muka yang merupakan investasi emosi, yang dalam sebuah interaksi dapat dilindungi dan dapat juga dipermalukan. Jadi dalam berinteraksi, peserta tutur wajib saling menjaga muka nya agar jangan sampai dipermalukan. Setiap

peserta tutur harus mempertahankan status mukanya masing-masing untuk dihargai. Brown dan Levinson membagi nosi ini menjadi dua, yakni negative face dan positive face. Nosi yang pertama merupakan tuntutan dasar pada wilayah, pemeliharaan atau kepuasan pribadi, pemenuhan hak-hak tanpa adanya batasan atau gangguan, dapat juga mempunyai makna bahwa setiap orang berkeinginan agar tindakannya tidak dihambat oleh orang lain, atau dengan kata lain ia ingin bebas melakukan apa yang ia mau (lihat juga Yule 1996,61). Yang kedua adalah penggambaran diri atau kepribadian yang positif akan perlunya penghargaan atau pengakuan yang terpelihara secara konsisten, atau dengan kata lain bermakna bahwa setiap orang ingin dihargai atau diakui oleh orang lain. Nosi yang pertama berkaitan dengan kesopanan negatif, yaitu kesopanan yang diorientasikan kepada negative face petutur, dan yang kedua dengan kesopanan positif, yakni yang ditujukan terhadap positive face petutur. Dalam kaitannya dengan nosi muka, Brown dan Levinson mengemukakan FTA (tindakan yang mengancam muka), yakni tindakan-tindakan yang dapat mengancam negative maupun positive face peserta tutur. Dengan demikian, menurut Brown dan Levinson yang dinamakan sopan adalah menjaga muka, dan sesuatu yang dapat mengancam muka adalah tidak sopan. Konsep kesopanan Brown dan Levinson sebenarnya merupakan konsep yang diturunkan dari teori Goffman. Menurut Goffman (Wardaugh 1986) para peserta tutur menerima muka yang ditawarkan oleh mitra tuturnya. Adapun yang dimaksud muka dalam hal ini adalah citra diri yang harus diperhatikan oleh mitra tutur. Muka yang ditawarkan berbeda-beda bergantung pada situasi tuturan. Pada suatu saat sebagai muka seorang teman dekat, seorang atasan, dan citra-citra yang lain. Dengan demikian, setiap peserta tutur harus mampu memahami muka-muka yang ditawarkan, dan menentukan bobot FTA yang ada dalam setiap muka. Ide Sachiko (1982,1986), yang meneliti kesopanan dan jender, mengemukakan bahwa pilihan penggunaan bahasa yang berkaitan dengan kesopanan melibatkan dua jenis aturan, yaitu aturan linguistik dan aturan sosial. Aturan linguistik berarti berhubungan dengan bentuk tata bahasa, dan dalam bahasa Jepang terdapat sistem yang mengatur penggunaan tingkat kesopanan berbahasa, yakni sistem kei-go bahasa hormat. Aturan sosial berarti perilaku yang patut yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa ternyata faktor jender tidak terlalu berpengaruh secara signifikan dalam penentuan pilihan bahasa.

Faktor yang terutama adalah tergantung pada situasi yang lebih banyak ditentukan oleh faktor distance jarak yang dirasakan oleh peserta tutur. Hasil penelitian ini sangat relevan dengan karakteristik studi pragmatik yang sangat menekankan pada konteks. Kesopanan merupakan salah satu faktor terpenting dalam interaksi sosial. Selain mempunyai sifat-sifat yang universal, kesopanan juga memiliki karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh penutur suatu bahasa tertentu. Berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji dalam penelitian ini, penulis mendefinisikan kesopanan, khususnya dalam bidang bahasa sebagai aturan yang menuntut individu untuk berperilaku yang patut sesuai dengan nilai dan norma sosial dan sesuai dengan aturan-aturan bahasa masyarakat pemakainya. Konsep kesantunan yang disebutkan oleh Ide, dijadikan alat analisis untuk membahas kesantunan dalam penelitian ini. Pilihan akan hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa subjek dan objek penelitian berhubungan orang dan budaya Jepang. Sehingga konsep kesantunan Ide yang membahas konsep kesantunan bahasa dan budaya Jepang lebih tepat dan mengena dalam mengkaji kesantunan berbahasa Jepang. 3.2.5 Konsep Sosial Budaya Jepang Menurut Nakane Chie, di dalam masyarakat Jepang terdapat kelompokkelompok sosial yang dibentuk berdasarkan kerangka (frame atau ba), yang mencakup para anggota dengan atribut (shikaku) yang berbeda-beda. Perbedaan pada kerangka ditekankan pada lokasi persamaan aktifitas ekonomi, sementara perbedaan atribut Jepang dipengaruhi oleh jenis kelamin, garis keturunan dan usia. Pemunculan kerangka dan atribut ini dapat berbeda-beda bergantung pada situasi, satu sama lain dapat muncul sama kuat atau dalam situasi tertentu salah satu yang lebih kuat muncul. Sebagai contoh, ketika individu Jepang melakukan interaksi sosial dengan individu di luar kelompoknya maka yang muncul lebih kuat adalah kerangkanya. Individu akan mengidentitaskan diri berdasarkan kerangkanya, yaitu sebagai anggota kelompok tertentu atau pegawai dari suatu perusahaan tertentu. Sebaliknya, jika interaksi terjadi di dalam ruang lingkup uchi-mono, atributlah yang cenderung muncul lebih kuat. Misalnya, di dalam suatu perusahaan ketika terjadi interaksi, pegawai yang memiliki pangkat yang lebih tinggi akan diperlakukan sebagai superior terhadap bawahannya. Suatu kelompok