BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkerasan Jalan Perkerasan jalan adalah lapisan permukaan jalan yang terdiri dari campuran agregat yang bisa berupa batu pecah, batu kali dan berfungsi untuk menahan beban kendaraan yang melewati jalan tambang tersebut. Lapis perkerasan tersebut harus mampu dilewati kendaraan-kendaraan yang akan melintas di atas jalan tersebut dengan tingkat kenyamanan tertentu dan harus anti selip. Untuk memenuhi syarat-syarat tersebut ketebalan dari lapis perkerasan tersebut harus mampu untuk mendistribusikan beban hingga ke lapis tanah dasar. Lapis perkerasan tersebut juga harus memiliki kekuatan yang dapat menahan gaya gesek antara roda kendaraan dengan permukaan perkerasan, dan juga gaya yang diakibatkan pengereman dan percepatan dari kendaraan. Susunan struktur dari perkerasan biasanya terdiri dari lapis permukaan (surface course), lapis pondasi atas (base course), lapis pondasi bawah (sub-base course), lapis tanah dasar (sub-grade course). Selain mampu menahan gaya-gaya yang terjadi pada permukaan perkerasan, ketebalan dari masing-masing lapisan juga harus memperhitungkan cuaca dan drainase yang akan terjadi pada lokasi jalan tambang tersebut. 6
7 Gambar 2.1 Struktur Perkerasan Sumber : BHP Billiton Mine Road Design Manual (2006) 2.2 Perkerasan Lentur Perkerasan lentur merupakan kombinasi antara material bitumen dengan agregat halus maupun kasar yang banyak dipergunakan dalam konstruksi jalan raya. Perkerasan lentur lebih banyak digunakan dalam pembangunan jalan di Indonesia dibandingkan dengan perkerasan kaku. Hal ini disebabkan karena biaya yang dikeluarkan untuk membangun perkerasan lentur lebih kecil dibandingkan biaya untuk membangun perkerasan kaku. Agar struktur perkerasan lentur dapat berfungsi dengan baik, maka perlu dilakukan perencanaan dan pemeliharaan terhadap struktur perkerasan kaku tersebut. Material aspal menjadi salah satu pilihan utama untuk dipergunakan sebagai lapis permukaan. Material tersebut mempunyai sifat plastis dan berada dalam keadaan baik dalam suhu normal, tetapi dalam suhu panas material tersebut akan melunak dan berkurang kepadatannya. Proses pencampuran antara material aspal dengan agregat kasar maupun halus dilakukan dalam suhu yang
8 sangat tinggi. Ketika suhu menurun maka campuran beraspal tersebut akan mengeras dan membentuk suatu lapis permukaan perkerasan. Pada tahun 1999, Departemen Pekerjaan Umum telah mengeluarkan SK No. 76/KPTS/Db/1999 yang berjudul Menurut Pedoman Perencanaan Campuran Beraspal Panas dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak No. 025/T/BM/1999. Di dalamnya terdapat spesifikasi-spesifikasi jenis campuran beraspal yang digunakan dalam perkerasan lentur. Beberapa jenis campuran beraspal dalam spesifikasi tersebut adalah sebagai berikut : a. Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir) kelas A dan B Campuran jenis ini ditujukan untuk jalan dengan lalu lintas ringan, khususnya pada daerah dimana agregat kasar sulit diperoleh. Pemilihan kelas A dan B tergantung pada gradasi pasir yang akan digunakan. Campuran Latasir biasanya memerlukan penambahan filler agar dapat memenuhi kebutuhan sifat-sifat yang disyaratkan. Campuran jenis ini pada umumnya memiliki daya tahan yang related rendah terhadap terjadinya alur, oleh sebab itu tidak campuran jenis ini tidak dapat dipasang dengan lapisan yang tebal, pada jalan yang memiliki kondisi lalu lintas berat, dan pada daerah tanjakan. b. Lapis Tipis Aspal Beton (Lataston) Lataston mempunyai persyaratan kekuatan yang sama dengan tipikal yang disyaratkan untuk aspal beton konvensional (AC) yang bergradasi menerus. Lataston terdiri dari dua macam campuran, yaitu Lataston Lapis Pondasi
9 (HRS-Base) dan Lataston Lapis Permukaan (HRS-Wearing Course). Ukuran maksimum agregat masing-masing campuran adalah 19 mm. c. Lapis Aspal Beton (Laston) Laston lebih peka terhadap variasi kadar aspal maupun variasi gradasi agregat jika dibandingkan dengan Lataston. Aspal beton (AC) terdiri dari tiga macam campuran, yaitu Laston Lapis Aus 2 (AC-WC), Laston Lapis Aus 1 (AC-BC) dan Laston Lapis Pondasi (AC-Base). Ukuran maksimum agregat masing-masing campuran adalah 19 mm, 25,4 mm, dan 37,5 mm. 2.3 Bahan Campuran Aspal Beton Campuran beraspal adalah kombinasi material bitumen dengan agregat yang merupakan material umum yang digunakan pada perkerasan jalan. Material aspal dipergunakan untuk semua jenis jalan raya dan merupakan salah satu bagian dari lapisan beton aspal jalan raya kelas satu. 2.3.1 Agregat Agregat merupakan sekumpulan butir-butir batu pecah, kerikil, pasir atau mineral lainnya baik yang berasal dari alam maupun buatan. Seringkali agregat juga diartikan sebagai suatu bahan untuk yang bersifat keras dan kaku dan digunakan sebagai bahan pengisi campuran. Agregat dapat berupa berbagai jenis butiran atau pecahan batuan, termasuk di dalamnya antara lain : pasir, kerikil, agregat pecah, abu/debu agregat dan lain-lain.
10 Menurut Harold N. Atkins, (1997) beberapa tipikal ketentuan penggunaan dalam penggambaran agregat adalah sebagai berikut : a. Fine Aggregate (sand size/ukuran pasir) : adalah partikel-partikel agregat yang lolos saringan no.4 sieve test (4,75 mm) dan tertahan saringan no. 200 sieve test (0,074 mm). b. Coarse Aggregate (gravel size/ukuran kerikil) : adalah partikel-partikel yang berukuran lebih besar dari 4,75 mm (saringan no.4 sieve test). c. Pit run : agregat yang berasal dari pasir atau gravel pit (biji kerikil) yang terjadi tanpa melewati suatu proses atau secara alami. d. Crushed gravel : pit gravel (kerikil dengan pasir atau batu bulat) yang mana telah didapatkan dari salah satu alat pemecah untuk menghancurkan banyak partikel batu yang berbentuk bulat untuk menjadikan ukuran yang lebih kecil atau untuk memproduksi lapisan kasar. e. Crushed rock : kepingan-kepingan dan debu atau bubuk yang merupakan produksi dalam pemecahan dari batuan (bedrock) untuk agregat. f. Concrete sand : pasir yang telah dibersihkan untuk menghilangkan debu dan kotoran. g. Fines : endapan lumpur (silt), lempung (clay) atau partikel debu lebih kecil dari 0,074 mm (saringan no. 200 sieve test). Biasanya terdapat kotoran atau benda asing yang tidak diperlukan dalam agregat. Menurut Buku Petunjuk Umum Edisi 2008 mengenai Manual Pekerjaan Campuran Beraspal Panas yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, terdapat ketentuan-ketentuan yang harus
11 dipenuhi untuk bahan campuran aspal panas sehingga diperoleh campuran rencana yang memenuhi persyaratan, ketentuan tersebut antara lain : Tabel 2.1 Ketentuan Agregat Ketentuan Metode Pengujian Analisa saringan agregat halus dan kasar SNI 03-1968-1990 Berat jenis dan penyerapan agregat halus SNI 03-1970-1990 Berat jenis dan penyerapan agregat kasar SNI 03-1969-1991 Keausan terhadap abrasi dengan mesin Los Angeles SNI 03-2417-1991 Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991 Sifat dan kualitas dari agregat menentukan kemampuan lapisan pemukaan lentur tersebut untuk menahan beban yang melintas diatasnya dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya hingga ke permukaan tanah. Gambar 2.2 Hot Bin I - IV
12 Selanjutnya dapat dilakukan pemilihan gradasi agregat campuran. Jenis campuran yang akan digunakan untuk pembuatan benda uji adalah harus memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan Departemen Pekerjaan Umum tahun 2008, seperti terlihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Gradasi Agregat untuk Campuran AC-WC % Lolos (US Standard) Syarat (in) (mm) 3/4" 19,1 100 1/2" 12,7 80-100 3/8" 9,6 70-90 #4 4,8 50-70 #8 2,4 35-50 #30 0,6 18-29 #50 0,3 13-23 #100 0,15 8-16 #200 0,075 4-10 Untuk campuran AC-WC, kombinasi agregat dianjurkan masuk didalam persyaratan yang telah ditetapkan. Kurva gradasi AC-WC sesuai spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum adalah sebagai berikut :
13 Gambar 2.3 Daerah Batasan Gradasi Agregat untuk AC-WC Untuk memperoleh gradasi gabungan, digunakan metode analitis. Kombinasi agregat dari Hot Bin I IV dan filler dapat digabungkan dengan persamaan dasar di bawah ini. A.a B.b C.c D.d E.e 100 P...(2.1) Dimana : P = Persen lolos agregat dengan ukuran tertentu (%) A,B,C,D,E = Persen bahan yang lolos saringan masing-masing ukuran (%) a,b,c,d,e = Proporsi masing-masing agregat yang digunakan, jumlah total 100% (%) Setelah didapatkan nilai a,b,c,d dan e maka proporsi masing-masing fraksi agregat dalam campuran dapat dievaluasi.
14 2.3.2 Aspal Aspal adalah material semen hitam, padat atau setengah padat dalam konsistensinya dimana unsur pokok yang menonjol adalah bitumen yang terjadi secara alam atau yang dihasilkan dengan penyulingan minyak. Aspal dibuat dari minyak mentah (crude oil) dan secara umum berasal dari sisa organisme laut dan sisa tumbuhan laut dari masa lampau yang tertimbun oleh dam pecahan batu batuan. Pada umumnya aspal berwarna coklat gelap sampai hitam, dan jika dipanaskan pada suhu tertentu maka aspal tersebut akan mencair, sedangkan pada suhu ruang bentuk aspal akan menjadi padat. Sebelum digunakan, material aspal perlu menjalani beberapa pengujian yang akan menentukan bahwa aspal tersebut layak untuk digunakan. Beberapa pengujian tersebut antara lain uji penetrasi, uji titik nyala dan titik bakar, uji berat jenis aspal, titik lembek. Aspal yang akan digunakan pada penelitian ini adalah aspal PERTAMINA penetrasi 60/70. Gambar 2.4 Aspal Pertamina Penetrasi 60/70
15 2.3.3 Filler Filler dapat terdiri dari debu batu kapur (limestone dust), semen Portland, fly ash, abu batu atau bahan non plastis lainnya yang sumbernya telah disetujui oleh Direksi Departemen Pekerjaan Umum. Fungsi filler dalam campuran beraspal adalah : a. Untuk memodifikasi agregat halus sehingga berat jenis campuran meningkat dan jumlah aspal yang diperlukan untuk mengisi rongga akan berkurang. b. Filler dan aspal secara bersamaan akan membentuk suatu pasta yang akan menyelimuti dan mengikat agregat halus untuk membentuk mortar. c. Mengisi ruang antar agregat halus dan kasar serta meningkatkan kepadatan dan kestabilan dari campuran beraspal tersebut. Tujuan awal filler adalah mengisi rongga dalam campuran (VIM), tidak hanya oleh bitumen tetapi material yang lebih murah. Pada kadar aspal konstan, penambahan filler akan memperkecil VIM. Mineral filler dapat terjadi secara alamiah atau dapat juga dihasilkan dari proses pemecahan batuan atau dari proses buatan. Mineral ini penting artinya untuk mendapatkan campuran yang padat, berdaya tahan tinggi, dan kedap air. Rencana filler yang akan ditambahkan ke dalam campuran beraspal harus dalam kondisi kering dan bebas dari gumpalan-gumpalan, dan bila diuji dengan pengayakan sesuai SNI 03-1968-1990 harus mengandung bahan yang lolos ayakan No. 200 tidak kurang dari 75% terhadap beratnya. Semua campuran beraspal harus mengandung filler yang akan ditambahkan tidak kurang dari 1%
16 dan maksimum 2% dari berat total agregat. Kondisi akan ditentukan pula dari beban lalu lintas yang direncanakan akan melintas diatas campuran beraspal tersebut. Pada penelitian diambil persentase filler sebesar 1,5% dengan asumsi campuran beraspal panas akan digunakan untuk kondisi jalan dengan lalu lintas harian normal. 2.3.3.1 Semen Portland Semen Portland dibuat dari batu kapur (limestone) dan mineral lainnya, dicampur dan dibakar dalam sebuah alat pembakaran hingga didapatkan bahan material berupa bubuk. Bubuk tersebut akan mengeras dan terjadi ikatan yang sangat kuat dikarenakan suatu reaksi kimia ketika dicampur dengan air. Kekuatan 100% dari semen dapat dilihat pada campuran beton yang mengeras pada umur 28 hari setelah bereaksi dengan air. Proses kimia tersebut dinamakan dengan proses hidrasi. Ketentuan mineral yang paling pokok untuk memproduksi semen Portland adalah kapur/lime (CaO), silika (SiO 2 ), alumina (Al 2 O 3 ) dan besi oksida (Fe 2 O 3 ). Gambar 2.5 Semen Portland Tipe I Sumber : http://www.indocement.co.id
17 Sedangkan sumber senyawa bahan pembuatan semen Portland dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 2.3 Karakteristik Semen Portland Tipe Semen I Ia a II IIa a III IIIa a IV V 1 Rongga udara dalam mortar maks % 12 22 12 22 12 22 12 12 min % - 16-16 - 16 - - 2 Kehalusan, masingmasing permukaan a. turbidimeter test, minimum b. air permeability test, minimum cm 2 /gr 1600 1600 1600 1600 - - 1600 1600 cm 2 /gr 2800 2800 2800 2800 - - 2800 2800 3 Autoclave expansion maximum % 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 1 hari psi - - - - 1800 1450 - - MPa - - - - 12,4 10 - - 4 Kuat tekan 3 hari 7 hari 28 hari psi 1800 1450 1500 1200 3500 2800-1200 MPa 12,4 10 10,3 8,3 24,1 19,3-8,3 psi 2800 2250 2500 2000 - - 1000 2200 MPa 19,3 15,5 17,2 13,8 - - 6,9 15,2 psi - - - - - - 2500 3000 MPa - - - - - - 17,2 20,7 5 Gilmore test : 6 Vicat test : a. initial set menit 60 60 60 60 60 60 60 60 b. final set jam 10 10 10 10 10 10 10 10 a. initial set menit 45 45 45 45 45 45 45 45 b. final set jam 8 8 8 8 8 8 8 8 Sumber : ASTM C.150 (Harold N.Atkins, PE. 1997)
18 Dalam penelitian ini tipe semen Portland yang akan digunakan adalah semen Portland tipe I yang sangat umum digunakan dalam berbagai macam pekerjaan konstruksi. 2.3.3.2 Fly ash Fly ash adalah partikel halus yang merupakan endapan dari tumpukan bubuk hasil pembakaran batubara yang dikumpulkan dengan alat Elektrostatik Presipirator. Fly ash dapat digunakan sebagai material filler pada campuran beraspal karena ukuran partikelnya yang sangat kecil sehingga dapat berfungsi sebagai pengisi rongga dan sebagai pengikat aspal beton. Persyaratan fly ash dapat digunakan sebagai filler dalam campuran beraspal adalah fly ash harus berada dalam kondisi kering dan bebas dari berbagai macam bahan yang dapat mengganggu hasil campuran beraspal. Karakteristik fly ash : 1. Jumlah persentase yang lolos saringan No. 200 (0,074 mm) berkisar di antara 60% sampai 90%. Hal ini disebabkan karena ukuran partikel fly ash yang sangat halus. 2. Warna dari fly ash bervariasi dari abu-abu sampai hitam, tergantung dari jumlah kandungan karbonnya. Semakin terang warnanya maka akan semakin rendah pula kandungan karbonnya. 3. Fly ash bersifat tahan air (hydrophobic). 4. Komponen utama dari fly ash adalah silicon (S i ), alumunium (Al), besi (F e ), dan kalsium (C a ) dengan variasi kandungan karbon.
19 Fly ash dibedakan menjadi 2 kelas, yaitu kelas F dan kelas C dimana perbedaan antara kelas F dengan kelas C terdapat pada tabel berikut : Tabel 2.4 Kandungan Mineral fly ash Kandungan mineral fly ash Kelas F Kelas C Silikon Dioksida (SiO 2 ) + Alumunium Oksida (Al 2 O 3 ) + Besi Oksida (Fe 2 O 3 ), minimal 70% 50% Sulfur Trioksida (SO 3 ), maksimal 5% 5% Kalsium Oksida (CaO) 1%-12% 30%-40% Sumber: Annual Book of ASTM Standard Volume 04.02 Standard Specification for Fly Ash and Raw or Calcined Natural Pozzolans for Use as a mineral Admixture in Portland Cement Concrete, 1994. kelas F. Gambar 2.6 Fly ash Kelas F Pada penelitian ini, material fly ash yang akan digunakan adalah fly ash 2.4 Karakteristik Campuran Aspal Beton Menurut Silvia Sukirman (2003), Terdapat tujuh karakteristik campuran yang harus dimiliki oleh campuran aspal beton, diantaranya adalah stabilitas,
20 keawetan, kelenturan atau fleksibilitas, ketahanan terhadap kelelahan (fatigue resistance), ketahanan geser, kedap air dan kemudahan pelaksanaan di lapangan (workability). 1. Stabilitas adalah kemampuan perkerasan jalan menerima beban kendaraan tanpa terjadi perubahan bentuk (bergelombang) dan bleeding. Kebutuhan akan stabilitas sebanding dengan fungsi dari jalan itu sendiri dan beban lalu lintas yang akan melintas diatasnya. Jalan yang melayani volume lalu lintas yang tinggi dan mayoritas kendaraan berat akan membutuhkan tingkat stabilitas yang cukup tinggi. 2. Keawetan atau durabilitas adalah kemampuan aspal beton untuk menerima repetisi beban lalu lintas seperti berat kendaraan dan gesekan antara roda kendaraan dengan permukaan jalan, serta juga dapat menahan keausan akibat pengaruh cuaca atau iklim. Durabilitas aspal dipengaruhi tebal lapisan film atau selimut aspal, banyaknya pori dalam campuran, kepadatan dan kedap air suatu campuran beraspal. 3. Kelenturan atau fleksibilitas adalah kemampuan aspal beton untuk menyesuaikan diri akibat penurunan (konsolidasi/settlement) dari pondasi atau tanah dasar. Penurunan tersebut dapat terjadi karena repetisi beban lalu lintas ataupun akibat beban sendiri tanah timbunan yang berada diatas tanah asli. 4. Ketahanan terhadap kelelahan (fatigue resistance) adalah kemampuan campuran beraspal untuk menerima lendutan berulang akibat repetisi
21 beban, tanpa terjadinya kelelahan berupa alur dan retak. Hal ini dapat tercapai dengan menggunakan kadar aspal yang tinggi. 5. Ketahanan terhadap geser adalah kemampuan permukaan aspal beton terutama pada kondisi basah untuk memberikan gaya gesek sehingga kendaraan tidak tergelincir atau selip. Untuk menghasilkan kekesatan jalan yang baik diperlukan faktor-faktor seperti kekasaran permukaan dari butiran agregat, luas bidang kontak antar butiran agregat, gradasi agregat, kepadatan campuran dan tebal lapisan film aspal. 6. Kedap air adalah kemampuan aspal beton menahan resapan air dan udara melalui lapisan permukaan. Air dan udara dapat mengakibatkan percepatan proses penuaan aspal dan pengelupasan selimut aspal dari permukaan agregat. 7. Workability adalah suatu tingkat pelaksanaan campuran aspal beton untuk dihamparkan dan dipadatkan. Kemudahan pelaksanaan menentukan tingkat efisiensi pekerjaan. Ketujuh karakteristik tersebut tidak mungkin dapat terpenuhi dalam satu campuran. Pemilihan karakteristik aspal yang dominan dipengaruhi fungsi dan kelas jalan itu sendiri, sehingga perlu diperhatikan pada saat merancang tebal perkerasan jalan. 2.5 AC-WC (Asphalt Concrete Wearing Course) Aspal beton adalah jenis perkerasan jalan yang terdiri dari campuran agregat halus, agregat kasar dan aspal, dengan atau tanpa bahan tambahan.
22 Material-material pembentuk aspal beton dicampur pada suhu yang ditentukan berdasarkan jenis aspal yang akan digunakan. Pada umumnya suhu pencampuran campuran beraspal dengan menggunakan semen Portland mencapai 145-155 C, sehingga disebut juga campuran panas (hotmix). Salah satu produk campuran beraspal yang kini banyak digunakan adalah AC-WC (Asphalt Concrete Wearing Course) / Lapis Aus Aspal Beton. Penggunaan AC-WC untuk lapis permukaan dalam struktur perkerasan, memiliki tekstur yang paling halus dibandingkan jenis lapis aspal beton lainnya. Pada campuran laston yang bergradasi menerus tersebut mempunyai sedikit rongga dalam struktur agregatnya dibandingkan dengan campuran bergradasi senjang. Hal tersebut menyebabkan campuran AC-WC lebih peka terhadap variasi dalam proporsi campuran. 2.6 Metode Pengujian Laboratorium Rancangan campuran beraspal bertujuan untuk mendapatkan komposisi campuran dari material yang direncanakan akan digunakan, sehingga pada akhirnya akan menghasilkan campuran beraspal yang memenuhi spesifikasi campuran yang telah ditetapkan. Saat ini, metode perancangan untuk campuran beraspal di Indonesia pada umumnya menggunakan metode Marshall dengan melakukan pengujian empiris dengan menggunakan alat tes Marshall. Metode perancangan berdasarkan pengujian empiris terdiri dari 4 tahap, yaitu :
23 1. Menguji sifat agregat dan aspal yang akan digunakan sebagai bahan dasar campuran. 2. Rancangan campuran di laboratorium yang menghasilkan rumus campuran rancangan. 3. Kalibrasi hasil rancangan campuran ke instalasi pencampur yang akan digunakan. 4. Berdasarkan hasil kedua tahap di atas, dilakukan percobaan produksi di instalasi pencampur, dilanjutkan dengan penghamparan dan pemadatan dari hasil campuran percobaan. Rancangan campuran berdasarkan metode Marshall ditemukan oleh Bruce Marshall, dan telah distandarisasi oleh ASTM maupun AASTHO melalui beberapa modifikasi, yaitu ASTM D 1559-76, atau AASTHO T-245-90. Prinsip dasar dari metode Marshall adalah pemeriksaan stabilitas dan kelelehan (flow), serta analisis kepadatan dan pori dari campuran padat yang terbentuk. Langkahlangkah rancangan campuran metode Marshall adalah: a. Mempelajari spesifikasi gradasi agregat campuran yang diinginkan dari spesifikasi campuran pekerjaan. b. Merancang proporsi dari masing-masing fraksi agregat yang tersedia untuk mendapatkan agregat campuran dengan gradasi sesuai butir. c. Menentukan kadar aspal total dalam campuran. d. Membuat benda uji atau briket beton aspal.
24 e. Melakukan penimbangan terhadap benda uji tersebut, dalam hal ini ada 3 macam penimbangan, yaitu ditimbang: dalam keadaan kering, dalam air, dalam keadaan basah (SSD). f. Melakukan perendaman benda uji didalam waterbath dengan suhu 60 C selama 30 menit. g. Melakukan uji Marshall untuk mendapatkan stabilitas dan kelelahan (flow) benda uji. h. Menghitung parameter Marshall yaitu AV, VMA, VFA, Stabilitas dan Flow sesuai dengan parameter yang ada pada spesifikasi campuran. i. Menggambarkan hubungan antara kadar aspal dan parameter Marshall. j. Menentukan nilai kadar aspal optimum dari hubungan antara kadar aspal dan parameter Marshall. k. Menghasilkan rumus rancangan campuran Penggunaan aspal harus memperhatikan hal-hal berikut: Suhu saat aspal mulai menyala. Hal ini terkait dengan batas pemanasan izin dengan tanpa menimbulkan bahaya kebakaran. Suhu pada saat aspal mulai meleleh. Hal ini terkait dengan proses pencampuran, penghamparan dan pemadatan. Penetrasi aspal. Hal ini terkait dengan dengan lokasi penggunaan aspal, jenis struktur.
25 Kehilangan berat akibat pemanasan, hal ini terkait dengan pencegahan kerapuhan aspal. Kekerasan aspal dinyatakan dengan angka penetrasinya. Semakin besar angka penetrasinya, maka tingkat kekerasannya makin rendah. Sebagai bahan untuk campuran perkerasan, aspal harus mempunyai kinerja, kekuatan dan keawetan yang memadai. Oleh karena itu, pemilihan jenis aspal harus meninjau dari segi jenis, sifat dan maksud penggunaan yang terkait dengan syarat teknis dan kondisi di lapangan. Metoda kepadatan mutlak dan uji durabilitas diabaikan pada penelitian kali ini, dengan anggapan bahwa lapisan AC-WC dihampar pada keadaan lalu lintas belum melintas diatas lapisan tersebut dan tidak ada air yang menggenangi lapisan AC-WC tersebut. 2.7 Parameter dan Formula Perhitungan Parameter-parameter dan formula untuk menganalisa campuran aspal panas adalah sebagai berikut : 2.7.1 Kadar Aspal Rencana Perkiraan awal kadar aspal optimum dapat direncanakan setelah dilakukan pemilihan dan penggabungan pada tiga fraksi agregat. Perhitungannya adalah sebagai berikut :
26 P b = 0,035(%CA) + 0,045(%FA) + 0,18(%FF) + K...(2.2) Dimana : P b = Perkiraan kadar aspal optimum CA = Nilai persentase agregat kasar FA = Nilai persentase agregat halus FF = Nilai persentase filler K = Konstanta (0,5 1,0 untuk campuran Laston) 2.7.2 Berat Jenis Bulk dan Apparent dari total agregat Agregat total terdiri atas fraksi-fraksi agregat kasar, agregat halus dan filler, yang masing-masing memiliki berat jenis yang berbeda, baik berat jenis kering (bulk specific gravity) dan berat jenis semu (apparent specific gravity). Setelah didapatkan kedua macam berat jenis pada masing-masing agregat pada pengujian material agregat, maka berat jenis total agregat tersebut dapat dihitung dalam persamaan berikut : 1. Berat jenis kering (bulk specific gravity) dari total agregat G sb G P 1 sb1 P1 P P2 G 2 sb2 P3... Pn P3 P... G G sb3 n sbn... (2.3) Dimana : G sb = Berat jenis kering agregat gabungan
27 G sb1, G sb2,.. G sbn = Berat jenis kering dari masing-masing agregat P 1, P 2, P 3,.. P n = Persentase berat dari masing-masing agregat (%) 2. Berat jenis semu (apparent specific gravity) dari total agregat. G sa G P 1 sa1 P1 P P2 G 2 sa2 P3... Pn P3 P... G G sa3 n san... (2.4) Dimana : G sa = Berat jenis semu agregat gabungan G sa1, G sa2,.. G san = Berat jenis semu dari masing-masing agregat P 1, P 2, P 3,.. P n = Persentase berat dari masing-masing agregat (%) 2.7.3 Berat Jenis Efektif Agregat Berat jenis efektif total agregat dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan dibawah ini : G se G sb G 2 sa... (2.5) Dimana : G se = Berat jenis efektif G sb = Berat jenis kering agregat G sa = Berat jenis semu agregat
28 2.7.4 Penyerapan Aspal Penyerapan aspal dinyatakan dalam persen terhadap berat agregat total. Perhitungan penyerapan aspal (P ba ) adalah sebagai berikut : P ba G 100 G se se G G sb sb G b... (2.6) Dimana : P ba = Penyerapan aspal, persen total agregat (%) G sb G se G b = Berat jenis kering agregat = Berat jenis efektif agregat = Berat jenis aspal 2.7.5 Void in the Mineral Aggregate (VMA) VMA, rongga dalam agregat mineral. Adalah rongga antar partikel agregat pada campuran padat termasuk rongga udara dan kadar aspal efektif, dinyatakan dalam persen volume total. VMA dihitung berdasarkan Berat jenis agregat curah (bulk) dan dinyatakan dalam persentase dari volume curah campuran padat. Jika komposisi campuran ditentukan sebagai persen berat dari campuran total, maka VMA dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Gmb Ps VMA 100...(2.7) Gsb Dimana : VMA = Rongga udara pada mineral agregat (%) G mb = Berat jenis curah campuran padat
29 P s G sb = Agregat, persen berat total campuran = Berat jenis kering agregat 2.7.6 Void in the Compacted Mixture (VIM) Rongga udara (VIM) dalam campuran padat terdiri atas ruang-ruang kecil antara partikel agregat terselimuti aspal. Rongga udara dihitung dengan persamaan sebagai berikut: 100 G G Rongga Udara ( VIM ) mm mb...(2.8) G mm Dimana : VIM = Rongga udara pada campuran setelah pemadatan (%) G mm = Berat jenis maksimum campuran ( tidak ada rongga udara ) G mb = Berat jenis curah campuran padat 2.7.7 Void Filled with Asphalt (VFA) VFA adalah rongga udara terisi aspal, merupakan persentase rongga antar agregat pertikel (VMA) yang terisi aspal. VFA, tidak termasuk aspal yang terserap agregat, dihitung dengan persamaan sebagai berikut: VMA VIM VFA 100...(2.9) VMA Dimana : VFA = Rongga udara yang terisi aspal (%) VIM = Rongga udara dalam campuran padat (%)
30 VMA = Rongga dalam agregat mineral (%) 2.7.8 Kepadatan (Density) Density adalah tingkat kepadatan dari suatu campuran aspal yang telah dipadatkan. Density dapat dihitung dengan persamaan berikut : Density P Dimana : a / G b 100 100 P a / Gsb... (2.10) P a = Kadar aspal ( % ) G b G sb = Berat jenis curah aspal = Berat jenis kering agregat 2.7.9 Stabilitas Nilai stabilitas diperoleh berdasarkan nilai masing-masing yang ditunjukkan pada jarum dial. Untuk nilai stabilitas, nilai yang ditunjukkan pada jarum dial perlu dikonversikan terhadap alat Marshall. Selain itu pada umumnya alat Marshall yang digunakan mempunyai satuan Lbf (pound force), sehingga harus disesuaikan terhadap satuan kilogram. Selanjutnya nilai tersebut juga harus disesuaikan dengan angka koreksi terhadap ketebalan atau volume benda uji. 2.7.10 Flow Seperti halnya untuk memperoleh nilai stabilitas, nilai flow diperoleh berdasarkan nilai yang ditunjukkan oleh jarum dial. Hanya saja untuk alat uji
31 jarum dial flow biasanya sudah dalam satuan millimeter (mm), sehingga tidak perlu dikonversikan lebih lanjut. 2.7.11 Marshall Quotient (MQ) Marshall Quotient (MQ) merupakan hasil pembagian dari stabilitas dengan kelelehan. Sifat Marshall tersebut dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : MS MQ...(2.9) MF Dimana : MQ MS MF = Marshall Quotient (kg/mm) = Marshall Stability (kg) = Marshall Flow (mm)