JURNAL PENERAPAN PASAL 486 KUHP OLEH HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP RESIDIVIS. Diajukan Oleh : Enggar Jussica N P M :

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

SKRIPSI PENERAPAN PASAL 486 KUHP OLEH HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP RESIDIVIS. Diajukan Oleh : Enggar Jussica N P M :

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Internasional. Tidak mustahil peredaran narkotika yang sifatnya telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3).

KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE PADA PROSES PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. perlakuan yang sama dihadapan hukum 1. Menurut M. Scheltema mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Presiden, kepolisian negara Republik Indonesia diharapkan memegang teguh nilai-nilai

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang,

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

Transkripsi:

JURNAL PENERAPAN PASAL 486 KUHP OLEH HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP RESIDIVIS Diajukan Oleh : Enggar Jussica N P M : 120510910 Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Peradilan Pidana UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA FAKULTAS HUKUM 2016 1

2

PENERAPAN PASAL 486 KUHP OLEH HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP RESIDIVIS Enggar Jussica, G. Aryadi Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, email : enggarjusica@yahoo.com Abstract The application of the rule of law in the Book of Criminal Law which is codified systematically has the force of law for law enforcement officials. The codification of rules that is divided into three parts. The Chapter on the repeated criminal act is regulated under Article 486 of the Criminal Law Act. The distribution of the rules of this article is only seen from crimes committed by recidivists. Therefore, Article 486 of the Criminal Law Act provide normative rules for perpetrators of crime recidivists by adding one-third penalty of the decision of the judge that is legally binding. The application of these articles by the decision of the judge shall have the values of justice for the people, for law enforcement officers and the prisoners. For the imposition of the Judge granted to perpetrators of crime recidivists should provide a deterrent effect. Although, in the practice of law enforcement, law enforcement officials such as investigators, and prosecutors rarely give the Articles of the dossier by the investigator as well as in the Plan Claims and claims by prosecutors as the public prosecutors. Keyword: Application of Article 486 of the Book of Criminal Law, Judge decision, Judge considerations, imposition decision by Judge 3

1. PENDAHULUAN Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya mengharuskan manusia untuk membuat aturan-aturan hidup yang diberlakukan di antara mereka sebagai suatu alat untuk menjaga keharmonisan hubungan. Untuk menyelesaikan permasalahan ini maka muncul suatu peraturan yang dinamakan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang isinya bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Negara berdasarkan atas hukum tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dan menciptakan kehidupan yang aman, damai dan tenteram. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan seharusnya melihat perbuatan pelaku. Pertimbangan hakim harus dilihat dari fakta-fakta di persidangan, barang bukti, dan alat bukti yang dihadirkan di persidangan. Apabila hakim mengetahui bahwa pelaku kejahatan tersebut telah melakukan kejahatan yang dilakukan pada masa lalu baik pengulangan kejahatan yang sama maupun pengulangan kejahatan yang beda. Menurut peraturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka pelaku residivis yang melakukan kejahatan yang sama dapat dikenakan ancaman pemidanaan sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut ditambah 1/3 (satu per tiga). Berbeda halnya dengan pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan yang beda jenisnya dari kejahatan yang telah dilakukan sebelumnya harus dilihat pemidanaan dari peraturan perundang-undangan tersebut. Kejahatan yang pemidanaannya dengan jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih sejak yang bersangkutan melakukan salah 1 (satu) kejahatan yang sama, maka hukuman yang dijatukan atau sebagian atau sejak hukuman itu dihapuskan (kadaluarsa). 1 Berdasarkan hal tersebut, residivis diatur dalam BAB XXXI mengenai ketetapan yang terpakai Bersama Bagi Berbagai-Bagai BAB Mengenai Terulangnya Melakukan Kejahatan pada Pasal 486 KUHP, Pasal 487 KUHP, dan Pasal 488 KUHP sebagai dasar pemberatan hukuman. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa pengulangan tidak diberlakukan terhadap semua tindak pidana. Dalam pertimbangannya, hakim harus membuat pilihan-pilihan yang menyadari dirinya memberikan keadilan dan rasa kemanusiaan dihadapkan pada aturan hukum, fakta, argumen jaksa, argumen terdakwa, advokat, dan lebih dari itu serta harus melihat pragmatik sosial dalam masyarakat. Dilihat dari sudut birokrasi peradilan, putusan hakim akan terkait 3 hal kriteria, yaitu efektivitas, efisiensi, dan kejujuran. 2 2. METODE a. Jenis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengkaji normanorma yang mengatur tentang proses pemeriksaan dalam penyelesaian tindak pidana. Penelitian hukum normatif, dapat dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder berupa bahan hukum baik bersifat khusus maupun bersifat umum. Dalam hal ini penelitian hukum normatif mengkaji norma-norma hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Penerapan Pasal 486 KUHP Oleh Hakim dalam Penjatuhan Putusan Pidana Terhadap Residivis. b. Sumber data Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif, oleh karena itu pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis berdasarkan pada data sekunder yang meliputi : 1 Ibid 2 Komisi Yudisial, 2011, Penerapan dan Penemuan Hukum Dalam Putusan Hakim, Laporan Penelitian Tahun 2011, Komisi Yudisial Republik Indonesia, Sekretariat Jendral Komisi Yudisial, Jakarta, hlm. 74-75. 4

Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang berupa peraturan perundangundangan yang tata urutannya sesuai dengan Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tentang Penerapan Pasal 486 KUHP Oleh Hakim Dalam Penjatuhan Putusan Pidana Terhadap Residivis, yang meliputi atas : 1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 194, BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28D Ayat (1) mengenai setiap orang yang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 21 Ayat (2) mengenai penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan. 3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 486 mengenai hukuman penjara yang ditentukan dalam Buku Kedua mengenai kejahatan dalam KUHP dapat ditambah dengan sepertiganya jika waktu melakukan kejahatan itu belum lalu 5 tahun sejak sitersalah menjalani sama sekali atau sebagian saja hukuman penjara yang dijatuhkan karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dilakukan kembali. 4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 487 mengenai hukuman penjara yang ditentukan dalam Pasal 131, 140 Ayat (1), 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347, 348, 351, 353-355, 438-443, 459 dan Pasal 460 dapat ditambah sepertiga hukuman jika waktu melakukan kejahatan itu belum lalu 5 tahun sejak sitersalah menjalani sama sekali atau sebagian saja hukuman penjara yang dijatuhkan sekedar kejahatan yang dibuat itu, atau perbuatan yang dilakukan menyebabkan atau mendatangkan sesuatu luka atau menyebabkan mati. 5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 488 mengenai hukuman yang ditentukan dalam Buku Kedua Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dapat ditambah sepertiganya jika pada waktu melakukan kejahatan itu belum lalu 5 tahun sejak sitersalah menjalani sama sekali atau sebagian saja hukuman penjara yang dijatuhkan kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal itu, atau sejak hukuman itu dihapuskan sama sekali jika pada waktu melakukan kejahatan itu hak menjalankan hukuman itu belum gugur karena lewat waktunya. 6) Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 8 mengenai setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 7) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan: 5

1) Pendapat hukum yang diperoleh dari buku, jurnal, hasil penelitian, surat kabar, internet, dan majalah ilmiah yang berkaitan dengan materi penelitian. 2) Asas-asas hukum dan fakta hukum 3) Dokumen berupa putusan pengadilan, data dari instansi atau lembaga resmi. 4) Narasumber c. Cara Pengumpulan Data 1) Studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari bahan hukum primer dan sekunder 2) Wawancara dengan narasumber yaitu, Bapak Hapsoro, S.H selaku Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta d. Analisis Data Analisis data dilakukan terhadap: 1) Bahan Hukum Primer yang berupa peraturan perundang-undangan, sesuai 5 tugas ilmu hukum normative atau dogmatif, yaitu: 2) Deskripsi Hukum Positif Bahwa isi dan struktur hukum positif mengenai uraian tentang Penerapan Pasal 486 KUHP Oleh Hakim Dalam Penjatuhan Putusan Pidana Terhadap Residivis dalam peraturan perundang-undangan yakni, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 3) Sistematisasi Hukum Positif Sistematisasi dari peraturan perundang-undangan tersebut satu sama lain saling terkait. Ditemukan tidak adanya sistematisasi secara vertikal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 486 yang berisi mengenai ketetapan yang terpakai bersama bagi berbagai bab mengenai terulangnya melakukan kejahatan. Dalam Peraturan Perundang-Undangan secara vertikal tidak adanya yang mengatur mengenai aturan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan yang dilakukan secara berulang (residive). Secara vertikal tidak ada sinkronisasi, sehingga prinsip penalaran hukum yang digunakan adalah prinsip penalaran hukum non subsumtif, yaitu tidak adanya hubungan logis antara dua aturan dalam hubungan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan peraturan perundangundangan yang lebih rendah, sehingga diperlukan asas berlakunya peraturan perundang-undangan. Selain sistematisasi secara vertikal, juga dilakukan sistematisasi secara horizontal dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 50 ayat 1, yang mengatur mengenai Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau bersumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Sistematisasi secara horizontal ditunjukkan adanya harmonisasi, maka prinsip penalaran hukumnya adalah non- kontradiksi yaitu tidak ada pertentangan dalam ketentuan yang sejajar atau setara, sehingga tidak diperlukan berlakunya asas peraturan perundang-undangan. 4) Analisis Hukum Positif Open sistem (peraturan perundang-undangan terbuka untuk dievaluasi atau dikaji). 5) Interpretasi hukum positif Melakukan Interpretasi Hukum, dengan menggunakan metode: a) Interpretasi gramatikal, yaitu mengartikan suatu term hukum atau suatu bagian kalimat dalam bahan-bahan hukum primer menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. b) Interpretasi sistematis, secara horisontal dan vertikal, yaitu dengan titik tolak dari sistem aturan mengartikan suatu ketentuan hukum. c) Interpretasi teleologis, yaitu mendasarkan pada 6

3. HASIL DAN PEMBAHASAN maksud atau tujuan tertentu suatu aturan. A. Tinjauan Umum tentang Penerapan Pasal 486 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1. Penerapan Pasal 486 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Menurut Tindak Pidananya Residivis atau pengulangan tindak pidana berasal dari bahasa prancis yaitu re dan cado. Re berarti lagi dan cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat diartikan sebagai melakukan kembali perbuatanperbuatan kriminal yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi penghukumannya. 3 Pengulangan atau residive terdapat dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masingmasing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, di antara perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. 4 Dari pertanyaan ini sangat mirip dengan gabungan dari beberapa perbuatan yang dapat dihukum dan dalam pidana mempunyai arti, bahwa pengulangan merupakan dasar memberatkan hukuman. 5 Penjelasan mengenai bunyi Pasal 486 KUHP adalah sebagai berikut : Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 127,204 ayat pertama, 244-248, 253-260 bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga Pasal 365, Pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat keempat Pasal 365, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari Pasal 140-143, 145 sampai Pasal 149 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan (kwijtgesholden) atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluarsa. Berdasarkan Pasal 486 KUHP penggolongan jenis-jenis kejahatan yang dapat digunakan sebagai dasar pengulangan atau residive adalah : 6 a. Kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk mencari keuntungan yang tidak layak. b. Kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan yang menggunakan tipu muslihat. Menurut peraturan residive umum dalam Pasal 486 KUHP, maka ancaman hukumannya ditambah sepertiga jika memenuhi persyaratan sebagai berikut : 7 a. Mengulangi kejahatan yang sama atau oleh undang-undang dianggap sama macamnya yaitu apabila pelaku melakukan kejahatan mencuri, lain kali mencuri kembali atau pelaku yang melakukan kejahatan penipuan dan melakukan kejahatan penipuan kembali maka oleh Kitab Undang- 3 Residivis Among Juvenille Offenders, An Analysis of Timed to Reappearance in Court? Australian Institute of Criminologi, Hlm. 8. 4 Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 121 5 Ibid 6 Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 124. 7 R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 275. 7

Undang Hukum Pidana dianggap sama macamnya dalam Pasal 486 KUHP. Meskipun lain-lain macam tindak kejahatannya tetapi dianggap sama oleh Undang-Undang ini. b. Antara yang melakukan kejahatan satu dengan yang lainnya sudah ada putusan hakim. Jika belum ada putusan hakim merupakan suatu penggabungan tindak pidana bukan merupakan pengulangan atau residivis. c. Harus adanya hukuman penjara bukan hukuman kurungan atau hukuman denda d. Hukuman pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tidak lebih dari 5 tahun terhitung sejak tersalah menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan. Dalam prakteknya, aparat penegak hukum sering kali tidak mengacu pada aturan Pasal 486 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Khususnya aparat penyidik maupun Jaksa selaku penuntut umum jarang memasukkan Pasal 486 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana ke dalam berkas perkara. Pasal 486 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak hanya digunakan dalam aturan tindak pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana melainkan juga tindak pidana khusus yang diatur dalam Peraturan Tindak Pidana Khusus. Hal ini karena Pasal 486 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tindak pidana pengulangan kejahatan. Adapun dalam penanganannya, aparat penegak hukum khususnya Jaksa Penuntut Umum hampir tidak pernah menggunakan atau memasukkan Pasal 486 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana ke dalam surat dakwaan maupun surat tuntutan. Dapat dibuktikan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak selalu mengacu pada Pasal 486 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Berbeda halnya dengan Hakim selaku penegak hukum yang memberikan putusan pidana bagi terdakwa. Biasanya Hakim dalam pertimbangan putusannya tetap selalu mengacu pada Pasal 486 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, namun tidak memasukkan aturan Pasal 486 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana ke dalam putusannya. Apalagi bagi terdakwa residive harus diberikan hukuman lebih berat, sebagai efek jera bagi pelakunya, hal ini menunjukan bahwa hakim juga menggunakan metode penafsiran sosiologis dan analogis, yakni dalam pertimbangannya juga menyesuaikan keadaan masyarakat Indonesia sekarang dan suatu peristiwa dianggap sebagai pemberatan apabila perbuatan tersebut adalah sebuah pengulangan tindak pidana baik sejenis maupun tidak sejenis sesuai dengan peraturan tersebut yang mengatur walaupun dalam putusannya tidak dicantumkan namun sudah menerapkan aturan hukum yang mengaturnya. Berdasarkan Pasal 486 KUHP penggolongan jenis-jenis kejahatan yang dapat digunakan sebagai dasar pengulangan atau residive adalah : 8 a. Kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan terhadap badan dan jiwa seseorang. b. Kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan yang kekerasan terhadap seseorang. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas mengenai penggolongan jenis-jenis kejahatan, maka dapat disimpulkan bahwa ketiga pasal tersebut mulai dari Pasal 486, Pasal 487 dan Pasal 488 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana menetapkan bahwa 8 Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 124. 8

residive atau pengulangan harus memenuhi syarat-syarat : 9 a. Kejahatan yang pertama dilakukan harus sudah dijatuhi hukuman oleh pengadilan b. Putusan yang mengandung hukuman tersebut harus mempunyai kekuatan akhir c. Hukuman tersebut harus sudah dijalankan baik seluruhnya maupun sebagian, atau sejak hukuman tersebut dihapuskan d. Jangka waktu antara saat kejahatan yang dilakukan dan saat hukuman yang dijatuhkan terhadap kejahatan pertama yang telah selesai dijalani, belum lampau lima tahun. e. Jenis hukuman harus merupakan hukuman penjara menurut ketentuan Pasal 486 dan 487 sedangkan Pasal 488 tidak menentukan jenis hukuman tertentu. 2. Penerapan Pasal 486 KUHP Dalam Proses Sidang Peradilan Dalam penerapan Pasal 486, Pasal 487 dan Pasal 488 KUHP oleh Penyidik selaku aparat penegak hukum selalu menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang inkuisitur atau inquisitorial system yang menempatkan tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenangwenang. 10 Dengan penegasan dan pembedaan antara penyelidikan dan penyidikan tersebut maka telah tercipta penahanan tindakan guna menghindarkan cara penegakan hukum yang tergesa-gesa seperti yang dijumpai pada masa lalu. Akibat dari cara penindakan yang tergesa-gesa, dapat menimbulkan sikap dan tingkah laku 9 Ibid, hlm. 125. 10 M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan aparat penyidik kepolisian sering tergelincir ke arah mempermudah dan menganggap sepele nasib seseorang yang diperiksa sehingga diharap dalam penyelidikan tersebut tumbuh sikap hati-hati dan rasa tanggung jawab hukum yang bersifat lebih manusiawi dalam melaksanakan penegakan hukum. Meskipun pelaku merupakan pelaku residive, tetap setelah pelaku bebas dari hukuman dan melakukan tindak pidana kembali harus dilakukan proses dari awal yaitu proses penyelidikan dan penyidikan. Jika dicermati isi Pasal 191 ayat (1) KUHAP ini, dapat kita ketahui bahwa dalam memeriksa dan memutus suatu perkara sebenarnya ruang gerak dari hakim sudah dibatasi. Pembatasan ruang gerak tersebut juga tertuang sebagaimana dalam Pasal 143 KUHAP tentang surat dakwaan, yang walaupun sebenarnya ketentuan isi pasal tersebut tidak secara tegas menyatakan membatasi kewenangan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Jika mencermati tentang syarat yang harus dipenuhi dalam surat dakwaan itu sendiri menyatakan surat yang diberikan tanggal dan ditanda tangani oleh penuntut umum, yang memuat secara lengkap tentang identitas terdakwa, dan uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidna yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempatnya tindak pidana dilakukan. Isi Pasal 191 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana apabila dihubungkan dengan pengertian surat dakwaan, dapat diketahui dan lihat bahwa ada pembatasan kewenangan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pidana residive. Pengertian tersebut pada prinsipnya Hakim tidak diperkenankan untuk menjatuhkan pemidanaan kepada terdakwa jika perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya. Bagi pelaku tindak pidana residive baik tindak pidana umum maupun tindak pidana Penyidikan dan Penuntutan,Sinar Grafika, Jakarta, Ed.02,Cet.4,hlm.40. Permasalahan dan Penerapan KUHAP dalam 9

khusus penjatuhan pidananya harus sesuai dengan yang di dakwakan Jaksa Penuntut Umum serta ditambah 1/3 (sepertiga) dari tuntutan Jaksa. B. Tinjauan Umum tentang Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Terhadap Residivis 1. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bahwa setiap tindakan yang merugikan orang lain atau lingkungan, sebagaimana yang diatur perbuatan tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), disebut dengan tindak pidana dan harus dipertanggungjawabkan. Dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa. 11 Keputusan hakim juga harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan. Memproses untuk menentukan bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang datang untuk diadili. 12 Ukuran hukuman adalah wewenang judex factie yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex factie menjatuhkan hukuman yang tidak diatur oleh undangundang atau kurang memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman. Hakim dalam memutus perkara yang diadilinya, mempunyai karakteristik masing-masing sesuai dengan pemahaman dan ilmu yang dimilikinya, sehingga dapat mendasari pertimbangan- pertimbangan 11 Departemen Kehakiman, 1981, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Yayasan Pengayoman, Jakarta, hlm. 86 dalam menjatuhkan putusan. Terkait perkara residiv (pengulangan), hakim juga harus melakukan penafsiran serta melihat bagaimanakah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana khususnya Pasal 486, Pasal 487 dan Pasal 488 dapat dijalankan dalam proses peradilan. Terlepas adanya dugaan pengabaian alat-alat bukti oleh majelis hakim merupakan hak prerogatif hakim untuk menilai setiap alat bukti yang diajukan kepadanya, apakah relevan untuk dipertimbangkan atau tidak untuk menghukum atau membebaskan terdakwa. 13 Dalam menyusun putusannya Hakim menguraikan aspek- aspek pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan, karena merupakan konteks penting dalam putusan hakim. 2. Konsepsi Penjatuhan Putusan Pidana Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan suatu perkara, khususnya perkara pidana memerlukan waktu yang cukup panjang. Dalam proses hukumnya dapat sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulanbulan hingga mungkin dapat sampai satu tahun lamanya agar dapat terselenggara atau selesainya satu perkara di pengadilan. Hambatan atau kesulitan yang ditemui hakim untuk menjatuhkan putusan bersumber dari beberapa faktor penyebab. Faktor penyebab yang terjadi seperti Advokat yang selalu menyembunyikan suatu perkara, keterangan saksi yang terlalu berbelit-belit atau dibuat-buat, serta adanya pertentangan keterangan antara saksi yang satu dengan saksi lain serta tidak lengkapnya bukti materiil yang diperlukan sebagai alat bukti dalam persidangan. Masalah tujuan putusan bebas didalam sistem peradilan pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat yang dipakai 13 Binsar M Gultom, 2012, Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.14. 12 Ibid 10

untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. 3. Kebebasan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Dalam pengertian kebebasan Hakim yang dimaksud oleh Prof. Hapsoro Jayaningprang,S.H adalah kebebasan Hakim yang mengandung 2 arti, yaitu adanya sifat kebebasan Hakim dalam proses sidang di Pengadilan dan seberapa jauh kebebasan Hakim dalam menangani perkara. Bahwa kekebasan Hakim bukanlah kebebasan mutlak, melainkan kebebasan terikat atau terbatas (gebonden vrijheid). 14 Kebebasan Hakim dalam memutus suatu perkara merupakan hal yang mutlak yang dimiliki hakim sebagaimana amanat Undang-Undang. Hakim pada hakikatnya, dengan titik tolak ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maka tugas Hakim untuk mengadili perkara berdimensi menegakkan keadilan dan menegakkan hukum. Dalam konteks Hakim menegakkan keadilan maka berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (4), Pasal 4 Ayat (2) Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan, peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsekuensi aspek ini maka Hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya bersandar pada undang-undang semata, akan tetapi juga harus sesuai dengan hati nuraninya. Dalam konteks Hakim sebagai penegak hukum hendaknya Hakim dalam mengadili perkara selain bersandar kepada undang-undang juga bertitik tolak kepada norma-norma yang hidup dalam masyarakat sehingga putusan yang dihasilkan berdimensi keadilan. Pada proses peradilan dengan Hakim sebagai titik sentral inilah 14 Arbijoto, 2010, Kebebasan Hakim (Analisis Kritis Terhadap Peran Hakim Dalam Menjalankan Kekuasaan Hakim), Jakarta, hlm. 26. 15 Harifin A. Tumpa, Kekuasaan Kehakiman Dimaknai Menegakkan Hukum, Keadilan, yang menjadi aspek utama dan krusial seorang Hakim dalam menggapai keadilan. Hakim dalam memutus suatu perkara tidak semata-mata berpandangan legalistik, maka hakim harus menafsirkan undang-undang dengan progresif, sehingga keadilan yang dihasilkan juga akan progresif. 15 4. Konsepsi Residiv (Pengulangan) Pengulangan atau residive terdapat dalam hal seseorang yang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Di antara perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Alasan hukuman dari pengulangan sebagai dasar pemberatan hukuman ini adalah bahwa seseorang yang telah dijatuhi hukuman dan mengulang kembali untuk melakukan kejahatan. Ini dapat dibuktikkan bahwa pelaku telah memiliki tabiat buruk untuk melakukan perbuatan pidana. Jahat karena dianggap sangat membahayakan bagi keamanan dan ketertiban masyarakat. Pengulangan (residive) diatur dalam Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 5. Putusan Pidana Oleh Hakim Terhadap Residivis Terkait untuk mengetahui seseorang adalah residivis, adalah perkara yang masih menjadi dilema dalam penegakan hukum di negeri ini. Hal ini disebabkan sistem database perkara di Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan belum satu dan tidak terkoneksi satu sama lain, sehingga sulit sekali melacak apakah seseorang sudah pernah dihukum atau tidak. Kecenderungan untuk mengetahui hal tersebut, hanya didasarkan pada fakta-fakta maupun bukti-bukti yang ditemukan selama http://www.ditjenmiltun.net/index.php/component/conte nt/article/114-umum/1410-harifin kekuasaankehakiman-dimaknai-menegakkan-hukumkeadilan.html, di Unduh pada tanggal 25 Mei 2016 11

pemeriksaan perkara, baik melalui keterangan saksi-saksi maupun keterangan dari si terdakwa (pelaku). Terkait mengenai pemberatannya, dalam Buku I Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai Ketentuan Umum, masalah residivis tidaklah diatur dalam pasal maupun bab tersendiri. Dalam Kitab Undang -Undang Hukum Pidana, mengenai residivis ditempatkan dalam bab khusus dalam Buku II KUHP, yaitu Bab XXXI, yang berjudul Aturan Pengulangan Kejahatan Yang Bersangkutan Dengan Berbagai Bab. Residivis merupakan orangnya (si pelaku) sedangkan untuk perbuatannya dapat dinamakan dengan recidive. Dalam segi istilah ini banyak yang mengkonotasikan hampir sama dengan apa yang telah dipersepsikan masyarakat luas. Menurut Adami Ehazawi, rasio dasar pemberatan pidana pada pengulangan ini adalah terletak pada 3 (tiga) faktor, yaitu: 4. KESIMPULAN a) Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana; b) Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak pidana yang pertama; c) Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan. Bertolak dari pembahasan dalam Bab II, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yaitu, Penerapan Pasal 486 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terjadinya perbedaan penjatuhan pidana oleh tiap masingmasing Hakim adalah disebabkan karena : a. Bahwa Hakim sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mempunyai sikap independensi dari putusan yang akan dijatuhkan dengan tetap mengacu pada aturan hukum sebagaimana diatur. b. Bahwa dalam putusan yang dijatuhkan oleh Hakim bagi pelaku residiv tidak selalu menggunakan Penerapan Pasal 486 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal ini dikarenakan dalam Pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci dan tidak membedakan antara pasal yang satu dengan pasal yang lain. Pasal 486 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana hanya penjelasan bahwa pelaku residiv dalam penjatuhan hukuman ditambah sepertiga (1/3), selebihnya tidak ada. c. Setelah memahami secara seksama aturan penjatuhan pemidanaan dengan menganalisa putusan hakim serta adanya wawancara terhadap narasumber selaku Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta yaitu, Bapak Hapsoro, S.H dapat ditarik kesimpulan bahwa Apakah penerapan Pasal 486 KUHP oleh hakim sudah dilaksanakan dalam penjatuhan putusan pidana terhadap residivis, adalah faktanya penerapan Pasal 486 KUHP yang telah dilaksanakan oleh Hakim yang mengadili perkara ini. 5. REFERENSI A. Buku Arbijoto, 2010, Kebebasan Hakim (Analisis Kritis Terhadap Peran Hakim Dalam Menjalankan Kekuasaan Hakim), Jakarta Binsar M Gultom, 2012, Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Brig. Jen. Pol. Drs. H. AK. Moch.Anwar,S.H, 1998, Beberapa Ketentuan Hukum, Jakarta Departemen Kehakiman, 1981, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Yayasan Pengayoman, Jakarta Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung J.W. Han Dowl, Residivis Among Juvenille Offenders, An Analysis of Timed to 12

Reappearance in Court? Australian Institute of Criminologi M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP dalam Penyidikan dan Penuntutan,Sinar Grafika, Jakarta M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta R. Abdoel Djamali, 1999, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta R. Soesilo, 1976, Komentar dan pembahasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta C. Surat Kabar Thomas Sunaryo; Kriminolog; Pengajar Pascasarjana Multi-Disiplin UI; Pernah menjadi Penasihat Ahli Persatuan Narapidana Indonesia, 10 April 2016, Kejahatan, Penjara, dan Kita, Harian Kompas, Edisi News/ Nasional, Jakarta -----, 23 Mei 2016, Baru Bebas Residivs Kembali Masuk Bui, Kedaulatan Rakyat, Edisi Tahun LXXXI Nomor 230 D. Internet Harifin A. Tumpa, Kekuasaan Kehakiman Dimaknai Menegakkan Hukum, Keadilan, http://www.ditjenmiltun.net/index.php/com ponent/content/article/114-umum/1410- harifin kekuasaan-kehakiman-dimaknaimenegakkan-hukum-keadilan.html, diakses tanggal B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 194, BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 21 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP 13