BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori keagenan Kemunculan teori keagenan (agency theory) disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan yang muncul dan timbulnya konflik yang terjadi berkat hubungan antara prinsipal dan agen. Hubungan antara prinsipal dan agen ini merupakan hubungan antara pihak pemberi wewenang dan pihak yang menerima wewenang. Prinsipal sebagai pihak pemberi wewenang sedangkan agen bertindak sebagai pihak penerima wewenang. Teori ini mengasumsikan bahwa konflik yang terjadi antara prinsipal dan agen ditimbulkan oleh motivasi masing-masing individu terhadap kepentingannya sendiri (Jensen dan Meckling, 1976). Zimmerman (1977) mengatakan bahwa konflik keagenan terjadi dalam semua jenis organisasi. Pada sektor privat, konflik keagenan terjadi diantara pemegang saham dengan manajemen, sedangkan di sektor publik antara pemerintah dengan rakyat. Penelitian ini menyebutkan bahwa masyarakat bertindak sebagai prinsipal dan pemerintah sebagai agen. Peran agen yaitu memanfaatkan sumber daya yang yang diberikan oleh prinsipal. Agen berperan memberikan pertanggungjawaban berupa laporan atas pengelolaan sumber daya yang telah diberikan kepada prinsipal yang terdapat dalam laporan keuangan. Adanya konflik keagenan salah satunya ialah asimetri informasi antara pemerintah dan rakyat, menuntut laporan keuangan pemerintah untuk diaudit oleh pihak yang independen. Selain itu, kecenderungan pemerintah untuk memoles 12
laporan keuangannya sehingga membuat kinerjanya terlihat baik menyebabkan perlunya pihak ketiga yang dapat melakukan pengujian bahwa laporan keuangan pemerintah dapat dipercaya. Menurut UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. BPKP adalah salah satu lembaga yang bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Laporan hasil pemeriksaan BPKP dapat memuat opini, temuan, simpulan dan rekomendasi tergantung lingkup pemeriksaannya. Hasil pemeriksaan yang terkait dengan pembuktian dan perhitungan kerugian keuangan negara akan disampaikan ke aparat penegak hukum. Hasil ini juga merupakan bagian dari pertanggungjawaban politisi dan/atau pemerintah yang bertindak sebagai agen kepada rakyat yang bertindak sebagai prinsipal yang menginginkan transparansi penggunaan anggaran negara. Dengan adanya auditor yang independen diharapkan tidak terjadi kecurangan dalam laporan keuangan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pertanggungjawaban hasil kinerja. 2.1.2 Pengertian auditing Auditing menurut Arens et al. (2011:4) adalah akumulasi suatu evaluasi bukti mengenai informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi dengan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing adalah proses sistematis untuk mempelajari dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai kejadian ekonomi untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan 13
tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan (Mulyadi, 2008). Halim (2008:1) mengemukakan bahwa auditing merupakan proses sistematis untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi tentang tindakan maupun kejadian ekonomi untuk menentukan apakah asersi tersebut telah sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan dan selanjutnya disampaikan kepada para pengguna laporan yang berkepentingan. 2.1.3 Tipe-tipe auditor Auditor yang ditugaskan untuk mengaudit tindakan ekonomi atau kejadian untuk entitas individual atau entitas hukum pada umumnya diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok Halim (2008:11), yaitu. 1) Auditor internal Auditor internal merupakan karyawan suatu perusahaan tempat mereka melakukan audit. Tujuan audit internal adalah untuk membantu manajemen dalam melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif. Audit internal dapat mendukung audit atas laporan keuangan yang dilakukan auditor independen. 2) Auditor pemerintah Auditor pemerintah adalah auditor yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas utamanya adalah melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan dari berbagai unit organisasi dalam pemerintahan. 14
3) Auditor independen (akuntan publik) Auditor independen adalah para praktisi individual atau anggota Kantor Akuntan Publik yang memberikan jasa audit profesional kepada klien. Klien dapat berupa perusahaan bisnis yang berorganisasi laba, organisasi nirlaba, badan-badan pemerintahan, maupun individu perseorangan. 2.1.4 Pemahaman good governance Governance berarti proses pembuatan kebijakan dan proses implementasinya. Good governance adalah tata kelola yang baik pada suatu usaha yang dilandasi oleh etika profesional dalam berusaha/berkarya. Good governance juga dapat didefinisikan sebagai proses pembuatan kebijakan yang baik sehingga diharapkan akan menghasilkan implementasi kebijakan yang baik pula. Good governance juga dimaksudkan sebagai suatu kemampuan manajerial untuk mengelola sumber daya dan urusan suatu negara dengan cara-cara terbuka, transparan, akuntabel, adil, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat (Wati, 2010). Menurut Pedoman Umum Good Public Governance Indonesia yang diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance, dalam konteks pemberantasan korupsi, good governance sering diartikan sebagai penyelenggaraan negara yang bersih dari praktek korupsi. Good governance pada umunya diartikan sebagai pengelolaan pemerintah yang baik. Kata baik disini adalah mengikuti kaidah tertentu sesuai dengan prinsip dasar good governance (Mustafa, 2013). 15
Mustafa (2013) menyatakan pemahaman terhadap prinsip good governance merupakan kunci utama dalam memahami good governance itu sendiri. Pemahaman good governance menurut Trisnaningsih (2007) merupakan tata kelola organisasi yang baik yang mengatur hubungan, fungsi dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam urusan bisnis maupun pelayanan publik. Suatu pemerintahan yang baik hendaknya membuka kesempatan yang luas agar semua pihak yang terkait dalam pemerintahan dapat berpartisipasi secara aktif. Penyelenggaraan pemerintahan harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Tolak ukur kinerja suatu pemerintahan bersumber dari prinsip good governance. Baik buruknya pemerintahan bisa dinilai dengan diterapkan atau tidaknya semua prinsip good governance. United Nation Development Program (UNDP, 1997 dalam Mustafa, 2013) mengungkapkan bahwa terdapat sembilan karakteristik atau prinsip yang harus dianut dan dikembangkan demi tercapainya pemerintahan yang baik yaitu. 1) Partisipasi (participation) adalah semua warga masyarakat mempunyai hak suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan dan aspirasi masyarakat. 2) Penegakan Hukum (rule of law) adalah prinsip yang menggambarkan bahwa hukum haruslah ditegakkan dan kerangka hukum haruslah adil. 3) Transparansi (transparency) adalah kebebasan arus informasi terhadap proses dari lembaga-lembaga yang dapat diterima oleh pihak yang membutuhkan. Informasi tersebut harus dapat diterima dan dimonitor. 16
4) Daya Tanggap (responsive) adalah prinsip yang menyatakan institusi harus cekatan dan peka dalam melayani semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Faisal (2014) menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatnya. Pemerintah harus secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan masyarakat untuk melahirkan kebijakan strategis yang memenuhi kepentingan umum. 5) Konsesus (consesus) adalah prinsip yang menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsesus. Good governance menjadi perantara dari seluruh kepentingan yang berbeda dan diharapkan dengan konsensus, sebagian besar kepentingan dapat dipenuhi. Hal ini dikarenakan model keputusan tersebut akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama dan memiliki kekuatan memaksa bagi semua komponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut. 6) Kesetaraan (equity) adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Good governance harus memperhatikan asas ini secara sungguh-sungguh karena kenyataan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan budaya. 7) Efektivitas dan efisiensi adalah pelaksanaan pemerintahan yang baik dan tepat guna serta mampu memberikan kesejahteraan pada semua pihak. 8) Akuntabilitas (accountability) adalah pertanggungjawaban pemerintah terhadap masyarakat dan lembaga-lembaga stakeholders yang memberinya kewenangan dalam mengurusi urusan pemerintahan. Secara teoritik, 17
akuntabilitas menyangkut dua dimensi yakni akuntabilitas vertikal yang memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggung jawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih tinggi, dan akuntabilitas horizontal yaitu pertanggungjawaban pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara. 9) Visi strategis adalah pandangan strategis untuk menghadapi masa depan. Selain itu, seseorang yang memiliki jabatan publik atau lembaga profesional lainnya harus memiliki kemampuan menganalisa persoalan dan tantangan yang akan dihadapi. 2.1.5 Pengalaman kerja Pengalaman kerja adalah proses pembentukan pengetahuan dan keterampilan tentang teknis suatu pekerjaan karena keterlibatan seseorang dalam pelaksanaan tugas pekerjaan dan lamanya seseorang bergelut dalam suatu pekerjaan. Pengalaman dapat memberikan dampak pada pengambilan keputusan yang tepat dalam pelaksanaan audit karena berdasarkan pengalaman audit seorang auditor dapat mengetahui kecurangan yang sering terjadi dalam praktiknya. Salah satu faktor penentu dalam mengidentifikasi kesalahan dalam proses analitis adalah pengalaman auditor (Marchant, 1989). Pengalaman merupakan elemen penting dalam tugas pemeriksaan selain pengetahuan yang dimiliki oleh auditor (Hudiwinarsih, 2010). Carolita (2012) menyatakan pengalaman merupakan cara pembelajaran yang baik bagi auditor internal untuk menjadikan auditor kaya akan teknik audit. Semakin tinggi pengalaman auditor, maka semakin mampu dan mahir auditor mengusai tugasnya sendiri maupun 18
aktivitas yang diauditnya. Herliansyah dkk. (2006) dalam Badjuri (2012) menyatakan bahwa secara spesifik pengalaman dapat diukur dengan rentang waktu yang telah digunakan terhadap suatu pekerjaan atau tugas. Pendidikan formal saja tidak cukup untuk menghasilkan auditor yang profesional dan berkualitas tinggi. Dibutuhkan adanya pengalaman kerja dalam mendukung kesuksesan sebagai auditor yang berkualitas. Pengalaman bagi auditor merupakan nilai tambah bagi dirinya dan dapat mendukung terciptanya kualitas audit yang diharapkan (Badjuri, 2011). Menurut Sari (2011) pengalaman kerja seseorang menunjukkan jenisjenis pekerjaan yang pernah dilakukan seseorang dan memberikan peluang yang besar bagi seseorang untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik. Sari (2011) memberikan kesimpulan bahwa seorang karyawan yang memiliki pengalaman kerja yang tinggi akan memiliki keunggulan dalam beberapa hal diantaranya: a) mendeteksi kesalahan, b) memahami kesalahan dan c) mencari penyebab munculnya kesalahan. Auditor yang memiliki pengalaman lebih atas pemahaman laporan keuangan lebih mampu memberikan penjelasan yang masuk akal atas kesalahan kesalahan dalam laporan keuangan, dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasar pada tujuan audit (Libby et al., 1985). Choo dan Trotman (1991) memberikan bukti empiris bahwa auditor berpengalaman lebih banyak menemukan item-item yang tidak umum dibandingkan auditor yang kurang berpengalaman, tetapi antara auditor yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman tidak berbeda dalam menemukan item-item yang umum. Abdolmohammadi dan Wright (1987) menjelaskan bahwa pengalaman merupakan 19
atribut penting bagi auditor dan memberikan bukti empiris bahwa dampak pengalaman auditor akan signifikan ketika kompleksitas tugas dipertimbangkan. 2.1.6 Komitmen Organisasi Komitmen organisasional yang tinggi berarti pemihakan oleh pekerja pada organisasi yang memperkerjakannya. Trisnaningsih (2007) menyatakan bahwa komitmen organisasi memiliki 3 (tiga) faktor karakteristik yaitu: a) keinginan seseorang yang kuat untuk mempertahankan status keanggotaannya dalam suatu organisasi, b) kesiapan kesediaan seseorang untuk meningkatkan partisipasinya demi kepentingan organisasi, c) suatu keyakinan yang kuat terhadap organisasi dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi. Komitmen organisasi menurut Allen Meyer (1990) dalam Yustina (2006) adalah derajat sejauh mana keterlibatan seseorang dalam organisasinya dan kekuatan identifikasinya terhadap suatu organisasi tertentu. Keberhasilan dan kinerja seseorang dalam pekerjaan dapat ditentukan dari tingkat kompetensi, profesionalisme dan juga komitmennya terhadap bidang pekerjaan yang ditekuninya (Pamilih, 2014). Tingginya komitmen organisasi yang dimiliki akan cenderung membuat auditor lebih berkompeten dan independen dalam mengatasi masalah terkait dengan konflik peran dan tetap fokus pada pekerjaan (Lui et al., 2001). Sementara Robbins (2001) dalam Wati, dkk (2010) mengemukakan bahwa komitmen karyawan pada organisasi merupakan salah satu sikap yang mencerminkan perasaan suka atau tidak suka seseorang karyawan terhadap organisasi tempat dia bekerja. Komitmen organisasi menunjukkan suatu daya 20
dari dalam diri seseorang dalam mengidentifikasi keterlibatannya dalam suatu organisasi. Berdasarkan berbagai keterbatasan definisi komitmen organisasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya komitmen organisasi merupakan suatu proses dalam diri individu untuk mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan dan tujuan-tujuan organisasi yang bukan hanya sebagai kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, sehingga komitmen menyiratkan hubungan pegawai dan organisasi secara aktif. Tipe komitmen menurut pendapat Allen dan Meyer (1990) dalam Yustina (2006) yaitu. 1) Komitmen yang berpengaruh (affective commitment) meliputi keadaan emosional dari karyawan untuk menggabungkan diri, menyesuaikan diri dan berbaur langsung dalam organisasi. Dengan kata lain, seseorang menjadi anggota organisasi karena ia menginginkannya (want to). 2) Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) meliputi komitmen yang didasarkan pada penghargaan yang diharapkan karyawan untuk dapat tetap berada dalam organisasi. Dengan kata lain, seseorang menjadi anggota organisasi karena ia merasa membutuhkannya (need to). 3) Komitmen normatif (normative commitment) meliputi perasaan karyawan terhadap kewajiban untuk tetap tinggal dalam organisasi. Seseorang menjadi anggota organisasi karena ia merasa harus melakukan sesuatu (ought to do). 2.1.7 Kualitas Audit 21
Kane (2005) mendefinisikan kualitas audit sebagai kapasitas auditor untuk mendeteksi terjadinya kesalahan material dan bentuk penyimpangan lainnya. Watkins et al. (2004) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran dalam sistem akuntansi dengan pengetahuan dan keahlian auditor. Pelaporan pelanggaran tergantung pada dorongan auditor untuk mengungkapkan pelanggaran tersebut. Dorongan ini akan tergantung pada independensi yang dimiliki oleh auditor tersebut. Menurut Dang (2004) dalam Chadegani (2011) berpendapat bahwa laporan keuangan yang diaudit adalah mekanisme pemantauan untuk memberikan jaminan bagi pengguna informasi keuangan. Informasi dan keandalan keuangan tercermin dalam laporan audit (Ghicas, 2007). Kualitas pelaporan hasil pemeriksaan atau laporan audit dijadikan sebagai dasar untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan yang berguna bagi pihakpihak yang berkepentingan (Idowu dan Gabriel, 2013). Penilaian mengenai kualitas audit dapat dilihat dari kualitas keputusan yang diambil. Menurut penelitian Badjuri (2011) kualitas audit biasanya diukur dengan pendapat profesional auditor yang tepat serta didukung oleh bukti dan penilaian objektif. Auditor akan memberikan pelayanan yang berkualitas kepada stakeholders jika auditor memberikan laporan audit yang independen, dapat diandalkan dan didukung dengan bukti audit yang memadai. Menurut Moize (1986) dalam Elfarini (2007), pengukuran kualitas proses audit dapat dilakukan dengan melihat kinerja auditor dan kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Yuniarti 22
(2011) kualitas audit adalah sesuatu yang abstrak, sulit diukur dan hanya dapat dirasakan oleh pengguna jasa audit. Penelitian (Christiawan, 2002) dalam Badjuri (2012) kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi. Menurut penelitian Novrizah (2010) kualitas audit adalah kemampuan seorang auditor dalam memperoleh dan mengevaluasi bukti untuk menemukan apakah terjadi pelanggaran, serta auditor mampu untuk melaporkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Coram et al., (2004) menyatakan bahwa dengan melihat tingkat kepatuhan auditor dalam melaksanakan tahapan prosedur audit, maka kita bisa menilai kualitas audit yang dihasilkan. Berdasarkan uraian tersebut maka pengertian kualitas audit dalam penelitian ini adalah kemungkinan seorang auditor dapat menemukan dan melaporkan ketidaksesuaian penyajian laporan keuangan dan sistem akuntansi klien dengan standar yang berlaku. 2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Pemahaman Good Governance pada Kualitas Audit Penelitian dari Faisal (2014) menghasilkan bahwa pemahaman good governance berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor pemerintah. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Trisnaningsih (2007) yang menemukan bahwa pemahaman good governance tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor. Hasil penelitan Wati, dkk (2010) yaitu pemahaman good governance berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. Hasil penelitian Wibowo (2009) membuktikan pemahaman good governance berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. Seorang akuntan yang memahami good governance secara benar 23
maka akan memengaruhi perilaku profesional akuntan dalam berkarya dengan orientasi pada kinerja yang tinggi untuk mencapai tujuan akhir sebagaimana diharapkan oleh berbagai pihak (Trisnaningsih, 2007). Berdasarkan uraian di atas bahwa seorang auditor pemerintah yang memahami good governance dengan baik maka dia akan bekerja sesuai dengan aturan yang ada, sehingga kinerja auditor pemerintah akan menjadi lebih baik. Kinerja yang baik akan menghasilkan kualitas pekerjaan yang baik pula yang dalam hal ini kualitas auditnya. Jika auditor sudah memiliki pemahaman terhadap good governance, maka kemungkinan untuk diungkapkannya suatu kesalahan dalam sistem akuntansi klien akan meningkat. Hal ini disebabkan karena auditor memahami bagaimana ia harus mengungkapkan temuannya terkait dengan pemahamannya terhadap good governance. Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut. H1: Pemahaman good governance berpengaruh positif signifikan pada kualitas audit. 2.2.2 Pengaruh Pengalaman Kerja pada Kualitas Audit Singgih dan Bawono (2010) menyatakan bahwa auditor yang berpengalaman menghasilkan kualitas audit yang lebih baik dibandingkan dengan auditor pemula. Seorang auditor yang dihadapkan dengan pekerjaan yang sama secara terus menerus akan dapat menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dan lebih baik. Hal ini dikarenakan bahwa telah dikuasainya teknik dalam penyelesaian pekerjaannya dan telah banyak menghadapi hambatan serta mengetahui cara mengatasi hambatan yang ditemui. 24
Penelitian dari Carolita (2012), menyatakan bahwa pengalaman kerja berpengaruh positif terhadap kualitas hasil audit. Hasil penelitian dari Sukriah, dkk (2009) adalah pengalaman kerja berpengaruh secara positif terhadap kualitas hasil pemeriksaan. Sukriah, dkk (2009) menyatakan bahwa semakin banyak pengalaman kerja seorang auditor maka semakin meningkat kualitas hasil pemeriksaan yang dilakukan. Sari dan Ramantha (2015) menyatakan bahwa semakin berpengalaman, auditor akan semakin dapat menghasilkan berbagai macam harapan dalam menjelaskan temuan audit. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian dari Singgih dan Bawono (2010) yaitu pengalaman tidak berpengaruh terhadap kualitas audit. Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah: H2: Pengalaman kerja berpengaruh positif signifikan pada kualitas audit 2.2.3 Pengaruh Komitmen Organisasi dalam Hubungan antara Pemahaman Good Governance dan Kualitas Audit Hasil penelitian Wibowo (2009) berhasil membuktikan pemahaman good governance berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. Seorang akuntan yang memahami good governance secara benar, akan mempengaruhi perilaku profesional akuntan dalam berkarya dengan orientasi pada kinerja yang tinggi untuk mencapai tujuan akhir sebagaimana diharapkan oleh berbagai pihak (Trisnaningsih, 2007). Menurut penelitian Wati, dkk. (2010), pemahaman good governance berpengaruh positif terhadap kinerja auditor pemerintah. Seorang auditor yang memahami good governance secara benar, akan memengaruhi perilakunya dalam melaksanakan pekerjaan dengan orientasi perolehan hasil yang baik 25
Seseorang yang memiliki komitmen terhadap organisasi akan menunjukkan kesediaan untuk mempertahankan keanggotannya dalam organisasi. Dirinya pun ikut terlibat aktif karena merasa sebagai bagian dari organisasi. Oleh karena itu, sebuah organisasi dapat tumbuh berkembang jika terdapat komitmen organisasi yang kuat yang terbentuk dari hubungan baik antara organisasi dan masingmasing anggota organisasi. Komitmen organisasi yang kuat dalam diri individu akan menyebabkan individu berusaha keras mencapai tujuan organisasi dan secara sukarela mengungkapkan aktivitasnya kepada publik sehingga berpengaruh pada pemahaman good governance. Pemahaman good governance yang baik dan dibarengi dengan komitmen organisasi akan meningkatkan kinerja seorang auditor. Kinerja yang baik akan menghasilkan kualitas audit yang baik pula. Sebaliknya, apabila anggota organisasi memiliki komitmen organisasi yang rendah, maka dapat pula memengaruhi pemahaman good governance dan berindikasi menurunkan kualitas audit. Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah: H3: Komitmen organisasi memperkuat pengaruh pemahaman good governance pada kualitas audit 2.2.4 Pengaruh Komitmen Organisasi dalam Hubungan antara Pengalaman Kerja dan Kualitas Audit Mulyadi (2002) dalam Badjuri (2012) yang menyatakan bahwa seorang yang memasuki karir sebagai akuntan, ia harus lebih dulu mencari pengalaman profesi dibawah pengawasan akuntan senior yang lebih berpengalaman. Herliansyah dkk., (2006) dalam Badjuri (2012) menunjukkan bahwa pengalaman mengurangi dampak informasi tidak relevan terhadap 26
keputusan auditor. Pengalaman merupakan atribut yang penting yang dimiliki auditor, terbukti dengan tingkat kesalahan yang dibuat auditor, auditor yang sudah berpengalaman biasanya lebih dapat mengingat kesalahan atau kekeliruan yang tidak lazim atau wajar dan lebih selektif terhadap informasi-informasi yang relevan dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman (Margeta, 2012). Carolita (2012) menyatakan bahwa pengalaman kerja dan komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap kualitas hasil audit Lebih lanjut pula dapat dikatakan bahwa dalam rangka pencapaian keahlian, seorang auditor harus mempunyai pengetahuan yang tinggi dalam bidang audit. Pengetahuan ini bisa didapat dari pendidikan formal yang diperluas dan ditambah melalui pelatihan dan pengalaman-pengalaman dalam praktek audit. Komitmen organisasi berhubungan erat dengan kesediaan individu untuk berusaha keras dalam mewujudkan tujuan organisasi. Adanya komitmen organisasi yang tinggi diperkirakan akan membuat auditor untuk mencoba hal-hal yang baru untuk menambah pengalamannya dalam mengaudit yang nantinya memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa ia harus menghasilkan audit yang berkualitas. Oleh karena itu, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H4: Komitmen organisasi memperkuat pengaruh pengalaman kerja pada kualitas audit. 27