ANALISIS PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PENYUSUNAN UU NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TNI : IMPLEMENTASI MODEL ANALISIS GRAHAM T.

dokumen-dokumen yang mirip
UNIT EKSPLANASI KELOMPOK DALAM POLITIK LUAR NEGERI DOSEN : AGUS SUBAGYO, S.IP., M.SI

Tanggal 26 Januari Disampaikan oleh: H. Firman Subagyo, SE.,MH. Wakil Ketua Badan Legislasi, A.273

Bagaimana Undang-Undang Dibuat

MATA KULIAH TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT

Assalamu'alaikum Wr.Wb Salam Sejahtera

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri)


PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR RI OLEH: DRA. HJ. IDA FAUZIYAH WAKIL KETUA BADAN LEGISLASI DPR RI MATERI ORIENTASI TENAGA AHLI DPR RI APRIL

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

TUGAS POKOK & FUNGSI PERWAKILAN RI DI LUAR NEGERI DOSEN : AGUS SUBAGYO, S.IP., M.SI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dan Reformasi Hukum

PEMDA DAN RUU KAMNAS Oleh: Muradi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Oposisi Fraksi PDI Perjuangan di Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif),

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

BAB 3 METODE PENELITIAN

Rabu, 24 September 2014

Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati,

Assalamu alaikum Wr. Wb Selamat Malam dan Salam sejahtera bagi kita semua

PERTAMA: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD

INFO SHEET PROLEGNAS DAN PROLEGNAS PRIORITAS 2010

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 41B/DPR RI/I/ TENTANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

Revisi UU KPK Antara Melemahkan Dan Memperkuat Kinerja KPK Oleh : Ahmad Jazuli *

BAB I PENDAHULUAN. negara Singapura adalah topik menarik yang tidak ada habisnya untuk dikaji. Terlebih

ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI

BAB V KESIMPULAN. terbesar itu dilaksanakan bersamaan pada sidang tahunan ke-41 IDB di Jakarta. IDB

TINJAUAN YURIDIS FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PEMBERHENTIAN SDR. FAHRI HAMZAH, S.E.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI RANCANGAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KAJIAN, AKSI, DAN KEBIJAKAN PUBLIK BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA PEMERINTAHAN MAHASISWA UNIVERSITAS UDAYANA

ORASI KETUA DPR-RI PADA ACARA FORUM RAPAT KERJA NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TAHUN 2009

Bahan Diskusi Seminar Kedua

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

FUNGSI LEGISLASI DPR PASCA AMANDEMEN UUD Sunarto 1

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Laporan Penyelenggaraan Seminar Publik Representasi Politik Perempuan: RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender 16 Januari 2014 Grand Kemang Hotel

PANDANGAN BADAN LEGISLASI TERHADAP HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG. Oleh: Ignatius Moeljono *

DOSEN : Dr. AGUS SUBAGYO, S.IP., M.SI

BAB I PENDAHULUAN. demi stabilitas keamanan dan ketertiban, sehingga tidak ada lagi larangan. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang mencakup:

BAB 5 PENUTUP. Pembaruan hukum..., Richo Wahyudi, FH UI, Universitas Indonesia

2016, No Nomor 826, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI RANCAN RANCANGAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


BAB I PENDAHULUAN. Peran strategis Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebagai lembaga

BAB IV KEBIJAKAN SEKURITISASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN IMIGRAN ILEGAL

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SAMBUTAN KETUA DPR RI PADA ACARA PENGUCAPAN SUMPAH ANGGOTA DPR RI PENGGANTI ANTAR WAKTU. Kamis, 29 Desember 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMANTAUAN LEGISLASI. FASILITATOR: Prof. dr. Hadi Pratomo, MPH, Dr.PH. Sesi 12

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

PELAYANAN RISET DI BIDANG LEGISLATIF DALAM KERANGKA PENINGKATAN KINERJA LEMBAGA HUKUM* Oleh: Prof. Dr. Mohamad Askin, S.H.**

Keterangan Pers Bersama, Presiden RI dan Ketua DPR RI, Pertemuan Konsul.., Jakarta, 22 Februari 2016 Senin, 22 Pebruari 2016

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT. dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, REPUBLIK INDONESIA

Makin Eksis Dalam Wadah Korps Profesi Pegawai ASN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI

kinerja DPR-GR mengalami perubahan, manakala ada keberanian dari lembaga legislatif untuk kritis terhadap kinerja eksekutif. Pada masa Orde Baru,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

KPK juga hampir KO di Era SBY

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

A. Komisi II No Nama RUU Pembahas Status Jadwal Pembahasan 1 Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundangundangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB IV ANALISIS TERHADAP FUNGSI REPRESENTASI ANGGOTA DPD DALAM PENINGKATAN PEMBANGUNAN DI DAERAHNYA (YOGYAKARTA)

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PARTAI POLITIK DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN. PG Tetap PDIP PPP PD PAN PKB PKS BPD PBR PDS

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

CONSOLIDATION DÉMOCRATIQUE ET D ENRACINEMENT DE LA BONNE GOUVERNANCE

PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL NOMOR '6 TAHUN 2014 TENTANG

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2008 DEPARTEMEN PERTAHANAN. Penyusunan Rancangan. Peraturan. Pencabutan.

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG DAN PERDA

DUKUNGAN KEBIJAKAN LEMBAGA LEGISLATIF DALAM MENINGKATKAN SINERGISITAS PUSAT-DAERAH DALAM PEMBANGUNAN KEWIRAUSAHAAN PENDAHULUAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan. dalam mewujudkan tujuan perjuangan nasional.

LAPORAN SINGKAT I. PENDAHULUAN

Hari/Tanggal : Senin/22 Oktober 2012 : Pukul WIB s.d Selesai

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

Transkripsi:

ANALISIS PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PENYUSUNAN UU NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TNI : IMPLEMENTASI MODEL ANALISIS GRAHAM T. ALLISON Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si Dosen Jurusan Hubungan Internasional FISIP UNJANI Cimahi A. Model Analisis Graham T Allison Dalam perspektif Decision Making Process, Graham T Allison dalam bukunya Essence of Decision: Explaining The Cuban Missile Crisis, yang diterbitkan Boston: Little, Brown and Company tahun 1971, mengajukan tiga model pengambilan keputusan, yaitu Model Aktor Rasional (MAR), Model Proses Organisasi (MPO), dan Model Politik Birokratik (MPB), yang akan diuraikan secara singkat berikut ini : 1. Model Aktor Rasional Model ini menekankan bahwa suatu proses pengambilan keputusan akan melewati tahapan penentuan tujuan, alternatif / opsi, konsekuensi, dan pilihan keputusan. Model ini menyatakan bahwa keputusan yang dibuat merupakan suatu pilihan rasional yang telah didasarkan pada pertimbangan rasional / intelektual dan kalkulasi untung rugi sehingga diyakini menghasilkan keputusan yang matang, tepat, dan prudent. 2. Model Proses Organisasi Model ini menekankan bahwa suatu proses pengambilan keputusan merupakan suatu proses mekanistis yang melewati tahapan, prosedur, dan mekanisme organisasi dengan prosedur kerja baku (standard operating procedure) yang telah berlaku selama ini. Keputusan yang ditetapkan dipandang sebagai output organisasi yang telah mempertimbangkan tujuan, sasaran, dan skala prioritas organisasi. 3. Model Politik Birokratik Model ini menekankan bahwa suatu proses pengambilan keputusan dirumuskan oleh berbagai aktor, kelompok, dan pihak yang berkepentingan melalui proses tarik menarik, tawar menawar, saling mempengaruhi dan kompromi antar stake holders terkait. Keputusan yang ditetapkan merupakan proses resultan politik yang melewati deliberasi yang panjang dan komplek. Untuk lebih jelasnya tentang ketiga model perbandingan karakteristik masing-masing model di atas dapat dilihat dalam tabel di bawah ini : 1

Tabel Outline Model Pembuatan Keputusan Graham T. Allison MODEL AKTOR RASIONAL PROSES ORGANISASI POLITIK BIROKRATIK Organisasi yang Para pemain Paradigma Didasari oleh tujuan & sasaran (fungsi tujuan). Tersedia alternatif. Konsekuensi dari tiap alternatif. Memilih alternatif yang dianggap paling baik. memutuskan. Tujuan sasaran keputusan. Prosedur Operasi Standar (POS) dan programprogram. dalam masing-masing. Tujuan, posisi kepentingan, taruhan, masingmasing aktor. Kekuasaan Saluran aksi Dasar Unit Analisis Keputusan Aksi pemerintah sebagai pilihan yang terbaik Aksi pemerintah Aksi pemerintah sebagai output sebagai resultan organi-sasi. dari proses politik. Konsep Yang Mengatur Pola Kesimpulan Dominan Aktor rasional. Aktor-aktor Para pemain Permasalahan. organisasi sebagai dalam posisi Aksi sebagai konstelasi masing-masing. pilihan rasional: pemerintah. Prioritas dan Tujuan dan Unsur persepsi yang sasaran. permasalahan dan sempit. Pilihan-pilihan. pemilihan kekuasaan Tujuan dan Konsekuensi. kepentingan- Alternatif yang Prioritas dan kepentingan. dipilih. persepsi yang Taruhan dan sempit. tempat berdiri Aksi sebagai output Kekuasaan. organisasi. Koordinasi Saluran aksi dan Aturan pemain. pengendalian Aksi sebagai terpusat repolitik. Keputusan dari pimpinan pemerintah. Aksi pemerintah Aksi pemerintah Aksi pemerintah yang dipilih dalam jangka merupakan sesuai dengan pendek merupakan resultan dari sasaran/tujuan. output yang lebih tawar-menawar. luas, ditentukan oleh POS dan program- 2

Proporsi Umum Efek substansi Akan dipilih sesuai dengan peningkatan atau penurunan cost. program. Diimplementasi oleh organisasi. Pilihan-pilihan organisasi. Resultan politik Aksi dan maksudnya Prinsip-prinsip Hubunganhubungan Namun begitu, masing-masing model di atas juga memiliki keunggulan dan kelemahan. Komparasi ketiga model tersebut dapat dijelaskan dengan tabel berikut ini : Tabel Komparasi Tiga Model Pembuatan Keputusan Graham T. Allison MODEL KEUNGGULAN KELEMAHAN Model Rasional Aktor (MAR) Model Proses Organisasi (MPO) Sumber : Sumber : https://pusdiklatbkt.wordpress.com/2013/01/18/analisis-konflik-danresolusi-konflik-di-aceh/ Model ini mampu menjelaskan alasanalasan rasional yang diambil dalam membuat keputusan untuk tujuan bersama. Mampu menjelaskan keputusan sebagai out put organisasi (pemerintah) dan proses implementasi melalui SOP Mampu menjelaskan dinamika kepentingan dalam tubuh pemerintah yang akhirnya menghasilkan keputusan atas nama pemerintah beserta implementasinya. Tidak bisa menjelaskan pergulatan berbagai Kepentingan organ-organ dalam tubuh pemerintah. Juga kurang mampu menjelaskan proses pengambilan keputusan Proses yang dijelaskan hanya bersifat formalistik. Sedangkan dinamika di dalamnya tidak mampu dijelaskan. Model Politik Birokratik Terjadinya konsensus (MPB) antar pihak dalam tubuh pemerintah tidak bisa dijelaskan. Juga mengesampingkan adanya kepentingan bersama yang lebih besar. Sumber : https://pusdiklatbkt.wordpress.com/2013/01/18/analisis-konflik-dan-resolusikonflik-di-aceh/ 3

B. Analisis Proses Pengambilan Keputusan Dalam Penyusunan UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI 1. Analisis dengan Model Aktor Rasional a. Mengapa RUU TNI yang dirumuskan oleh Pemerintah (Dephan) cenderung memihak kelompok militer (TNI)? Seperti diketahui bersama bahwa RUU TNI bermula dari perumusannya Pokja Departemen Pertahanan RI yang didalamnya sangat kental dengan unsur militer / TNI, sehingga menjadi kesempatan bagi TNI untuk memasukan pasal-pasal yang menguntungkan TNI. Saat itu, TNI dihadapkan pada dua pilihan : membuat RUU TNI yang pro militer atau membuat RUU TNI yang pro sipil. Melalui kalkulasi yang rasional, TNI berhitung bahwa apabila TNI membuat RUU TNI yang pro sipil, maka tentunya akan menyebabkan kerugian pada posisi dan eksistensinya dalam kancah perpolitikan dan perekonomian nasional. Namun demikian, apabila TNI membuat RUU TNI yang pro militer, maka tentunya akan memberikan keuntungan bagi TNI untuk terus berperan dominan dalam perpolitikan dan perekonomian nasional. RUU TNI dianggap oleh kalangan militer sebagai pertaruhan politik yang sangat penting bagi perannya di masa mendatang sehingga diperjuangkan dengan memperhatikan keuntungan dan kerugiannya bagi TNI. TNI menilai bahwa RUU TNI yang pro militer adalah kalkulasi rasional yang menguntungkan dibandingkan dengan RUU TNI yang pro sipil yang tentunya akan merugikan TNI sendiri. b. Mengapa DPR merespon RUU TNI yang dirumuskan Pemerintah (Dephan) dengan melakukan pembahasan secara mendalam, mendetail, dan intensif? Seperti diketahui bersama bahwa ketika RUU TNI yang dirumuskan pemerintah (Dephan) diajukan ke Prolegnas DPR, terjadi pro, kontra dan perdebatan sengit di tengah masyarakat. Ketika itu, Panja RUU TNI DPR dihadapkan pada 3 pilihan, yakni menyetujui RUU TNI, menolak RUU TNI, dan merevisi RUU TNI. Dihadapkan pada pilihan dilematis yang serba sulit tersebut, DPR berkalkulasi untung rugi. Pilihan menyetujui RUU TNI memang akan menyenangkan pemerintah, khususnya kelompok militer / TNI, dengan konsekuensi dihujat oleh rakyat karena mengingkari amanat reformasi TNI. Pilihan menolak RUU TNI memang akan mengakomodasi kepentingan kelompok masyarakat sipil, dengan konsekuensi mengecewakan kelompok militer / TNI. Akhirnya, DPR memutuskan untuk melakukan revisi RUU TNI melalui pembahasan secara mendalam, mendetail dan intensif dengan memberikan ruang publik bagi berbagai pihak, baik unsur TNI maupun masyarakat sipil untuk mengajukan ide, gagasan, dan masukan demi perbaikan atas revisi RUU TNI tersebut. 4

c. Mengapa akhirnya RUU TNI disetujui dan disahkan menjadi UU TNI? RUU TNI yang telah dibahas, digodok, dan direvisi oleh Panitia kerja (Panja) DPR, khususnya Komisi I, disetujui dan disahkan menjadi UU TNI, dinilai sebagai jalan tengah / solusi alternative berdasarkan win-win solution / sama-sama menang bagi berbagai pihak. Bagi TNI, UU TNI yang disetujui dan disahkan merupakan upaya maksimal untuk tetap mempertahankan kedudukan dan eksistensinya dalam konteks konstelasi kehidupan kenegaraan. Sedangkan bagi masyarakat sipil, UU TNI yang disetujui dan disahkan dinilai telah mencerminkan pengakuan supremasi sipil di atas militer. DPR yang didalamnya terdapat berbagai fraksi juga merasa puas karena RUU TNI disetujui dan disahkan menjadi UU TNI melalui proses yang rasional, mempertimbangkan untung rugi, berdasarkan kalkulasi intelektual, dan memikirkan konsekuensi terbaik dan terburuk. Masing-masing pihak menilai bahwa UU TNI yang disetujui dan disahkan merupakan kesepakatan akhir dan sebagai pilihan yang terbaik. 2. Analisis dengan Model Proses Organisasi a. Mengapa RUU TNI yang dirumuskan oleh Pemerintah (Dephan) cenderung memihak kelompok militer (TNI)? Menurut model ini, penyusunan produk RUU TNI adalah keputusan pemerintah yang telah melalui proses organisasional yang sah dan procedural. Berdasarkan prosedur kerja baku (standard operating procedur / SOP) yang telah ditetapkan oleh pemerintah bahwa tahapan pembuatan RUU TNI diawali dengan pembentukan Pokja di Departemen Pertahanan, yang didalamnya terdapat unsur terkait, seperti Kemenkopolkam, Dephan, Mabes TNI, Mabes TNI AD, Mabes TNI AL, Mabes TNI AU, Depkumham, Sekneg, dll). Pokja RUU TNI di Departemen Pertahanan meminta masukan, saran, dan usulan dari berbagai pihak di lingkungan pemerintahan sesuai dengan SOP yang berlaku. RUU TNI yang dirumuskan merupakan output organisasi pemerintah yang sah, sesuai dengan prosedur dan melalui tahapan organisasional yang ketat. Keterlibatan dan peran serta yang aktif dan dominan dalam perumusan RUU TNI adalah wajar, biasa, dan sesuai dengan prosedur organisasi. b. Mengapa DPR merespon RUU TNI yang dirumuskan Pemerintah (Dephan) dengan melakukan pembahasan secara mendalam, mendetail, dan intensif? Menurut model ini, keputusan DPR untuk membahas terlebih dahulu RUU TNI yang diajukan oleh pemerintah sesuai dengan SOP yang berlaku di lingkungan organisasi DPR. Seperti diketahui, setiap RUU yang diajukan oleh pemerintah harus 5

diagendakan dalam program legislasi nasional (prolegnas) kemudian Komisi DPR terkait membentuk Panitia Kerja (Panja) yang membahas RUU tersebut secara mendalam dan intensif dengan mempertimbangkan berbagai tujuan, program, prioritas, dan pilihan. Pembahasan RUU TNI oleh DPR yang dilakukan secara mendetail dan mendalam merupakan proses mekanistis yang sesuai dengan standar, prosedur, dan mekanisme yang ditetapkan dalam Tata tertib DPR. c. Mengapa akhirnya RUU TNI disetujui dan disahkan menjadi UU TNI? Menurut model ini, RUU TNI yang disetujui oleh DPR dan disahkan oleh Presiden telah dianggap sebagai kesepakatan akhir dari berbagai kelompok, pihak, dan unsur yang ada dalam lingkungan organisasional, baik di lingkungan pemerintah, DPR, dan ditanggapi oleh kelompok masyarakat sipil, sehingga harus dipatuhi dan ditaati oleh berbagai kalangan. Transformasi RUU TNI menjadi UU TNI telah melalui tahapan, prosedur, dan mekanisme yang sesuai dengan SOP sehingga tidak ada alasan bagi berbagai pihak untuk tidak mematuhinya atau tidak mentaatinya. UU TNI diterima oleh berbagai kalangan sebagai keputusan organisasional yang sah secara prosedural dimana Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan mengesahkan UU TNI sebagai keputusan pemerintah. 3. Analisis dengan Model Politik Birokratik a. Mengapa RUU TNI yang dirumuskan oleh Pemerintah (Dephan) cenderung memihak kelompok militer (TNI)? Menurut model ini, kecenderungan substansi / materi RUU TNI yang dinilai memihak kelompok militer / TNI sebenarnya merupakan cerminan dominasi kelompok militer / TNI yang sangat kuat dalam perumusannya di Pokja Departemen Pertahanan. TNI sangat berkepentingan terhadap RUU TNI karena menjadi payung hukum / landasan yuridis bagi TNI dalam perannya di kancah politik dan ekonomi nasional. TNI berupaya sekuat tenaga mempengaruhi pemerintah agar supaya RUU TNI tersebut mengakomodasi kepentingan TNI dan memihak kepentingan TNI. TNI beranggapan bahwa satu-satunya cara bagi TNI untuk mengukuhkan eksistensinya di era reformasi yang semakin terjepit dan terpojok adalah melalui cara memasukkan pasal-pasal dalam RUU TNI yang menguntungkan bagi kepentingan TNI. Oleh karena itu, berbagai cara dilakukan oleh TNI dalam mempengaruhi, menekan, dan mengintervensi Departemen Pertahanan sehingga RUU TNI mengakomodasi kepentingan TNI. Sehingga dengan demikian, RUU TNI merupakan proses resultan politik yang diwarnai dengan saling mempengaruhi dan saling tarik menarik di dalam Pokja RUU TNI Dephan. 6

b. Mengapa DPR merespon RUU TNI yang dirumuskan Pemerintah (Dephan) dengan melakukan pembahasan secara mendalam, mendetail, dan intensif? Menurut model ini, tindakan DPR untuk membahas RUU TNI secara mendalam, mendetail, dan intensif disebabkan oleh adanya desakan, tuntutan dan kecaman dari kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam berbagai NGO, Ormas, dan perguruan tinggi yang meminta kepada DPR untuk bersikap kritis terhadap RUU TNI yang diajukan oleh pemerintah. Proses pembahasan RUU TNI di Panja RUU TNI juga diwarnai tarik menarik kepentingan, saling mempengaruhi dan adanya proses bargaining antar fraksi di DPR, dimana Fraksi TNI/Polri cenderung memihak kepentingan TNI, dan fraksi lainnya, yang berasal dari partai politik, cenderung memihak pada kepentingan masyarakat sipil. TNI melalui corongnya di fraksi TNI/Polri berupaya melakukan intervensi agar supaya menggolkan RUU TNI versi pemerintah. Sedangkan kelompok masyarakat melalui saluran fraksi partai politik berupaya menekan agar supaya DPR menolak RUU TNI versi pemerintah yang dianggap tidak pro sipil. Proses saling mempengaruhi, saling menekan, dan saling tawar menawar inilah yang kemudian membuat pembahasan RUU TNI berkepanjangan dan berpotensi mengalami jalan buntu. c. Mengapa akhirnya RUU TNI disetujui dan disahkan menjadi UU TNI? Menurut model ini, disetujui dan disahkannya RUU TNI menjadi UU TNI merupakan hasil kompromi dari berbagai pihak yang terlibat dalam proses perumusan, pembahasan dan penggodokannya di lingkungan pemerintah dan DPR. UU TNI adalah sebuah proses politik yang melalui tahapan birokratis tertentu dan diproses melalui deliberasi yang panjang sehingga menghasilkan kesepakatan final. Semua pihak, baik TNI dan masyarakat sipil, berpendapat bahwa UU TNI merupakan upaya akhir yang kompromistis setelah melalui proses tarik menarik kepentingan yang panjang sehingga mendorong revisi beberapa pasal dalam RUU TNI sebelum akhirnya menjadi UU TNI. Proses revisi pasal-pasal dalam RUU TNI dinilai telah memuaskan berbagai pihak sehingga setelah disetujui dan disahkan menjadi UU TNI, maka semua sepakat untuk menerimanya tanpa syarat. Dengan demikian, UU TNI merupakan produk politik yang kompromistis antar berbagai pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. 7