Tinjauan Aspek Kegempaan Pegunungan Selatan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. rumit yang bekerja sejak dahulu hingga sekarang. Proses-proses tersebut,

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*)

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Bencana Gempabumi. Salahuddin Husein. Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Sebaran Jenis Patahan Di Sekitar Gunungapi Merapi Berdasarkan Data Gempabumi Tektonik Tahun

Gambar 1. Peta Seismisitas Indonesia (Irsyam et al., 2010 dalam Daryono, 2011))

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEMPA BUMI DAN GELOMBANG SEISMIK

Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: telaah peran faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan pegunungan.

LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Analisis Bahaya Kegempaan di Wilayah Malang Menggunakan Pendekatan Probabilistik

PENGARUH GEMPA TEKTONIK TERHADAP AKTIVITAS GUNUNGAPI : STUDI KASUS G. TALANG DAN GEMPABUMI PADANG 30 SEPTEMBER 2009

ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST

KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI DESEMBER 2017

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II GEOLOGI REGIONAL

ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. yang terletak pada bagian utara gawir Pegunungan Selatan (lihat Gambar 1.1).

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!!

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

BAB I PENDAHULUAN. Zona Perbukitan Rembang merupakan daerah yang sudah dikenal

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA DELISERDANG SUMATRA UTARA

Pemetaan Zonasi Mikro Kerentanan Gempabumi Propinsi D.I. Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai selatan Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling besar berpotensi gempa bumi sampai kekuatan 9 skala

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Analisis Kejadian Rangkaian Gempa Bumi Morotai November 2017

Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian. I.2. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik, serta lempeng mikro yakni lempeng

BENCANA GEMPABUMI DI INDONESIA TAHUN 2008

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

BAB II GEOLOGI REGIONAL

EVALUASI KEJADIAN GEMPABUMI TEKTONIK DI INDONSESIA TRIWULAN IV TAHUN 2008 (OKTOBER-DESEMBER 2008)

KARAKTERISTIK SESAR KALI PETIR DAN SEKITARNYA KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

ANALISA SESAR AKTIF MENGGUNAKAN METODE FOCAL MECHANISM (STUDI KASUS DATA GEMPA SEPANJANG CINCIN API ZONA SELATAN WILAYAH JAWA BARAT PADA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2004 yang melanda Aceh dan sekitarnya. Menurut U.S. Geological

STUDI AWAL HUBUNGAN GEMPA LAUT DAN GEMPA DARAT SUMATERA DAN SEKITARNYA

(Analisis model geomekanika pada zona penunjaman lempeng untuk estimasi potensi gempa besar di Indonesia)

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi yang baik dan tahan lama. Bandara merupakan salah satu prasarana

BAB II GEOLOGI REGIONAL

INTERPRETASI EPISENTER DAN HIPOSENTER SESAR LEMBANG. Stasiun Geofisika klas I BMKG Bandung, INDONESIA

ANALISIS ANOMALI UDARA BEBAS DAN ANOMALI BOUGUER DI WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003)

BAB II GEOLOGI REGIONAL

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sebelah utara dan Lempeng India-Australia di bagian selatan. Daerah ini sangat

Kontrol Geologi terhadap Respon Lahan dalam Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006: upaya pembuatan peta zonasi mikro di daerah Bantul

ANALISIS NILAI PEAK GROUND ACCELERATION DAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN DATA MIKROSEISMIK PADA DAERAH RAWAN GEMPABUMI DI KOTA BENGKULU

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah

Transkripsi:

Tinjauan Aspek Kegempaan Pegunungan Selatan Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi FT UGM Abstrak Gempabumi 27 Mei 2006 yang melanda Yogyakarta telah membuka informasi baru aspek geodinamika kawasan Pegunungan Selatan. Sumber gempabumi yang berkekuatan 6,3 Mw tersebut diperkirakan terjadi pada zona sesar Opak yang membatasi fisiografi Pegunungan Selatan dan Cekungan Yogyakarta, meskipun sebagian ahli lainnya menempatkannya pada batas fisiografi pegunungan Baturagung dengan Cekungan Wonosari; dimana lokasi kedua tersebut terletak sekitar 10 km dari lokasi pertama. Hasil analisis mekanisme fokal menunjukkan gempabumi tersebut dihasilkan oleh suatu pergerakan sesar geser sinistral berarah TTL-BBD. Secara historis, gempabumi besar dan dangkal di Pegunungan Selatan dilaporkan pernah terjadi pada tahun 1867 di zona sesar Opak. Selain rekaman sejarah gempabumi, kehadiran sesar aktif umumnya mudah diidentifikasi dari morfologi struktural yang berumur muda dan seringkali menjadi batas pelamparan sedimen-sedimen Resen. Di Pegunungan Selatan, kedua tanda tersebut juga hadir pada zona sesar Opak. Terlepas dari ketidakpastian lokasi patahan aktif penyebab gempabumi 2006, gejala geologi penting berupa sobeknya permukaan sebagai tanda reaktifasi suatu patahan akibat gempabumi tidak dijumpai di sepanjang sesar Opak. Data-data kegempaan tersebut menunjukkan adanya proses deformasi tektonik di Pegunungan Selatan yang terus berlangsung hingga saat ini. Sebagaimana proses terjadinya gempabumi di kawasan pesisir selatan Jawa, proses pengangkatan dan pembentukan morfologi Pegunungan Selatan diduga tidak lepas dari aktifitas subduksi lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia; suatu proses tektonik regional yang kini terjadi pada jarak 200 km di selatan garis pantai. Pengukuran deformasi dengan telemetri pada Bukit Putih di Pegunungan Baturagung yang terletak di bagian utara Pegunungan Selatan mengindikasikan pergerakan daerah perbukitan tersebut ke arah utara sejauh 5 mm/bulan. Meskipun angka tersebut tampaknya sesuai dengan kecepatan rerata pergerakan relatif lempeng Eurasia dan Indo-Australia, masih perlu banyak data tambahan untuk melihat proses deformasi di Pegunungan Selatan dan hubungannya dengan pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Pendahuluan Aktifitas tektonik Jawa didominasi oleh proses subduksi Lempeng Samudera Indo- Australia yang bergerak ke utara dibawah Lempeng Sunda (Eurasia) dengan kecepatan relatif sekitar 6 cm/tahun. Lempeng Indo-Australia miring kearah utara-timurlaut dari Palung Sunda dan mencapai kedalaman sekitar 200 km dibawah busur gunungapi (Gambar 1). Gempabumi yang mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2006 terjadi di kedalaman yang dangkal pada Lempeng Sunda. Sehingga dapat diduga bahwa gempabumi tersebut bukan disebabkan secara primer oleh proses penunjaman lempeng itu sendiri, melainkan sebagai efek sekundernya, yaitu akibat gaya kompresi 1

berarah relatif utara-selatan yang menghasilkan deformasi (strain) pada patahan yang ada di daratan. Gempabumi dangkal yang terjadi di daratan seperti tanggal 27 Mei 2006 lalu memang jarang terjadi di Pegunungan Selatan Jawa Timur (USGS, 2006). Berbeda dengan Pegunungan Selatan Jawa Barat, sebaran gempabumi dangkal di daerah tersebut mengindikasikan aktifitas tektonik Pegunungan Selatan Jawa Barat lebih kuat daripada Pegunungan Selatan Jawa Timur. Gempabumi 27 Mei 2006 Gempabumi 27 Mei 2006 dengan magnitudo momen 6.3 selama 57 detik telah menyebabkan 5.700 korban jiwa, 37.000 korban luka-luka, 139.000 bangunan hancur, 190.000 bangunan rusak (Husein et al., 2007a). Kerusakan parah dialami oleh Propinsi Yogyakarta dan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dengan total kerugian sebesar 28 triliun rupiah (Pujiyono, 2007). Titik episentrum gempabumi tersebut dilaporkan berbeda-beda oleh beberapa institusi, diantaranya BMG Indonesia, USGS Amerika Serikat, ANSS Amerika Serikat, EMSS Eropa (Gambar 2). Namun semuanya berada di sekitar batas fisiografi Pegunungan Selatan dengan Dataran Yogyakarta. Pada batas kedua fisiografi tersebut diketahui terdapat suatu patahan normal yang menyebabkan terjadinya kontras morfologi (Untung et al., 1973; Sudarno, 1997). Patahan tersebut dikenal dengan nama Sesar Opak karena jejaknya dijumpai di sepanjang aliran Sungai Opak saat ini. Hubungan keruangan antara sebaran titik episentrum dan Patahan Opak menimbulkan dugaan bahwa gempabumi 2006 lalu disebabkan oleh reaktifasi Patahan Opak tersebut (Supartoyo, 2006). Umumnya suatu gempabumi (mainshock) akan diikuti oleh gempabumi susulan (aftershock) sebagai akibat dari pelepasan sisa energi menuju keseimbangan antar blokblok batuan yang bergerak ketika patahan terjadi. Sehingga letak episentrum mainshock juga dapat diketahui dari sebaran episentrum aftershock. Pemantauan aftershock yang direkam oleh Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Universitas Kyushu Jepang menunjukkan sebaran episentrum aftershock disekitar titik episentrum mainshock yang ditetapkan oleh USGS (Fukuoka et al., 2007). Sehingga dapat disimpulkan bahwa titik episentrum mainshock yang ditentukan oleh USGS adalah yang paling mendekati posisi sesungguhnya. Sejarah Kegempaan Jarangnya gempabumi mengguncang Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat juga ditunjukkan oleh data gempabumi masa lalu. Rekaman catatan sejak era kolonial, yaitu semenjak awal abad ke-19, hanya menunjukkan satu kali saja peristiwa gempabumi terjadi di bagian Pegunungan Selatan ini (Visser, 1922). Pada tanggal 10 Juni 1867 terjadi gempabumi dengan episentrum di 7.8 o S - 110.5 o E (Utsu, 2002). Gempabumi tersebut mengguncang daerah sekitarnya dengan intensitas tinggi, di Kota Yogyakarta dilaporkan hingga skala-ix MMI dan merenggut nyawa 5 orang dan mengakibatkan 372 bangunan hancur. Intensitas kerusakan diduga mengikuti pola struktur Patahan Opak (Visser, 1922), meskipun tidak dilaporkan adanya bukti pergeseran sesar di 2

permukaan (Newcomb and McCann, 1987). Melihat dari sebaran intensitasnya, diduga gempabumi ini berlangsung dengan magnitudo yang relatif sama dengan gempabumi 2006 lalu (Husein et al., 2007b). Sebelumnya pada tanggal 14 Januari 1840 terjadi gempabumi dengan episentrum di sebelah timur Banjarnegara, Jawa Tengah (Elnashai et al., 2006). Meski episentrumnya terletak jauh dari Pegunungan Selatan, dilaporkan terjadi tsunami lokal di sepanjang pesisir Wonosari hingga Pacitan (Newcomb and McCann, 1987). Diduga peristiwa ini disebabkan gerakan massa berupa runtuhan batuan (rock fall) di sepanjang pesisir Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat akibat getaran gempabumi (Husein et al., 2007b). Selain dari gempabumi 1840 yang memiliki efek sekunder terhadap Pegunungan Selatan dan gempabumi 1867 yang terjadi langsung di Pegunungan Selatan, tidak ada lagi gempabumi yang terjadi atau berpengaruh secara langsung terhadap Pegunungan Selatan. Meski setelah itu banyak gempabumi yang mempengaruhi Yogyakarta, sebagian besar terjadi di Samudera Hindia di selatan Pegunungan Selatan (Husein et al., 2007b). Struktur Geologi Pegunungan Selatan Sudarno (1997) berdasarkan penyelidikan geologi lapangan menafsirkan adanya 4 (empat) trend struktur yang berkembang di Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat, yaitu (dari yang tertua) TL-BD, U-S, BL-Tg, dan B-T. Trend pertama (TL-BD) berkembang sebagai sesar geser sinistral pada batuan dasar (basement) akibat gaya kompresi penunjaman Lempeng Indo-Australia pada kala Eosen Akhir Miosen Tengah. Untuk selanjutnya berdasarkan kesesuaian dengan data regional Jawa, Sudarno (1997) menduga bila trend-trend selain TL-BD bukan merupakan hasil reaktivasi sesar pada basement. Trend kedua (U-S) hadir sebagai sesar geser sinistral di bagian barat Pegunungan Selatan pada akhir Pliosen. Trend ketiga (BL-Tg) berkembang sebagai sesar geser dekstral yang diduga muncul bersama-sama dengan trend kedua sebagai respon terhadap gaya kompresi penunjaman Lempeng Indo-Australia di akhir Neogen. Trend keempat (B-T) hadir sebagai sesar turun akibat gaya regangan yang disebabkan oleh pengangkatan Pegunungan Selatan di awal Pleistosen. Gaya regangan tersebut juga mengaktifkan beberapa sesar geser tua menjadi sesar turun, seperti yang dialami oleh Sesar Opak. Diluar keempat trend tersebut, ada beberapa trend lain yang dapat teramati. Setiadji et al. (2007) mengamati variasi dari trend pertama (TL-BD) berupa orientasi TTL-BBD dan UTL-SBD, meski tidak diketahui persis hubungan pembentukan trend-trend tersebut satu sama lainnya. Yang menarik adalah kehadiran trend struktur TTL-BBD, karena orientasi tersebut ditunjukkan oleh hasil analisa terhadap data gempabumi 2006 (akan didiskusikan pada bagian berikut). Trend TTL-BBD tentunya juga struktur tua karena mengontrol pelamparan batuan basement di Perbukitan Jiwo Timur dan mengatur orientasi kuesta Lajur Baturagung bagian timur yang tersusun oleh batuan volkaniklastik Oligo-Miosen (Husein dan Srijono, 2007). Solusi Mekanisme Fokal Gempabumi 2006 Gempabumi merupakan getaran bumi akibat adanya pelepasan energi dari suatu pergerakan patahan. Sehingga peristiwa gempabumi dapat dipergunakan untuk mempelajari aktifitas tektonik modern. Salah satu metode analisa yang menghubungkan 3

gempabumi dan pergerakan patahan yang populer dipergunakan adalah solusi tensor momen atau mekanisme fokal. Dengan metode ini para ahli seismologi dapat menentukan arah pergeseran, jenis dan orientasi patahan yang menyebabkan gempabumi (Cronin, 2004). Metode ini masih memerlukan kejelian interpretasi karena selalu memberikan 2 kemungkinan untuk bidang patahan yang aktif, yaitu bidang patahan itu sendiri dan yang lain adalah bidang bantu (auxiliary plane) yang tidak memiliki arti secara struktur. Lazimnya pengetahuan akan geologi regional sangat membantu dalam tahap ini ketika harus memutuskan mana bidang patahan yang sesungguhnya dan bidang mana yang hanya sebagai bidang bantu saja. Untuk gempabumi 27 Mei 2006, ada dua solusi mekanisme fokal yang dapat dipelajari, yaitu yang dipublikasikan oleh Pusat Informasi Gempabumi Nasional USGS (NEIC) dan oleh Proyek Centroid-Moment Tensor (CMT) Harvard. Hasil analisa mekanisme fokal USGS menunjukkan pergeseran sesar geser sinistral pada kedalaman 37 km dengan arah bidang sesar N241 o E/85 o dan slip 10 o dengan bidang bantu N150 o E/80 o dan slip 175 o. Gaya kompresi diperkirakan berasal dari N15 o E. Sedangkan hasil analisa mekanisme fokal Harvard mengindikasikan pergeseran sesar geser sinistral pada kedalaman 33 km dengan orientasi bidang sesar N51 o E/90 o dan slip 14 o dengan bidang bantu N321 o E/76 o dan slip 180 o. Gaya kompresi dihitung berasal dari N186 o E. Hasil kedua analisa tersebut diatas cukup identik, yaitu patahan yang aktif bersifat geser sinistral (rake of slip < 20 o ) akibat gaya kompresi horisontal relatif U-S. Orientasi bidang patahan kedua analisa tersebut memiliki selisih sebesar 10 o, namun keduanya menunjukkan trend TTL-BBD. Dengan kedalaman sekitar 33 km tentunya sesar yang bergerak termasuk sesar basement atau sesar tua yang mengalami reaktifasi kembali. Hal ini semakin menegaskan bahwa struktur dengan orientasi TTL-BBD merupakan sesar tua yang melibatkan basement (Setiadji et al., 2007; Husein dan Srijono, 2007). Patahan Aktif di Pegunungan Selatan Adanya indikasi keberadaan patahan aktif dengan orientasi TTL-BBD membutuhkan bukti morfologi. Selain rekaman gempabumi, kehadiran sesar aktif umumnya mudah diidentifikasi dari morfologi struktural yang berumur muda dan seringkali menjadi batas pelamparan sedimen-sedimen Resen. Meski demikian, tampaknya untuk menentukan keberadaan sesar aktif penyebab gempabumi 2006 di Pegunungan Selatan berdasarkan morfologi bukan suatu pekerjaan mudah. Di lokasi sekitar titik episentrum mainshock USGS tidak dijumpai adanya kelurusan morfologi struktural dengan orientasi TTL-BBD (Setiadji et al., 2007). Dilihat dari posisinya, titik episentrum USGS tidak berada pada batas pelamparan sedimensedimen Resen dan tidak juga berada pada batas morfologi struktural. Hal ini mengindikasikan patahan aktif tersebut tidak merobek permukaan (blind fault), seperti yang pernah dilaporkan untuk patahan penyebab gempabumi 1867 (Newcomb and McCann, 1987). Kondisi tersebut sebetulnya telah dapat diprediksi bila morfogenesa Pegunungan Selatan dikaji dengan baik. Kompleksitas geomorfologi Pegunungan Selatan sesungguhnya dihasilkan dari interaksi yang rumit dalam kurun waktu yang panjang antara proses endogenik berupa struktur geologi dan aktifitas tektonika dengan proses eksogenik berupa erosi dan peneplainisasi (Husein dan Srijono, 2007). Struktur dengan orientasi TTL-BBD 4

hanya dijumpai pada batuan basement dan batuan volkaniklastik Oligo-Miosen, dimana kedua batuan tersebut terdapat di bagian utara Pegunungan Selatan dan membentuk Perbukitan Jiwo serta Lajur Baturagung. Di bagian tengah dan bagian selatan Pegunungan Selatan didominasi oleh batuan karbonat Mio-Pliosen yang membentuk topografi kars Gunung Sewu dan Cekungan Wonosari. Antara batuan volkaniklastik Oligo-Miosen dan batuan karbonat Mio-Pliosen terjadi ketidakselarasan lokal akibat pengangkatan Lajur Baturagung pada awal Miosen Tengah (Van Bemmelen, 1949; Husein dan Srijono, 2007). Proses pengangkatan pertama Lajur Baturagung tersebut ditafsirkan telah melibatkan struktur dengan orientasi TTL-BBD sebagai struktur tertua, karena pengangkatan berikutnya pada Pleistosen Tengah dan Pleistosen Akhir melibatkan orientasi yang berbeda, yaitu BL-Tg dan BBL-TTg (Husein dan Srijono, 2007). Kedua orientasi terakhir tersebut diatas, yaitu BL-Tg dan BBL-TTg, berkembang ekstensif di bagian tengah dan selatan Pegunungan Selatan. Pada lokasi di sekitar titik episentrum USGS, kedua orientasi tersebut dapat dengan mudah dikenali sebagai batas morfologi baratdaya Cekungan Wonosari terhadap Gunung Sewu. Dari pemaparan di atas dapat ditafsirkan bahwa di daerah titik episentrum USGS, orientasi struktural TTL-BBD yang berkembang pada batuan Oligo-Miosen tertutup oleh orientasi struktur yang lebih muda dan berkembang pada batuan Mio-Pliosen, yaitu BL-Tg dan BBL-TTg. Sehingga reaktifasi struktur TTL-BBD akibat gempabumi dengan magnitudo 6.3 Mw tersebut kecil kemungkinannya dapat merobek batuan Mio-Pliosen yang tebalnya mungkin mencapai 400 m (angka ini diperkirakan secara kasar dengan mengambil separuh ketebalan maksimum Formasi Wonosari berdasarkan data stratigrafi regional) dan didominasi oleh orientasi BL-Tg dan BBL-TTg. Penutup Data-data kegempaan di Pegunungan Selatan menunjukkan adanya proses deformasi tektonik di Pegunungan Selatan yang terus berlangsung hingga saat ini. Sebagaimana proses terjadinya gempabumi di kawasan pesisir selatan Jawa, proses pengangkatan dan pembentukan morfologi Pegunungan Selatan diduga tidak lepas dari aktifitas subduksi lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia; suatu proses tektonik regional yang kini terjadi pada jarak 200 km di selatan garis pantai Pegunungan Selatan. Pengukuran deformasi dengan telemetri pada Bukit Putih di Pegunungan Baturagung yang terletak di bagian timur Lajur Baturagung mengindikasikan pergerakan daerah perbukitan tersebut ke arah utara sejauh 5 mm/bulan (hasil pengukuran selama 2 bulan, Desember 2006 Januari 2007; komunikasi pribadi dengan Ratdomopurbo, Februari 2007). Meskipun angka tersebut tampaknya sesuai dengan kecepatan rerata pergerakan relatif Lempeng Indo- Australia, masih perlu banyak data tambahan untuk melihat proses deformasi di Pegunungan Selatan dan hubungannya dengan pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Penyelidikan keberadaan patahan aktif di Pegunungan Selatan harus terus dilakukan sebagai upaya untuk meminimalkan dampak bencana gempabumi. Kesulitan identifikasi patahan aktif bila hanya berdasarkan pada indikator morfologi seperti yang terjadi pada gempabumi 2006, membuat para peneliti harus memaksimalkan pemanfaatan metodemetode geofisika. Selain penyelidikan patahan aktif, para peneliti hendaknya juga terus mengembangkan penelitian terhadap kondisi geologi lokal pada daerah padat penduduk di sekitar Pegunungan Selatan. Penelitian yang dilakukan oleh Jurusan Teknik Geologi UGM di 5

daerah Bantul memperlihatkan karakter tanah yang dapat bersifat memperkuat getaran gempa ternyata lebih berperan dalam menentukan tingkat kerusakan yang dialami bila terjadi gempabumi (Karnawati et al., 2007). Kesimpulan Gempabumi 27 Mei 2006 terjadi di Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat sebagai efek sekunder dari proses penunjaman Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Sunda (Eurasia), yaitu akibat gaya kompresi berarah relatif utara-selatan yang menghasilkan deformasi (strain) pada patahan yang ada di daratan. Data historis menunjukkan gempabumi pernah terjadi di Pegunungan Selatan pada 10 Juni 1867, diduga dengan episentrum, mekanisme dan intensitas kekuatan yang identik dengan gempabumi 2006. Hasil analisa mekanisme fokal menunjukkan reaktifasi patahan basement yang bersifat geser sinistral akibat gaya kompresi horisontal relatif U-S dengan orientasi bidang patahan TTL-BBD Reaktifasi sesar TTL-BBD tersebut tidak terekspresikan di permukaan karena tertutup oleh orientasi struktur yang lebih muda dan berkembang pada batuan Mio-Pliosen, yaitu BL-Tg dan BBL-TTg. Untuk mengatasi permasalahan ini, penyelidikan keberadaan patahan aktif di Pegunungan Selatan hendaknya memaksimalkan metodemetode geofisika. Daftar Pustaka Cronin, V. (2004) A Draft Primer on Focal Mechanism Solutions for Geologist. 13 p. Elnashai, A.S., S.J. Kim, G.J. Yun, and D. Sidarta (2006) The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006, MAE Center Report No. 07-02, University of Illinois at Urbana- Champaign, 57 p. Fukuoka, K., S. Ehara, Y. Fujimitsu, U. Harmoko, A. Setyawan, L.D. Setiadji, A. Harijoko, S. Pramumijoyo, Y. Setiadi, Wahyudi (2007) Interpretation of the 27 May 2006 Yogyakarta Earthquake Hypocenter and Subsurface Structure Deduced From the Aftershock and Gravity Data. In: D. Karnawati, S. Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006. Star Publisher, New York. Husein, S., D. Karnawati, S. Pramumijoyo, A. Ratdomopurbo (2007a) Kontrol Geologi terhadap Respon Lahan dalam Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006: upaya pembuatan peta zonasi mikro di daerah Bantul. Proceeding Seminar Nasional 2007 Geotechnics for Earthquake Engineering, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, pp. 6.1 6.12. Husein, S., S. Pramumijoyo, M. Thant, T. Naing, and J. Murjaya (2007b) A Short Note on the Seismic History of Yogyakarta Prior to the May 27, 2006 Earthquake. In: D. Karnawati, S. Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006. Star Publisher, New York. Husein, S. dan Srijono (2007) Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: telaah peran faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan pegunungan. Seminar Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah, Pusat Survei Geologi, Yogyakarta, 27-28 November 2007. Karnawati, D., S.Husein, S. Pramumijoyo, A. Ratdomopurbo, K. Watanabe, R. Anderson (2007) Earthquake Microzonation and Hazard Maps of the Bantul Area, Yogyakarta, 6

Indonesia. In: D. Karnawati, S. Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006. Star Publisher, New York. Nakano, M., Kumagai, H., Miyakawa, K., Yamashina, T., Inoue, H., Ishida, M., Aoi, S., Morikawa, N., and Harjadi, P. (2006) Source Estimates of the May 2006 Java Earthquake. EOS Transactions, 87 (45), 493-494. American Geophysical Union. Newcomb K. R., and W.R. McCann (1987) Seismic History and Seismotectonics of the Sunda Arc. Journal of Geophysical Research, vol. 92, no. B1, p 421-439. Pujiono, P. (2007) National Policy Reform for Disaster Risk Reduction. In: D. Karnawati, S. Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006. Star Publisher, New York. Rahardjo, W., Sukandarrumidi, and H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Setiadji, L.D., D.H. Barianto, K. Watanabe, K. Fukuoka, S. Ehara, W. Rahardjo, Ign. Sudarno, S. Shimoyama, A. Susilo, and T. Itaya (2007) Searching for the Active Fault of the Yogyakarta Earthquake 2006 Using Data Integration on Aftershocks, Cenozoic Geo-History, and Tectonic Geomorphology. In: D. Karnawati, S. Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006. Star Publisher, New York. Sudarno, Ign. (1997) Kendali Tektonik Terhadap Pembentukan Struktur pada Batuan Paleogen dan Neogen di Pegunungan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sekitarnya. Tesis Magister pada Program Studi Geologi Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung, 167 p (tidak dipublikasikan). Supartoyo (2006) Gempabumi Yogyakarta Tanggal 27 Mei 2006. Merapi, 3, 36-55 USGS (2006) M6.3 Java Earthquake of 26 May 2006. http://earthquake.usgs.gov/eqcenter/ eqinthenews/2006/usneb6/, diunduh pada bulan Oktober 2006. Untung, M., K. Ujang, dan E. Ruswandi (1973) Penyelidikan Gaya Berat di Daerah Yogyakarta Wonosari, Jawa Tengah. Publikasi Teknik Seri Geofisika, no. 3, Direktorat Geologi, Bandung. Utsu, T. (2002) A List of Deadly Earthquakes in the World 1500-2000, International Handbook of Earthquake & Engineering Seismology, Part A, Academic Press, London, p. 691-717. Visser, S. (1922) Inland and Submarine Epicentra of Sumatra and Java Earthquakes. Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te Batavia, 9, p. 1-14. 7

Gambar 1. Penampang sebaran titik hiposentrum gempabumi Jawa Tengah M > 4 semenjak 1964 hingga 2006 (USGS, 2006). Segitiga kuning adalah gunungapi modern. Bintang kuning mengindikasikan estimasi pertama USGS terhadap lokasi episentrum gempabumi 27 Mei 2006. Estimasi terakhir bergeser sejauh 10 km ke arah timurlaut. 1867 Wonogiri Yogyakarta Supartoyo Nakano BMG ANSS EMSS USGS Wonosari N 10 km Samudera Hindia Gambar 2. Sebaran titik estimasi episentrum (simbol bintang kuning) gempabumi 27 Mei 2006 (mainshock) dari berbagai institusi: BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika), Supartoyo (Pusat Survey Geologi), Nakano et al., USGS (United States Geological Survey), ANSS (Advanced National Seismic System), EMSS (European-Mediterranian Seismological Centre). Lingkaran garis putus-putus kuning adalah sebaran episentrum gempabumi susulan (aftershock) yang dipantau oleh Universitas Gadjah Mada dan Kyushu University (Fukuoka et al., 2007). Titik estimasi episentrum gempabumi 10 Juni 1867 ditunjukkan oleh lingkaran kuning (Utsu, 2002). Garis putus-putus merah adalah lokasi Sesar Opak (Rahardjo, et al., 1995). 8