BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkaitan dengan variabel yang digunakan. Selain itu akan dikemukakan hasil

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) (Yuwono, 2008: 85).

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Maimunah (2006) pengertian flypaper effect adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukan penelitian terlebih dahulu yang hasilnya seperti berikut : Peneliti Judul Variabel Hasil

ketentuan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. No. 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No.32 tahun

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

STRUKTUR APBD DAN KODE REKENING

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis adanya flypaper effect pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Otonomi daerah adalah kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri terutama

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk melaksanakan hak dan kewajibannya serta melaksanakan tugas yang dibebankan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan

KEBIJAKAN LRA A. TUJUAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-undang Nomor 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.,2008) adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu tentang Pengaruh Fiscal Stress terhadap Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi. rencana pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan yang diukur

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal, saat ini Indonesia

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Umum, Dana Bagi Hasil, Pendapatan Asli Daerah, Belanja Daerah, dan flypaper

ANGGARAN PENDAPATAN & BELANJA NEGARA DIANA MA RIFAH

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Merangin. Gambaran Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kerangka Pendanaan

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RINCIAN PENDAPATAN DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. A. Tinjauan Pustaka. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkembang di Indonesia. Pengertian akuntansi pemerintahan tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

Tinjauan Atas Laporan Penerimaan Dan Pengeluaran Kegiatan APBD Pada Dinas Pertanian, Tanaman Dan Pangan Provinsi Jawa Barat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Keuangan Kabupaten Karanganyar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

AKUNTANSI PENDAPATAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB V PENDANAAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas lebih mendalam tentang teori-teori yang berkaitan dengan variabel yang digunakan. Selain itu akan dikemukakan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan topik yang akan diteliti. 2.1 Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Tingkat pemerintahan dibedakan menjadi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah daerah dibedakan lagi menjadi Pemerintah Daerah Tingkat satu dan Pemerintah Daerah Tingkat Dua. Daerah Tingkat Satu disebut dengan Provinsi dan Daerah Tingkat Dua disebut Kotamadya dan Kabupaten. Dengan adanya pembagian daerah administrasi, maka negara dituntut adanya suatu sistem keuangan negara yang akan dapat menjamin kelancaran pemerintahan dan pembangunan khususnya dalam hal jasa publik maupun pencarian pendapatan dari berbagai sumber. Alokasi tugas dalam menyediakan barang publik akan mempengaruhi tanggung jawab keuangan dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Derajat sentralisasi keuangan negara sedang berkembang lebih tinggi dari negara yang telah maju. Hal itu disebabkan oleh lemahnya kemampuan admisitrasi di tingkat daerah, perbedaan situasi dan kondisi antar berbagai daerah, perlunya kekuatan pusat yang kuat untuk mengurangi adanya gerakan-gerakan sparatis. 12

13 2.2 Dana Transfer ke Daerah Pelaksanaan urusan perimbangan keuangan pusat dan daerah terkait dengan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pelaksanaan desentralisasi diwujudkan melalui pemberian bantuan dalam bentuk transfer dana dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Sejak awal tahun 2008, seiring dengan penunjukkan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran bagian Anggaran Dana Perimbangan dan Bagian Anggaran Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian, maka mekanisme penyaluran diubah dengan menggunakan Transfer ke Daerah. Menurut Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, transfer ke daerah adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Transfer ke Daerah ditetapkan dalam APBN, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang selanjutnya dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku Kuasa Pengguna Anggaran atas nama Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran untuk tiap jenis Transfer ke Daerah dengan dilampiri rincian alokasi per daerah. Dana perimbangan pada dasarnya merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil yang berasal dari pajak dan kekayaan daerah, dana alokasi umum

14 yang berupa komponen terbesar dalam menciptkan pemerataan dan keadilan antar serta dana alokasi khusus yang bertujuan membantu mandanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. 2.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sumber-sumber pendapatan asli daerah, yaitu (Ritonga,2009:185): 1) Pajak daerah Pajak daerah adalah pungutan yang dilakukan pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pajak daerah terdiri dari pajak daerah pemerintah provinsi dan pajak daerah pemerintah kabupaten/kota. Pajak daerah pemerintah provinsi yaitu pajak yang dikelola oleh pemerintah provinsi seperti, pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak air bawah tanah. Sedangkan pajak daerah pemerintah kabupaten/kota yaitu pajak yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota seperti pajak hotel, pajak restoran, dan pajak reklame. 2) Retribusi daerah Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah unntuk kepentingan orang pribadi atau badan tertentu. Jenis retribusi daerah dirinci menurut objek pendapatan sesuai undang-undang

15 yaitu retribusi pelayanan kesehatan, retribusi air, retribusi jembatan timbang, dll. 3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Kekayaan daerah yang dipisahkan berarti kekayaan daerah yang dilepaskan dan penguasaan umum yang dipertanggung jawabkan melalui anggaran belanja daerah dan dimaksudkan untuk dikuasai dan dipertanggung-jawabkan sendiri. Menurut objek pendapatan, jenis pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci sbb: a) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/bumd b) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/ BUMN c) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. 4) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dipisahkan menurut objek pendapatan, : a) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan b) Jasa giro c) Pendapatan bunga d) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah e) Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah

16 f) Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing g) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan h) Pendapatan denda pajak i) Pendapatan denda retribusi j) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan k) Pendapatan dari pengembalian l) Fasilitas sosial dan fasilitas umum m) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan n) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan. 2.4 Dana Alokasi Umum (DAU) Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pembelanjaannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut Oates dalam Kuncoro, 2007, tujuan utama implementasi transfer adalah untuk menginternalisasikan eksternalitas fiscal yang muncul lintas daerah, perbaikan sistem perpajakan, koreksi ketidakefisienan fiskal dan pemerataan fiskal antar daerah. Dana alokasi umum merupakan komponen terbesar dari dana perimbangan dalam APBN. Total DAU hampir mencapai 75 % dari total dana perimbangan. Dalam undang-undang otonomi daerah, DAU ditetapkan minimal 25 % dari

17 penerimaan dalam negeri APBN setiap tahun. Lebih lanjut, 90% dari 25% DAU tersebut dialokasikan kepada seluruh Kabupaten/Kota. Sedangkan 10% sisanya dialokasikan untuk tingkat provinsi (Rahman dan Kusumadewi, 2007:71). Kebijakan DAU merupakan instrumen penyeimbang fiskal antardaerah. Sebab tidak semua daerah mempunyai struktur dan kemampuan fiskal yang sama. Besarnya DAU suatu daerah adalah total kebutuhan daerah dikurangi dengan total potensi ekonomi daerah yang bersangkutan (Saragih, 2003:98). Dalam penjelasan UU No. 25/1999 ditegaskan bahwa formula DAU bagi propinsi, kabupaten dan kota ditetapkan sbb (Saragih, 2003:98) : 2.5 Belanja Daerah (BD) Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang sedang berlangsung. Menurut Pasal 64 ayat (2) Nomor 5 Tahun 1974 pemerintahan daerah, APBD didefinisikan sebagai rencana operasional keuangan Pemerintah daerah, di mana pada satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah selama satu tahun anggaran tertentu, dan dilain pihak menggambarkan perkiraan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran yang dimaksud.

18 Menurut kelompoknya, belanja daerah dikelompokan menjadi dua, yaitu (Ritonga,2009:188) : 1 Kelompok Belanja Tidak Langsung Merupakan kelompok belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja tidak langsung biasa disebut sebagai fixed cost yang jumlahnya relatif tetap dari tahun ke tahun. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari : a) Belanja pegawai Belanja pegawai merupakan belanja kompensasi dalam bentuk gaji dan tunjagan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja pegawai dianggarkan pada belanja organisasi berkenaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan b) Belanja bunga Belanja bunga digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang c) Belanja subsisdi Belanja subsidi digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya produksi kepada perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual produksi/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat banyak

19 d) Belanja hibah Belanja hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan jasa kepada pemerintah atau pemertintah daerah lainnya, dan kelompok masyarakat/perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya e) Bantuan sosial Bantuan sosial merupakan pemberian bantuan dalam bentuk uang atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat f) Belanja bagi hasil Belanja bagi hasil yang bersumber dari pendapatan pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota atau pendapatan pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. g) Bantuan keuangan Bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah lainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah daerah lainnya dalam rangka pemerataan atau peningkatan kemampuan keuangan h) Belanja tidak terduga Belanja tidak terduga digunakan untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana

20 alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah bertahuntahun sebelumnya setelah ditutup. 2. Kelompok Belanja Langsung Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menjadi : a) Belanja Pegawai Belanja pegawai merupakan pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah b) Belanja barang dan jasa Belanja barang dan jasa merupakan pengeluaran pembelian/ pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 bulan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah. c) Belanja modal Belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan asset tetap berwujud yang mempubnyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan. 2.6 Flypaper Effect Flypaper effect adalah suatu kondisi yang terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak dengan menggunakan dana transfer (grants) yang

21 diproksikan dengan PAD. Karena itu flypaper effect dianggap sebagai tambahan pendapatan masyarakat sehingga harus dibelanjakan dengan cara yang sama pula dengan pendapatan asli daerah (Pramuka, 2013:3). Flypaper effect membawa implikasi meningkatkan belanja pemerintah daerah lebih besar daripada penerimaan transfer itu sendiri serta kecenderungan untuk menanti bantuan dari pusat dibanding mengelola sumber daya daerah sendiri (Turnbull dalam Afrizawati,2012). Secara implisit terdapat beberapa implikasi dari terjadinya flypaper effect pada belanja daerah, seperti (Afrizawati,2012:28) : a) Menyebabkan celah kepincangan fiskal akan tetap ada. Fiscal gap merupakan kerangka kebijakan Pemerintah pusat dalam memberikan DAU kepada daerah, maka jika terjadi flypaper effect artinya pencapaian pemberian dana transfer kurang optimal. b) Menimbulkan ketidakmaksimalan dalam pemanfaatan sumber - sumber penghasil pertumbuhan PAD. c) Menyebabkan unsur ketergantungan daerah kepada Pemerintah pusat tetap ada, karena secara lansung pemberian DAU kepada daerah yang berarti Pemerintah pusat mensubsidi pengeluarag daerah untuk mengurangi beban pembiayaan. d) Adanya respon yang berlebihan dalam pemanfaatan dana transfer di mana seharusnya pemerintah pusat membuat kinerja monitoring dan evaluasi pada pemerintah daerah dalam rangka memonitor, mengkontrol, dan mengevaluasi penggunaan dana DAU. Implikasi yang paling penting dari flypaper effect ini adalah adanya kecenderungan melakukan manipulasi pengeluaran pemerintah setinggi mungkin

22 dengan tidak mengupayakan memaksimalkan PAD agar nantinya dapat memperoleh bantuan berupa transfer dari pemerintah pusat. 2.7 Studi Terkait Studi mengenai terjadinya flypaper effect di kota/kabupaten di Indonesia telah banyak dilakukan, di antaranya oleh Kesit Bambang Prakosa pada tahun 2004 dengan judul penelitian Analisis Pengaruh dana alokasi umum dan pendapatan asli daerah terhadap prediksi belanja daerah (studi empirik wilayah propinsi Jawa Tengah dan DIY). Dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa dana alokasi umum, pajak daerah dan pendapatan asli daerah berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah baik dengan lag maupun tanpa lag. Penelitian ini menunjukkan bahwa di wilayah ini terjadi flypaper effect. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Mutiara Maimunah dan Rusdi Akbar pada tahun 2008. Penelitian dengan tujuan untuk memberikan bukti empiris mengenai pengaruh DAU dan PAD terhadap belanja pemerintah di Pulau Sumatra dan melihat kemungkinan terjadinya flypaper effet pada belanja kabupaten/kota di Pulau Sumatra. Dengan menggunakan alat analisis regresi sederhana dan berganda, dapat disimpulkan bahwa pada alfa 5%, dana alokasi umum dan pendapatan asli daerah berpengaruh secara signifikan terhadap belanja daerah. Dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa di kabupaten/kota di pulau Sumatera mengalami flypaper effect. Bambang Agus Pramuka dengan penelitian berjudul flypaper effect pada pengeluaran pemerintah di Jawa tahun 2010. Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara simultan maupun parsial, DAU dan PAD secara signifikan bepengaruh terhadap belanja daerah. DAU dan PAD tahun sebelumnya menyebabkan

23 peningkatan belanja daerah tahun berikutnya. Namun untuk penelitian ini, tidak terjadinya flypaper effect.