BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah sakit adalah suatu organisasi pelayanan sosial kemanusiaan. Secara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menjalani rawat inap. ( Wahyunah, 2011). Terapi intravena berisiko untuk terjadi komplikasi lokal pada daerah pemasangan

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pedoman Manajerial Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas

BAB I PENDAHULUAN. (Permenkes RI No. 340/MENKES/PER/III/2010). Dalam memberikan

BAB I PENDAHULUAN. secara garis besar memberikan pelayanan untuk masyarakat berupa pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. dalam tubuh manusia antara lain sebagai alat transportasi nutrien, elektrolit dan

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dirumah sakit merupakan bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. pemberian obat secara intravena (Smeltzer & Bare, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. spesifik, sehingga dapat dikembangkan setinggi-tingginya. Hal. ini. Ada beberapa kategori tingkat pendidikan seperti perawat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap orang mempunyai kemampuan untuk merawat, pada awalnya merawat adalah instinct atau naluri.

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial atau yang sekarang dikenal dengan Healthcare Associated

BAB 1 PENDAHULUAN. kepada pasien yang membutuhkan akses vaskuler (Gabriel, 2008). Lebih

BAB I PENDAHULUAN. penangan oleh tim kesehatan. Penanganan yang diberikan salah satunya berupa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan perpanjangan masa rawat inap bagi penderita. Risiko infeksi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi nosokomial merupakan problem klinis yang sangat

UPAYA PERAWAT DALAM PENCEGAHAN PHLEBITIS PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT BAPTIS KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PROGRAM DIKLAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI) DI PUSKESMAS KALIBARU KULON

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang sudah ditentukan

BAB I PENDAHULUAN. di rumah sakit. Anak biasanya merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau yang disebut Dengue

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS). Dampak dari proses pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection. (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat

HUBUNGAN PERAWATAN INFUS DENGAN TERJADINYA FLEBITIS PADA PASIEN YANG TERPASANG INFUS. Sutomo

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi dan penyakit menular merupakan masalah yang masih dihadapi oleh negara-negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. tersebut seorang pasien bisa mendapatkan berbagai penyakit lain. infeksi nosokomial (Darmadi, 2008, hlm.2).

BAB I PENDAHULUAN. (smeltzer, 2002). Tetapi karena terapi ini diberikan secara terus menerus dan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. sistemik (Potter & Perry, 2005). Kriteria pasien dikatakan mengalami infeksi

LAMPIRAN. Lampiran 1. Kepada Yth. Pasien rawat inap ruang Pinus Rumah Sakit Eka Tangerang Selatan Di tempat. : Permohonan menjadi responden

PENDAHULUAN. dapat berasal dari komunitas (community acquired infection) atau berasal dari

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PELAKSANAAN SURVEILANS INFEKSI RUMAH SAKIT. Halaman 1 dari 5. No. Dokumen... No. Revisi... RS ADVENT MANADO. Ditetapkan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semua pasien yang dirawat di rumah rakit setiap tahun 50%

BAB I PENDAHULUAN. kompetitif, toksin, replikasi intra seluler atau reaksi antigen-antibodi.

BAB I PENDAHULUAN. Keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu upaya yang mendorong rumah sakit untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dinilai melalui berbagai indikator. Salah satunya adalah terhadap upaya

Pendahuluan BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit (RS) sebagai institusi pelayanan kesehatan, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Healthcare Associated Infections (HAIs) telah banyak terjadi baik di

INDONESIA HEALTHCARE FORUM Bidakara Hotel, Jakarta WEDNESDAY, 3 February 2016

HUBUNGAN TINGKAT KOMPETENSI PADA ASPEK KETRAMPILAN PEMASANGAN INFUS DENGAN ANGKA KEJADIAN PLEBITIS DI RSUD BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Di dalam rumah sakit pula terdapat suatu upaya

PENCEGAHAN INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER (IADP) (Rana Suryana SKep. Medical Dept. PT Widatra Bhakti)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidaknyamanan yang berkepanjangan sampai dengan kematian. Tindakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan gawat darurat, yang merupakan salah satu tempat pasien berobat atau dirawat, di tempat

BAB I PENDAHULUAN. pembuahan dalam kandungan sampai umur lanjut (GBHN, 1999). yang terus berkembang (Depkes RI, 1999).

BAB 1 PENDAHULUAN. kuratif, rehabilitatif, dan preventif kepada semua orang. Rumah sakit merupakan

BAB I PENDAHULUAN. maka pada tahun 1976 Join Commission on Acreditation of Health Care

Infeksi yang diperoleh dari fasilitas pelayanan kesehatan adalah salah satu penyebab utama kematian dan peningkatan morbiditas pada pasien rawat

BAB I PENDAHULUAN. mendapat terapi melalui IV (Hindley,2004). Pemasangan terapi. intravena merupakan tindakan memasukan jarum (abocath)

PREVALENSI PHLEBITIS PADA PASIEN RAWAT INAP DENGAN INFUS DI RSUD TUGUREJO SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. pasien lain dan dari lingkungan yang tercemar kepada pasien. Hand hygiene

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. berdampak terhadap perubahan pola penyakit. Selama beberapa tahun. terakhir ini, masyarakat Indonesia mengalami peningkatan angka

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat. darurat (Permenkes RI No. 147/ Menkes/ Per/ 2010).

BAB I PENDAHULUAN. Rumah Sakit (RS) merupakan suatu unit yang sangat kompleks. Kompleksitas ini

BAB 1 PENDAHULUAN. melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja, dimana

BAB I PENDAHULUAN. diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia

BAB I PENDAHULUAN. pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan catatan keperawatan (Depkes

JURNAL STIKES. ISSN Volume 7, Nomor 1, Juli 2014, halaman DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (WHO, 2002). Infeksi nosokomial (IN) atau hospital acquired adalah

BAB I PENDAHULUAN. dan progresif, kadang sampai bertahun-tahun, dengan pasien sering tidak

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan unit pelayanan medis yang sangat kompleks, rumah

Hubungan Prosedur Pemasangan Infus dengan Kejadian Plebitis Di Rumah Sakit Umum Kabupaten Majene

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan di berbagai belahan dunia dan merupakan risiko terhadap sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang ditunjukkan setelah pasien

Oleh : Rahayu Setyowati

BAB I PENDAHULUAN. Keselamatan menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu

BAB I PENDAHULUAN UKDW. keseluruhan yang memberikan pelayanan kuratif maupun preventif serta

Pengertian. Tujuan. Ditetapkan Direktur Operasional STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL. Tanggal Terbit 15 Februari 2011

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perhatian terhadap infeksi daerah luka operasi di sejumlah rumah sakit

1 GAMBARAN PERILAKU PERAWAT DALAM PENCEGAHAN TERJADINYA FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RS. BAPTIS KEDIRI

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP SIKAP PASIEN DALAM PENGGANTIAN POSISI INFUS DI RUANG SHOFA RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

ABSTRAK HUBUNGAN PEMBERIAN INJEKSI INTRAVENA DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS DI RUANG PERAWATAN ANAK RUMAH SAKIT TK II PELAMONIA MAKASSAR.

BAB I PENDAHULUAN. mikroorganisme dalam tubuh yang menyebabkan sakit yang disertai. dengan gejala klinis baik lokal maupun sistemik.

HUBUNGAN JENIS CAIRAN DAN LOKASI PEMASANGAN INFUS DENGAN KEJADIAN FLEBITIS PADA PASIEN RAWAT INAP DI RSU PANCARAN KASIH GMIM MANADO

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah salah satu penyakit infeksi dengan angka

BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PANDUAN PENANGANAN, PENGGUNAAN DAN PEMBERIAN DARAH DAN PRODUK DARAH RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. masa bayi ini sangat rawan karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar

Ventilator Associated Pneumonia

PEMBERIAN OBAT MELALUI IV TERHADAP KEJADIAN PLEBITIS PADA PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT

PEMBERIAN OBAT MELALUI INTRAVENA TERHADAP KEJADIAN PHLEBITIS PADA PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian terapi obat melalui jalur intravena perifer (peripheral

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PERAWAT DALAM PENERAPAN PROTAP PERAWATAN LUKA POST OPERASI DI RUANG CENDANA RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

KERANGKA ACUAN PROGRAM DIKLAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI) DI RSIA ANUGRAH KUBURAYA

BAB I PENDAHULUAN. (World Health Organization (WHO), 2011). Menurut survei di Inggris,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit adalah suatu organisasi pelayanan sosial kemanusiaan. Secara aktual pelayanan rumah sakit telah berkembang menjadi suatu industri yang berbasis pada prinsip prinsip ekonomi. Salah satu yang menonjol adalah sifat kompetitif yang berbasis pada mutu pelayanan rumah sakit. Fakta telah menunjukkan bahwa telah banyak orang Indonesia yang mencari pengobatan di luar negeri. Fenomena ini dapat kita sebut sebagai globalisasi tahap satu. Sementara itu globalisasi tahap kedua adalah beroperasinya Rumah Sakit asing atau penanaman modal asing dalam sektor kesehatan di Indonesia. Perubahan secara alamiah akan mendorong rumah sakit menjadi organisasi yang berciri produk, sehingga membutuhkan penanganan dengan konsep manajemen yang tepat. Di era globalisasi yang penuh persaingan ini, manajemen rumah sakit harus mempunyai kemampuan untuk mengakomodasikan setiap perubahan serta mampu menciptakan pelayanan yang aman bagi setiap klien maupun pengguna jasa kesehatan lainnya. Rumah sakit sebenarnya adalah sebuah badan usaha yang mempunyai unit unit usaha strategis, misalnya instalansi rawat inap, instalansi rawat jalan, laboratorium, gawat darurat, gizi sampai ke lembaga pemulasaran jenazah. Dengan demikian rumah sakit secara keseluruhan dapat dianggap 1

2 sebagai suatu lembaga usaha yang mempunyai berbagai unit bisnis strategis. Unit unit inilah yang dipergunakan langsung oleh masyarakat, dinilai dan mempunyai akuntabilitas. Unit unit usaha ini ditopang oleh manajemen struktural dan oleh manajemen fungsional. Ada beberapa area utama manajemen fungsional yaitu: SDM, teknologi, keuangan, pengadaan dan pembelian, medis fungsional, keperawatan fungsional, sistem informasi dan pemasaran. Kekhawatiran adalah bahwa pengembangan Rumah Sakit ke sistem unit usaha akan menyebabkan Rumah Sakit mempunyai tujuan menghasilkan keuntungan semata dengan mengabaikan mutu pelayanan. Saat ini rumah sakit dituntut mengembangkan pelayanan prima. Hal yang relevan dengan pelayanan prima adalah medication error, tuntutan masyarakat dan tuntutan tenaga sendiri. Saat ini error dalam pelayanan medik mempunyai angka yang cukup tinggi, disebabkan karena diagnosa yang salah, kegagalan untuk penanganan yang tepat, memberikan obat yang salah dan kegagalan mengantisipasi adanya resistensi obat. (Seminar saftypasien, RS Eka, 2012). Beberapa indikator mutu pelayanan rumah sakit yang dijadikan dasar pelayanan prima merupakan prasyarat untuk melakukan standarisasi dan sistem pemantauan aktif. Dengan prinsip umpan balik dan koreksi maka pengembangan mutu dengan indikator pelayanan prima bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu mengembangkan system menjaga mutu diperlukan kepemimpinan dan dukungan seluruh sumber daya manusia di rumah

3 sakit, yaitu: kepemimpinan medis, kepemimpinan keperawatan, kepemimpinan bagian- bagian, kepemimpinan direksi dan pendukung. Indikator mutu layanan adalah suatu cara menilai penampilan dari suatu kegiatan dengan menggunakan sistem instrumen yang merupakan suatu variabel untuk menilai suatu perubahan. Menurut Joint Comission on Acreditation of Hospital, program menjaga mutu adalah program berlanjut yang disusun secara obyektif dan sistematis dalam memantau dan menilai mutu dan kewajaran pelayanan, menggunakan berbagai peluang yang tersedia untuk meningkatkan pelayanan yang diselenggarakan serta menyelesaikan masalah yang ditemukan. Secara singkat sistem menjaga mutu yang dapat diterapkan di Indonesia cukup efektif harus mengandung faktor-faktor sebagai berikut: standar, sistem pemantau anaktif untuk memungkinkan tindakan proaktif, sistem evaluasi dan, umpan balik dan sistem koreksi. Rumah sakit merupakan suatu kompleks yang padat, baik padat tenaga, profesi, prosedur, teknologi dan sebagainya, sehingga mudah terjadi permasalahan dalam pelayanan. Akibatnya mudah terjadi kejadian tidak diharapkan dalam pelayanan kesehatan rumah sakit yang ternyata dapat meningkatkan mortalitas, morbiditas dan prolonged hospital stay. Infeksi nosokomial merupakan masalah serius bagi semua rumah sakit dimana kerugian yang ditimbulkan tidak hanya membebani pasien, keluarga, tenaga yang bekerja di rumah sakit, akan tetapi mempengaruhi juga citra rumah sakit dimata masyarakat sehingga akan menimbulkan kerugian terhadap rumah sakit tersebut. Survei prevalent yang dilakukan dengan bantuan WHO pada 55 RS di 14 negara mewakili wilayah

4 WHO (Eropa, Mediteranian timur, Asia tenggara dan pasifik barat) menunjukan rata rata 8,7% pasien dirumah sakit mengalami infeksi nosokomial. Frekuensi nosokomial yang tinggi dilaporkan dari wilayah Asia tenggara yaitu 10%. (Jurnal Intravascular Device related Infection, 2003) Penggunaan peralatan intravaskuler saat ini tidak dapat dihindari lagi, misalnya untuk memasukan cairan infus, obat, komponen darah, parenteral nutrisi. Namun demikian penggunaan peralatan intravaskuler ini dapat menyebabkan komplikasi lokal atau sistemik, termasuk septik trombhoplebitis, endocarditis, infeksi aliran darah primer dan infeksi metastetik (osteomylitis, arthritis) yang diakibatkan oleh terinfeksinya bagian tubuh tertentu karena kateter yang terkolonisasi. Lebih kurang 2.000.000 kasus infeksi aliran darah primer nosokomial terjadi setiap tahun di Amerika Serikat. Berdasarkan hasil data NNIS (National Nosokomial Infection Surveillance) pada tahun 1986 1990 melaporkan bahwa data laju infeksi aliran darah berkisar dari 2,1 30,2 kasus infeksi per 1000 kateter vena sentral, untuk kasus kateter vena perifer lebih rendah yaitu 0 2,0 kasus per 1000 hari pemakaian alat sehingga dapat menaikan angka morbiditas dan mortalitas sehingga 10 20% dan menambah hari perawatan dan biaya pengobatan. (Jurnal Intravascular Device related Infection, 2003) Menurut hasil penelitian tentang analisis faktor yang berpengaruh terhadap plebitis yang dilakukan oleh Asrin dkk di RSUD Purbalingga pada tahun 2006 didapatkan hasil bahwa jenis cairan intravena yang diberikan menjadi penyebab terjadinya plebitis dengan nilai p value (0,01), golongan obat pekat

5 dapat menyebabkan plebitis dengan nilai p value (0,02), lokasi pemasangan infus sebagai salah satu faktor penyebab plebitis dengan nilai p value (0,01), ukuran kanula berpengaruh dengan plebitis dengan nilai p value (0,01), lama pemasangan kateter dalam terapi intravena akan mempengaruhi plebitis dengan nilai p value (0,01), prosedur teknik cuci tangan akan mempengaruhi plebitis dengan nilai p value (0,01), prosedur teknik aseptik akan mempengaruhi terjadinya plebitis dengan nilai p value (0,01), prosedur teknik aseptik akan mempengaruhi terjadinya plebitis dengan nilai p value (0,01), teknik pemasangan kanula akan mempengaruhi terjadinya plebitis dengan nilai p value (0,01), perawatan infus juga berpengaruh terhadap kejadian plebitis dengan nilai p value (0,01). Di rumah sakit pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh, dimana kebanyakan pasien yang di rawat di rumah sakit diberikan pemberian terapi intravena. Pemberian cairan intravena yaitu memasukkan cairan atau obat langsung ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu dengan menggunakan infus set (Perry dan Potter, 2005). Bila terapi intra vena hanya diperkirakan untuk jangka pendek, akses ke sirkulasi biasanya melalui vena dipunggung telapak tangan, pergelangan tangan atau dilengan bawah. Bila terapi intra vena dilakukan untuk jangka panjang, beberapa hari atau minggu, biasanya kanulasi dilakukan di vena subklavia atau vena jugularis internal. Prosedur ini merupakan prosedur infasif, oleh karena itu teknik asepsis perlu dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi (Ruth Johnson, Wendy Taylor. 2004).

6 Salah satu dari banyak komplikasi pemasangan infus adalah plebitis. Plebitis sering dijumpai berkaitan dengan intra vena kateter, dengan tingkat kejadian 25% sampai 35% (H imam Rasjidi. 2008). Menurut Perry dan Potter (2005), plebitis adalah peradangan vena yang disebabkan oleh kateter atau iritasi kimiawi zat aditif dan obat obatan yang diberikan secara intravena. Tanda dan gejalanya meliputi nyeri, peningkatan temperatur kulit diatas vena, dan beberapa kasus, timbul kemerahan ditempat insersi atau di sepanjang jalur vena. Menurut Chris Brookke (2008), Etiologi plebitis antara lain berdasarkan mekanismenya disebabkan oleh kanula di dalam vena, berdasarkan kimiawi disebabkan oleh zat yang diinfus, berdasarkan bakteri disebabkan oleh infeksi lokal. Menurut H imam Rasjidi (2008), lokasi intravena harus diperiksa setiap hari untuk menemukan eritema, nyeri dan indurasi (pengerasan). Plebitis dapat terjadi meskipun telah dilaksanakan pengawasan yang ketat. Penelitian menunjukan bahwa banyak kasus plebitis menampakan gejala awal lebih dari 12 jam setelah penghentian kateter. Metode pencegahan yang dapat menurunkan risiko infeksi meliputi teknik steril selama pemasangan dan perubahan tempat setiap 72 jam. Diagnosa didasarkan pada adanya demam, nyeri, eritema, indurasi dan cord yang jelas atau dapat dipalpasi. Perawatan mencakup pemindahan kateter dan kompres hangat. Dalam jurnal keperawatan Soedirman (2006), penelitian yang dilakukan oleh Asrin dan tim didapatkan hasil penelitian bahwa 74 pasien dengan 17 pasien mengalami plebitis (22,9%).Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis adalah jenis ukuran dan bahan kateter, lama waktu pemasangan, pemilihan tempat insersi,

7 jenis penutup tempat penusukan, teknik insersie, sterilitas perawatan terapi intravena. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Hetti Aprilin dalam jurnal Keperawatan Volume 1 (2011), didapatkan hasil penelitian bahwa dari 20 responden 2 (10%) tidak dilakukan perawatan infus, 6 (30%) terjadi plebitis. Mempertahankan suatu infus intravena yang sedang terpasang merupakan tugas perawat yang menuntut pengetahuan serta ketrampilan tentang pemasangan dan perawatan infus, prinsip prinsip aliran, selain itu pasien harus dikaji dengan teliti baik komplikasi lokal maupun sisitemik. Jika plebitis terjadi maka masukan terapi cairan intravena pasien harus mendapat pengawasan dan observasi yang ketat. Eka Hospital memiliki sebuah komite pencegahan dan pengendalian infeksi yaitu salah satu komite di Rumah Sakit yang dibentuk untuk dapat menjalankan kegiatan pengendalian infeksi nosokomial, dan membentuk sebuah Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (KPPI). KPPI di Eka Hospital ini memiliki tugas dan tangung jawab untuk mengevaluasi serta menyetujui kelayakan dan kemampuan pelaksanaan semua kegiatan surveilens infeksi nosokomial atau yang sering disebut dengan HAIS (healthcare associated infection). Upaya pencegahan dan penanggulangan HAIS serta prosedur prosedur yang dibuat dan akan dilaksanakan. Meningkatkan mutu layanan Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Menurunkan angka penularan infeksi di Rumah Sakit. Eka Hospital BSD memiliki bed aktif sebanyak 120 bed, terdiri dari perawatan dewasa, anak, kebidanan, ruang intensif dan BOR selama tahun 2012 berkisar

8 62%. Untuk meningkatkan mutu layanan Eka Hospital BSD maka KPPI melakukan pelaporan surveilans ditiap bulannya. Surveilans adalah suatu proses dinamis, sistematis, terus menerus, dalam pengumpulan, identifikasi dan interpretasi dari data kesehatan yang penting pada suatu populasi spesifik yang didesiminasikan secara berkala kepada pihak-pihak yang memerlukan (pedoman surveilens infeksi, kementrian kesehatan RI, 2011).Salah satu poin yang di lakukan surveilens adalah kejadian plebitis. Dari data laporan surveilans yang didapatkan di Eka Hospital BSD bahwa total angka kejadian plebitis diruang Pinus Eka Hospital BSD pada bulan Januari 2013 adalah 0, bulan Februari 2013 terdapat angka kejadian plebitis ada 5, bulan Maret 2013 terdapat angka kejadian plebitis ada 1, bulan April 2013 angka kejadian plebitis ada 4, bulan Mei 2013 angka kejadian plebitis ada 7, bulan Juni 2013 angka kejadian plebitis ada 0, bulan Juli 2013 angka kejadian plebitis ada 2, bulan Agustus 2013 angka kejadian plebitis ada 5. Berdasarkan wawancara dari beberapa perawat diruang Pinus didapatkan bahwa memang benar adanya kejadian plebitis tersebut selalu ada ditiap bulannya. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa masih ditemukan angka kejadian plebitis diruang rawat inap anak yaitu diruangan Pinus. Hal tersebut menunjukan bahwa prevalensi kejadian plebitis masih dibawah standar indikator mutu Eka Hospital BSD. Berdasarkan hal di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian plebitis pada pasien anak diruang Pinus Eka Hospital.

9 B. Rumusan Masalah Kejadian plebitis merupakan hal yang penting untuk diperhatikan agar jangan sampai terjadi pada pasien anak di ruang Pinus Eka Hospital BSD. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian faktorfaktor apa sajakah yang berhubungan dengan kejadian plebitis pada pasien anak di ruang Pinus Eka Hospital BSD? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Penulis akan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian plebitis pada pasien anak di ruang Pinus Eka Hospital BSD. 2. Tujuan khusus a. Mengidentifikasi jenis cairan infus pada pasien anak yang terpasang infus di ruang Pinus Eka Hospital BSD. b. Mengidentifikasi jenis obat yang diberikan melalui infus pada pasien anak yang terpasang infus di ruang Pinus Eka Hospital BSD. c. Mengidentifikasi lokasi pemasangan infus pada pasien anak yang terpasang infus di ruang Pinus Eka Hospital BSD. d. Mengidentifikasi ukuran kanul pada pasien anak yang terpasang infus di ruang Pinus Eka Hospital BSD. e. Mengidentifikasi teknik cuci tangan pada pasien anak yang terpasang infus di ruang Pinus Eka Hospital BSD. f. Mengidentifikasi teknik aseptik pada pasien anak yang terpasang infus di ruang Pinus Eka Hospital BSD.

10 g. Mengidentifikasi teknik pemasangan kanula pada pasien anak yang terpasang infus di ruang Pinus Eka Hospital BSD. h. Mengidentifikasi perawatan infus pada pasien anak yang terpasang infus di ruang Pinus Eka Hospital BSD. i. Mengidentifikasi kejadian plebitis pada pasien anak yang terpasang infus di ruang Pinus Eka Hospital BSD. j. Mengidentifikasi hubungan jenis cairan infus dengan kejadian plebitis pada pasien anak di ruang Pinus Eka Hospital BSD. k. Mengidentifikasi hubungan jenis obat yang diberikan melalui infus dengan kejadian plebitis pada pasien anak di ruang Pinus Eka Hospital BSD. l. Mengidentifikasi hubungan lokasi pemasangan infus dengan kejadian plebitis pada pasien anak di ruang Pinus Eka Hospital BSD. m. Mengidentifikasi hubungan ukuran kanul dengan kejadian plebitis pada pasien anak di ruang Pinus Eka Hospital BSD. n. Mengidentifikasi hubungan teknik cuci tangan dengan kejadian plebitis pada pasien anak di ruang Pinus Eka Hospital BSD. o. Mengidentifikasi hubungan teknik aseptik dengan kejadian plebitis pada pasien anak di ruang Pinus Eka Hospital BSD. p. Mengidentifikasi hubungan teknik pemasangan kanula dengan kejadian plebitis pada pasien anak di ruang Pinus Eka Hospital BSD q. Mengidentifikasi hubungan perawatan infus dengan kejadian plebitis pada pasien anak di ruang Pinus Eka Hospital BSD

11 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Eka Hospital BSD Memberikan kontribusi kepada Eka Hospital BSD sebagai salah satu alat evaluasi pencapaian tindakan pencegahan infeksi melalui jarum infus (plebitis ) dalam rangka peningkatan mutu Rumah Sakit. 2. Bagi Perkembangan Ilmu keperawatan Menjadi salah satu bahan kajian dalam pengembagan ilmu peneliti selanjutnya. 3. Bagi Penelitian Keperawatan Menambah pengetahuan, memperluas wawasan dan memberikan pengalaman langsung dalam melaksanakan penelitian.