BAB I BAHASA SASTRA SEBAGAI MEDIA EKSPRESI

dokumen-dokumen yang mirip
PENGEMBANGAN MODEL INOVATIF DALAM ANALISIS MAKNA KARYA SASTRA MELALUI KAJIAN STILISTIKA: Studi Kasus Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren,

BAB I PENDAHULUAN A. Bahasa Karya Sastra

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra terjelma dari sebuah proses kreasi imajinasi seorang

BAB I PENDAHULUAN. indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia (Semi, bahasa sebagai mediumnya (Sugono, 2008:129).

BAB I PENDAHULUAN. sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena

BAB II STYLE GAYA BAHASA DAN STILISTIKA

BAB I PENDAHULUAN. analisis unsur intrinsiknya, yaitu unsur-unsur yang membangun karya sastra,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra lahir dari hasil kreatifitas dan imajinasi manusia, serta pemikiran dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik, baik yang

BAB I PENDAHULUAN. sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena itu, bagi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang

KAJIAN STILISTIKA NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN PEMAKNAANNYA 1) Oleh Ali Imron A.M. 2)

BAB I PENDAHULUAN. Werren, 1993:14). Oleh karena itu Nurgiyantoro (2007:2), mengatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. tulisan yang menggunakan bahasa sebagai media pengantar dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. manusia serta segala problema kehidupannya tidak dapat terpisah-pisah. Sastra

DIKSI DALAM NOVEL SAAT LANGIT DAN BUMI BERCUMBU KARYA WIWID PRASETYO OLEH INDRAWATI SULEMAN

BAB I PENDAHULUAN. yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif peran sastrawan dan faktor-faktor yang melingkupi seorang sastrawan

BAB I PENDAHULUAN. melalui cipta, rasa, dan karsa manusia. Al-Ma ruf (2009: 1) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. emosional. Sebagai hasil imajinatif, sastra juga berfungsi sebagai hiburan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ketika menyuguhkan suatu karya sastra, dia akan memilih kata-kata yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan

BAB I PENDAHULUAN. estetik dan keindahan di dalamnya. Sastra dan tata nilai kehidupan adalah dua fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. bahasa. Seni bahasa tersebut berupa kata-kata yang indah yang terwujud dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. seni. Hal ini disebabkan seni dalam sastra berwujud bacaan atau teks sehingga

BAB 1 MENGENAL KRITIK SASTRA

BAB I PENDAHULUAN. dilukiskan dalam bentuk tulisan. Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan bahasa di dalam karya sastra terkait dengan sejumlah ragam

PENDAHULUAN. sosialnya. Imajinasi pengarang dituangkan dalam bentuk bahasa yang kemudian

ANALISIS GAYA BAHASA PADA LIRIK LAGU GRUP MUSIK WALI DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN APRESIASI PUISI DI SMA

BAB I PENDAHULUAN. penjelas kalimat pada peristiwa itu terjadi. Tidak hanya keterangan waktu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

Kajian Stilistika dalam Karya Sastra

BAB I PENDAHULUAN. bermuara pada struktur. Keduanya, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri,

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan dan keadaan sosial masyarakat baik secara langsung maupun tidak

BAB I PENDAHULUAN. salah satu wujud karya seni yang bermedium bahasa. Menurut Goldmann (1977:

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

BAB I PENDAHULUAN. karya seni yang memiliki kekhasan dan sekaligus sistematis. Sastra adalah

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra. Sebuah karya sastra tidak lepas dari bahasa. dapat dikatakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

STILISTIKA. Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Ali Imron Al-Ma ruf

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra muncul karena karya tersebut berasal dari gambaran kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan ciri-ciri khas, meskipun puisi telah mengalami perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. kata dan kalimat yang tersusun secara harmonis, sehingga menggugah rasa ingin

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini subjeknya adalah lirik lagu dalam album musik Klakustik karya

BAB I PENDAHULUAN. Musik merupakan suatu hal yang sangat akrab dengan indera pendengaran

BAB I PENDAHULUAN. untuk melakukan sastra. Pada intinya kegiatan bersastra sesungguhnya adalah media

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. suatu bahasa. Puisi juga merupakan cara penyampaian tidak langsung seseorang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. memperhitungkan efek yang ditimbulkan oleh perkataan tersebut, karena nilai

BAB I PENDAHULUAN. sastra imajinatif dan non-imajinatif. Dalam praktiknya sastra non-imajinatif terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang semuanya bersifat imajinatif. Novel adalah karya fiksi yang

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra adalah sebuah karya yang indah yang mempunyai banyak

BAB I PENDAHULUAN. indah setelah diberi arti oleh pembaca (Teeuw, 1984 : 91)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. gagasan, ide, dan perasaan seorang pengarang. Daya imajinasi inilah yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. diistilahkan dengan proses cerita, proses narasi, narasi atau cerita berplot. Prosa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah bahan utama kesusastraan. Harus disadari bahwa bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Menulis merupakan salah satu keterampilan yang berkaitan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. usaha penulis untuk memberikan perincian-perincian dari objek yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. bahasa. Lotman (dalam Supriyanto, 2009: 1) menyatakan bahwa bahasa

BAB I PENDAHULUAN. kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena. kehidupan dalam lingkungan sosialnya (Al- Ma ruf 2009: 1).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil imajinasi seseorang yang berasal dari pengalaman, pemikiran, perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, budaya tidak hanya. konvensi atau tradisi yang mengelilinginya.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai pengetahuan tentang kode bahasa, kode budaya dan kode sastra.

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan melalui kata-kata yang indah sehingga. berbentuk tulisan dan karya sastra berbentuk lisan.

BAB I PENDAHULUAN. dengan gaya bahasa. Gaya bahasa atau Stile (style) adalah cara pengucapan

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, fiksi berasal dari akar kata fingere (Latin) yang berarti berpurapura.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastra adalah produk kebudayaan (karya seni) yang lahir di tengah-tengah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut sehingga memberikan efek estetik di dalam karya sastra. berbahasa, demi pencapaian suatu efek estetika.

BAB I PENDAHULUAN. dengan apa yang ingin diutarakan pengarang. Hal-hal tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. dan segala problematikanya yang begitu beragam. Fenomena-fenomena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA

PENGKAJIAN SASTRA. Teori dan Aplikasi. Prof. Dr. Ali Imron Al-Ma ruf, M.Hum. Dr. Farida Nugrahani, M.Hum.

Transkripsi:

BAB I BAHASA SASTRA SEBAGAI MEDIA EKSPRESI A. Karya Sastra dan Bahasa Sastra Karya sastra merupakan dunia imajinatif yang merupakan hasil kreasi pengarang setelah merefleksi lingkungan sosial kehidupannya. Dunia dalam karya sastra dikreasikan dan sekaligus ditafsirkan lazimnya melalui bahasa. Apa pun yang dipaparkan pengarang dalam karyanya kemudian ditafsirkan oleh pembaca, berkaitan dengan bahasa. Struktur novel dengan segala sesuatu yang dikomunikasikan, menurut Fowler (1977: 3), selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang. Demi efektivitas pengungkapan, bahasa dalam sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan didayagunakan sedemikian rupa. Oleh karena itu, bahasa sastra memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan karya nonsastra. Sastra sebagai karya seni, dalam perkembangan mutakhir tidak hanya bermediumkan bahasa. Sastra mutakhir ada yang menggunakan medium lain misalnya lukisan, gambar, garis, atau simbol lain. Namun demikian, karya sastra pada umumnya menggunakan bahasa sebagai media ekspresi pengarang. Oleh karena itu, menurut Wellek & Warren (1989: 14-15), karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Bahasa sastra sangat konotatif, mengandung banyak arti tambahan, sehingga tidak hanya bersifat referensial. Sebagai wujud penggunaan bahasa yang khas, karya sastra hanya dapat dipahami dengan pengertian dan konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1983: 1). Bahasa sastra memiliki beberapa ciri khas, yakni penuh ambiguitas dan homonim (kata -kata yang sama bunyinya tetapi berbeda artinya), memiliki kategorikategori yang tidak beraturan dan tidak rasional seperti jender (jenis kata yang mengacu pada jenis kelamin dalam tata bahasa), penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya sastra yang diciptakan sebelumnya atau konotatif sifatnya (Wellek & Warren (1989: 15). Selain itu, bahasa sastra bukan sekedar referensial, yang mengacu pada satu hal tertentu, dia mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada ( tone) dan sikap pengarangnya, berusaha mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya dapat mengubah sikap pembaca. Yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda, simbolisme kata-

2 kata. Oleh karena itu, berbagai teknik diciptakan seperti aliterasi dan pola suara, untuk menarik perhatian pembaca. Dalam novel pola suara kurang penting dibandingkan dengan dalam puisi. Tingkat intelektualitas bahasa pun dalam karya sastra berbeda-beda. Ada puisi filosofis dan didaktis, namun ada pula novel-novel yang menyoroti masalah tertentu dengan menggunakan bahasa emotif dan simbolis. Tegasnya, bahasa sastra berkaitan lebih mendalam dengan struktur historis bahasa dan menekankan kesadaran akan tanda, serta memiliki segi ekspresif dan pragmatis yang dihindari sejauh mungkin oleh bahasa ilmiah (lihat Wellek & Warren, 1989: 16). Bahasa sastra memiliki segi ekspresifnya yang membawa nada dan sikap pengarangnya. Oleh karena itu, bahasa sastra tidak hanya menyatakan apa yang dikatakan, melainkan juga ingin mempengaruhi sikap pembaca, membujuknya dan akhirnya mengubahnya (Rachmat Djoko Pradopo, 1997: 39). Itulah sebabnya bahasa sastra berkaitan erat dengan 'gaya bahasa', yang berfungsi untuk mencapai nilai estetik karya sastra. Style, 'gaya bahasa' dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi sangat berarti dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Stilistika sering membawa muatan makna. Setiap diksi yang dipakai dalam karya sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis di samping maknanya yang netral (Sudjiman, 1995: 15-16). Bahkan, Ratna (2007: 231) menyatakan bahwa aspekaspek keindahan sastra justru terkandung dalam pemanfaatan gaya bahasanya. Oleh karena itu, gaya bahasa berperan penting dalam menentukan nilai estetik karya sastra. Menurut Pradopo (2004: 8), sesuai dengan konvensi sastra, gaya bahasa itu merupakan tanda yang menandai sesuatu. Bahan karya sastra adalah bahasa yang merupakan sistem tanda tingkat pertama ( first order semiotics). Dalam karya sastra gaya bahasa itu menjadi sistem tanda tingkat kedua ( second order semiotics). Gaya, bagi Junus (1989: 187-188), adalah tanda yang mempunyai makna. Gaya bahasa itu bukannya kosong tanpa makna. Junus (1989: 192-195) berpendapat, bahwa gaya bahasa itu menandai ideologi pengarang. Ada ideologi yang mungkin disampaikan penulis jika ia memilih atau menggunakan gaya tertentu. Menurut Buffon, gaya bahasa adalah orangnya sendiri, ekspresi diri pengarang yang khas (dalam Hudson, 1972: 34). Setiap sastrawan memiliki keunikan, kekhasan

3 dan kelebihan dalam gaya bahasanya. Oleh karena itu, Sayuti (2000: 173) menyatakan bahwa gaya bahasa sastrawan satu tidak dapat dikatakan lebih baik daripada sastrawan lainnya atau sebaliknya. Gaya bahasa Umar Kayam misalnya, tidak dapat dikatakan lebih baik daripada Kuntowijoyo atau sebaliknya. Tidak ada kamus lebih baik atau lebih jelek dalam hal gaya (bahasa). Hal ini dapat dipahami mengingat gaya bahasa merupakan keistimewaan ( idiosyncracy) pengarang yang merupakan suara-suara pribadinya yang terekam dalam karyanya. Dalam karya sastra, stilistika dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeksploitasi, memanipulasi dan memanfaatkan potensi bahasa. Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd & Lewis, 1970: 22). Sarana retorika itu bermacam-macam dan setiap sastrawan memiliki kekhususan dalam menggunakannya pada karyanya. Corak sarana retorika tiap karya sastra sesuai dengan gaya bersastra, aliran, ideologi serta konsepsi estetik pengarangnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sarana retorika angkatan 45 berbeda dengan Angkatan 66, dan seterusnya (Pradopo, 2000: 94). Demikian pula sarana retorika Tohari berbeda dengan Kuntowijoyo, tidak sama pula dengan Mangunwijaya, dan seterusnya. Makna karya sastra tidak dapat terlepas dari pemakaian gaya bahasa di dalamnya (Pradopo, 1994: 46). Oleh karena itu, stilistika, studi tentang gaya yang meliputi pemakaian gaya bahasa dalam karya sastra (Junus, 1989: xvii), merupakan bagian penting bagi ilmu sastra sekaligus penting bagi studi linguistik (bandingkan Endraswara, 2003: 75). Dalam analisis sastra, stilistika dapat membantu pembaca dalam memahami aspek estetik dan pemaknaan sastra. Kajian stilistika sebagai linguistik terapan terhadap karya sastra ikut memberikan kontribusi bagi analisis sastra untuk membantu memahami ekspresi karya sastra yang berupa pemanfaatan dan pengolahan potensi bahasa itu yang tidak lepas dari pengolahan gagasan (Aminuddin, 1995: 6; Sudjiman, 1995: 2). Jadi, tugas pene laah sastralah untuk menguasai kode suatu pernyataan bahasa dan menjelaskan maksud karya sastra dengan bahasa yang lazim. Ia harus memahami seluk-beluk bahasa medium karya sastra dengan sasaran utama untuk mengungkapkan makna yang dikodekan itu (Widdowson, 1979: 5). Kajian stilistika karya sastra dengan mengaitkan latar sosiohistoris dan ideologi pengarang serta fungsinya bagi pemaknaan sastra secara memadai, selama ini relatif

4 belum banyak. Selama ini pengkajian stilistika karya sastra mayoritas memfokuskan kajiannya pada analisis linguistik. Adapun pengkajian karya sastra pada umumnya memfokuskan pada pendeskripsian struktur dan maknanya. Penulis sastra yang memfokuskan kajiannya pada stilistika masih terbatas (lihat Pradopo, 1994: 46; Endraswara, 2003: 72). Beberapa kajian stilistika karya sastra Indonesia atau daerah selama ini kebanyakan masih bersifat umum, belum spesifik memfokuskan kajiannya pada stilistika. Artinya, kajian stilistika itu diselipkan sebagai salah satu pembahasan unsur karya sastra dari sekian unsur yang lain. Ada pula beberapa kajian stilistika karya sastra tetapi baru memfokuskan pada stilistika sebagai pendekatan, sedangkan yang menjadikannya sebagai objek kajian baru sedikit. Kajian stilistika karya sastra yang ada, tekanannya cenderung lebih pada kajian linguistik, sedangkan segi maknanya jarang dilakukan. Kajian stilistika karya sastra meliputi bentuk pemaparan gagasan, peristiwa, atau suasana tertentu pada karya sastra dengan mengkaji potensi-potensi bahasa yang dieksploitasi dan dimanipulasikan pengarang untuk tujuan estetis. Jadi, stilistika karya sastra merupakan bagian dari kreativitas pengarang sebagai wujud ekspresinya dalam mengungkapkan gagasannya. Stilistika karya sastra sekaligus menunjukkan pribadi pengarang dalam karyanya. Kajian stilistika karya sastra dengan mengaitkan fungsinya bagi pemaknaan karya sastra perlu dikembangkan. Selain bermanfaat bagi kritik sastra, hasil kajian stilistika tersebut dapat memberikan sumbangan bermakna bagi kajian linguistik khususnya kajian linguistik pada karya sastra. Dalam hal ini, kajian stilistika karya sastra akan menerapkan prinsip-prinsip linguistik dalam memerikan berbagai fenomena kebahasaan dalam karya sastra sebagai sarana ekspresi sastrawan dalam mengungkapkan gagasannya. Dengan demikian kajian stilistika karya sastra tidak hanya berhenti pada pemerian fenomena kebahasaan saja melainkan sampai pada pemaknaan sastra yang menjadi esensi sastra. Oleh karena itu, kajian stilistika ini akan memfokuskan pada stilistika trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dengan pendekatan kritik holistik.

5 B. Ronggeng Dukuh Paruk dan Kekhasan Ekspresi Dipilihnya stilistika Ronggeng Dukuh Paruk (selanjutnya disebut RDP) karya Ahmad Tohari (selanjutnya disebut Tohari) sebagai objek kajian dilandasi oleh beberapa alasan. Berdasarkan pembacaan awal, RDP diduga merupakan salah satu novel Indonesia mutakhir yang memiliki keunikan dan kekhususan ( uniqueness and specialty) baik segi ekspresi (surface structure) maupun segi kekayaan maknanya (deep structure). Artinya, RDP memenuhi dua kriteria utama sebagai karya literer seperti dinyatakan oleh Hugh (dalam Aminuddin, 1987: 45), yakni (1) relevansi nilai -nilai eksistensi manusia yang terdeskripsikan melalui jalan seni, melalui imajinasi dan rekaan yang keseluruhannya memiliki kesatuan yang utuh, selaras serta memiliki kepaduan dalam pencapaian tujuan tertentu ( integrity, harmony dan unity) dan (2) daya ungkap, keluasan, dan daya pukau yang disajikan lewat bentuk ( texture) serta penataan unsurunsur kebahasaan dan struktur verbalnya (adanya consonantia dan klaritas). Pada kriteria pertama, RDP melukiskan latar, peristiwa, dan tokoh-tokoh yang terdiri atas orang-orang desa yang sederhana dengan menarik, bahkan tidak jarang sangat menarik (Damono dalam Tempo, 13 Februari 1983). RDP disajikan dengan cara yang menggugah perasaan ingin tahu, suatu masalah yang bagi kita sebenarnya pun sangat lazim. Akan tetapi, yang mengasyikkan dari kesemuanya itu adalah gambaran tandas yang berhasil dibangkitkan Tohari yang mengikis khayalan indah tentang kehidupan pedesaan di Jawa (Meier, dalam Tohari, 2003). RDP mengungkapkan budaya lokal Banyumas Jawa Tengah yang khas dengan karakteristik, keunikan, dan permasalahannya dengan cara khas sastra. Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala, sejak kehadirannya dalam dunia sastra Indonesia pada dekade 1980-an telah mendorong banyak pencinta dan pengamat sastra membacanya bahkan tidak sedikit yang berulang-ulang membacanya--. Novel tersebut dinilai banyak kritikus sastra memiliki nilai lebih karena keberhasilannya mengungkapkan fenomena sosial budaya yang khas dalam sistem politik di Indonesia pada paroh dekade 1960-an. Budaya lokal yang ditampilkan melalui dunia ronggeng sebagai kesenian tradisional yang marjinal, di tangan Tohari tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan yang menarik berbagai kalangan baik komunitas sastra maupun pengamat sosial budaya lainnya. Tidak mengherankan jika kemudian RDP telah menjadi objek

6 kajian di kalangan mahasiswa dan kritikus sastra dengan mengkajinya dalam skripsi, tesis, dan disertasi baik di dalam maupun di luar negeri. RDP memaparkan fenomena yang belum pernah terjadi dalam khasanah sastra Indonesia, yakni kehidupan dunia ronggeng yang khas dengan latar sejarah malapetaka politik G30S/ PKI dengan segala eksesnya. Kultur desa yang longgar dalam tata susila perkawinan, penuh dengan kata-kata cabul, orang leluasa meniduri istri tetangganya, terlukis dalam RDP (Sumardjo, 1991: 85). Bagi orang Dukuh Paruk, jika seorang istri berselingkuh dengan tetangga, maka sang suami tidak perlu ribut menghajar tetangga tadi. Cukuplah sang suami meniduri istri tetangga tersebut, selesailah urusannya. Dari segi daya ungkapnya, RDP memiliki pembaruan bentuk ekspresinya yang segar, orisinal, dan khas sehingga memiliki daya tarik tersendiri. Menarik dan lancar teknik pengisahannya, sehingga dibanding Kubah, novelnya terdahulu, RDP menunjukkan bahwa Ahmad Tohari sangat lancar mendongeng (Damono dalam Tohari, 2003). Berdasarkan pembacaan awal, RDP memiliki ekspresi bahasa yang variatif dan pencitraan yang orisinal. Sesuai dengan latar cerita RDP dan latar kehidupan Tohari yang akrab dengan dunia pedesaan, banyak ungkapan bahasa dan gaya bahasa yang segar dan khas bernuansa alam pedesaan. Profesi Tohari sebagai wartawan turut mewarnai pemakaian bahasa yang variatif dan lancar dalam RDP. Selain itu, idiom Jawa yang kaya nuansa memperkaya bahasa RDP sekaligus mencerminkan latar pengarang yang dibesarkan di lingkungan masyarakat Jawa Tengah. Latar belakang Tohari yang pernah kuliah di Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Ilmu Sosial Politik (kesemuanya tidak diselesaikannya karena alasan non-akademik/ ekonomi), diduga turut berperan dalam memberikan pengayaan dalam eksplorasi bahasa dalam RDP. Banyaknya ungkapan dan gaya bahasa orisinal, segar, dan khas dalam RDP mengindikasikan hal itu. Gaya bahasa yang kaya informasi tentang istilah dalam ilmu pengetahuan terutama bidang sosial, politik, budaya, kedokteran, dan biologi, terlihat sebagai 'pelangi' yang turut memperindah RDP. Semua itu, menarik untuk dikaji. Tepatlah apa yang dinyatakan oleh Yudiono K.S. (2003: 151) bahwa jika gaya bahasa dipandang sebagai salah satu aspek penting dalam teknik penceritaan, maka gaya bahasa Tohari memang pantas untuk disimak. Sesuai dengan latar sosiohistorisnya yang

7 akrab dengan alam pedesaan di pedalaman Jawa, gaya bahasa yang dipilihnya itu merupakan cara yang tepat untuk mengeksplorasi kekayaan alam dalam karya sastranya. Di pihak lain, karena daya pukaunya yang tinggi., RDP telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Belanda, Cina, Inggris dan Jerman serta bahasa Jawa. Bahkan, RDP menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa jurusan Asia Timur di Universitas Bonn Jerman (Bertold Damhauser dalam Tohari, 2003). Dapat dikatakan, bahwa RDP adalah karya yang dahsyat dan karenanya merupakan karya masterpiece Tohari. Dari segi pengarangnya, Tohari adalah sosok sastrawan Indonesia yang layak diperhitungkan. Tohari, bersama Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, dan Umar Kayam--, adalah sekelompok sastrawan yang dikategorikan sebagai generasi sastrawan Horison yang lahir melalui karya-karyanya di majalah sastra tersebut sejak dekade 1970-an (Sumardjo, 1991: iv). Dengan karya -karya dan penghargaan yang diperolehnya, tidak mengherankan jika Tohari disejajarkan dengan "raksasa sastra" Indonesia yang beberapa kali dinominasikan sebagai penerima hadiah nobel sastra, Pramudya Ananta Tour (Pengantar Penerbit dalam Tohari, 2003b: v). Sebagai sastrawan Indonesia terkemuka, karya-karya Tohari khas dan berbobot literer, terbukti dengan beberapa penghargaan yang diperolehnya dalam berbagai even. Misalnya, karya Tohari memperoleh penghargaan dalam sayembara penulisan sastra di antaranya Kincir Emas dari Radio Nederland Wereldomroep (1975), penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta (1979), dan Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1980). Penghargaan dari luar negeri misalnya The Fellow Writer of the University of Iowa (1990) dan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand di Bangkok (1995). Oleh karena itu, karya-karyanya layak dijadikan objek kajian baik dari aspek linguistik maupun dari segi gagasannya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997: 58; Ahmad Tohari, 2003: 396-397; Yudiono K.S. 2003: 1-4; www.ceritanet.com, 5 November 2006). Mengingat gaya bahasa adalah 'tanda' yang bermakna, yang menyiratkan ideologi pengarang, maka kajian stilistika RDP dikaitkan dengan pemaknaan. Artinya, selain dikaji dari segi aspek linguistiknya, stilistika RDP akan dikaji maknanya di balik ekspresi, manipulasi, dan eksploitasi kebahasaan yang khas Tohari tersebut. Dalam hal ini, untuk mengungkapkan makna stilistika RDP itu, akan digunakan pendekatan holistik yang mengaitkan RDP sebagai karya (faktor objektif) dengan latar sosiohistoris

8 Tohari sebagai pengarang (faktor genetik) dan tanggapan pembaca (faktor afektif). Oleh karena itu, kajian stilistika RDP ini diharapkan mampu mengungkapkan gagasan pengarang, kondisi sosial budaya, peristiwa dan suasana tertentu yang terekam dalam keunikan stilistikanya. Dengan demikian, hasil kajian stilistika RDP ini akan memberikan informasi ilmiah baru bagi pemerhati linguistik dan sastra sekaligus. Sejalan dengan hakikat sastra sebagai 'dunia imajinatif', maka kajian stilistika RDP terutama berfokus pada keunikan bahasa dan gaya bahasa yang merupakan ekspresi pengarang (lihat Hartoko & Rahmanto, 1986: 137). Dalam hal in i bagaimana pengarang memanfaatkan segenap potensi bahasa guna mengekspresikan gagasangagasan tertentu untuk mencapai efek estetik. Jadi, stilistika RDP sebagai hasil proses kreatif tidak lepas dari ideologi pengarang. Kajian stilistika trilogi novel RDP merupakan studi mengenai pemakaian bahasa sastra yang menjadi media ekspresi bagi sastrawan untuk menuangkan gagasannya (subject mater) dengan cara yang khas, di samping untuk mencapai efek estetik. Oleh karena itu, proses analisis ini diarahkan untuk menemukan keunikan dan kekhasan pemanfaatan potensi bahasa dan gaya bahasa RDP beserta pemaknaannya yang tidak terlepas dari latar sosiohistoris pengarang dan horison penulis sebagai pembaca. C. Objek Kajian Secara umum objek kajian yang akan dianalisis dalam kajian ini adalah stilistika trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari beserta pemahaman maknanya. Secara khusus, objek kajian ini adalah stilistika RDP baik yang berupa diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif (mencakup majas, idiom, dan peribahasa), dan citraan (faktor objektif); latar belakang sosiohistoris pengarang sebagai kreator stilistika RDP dalam rangka interpretasi maknanya (faktor genetik) ; makna stilistika sebagai sarana sastra dalam RDP yang dikaji secara holistik yakni dalam hubungannya dengan latar sosiohistoris pengarang berdasarkan tanggapan pembaca (faktor afektif).