Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim dan Laut China Selatan. I Made Andi Arsana, Ph.D.

dokumen-dokumen yang mirip
Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Menyingkap Misteri Laut Tiongkok Selatan I Made Andi Arsana

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SISTEMATIKA PEMAPARAN

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG TUNJANGAN OPERASI PENGAMANAN BAGI

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7

MENEGOSIASIKAN BATAS WILAYAH MARITIM INDONESIA DALAM BINGKAI NEGARA KEPULAUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

2017, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamb

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

Hukum Laut Indonesia

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus

KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN [DEWI TRIWAHYUNI]

KONFLIK PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA (Studi Kasus: Sengketa Blok Ambalat) Moch Taufik

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus

TOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL

Gambar 2. Zona Batas Maritim [AUSLIG, 2004]

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN RUANG KAWASAN PERBATASAN LAUT

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

xii hlm / 14 x 21 cm

BAB I PENDAHULUAN. bahasa, kepulauan tidak hanya berarti sekumpulan pulau, tetapi juga lautan yang

I. BAB I PENDAHULUAN

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

Peluang dan Tantangan Penyelesaian Batas Maritim Indonesia: Tinjauan Legal dan Teknis

Mengelola Batas Maritim Indonesia: Delimitasi dan Administrasi

RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA

I PENDAHULUAN. Hukum Internasional mengatur tentang syarat-syarat negara sebagai pribadi

MASALAH PERBATASAN NKRI

LAMPIRAN II RENCANA KERJA PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KEAMANAN NASIONAL (PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN)

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

JURNAL ILMIAH. Diajukan oleh : Raden Florentinus Bagus Adhi Pradana NPM : Program Kekhususan : Hukum Internasional

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

Sayidiman Suryohadiprojo. Jakarta, 24 Juni 2009

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

BAB III KONFLIK LAUT CINA SELATAN. itu bernama Cina memproduksi peta LCS dengan 9 garis putus-putus dan

Masalah Penetapan Batas Landas Kontinen dan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Oleh : Danar Widiyanta 1

PENYELESAIAN PERMASALAHAN BATAS WILAYAH ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI PERAIRAN SELAT MALAKA DITINJAU DARI UNCLOS 1982

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

Berbagi Laut dengan Tetangga: Melihat Kasus Indonesia dan Malaysia di Perairan Tanjung Brakit Klaim Maritim

Menyoal Konflik Indonesia di Laut Cina Selatan

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

TINJAUAN HUKUM LAUT TERHADAP WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN. berkelahi di laut dan saling bakar kapal-kapal penangkap ikannya. 1

BAB I PENDAHULUAN. Ambalat adalah blok laut seluas Km2 yang terletak di laut

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Dinamika Hukum Laut Internasional mengalami perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah laut dalam perkembangannya kini tidak lagi berfungsi hanya

KONFLIK & MANAJEMEN KONFLIK DI ASIA TENGGARA PASKA PERANG DINGIN DALAM PERSPEKTIF KEAMANAN TRADISIONAL DEWI TRIWAHYUNI

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra

BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

UPAYA TIMOR LESTE DALAMMENYELESAIKAN BATAS WILAYAH LAUT DENGAN AUSTRALIA RESUME SKRIPSI

BAB I. Potensi Konflik Laut Tiongkok Selatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Situasi politik keamanan di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik, yang meliputi

SENGKETA-SENGKETA PERBATASAN DI WILAYAH DARAT INDONESIA. Muthia Septarina. Abstrak

BAB III DINAMIKA PEREBUTAN PENGARUH DI PERAIRAN NATUNA. Landasan hukum tentang peraturan perbatasan laut tiap-tiap negara yang

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

Perkembangan Hukum Laut dan Wilayah Perairan Indonesia

Transkripsi:

Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim dan Laut China Selatan I Made Andi Arsana, Ph.D. Jutaan orang menyaksikan debat capres ketiga tanggal 22 Juni lalu. Temanya, setidaknya menurut saya, sangat menarik terkait politik internasional dan ketahanan nasional. Secara spesifik, saya tertarik dengan tiga tema: kedaulatan, batas maritim dan Laut China 1 Selatan yang saya pelajari sepuluh tahun terakhir. Tulisan ini tidak secara spesifik membahas respon masing-masing capres tetapi merupakan pandangan saya pribadi terhadap tiga tema itu. Kedaulatan Terkait dengan ruang dan kawasan negara, istilah kedaulatan (sovereignty) itu berbeda dengan hak berdaulat (sovereign rights). Kedaulatan adalah kewenangan penuh atas wilayah (territory) yang dalam hal ini meliputi semua wilayah daratan, perairan kepulauan dan laut territorial. Perairan kepulauan adalah kawasan laut di antara pulau-pulau Indonesia yang berada di dalam lingkup sabuk garis pangkal yang menghubungkan titik-titik paling tepi pulau-pulau terluar. Laut teritorial adalah kawasan laut dengan lebar hingga 12 mil laut (22 km) dari garis pangkal kepulauan. Gambar 1 berikut menggambarkan wilayah NKRI, garis pangkal dan zona maritim yang berbeda itu: perairan kepulauan, laut teritorial, ZEE dan landas kontinen (dasar laut). Gambar 1 Peta Batas Maritim Indonesia: Kedaulatan dan Hak Berdaulat Di luar laut teritorial, sebuah negara pantai tidak memiliki kedaulatan penuh (sovereignty) tetapi hak berdaulat (sovereign rights). Hal ini sering dipahami secara kurang tepat oleh masyarakat umum. Kedaulatan dan hak berdaulat adalah dua hal yang berbeda dan itu jelas definisinya dalam konteks hukum internasional. Pada kedaulatan, berlaku kekuasaan penuh 1 Meskipun istilah China telah diganti secara formal menjadi Tiongkok, frase Laut China Selatan akan tetap digunakan dalam tulisan ini untuk kemudahan pemahaman (familiaritas).

atas wilayah (territory) dan di sana berlaku hukum nasional. Sementara itu, pada hak berdaulat, tidak berlaku kekuasan penuh tetapi hak untuk mengelola dan memanfaatkan. Kawasan tempat berlakunya hak berdaulat ini dikenal dengan yurisdiksi, bukan wilayah atau territory. Dalam hal ini, di ZEE, misalnya, Indonesia tidak punya kedaulatan penuh tetapi berhak untuk mengelola kekayaan alamnya dan negara lain tidak berhak memanfaatkan kekayaan alam itu tanpa izin dari Indonesia. Batas Maritim Sebelum berbicara tentang batas maritim, perlu memahami hak atau kewenangan suatu negara pantai (coastal State) seperti Indonesia atas kawasan laut. Seperti yang disampaikan sebelumnya, sebuah negara pantai berhak atas laut territorial (hingga 12 mil laut), zona tambahan (hingga 24 mil laut), ZEE (hingga 200 mil laut), dan landas kontinen atau dasar laut yang lebarnya bisa lebih dari 200 mil laut. Ini berdasarkan ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Dari mana lebar zona maritim ini diukur? Dari garis pangkal. Garis pangkal ini bisa berupa garis pantai ketika air surut atau bisa juga berupa garis lurus yang menghubungkan titik paling tepi pulau-pulau terluar. Indonesia, dalam hal ini, berhak atas garis pangkal demikian yang disebut garis pangkal kepulauan. Gambar 2 berikut mengilustrasikan secara teoritis kawasan maritim yang bisa diklaim oleh sebuah negara pantai seperti Indonesia. Gambar 2 Kawasan maritim yang bisa diklaim negara pantai (kepulauan) menurut UNCLOS

Dari gambar di atas bisa dilihat bahwa luas laut yang bisa diklaim sangatlah luas menurut UNCLOS, jauh lebih luas dari daratannya sendiri. Meski demikian, mungkinkah sebuah negara bisa mengklaim laut yang begitu luas? Tentu tidak mungkin karena di sekitarnya pasti ada negara tetangga yang juga memiliki hak yang sama. Artinya, meskipun suatu negara berhak atas ZEE sejauh 200 mil laut, negara tersebut tentu tidak bisa mengklaim semuanya jika tetangganya berada kurang dari 2 x 200 mil laut darinya. Bukankah negara tetangganya juga berhak atas 200 mil laut ZEE? Di Selat Malaka, misalnya, Indonesia tidak mungkin mengkalim ZEE hingga 200 mil laut karena jarak Indonesia dengan Malaysia kurang dari 2 x 200 mil laut. Dalam situasi sperti ini harus dilakukan pembagian laut yang dikenal dengan istilah delimitasi atau penetapan batas maritim. Artinya, suatu negara tidak bisa mengatakan Ini laut saya sebelum adanya proses delimitasi yang disepakati semua pihak. Secara hukum, pernyataan suatu negara seprti kami akan pertahankan setiap jengkal laut kami belum bermakna apa-apa jika belum ada garis batas yang membagi laut di antara negara tersebut dan tetangganya. Karena posisi geografisnya yang berdekatan, tidak mungkin ada negara di dunia yang bisa mendapatkan semua zona maritim seperti yang ditentukan UNCLOS tanpa berurusan dengan negara tetangganya. Karena sama-sama berhak dan jaraknya yang berdekatan, negara-negara pantai harus berbagi laut yang disebut dengan delimitasi maritim, seperti diilustrasikan pada Gambar 3. Gambar 3 Prinsip delimitasi batas maritim (Sumber: diadaptasi dari Arsana (2007)).

Karena posisi geografisnya yang berdekatan dengan negara lain, Indonesia memiliki klaim maritim yang tumpang tindih dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Artinya, berdasarkan UNCLOS, Indonesia wajib menetapkan batas maritim dengan kesepuluh negara tetangga tersebut. Indonesia sudah mulai menetapkan batas maritim sejak tahun 1969 dengan Malaysia di Selat Malaka dan Laut China Selatan. Sejak itu, beberapa batas maritim juga disepakati dengan India, Thailand, Singapura, Vietnam, Papua Nugini, dan Australia, Filipina, meskipun belum tuntas. Sementara itu belum ada batas maritim yang disepakati dengan Palau dan Timor Leste. Jika sudah diatur mengapa tidak segera saja dilakukan delimitasi? Mengapa tidak tetapkan saja garisnya menurut petunjuk hukum? Ternyata tidak semudah itu. Hukum yang mengatur delimitasi batas maritim tidak secara spesifik menyebut metode dan cara penetapan garis. Untuk ZEE atau landas kontinen, misalnya, disebutkan kedua belah pihak harus menetapkan batas maritim untuk mencapai solusi yang adil (Pasal 74). Solusi yang adil ini kemudian menjadi bahan perdebatan dalam setiap negosiasi yang membuat prosesnya bisa sangat lama. Delimitasi batas maritim dilakukan secara bilateral melalui negosiasi, mediasi, arbitrasi atau melalui pengadilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ) atau International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS). Cara apapun yang ditempuh, penetapan batas maritim tidak bisa dilakukan dengan cepat. Rekor terlama Indonesia adalah menyelesaikan batas maritim dalam waktu sekitar 25 tahun dengan Vietnam di Laut China Selatan. Yang cukup cepat adalah batas maritim dengan Singapura (segmen barat) yang diselesaikan dalam waktu sekitar lima tahun. Artinya, akan ada periode yang cukup lama Indonesia hidup berdampingan dengan tetangga tanpa batas maritim yang pasti. Pada saat artikel ini ditulis, Indonesia masih harus menyelesaikan banyak segmen batas maritim di lokasi berbeda. Meskipun sudah ada garis batas, misalnya antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka, garis tersebut hanya membagi dasar laut (landas kontinen), tidak membagi perairan (ZEE). Akibatnya, garis tersebut tidak bisa dijadikan pedoman dalam memantau aktivitas nelayan yang terjadi di air, bukan di dasar laut. Jika batas maritim (terutama ZEE) belum ada, bagaimana mungkin terjadi pelanggaran batas oleh nelayan? Batas mana yang dilanggar? Inilah cikal bakal persoalannya. Sebelum menetapkan batas maritim, Indonesia dan negara tetangga biasanya memiliki pendapat sendiri terkait lokasi batas maritim yang tepat menurut masing-masing negara. Masingmasing memiliki klaim batas maritim sepihak yang hampir pasti berbeda satu sama lain. Umumnya, klaim Indonesia dan negara tetangga akan membentuk kawasan maritim tumpang tindih (overlapping claim). Artinya akan ada kawasan maritim tertentu yang diklaim oleh Indonesia maupun negara tetangga. Untuk menegaskan klaim tersebut, umumnya masing-masing negara akan melakukan patroli atau penjagaan yang tugasnya melarang atau menangkap pihak lain yang datang atau beraktivitas di kawasan tersebut.

Patroli ini akan berpedoman pada sebuah peta yang menggambarkan klaim sepihak sebagai batas terluar kawasan maritim negaranya. Sementara itu, nelayan dari negara tetangga menggunakan peta sendiri yang juga menggambarkan klaim sepihak negaranya. Di sinilah biasanya nelayan menjadi korban, ditangkap padahal yang dilanggar adalah garis yang ditetapkan sepihak. Ilustrasi situasi ini bisa dilihat pada Gambar 4 berikut. Gambar 4 Klaim sepihak A dan B yang menimbulkan kawasan tumpang tindih Artinya, pelanggaran yang dimaksud sesunggunya adalah pelanggaran atas klaim sepihak, bukan pelanggaran atas garis kesepakatan bersama. Nelayan dari negara A ditangkap karena melanggar garis batas yang merupakan klaim sepihak negara B, demikian pula sebaliknya. Jika petugas patroli bertemu di kawasan klaim tumpang-tindih tersebut bukan tidak mungkin terjadi bentrokan karena keduanya merasa berpatroli di kawasan maritimnya sendiri. Hal ini mirip dengan apa yang terjadi bulan Agustus 2010 saat petugas Indonesia menangkap 7 nelayan Malaysia dan kemudian 3 petugas Indonesia ditangkap oleh petugas Malaysia di perairan Tanjung Berakit. Apa yang perlu dilakukan? Yang utama adalah mempercepat proses delimitasi batas maritim agar pembagian laut menjadi jelas. Dalam pasal 74 atau 83 UNCLOS disebutkan bahwa jika belum dicapai kesepakatan maka negara bersangkutan wajib membuat kesepakatan sementara yang bersifat praktis namun tidak boleh merugikan delimitasi final di kemudian hari. Salah satu implementasi dari aturan ini misalnya adalah membuat kawasan klaim tumpang tindih sebagai kawasan yang dikelola bersama. Artinya, nelayan dari kedua negara berhak melakukan penangkapan ikan dengan mengikuti aturan tertentu. Alternatif lain adalah membebaskan kawasan tumpang tindih tersebut dari aktivitas apapun. Dengan demikian, tugas kedua negara bukanlah menangkap para pelanggar tetapi memastikan tidak ada yang masuk kawasan tumpang tindih tersebut. Kedua alternatif ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang jelas, membiarkan nelayan selalu

tertangkap di kawasan klaim maritim tumpang tindih bukanlah pilihan terbaik meskipun kehadiran mereka, dalam beberapa hal, bisa menguatkan klaim. Kesimpulannya, istilah pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan Indonesia maupun negara tetangga di kawasan perbatasan belum tentu merupakan pelanggaran atas garis kesepakatan. Seringkali nelayan ditangkap karena melewati garis yang dikalim secara sepihak oleh masing-masing negara. Oleh karena itu, menetapkan batas maritim harusnya menjadi agenda prioritas. Dengan ini, kini bisa dipahami bahwa Indonesia masih belum menetapkan batas maritim dengan negara tetangga. Meski demikian, Indonesia sudah punya pandangan sendiri terhadap garis batas maritim yang diinginkan. Inilah yang dituangkan dalam Peta NKRI. Artinya, kita semua harus paham jika melihat peta itu, mana yang merupakan garis yang sudah disepakati, mana yang merupakan klaim Indonesia secara sepihak dan masih perlu kesepakatan dengan negara lain. Dengan begini, kita sesungguhnya tahu, bahwa istilah laut kita tidak sepenuhnya benar secara hukum jika batasnya belum jelas. Meski demikian, secara politik itu disampaikan dalam rangka memperkuat klaim. Laut China Selatan Laut China Selatan termasuk topik yang hangat diperbincangkan dalam debat capres tanggal 22 Juni 2014. Banyak yang mengakui, Laut China Selatan mungkin termasuk kawasan sengketa kedaulatan dan hak berdaulat yang paling rumit dalam sejarah modern. Karena kerumitannya, untuk pertama kalinya ASEAN gagal mencapai satu konsensus dalam salah satu pertemuannya tahun 2012. Asalan utamanya adalah ketidakberhasilan anggota ASEAN mencapai kata sepakat dalam menyikapi isu Laut China Selatan. Selain itu, Amerika Serikat, dengan terang-terangan menunjukkan kepeduliannya dengan kedatangan Hilary Clinton ke Asia beberapa kali untuk menyampaikan sikap dan pandangan Amerika Serikat. Indonesia adalah salah satu negara yang secara geografis berada di dekat Laut China Selatan. Banyak pihak berspekulasi atau menganalisis posisi dan peran Indonesia terkait sengketa di Laut China Selatan. Ada yang berpendapat bahwa Indonesia tidak ada kaitannya dengan Laut China Selatan ada juga yang melihat Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari kerumitan di kawasan tersebut. Tulisan ini membahas posisi Indonesia dalam gonjangganjing Laut China Selatan serta peran yang mungkin dilakukan untuk mengatasi sengketa tersebut. Laut China Selatan adalah kawasan laut semi tertutup atau semi-enclosed sea yang dikelilingi oleh Tiongkok, Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Filipina dan Taiwan (lihat Gambar 5). Karena dilingkupi atau hampir ditutup oleh daratan berbagai negara, kewenangan atas Laut China Selatan menjadi rumit dengan adanya kompetisi. Permasalahan utama adalah kedaulatan atas pulau-pulau kecil di Laut China Selatan yang masih disengketakan. Negara-negara di sekitar Laut China Selatan mengklaim kepemilikan atas berbagai pulau kecil yang ada di sana dan sampai kini tidak berhasil mencapai kesepakatan. Selain itu, karena menurut hukum laut internasional pulau bisa menguasai laut

maka sengketa tidak berhenti pada wilayah daratan tetapi merambah kawasan laut. Potensi sumberdaya hayati dan non hayati di kawasan tersebut tentu saja menjadi alasan sengketa kian pelik. Singkatnya, situasi di Laut China Selatan menjadi semakin rumit. Gambar 5 Kawasan laut setengah tertutup - Laut China Selatan Klaim atas wilayah darat dan laut di Laut China Selatan disampaikan secara eksplisit misalnya oleh China (Republic of China) yang mengeluarkan peta pada tahun 1947. Peta tersebut memuat garis putus-putus yang melingkupi hampir seluruh kawasan Laut China Selatan. Dalam perkembangannya garis klaim itu dikenal dengan nine-dashed line karena merupakan sembilan segmen garis putus-putus. Tiongkok mengajukan klaim ini berdasarkan pada prinsip historic waters atau perairan yang konon menurut sejarah Tiongkok merupakan bagian dari wilayah atau yurisdiksi Tiongkok. Klaim ini tidak diakui oleh negaranegara di kawasan, termasuk Indonesia.

Sementara itu, negara lain juga mengklaim pulau-pulau kecil di Laut China Selatan. Vietnam, misalnya, mengklaim dan menduduki Spratly Island dengan mendirikan tempat tinggal, lapangan udara dan tugu. Filipina juga mengklaim sekelompok pulau yang disebutnya Kalayaan Island Group (KIG) dan telah beraktivitas di sana. Malaysia dan Brunei, misalnya, mengklaim sebuah terumbu bernama Louisa Reef di sebelah utara Brunei. Kelompok pulau lain yang menjadi sengketa misalnya Spratly, Paracel dan Pratas. Indonesia di satu sisi tidak mengklaim satupun pulau yang disengketakan di Laut China Selatan. Meski demikian, Indonesia memiliki kedaulatan yang sudah diakui dunia internasional atas kelompok Kepulauan Natuna yang memang berada di bagian baratdaya Laut China Selatan. Karena kedaulatannya atas Kepulauan Natuna, Indonesia juga berhak atas kawasan laut yang lebarnya diukur dari garis pangkal di Natuna sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Akibatnya, Indonesia juga berhak atas kawasan maritim (laut teritorial, zona tambahan, zone ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen) di Laut China Selatan. Hak Indonesia atas kawasan laut ini membuat Indonesia perlu berbagi laut dengan tetangganya di Laut China Selatan karena tetangga lain juga memiliki hak yang sama. Batas dasar laut (landas kontinen) sudah ditetapkan (didelimitasi) dengan Malaysia (1969) dan Vietnam (2003) seperti terlihat pada Gambar 6. Memang Indonesia hanya menganggap dua negara tersebut sebagai tetangga yang memerlukan delimitasi maritim di Laut China Selatan. Meski batas dasar laut sudah ditetapkan, batas perairan (ZEE) belum disepakati oleh Indonesia, Malaysia dan Vietnam di Laut China Selatan. Sementara itu, Indonesia sendiri sudah mengusulkan batas ZEE secara sepihak dan memerlukan perundingan dengan Malaysia dan Vietnam. Mungkin ada yang bertanya, mengapa batas dasar laut berbeda dengan batas perairan? Mengapa tidak dibuat sama? Memang demikianlah hukum laut internasional mengaturnya. Dalam bahasa hukum, rejim yang mengatur keduanya berbeda. Lihat Gambar 6. Gambar 6 Klaim dan batas maritim di Laut China Selatan

Dalam bahasa sederhana, dasar laut antara Indonesia, Malaysia dan Vietnam sudah dibagi tetapi kewenangan akan air di atasnya belum disepakati. Jikapun ada pembagian perairan, itu merupakan usulan sepihak, bukan kesepakatan. Menilik fakta ini, jelas Indonesia memiliki urusan di Laut China Selatan yaitu menetapkan batas maritim dengan Malaysia dan Vietnam. Selain itu, jika mengacu pada klaim nine-dashed line Tiongkok tahun 1947, ada kemungkinan adanya tumpang tindih klaim maritim antara Indonesia dengan Tiongkok di Laut China Selatan. Analisis geospasial teknis yang penulis lakukan menunjukkan adanya kemungkinan kawasan tumpang tindih ini. Meski demikian, ketelitian analisis ini bisa dipertanyakan karena kenyataannya Tiongkok memang tidak pernah menyampaikan koordinat klaimnya di Laut China Selatan. Selain itu, klaim Tiongkok in berupa garis putusputus sehingga kawasan yang dilingkupi oleh klaim tersebut tidak bisa ditentukan secara akurat. Analisis tersebut menggunakan asumsi bahwa klaim Tiongkok berupa garis utuh hasil penyambungan (interpolasi) garis putus-putus nine-dashed line (lihat Gambar 6). Jika asumsi ini dipakai, seperti yang terlihat pada Gambar 6 maka klaim Tiongkok memang bertampalan (tumpang tindih) dengan kawasan maritim Indonesia. Rupanya hal ini yang menjadi dasar adanya pernyataan beberapa pihak di Indonesia bahwa Tiongkok mengklaim wilayah/perairan Natuna. Untuk menentukan ada tidaknya tumpang tindih klaim antara Indonesia dan Tiongkok di Laut China Selatan diperlukan adanya klarifikasi klaim oleh Tiongkok. Perlu diingat juga bahwa Indonesia tidak mengakui klaim Tiongkok yang ditampilkan dalam nine-dashed line. Dalam salah satu pernyataannya tahun 2009 kepada PBB, Indonesia menegaskan bahwa klaim Tiongkok itu tidak memiliki dasar internasional dan merupakan pelanggaran terhadap konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS). Artinya, secara hukum Indonesia memang tidak memandang bahwa Tiongkok mengklaim laut Indonesia apalagi wilayah Natuna. Kesimpulannya, Indonesia memang tidak terlibat dalam sengketa kedaulatan atas wilayah daratan (pulau/karang) di Laut China Selatan. Sebagai pihak netral, Indonesia bisa tetap menjalankan perannya untuk memediasi pihak-pihak bersengketa, jika memang diharapkan. Indonesia bahkan telah melakukan inisitif pelaksanaan workshop mengelola potensi konflik di Laut China Selatan yang digawangi oleh Prof. Hasjim Djalal. Meski demikian, Indonesia tentu tidak bisa melakukan intervensi aktif karena kedaulatan adalah persoalan sensitif dan menjadi urusan internal pihak-pihak yang bersengketa. Sebagai salah satu kekuatan utama di kawasan, Indonesia bisa menunjukkan niat baik dengan membuka diri sebagai bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Nampaknya, fakta bahwa Indonesia tidak ikut mengklaim pulau-pulau di Laut China Selatan yang menjadi dasar bagi mereka yang mengatakan Indonesai tidak terlibat dalam konflik Laut China Selatan. Meski tidak terlibat dalam sengketa wilayah daratan, bukan berarti Indonesia tidak terlibat sama sekali dalam kerumitan isu Laut China Selatan. Yang pasti, Indonesia memiliki pekerjaan rumah untuk berbagi laut (ZEE) dengan Malaysia dan Vietnam di kawasan

baratdaya Laut China Selatan. Selain itu, perilaku Tiongkok yang semakin agresif akan klaimnya di Laut China Selatan mungkin bisa jadi pertimbangan bagi Indonesia untuk meninjau kembali posisinya terkait interaksi maritim dengan Tiongkok. Apakah Tiongkok adalah tetangga Indonesia yang memerlukan batas maritim? Itu adalah pertanyaan yang wajib dicari jawabannya. Penutup Tulisan ini merupakan mosaik dari beberapa tulisan saya yang belum atau pernah terbit. Tulisan ini dikemas ulang dalam konteks merespon pandangan capres Prabowo Subianto maupun Joko Widodo terhadap tiga isu: kedaulatan, batas maritim dan Laut China Selatan. Meski demikian, tulisan ini tidak secara spesifik dikemas untuk merespon pernyataan spesifik dari kedua capres dan sedapat mungkin dibuat netral dan murni berdasarkan kajian akademis (teknis dan legal). Pertanyaan atau sanggahan terhadap tulisan ini bisa disampaikan langsung ke saya melalui madeandi@ugm.ac.id. Tentang Penulis Andi bekerja sebagai dosen dan peneliti di Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Andi meraih gelar doktor di Australian National Centre for Ocean Resources and Security (ANCORS), University of Wollongong dengan Australian Leadership Awards Scholarship dengan kajian batas maritim internasional. Andi memulai penelitian aspek teknis/geospasial hukum laut, terutama batas maritim, ketika menjalani program pascasarjana (S2) di University of New South Wales dengan Australian Development Scholarship. Minat itu terus ditekuni ketika terpilih untuk menjalani penelitian di ANCORS dan kantor PBB di New York pada tahun 2007 dengan UN-Nippon Foundation Fellowship. Hingga kini Andi telah memublikasikan sekitar 200 karya (buku, jurnal, prosiding, lokakarya, konferensi, seminar, ilmiah populer) dalam bahasa Inggris maupun Indonesia. Andi juga telah memaparkan penelitiannya berbagai forum ilmiah di Asia, Australia, Amerika, Eropa dan Afrika. Website pribadi: www.madeandi.com dan http://madeandi.staff.ugm.ac.id