BAB I PENDAHULUAN. keterampilan, dan sikap atau nilai (Toharudin, dkk., 2011:179). pemecahan masalah belajar dan kesulitan dalam belajar.

dokumen-dokumen yang mirip
SRIE MULYATI, 2015 KONSTRUKSI ALAT UKUR PENILAIAN LITERASI SAINS SISWA SMA PADA KONTEN SEL VOLTA MENGGUNAKAN KONTEKS BATERAI LI-ION RAMAH LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sarana dalam membangun watak bangsa. Tujuan pendidikan diarahkan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan keterampilan sepanjang hayat (Rustaman, 2006: 1). Sistem

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal penting dalam kehidupan karena dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang paling penting

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Abdul Latip, 2015

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yossy Intan Vhalind, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah seperti tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat menyelesaikan

Joyful Learning Journal

2014 PENGEMBANGAN BUKU AJAR KIMIA SUB TOPIK PROTEIN MENGGUNAKAN KONTEKS TELUR UNTUK MEMBANGUN LITERASI SAINS SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sains dan teknologi adalah suatu keniscayaan. Fisika adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. cerdas, terbuka dan demokratis. Pendidikan memegang peran dalam. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bangsa pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai sesuai undangundang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mata pelajaran biologi adalah adanya miskonsepsi. Miskonsepsi muncul karena

BAB I PENDAHULUAN. sangat banyak. Tuntutan tersebut diantaranya adalah anak membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang melek terhadap sains dan teknologi (UNESCO,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ayu Eka Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Aktivitas matematika seperti problem solving dan looking for

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan, sebab tanpa pendidikan manusia akan

I. PENDAHULUAN. proses aktualisasi siswa melalui berbagai pengalaman belajar yang mereka dapatkan.

BAB I PENDAHULUAN. kunci penting dalam menghadapi tantangan di masa depan. Menurut Hayat dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi salah satu fokus dalam penyelenggaraan negara. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran pada siswa dapat terarah dengan baik (Mulyasa, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

PENDAHULUAN. pendidikan dapat tercapai. Proses pembelajaran, sering dipahami sebagai proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP) merumuskan 16

BAB II LANDASAN TEORI. A. Keterlaksanaan Pembelajaran Matematika

BAB I PENDAHULUAN. (Depdiknas, 2003). Dalam memajukan sains guru di tuntut lebih kretatif. dalam penyelenggaraan pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ika Citra Wulandari, 2015

diselenggarakan secara internasional dapat dijadikan acuan guna mengetahui sejauh mana daya saing siswa Indonesia secara global (Fatmawati dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014

BAB I PENDAHULUAN. diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya (Fa turrahman dkk,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang wajib dipelajari di Sekolah Dasar. Siswa akan dapat mempelajari diri

BAB I PENDAHULUAN. Metode konvensional (ceramah) kurang mengena untuk diterapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu pengetahuan mendasar yang dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman serta kemajuan ilmu pengetahuan mengakibatkan situasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Bab I tentang Sistem Pendidikan Nasional: pendidikan adalah usaha sadar

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bertujuan untuk mempersiapkan seseorang menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Inelda Yulita, 2015

Kimia merupakan salah satu rumpun sains, dimana ilmu kimia pada. berdasarkan teori (deduktif). Menurut Permendiknas (2006b: 459) ada dua hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia khususnya para siswa di tingkat pendidikan Sekolah Dasar hingga

I. PENDAHULUAN. Dunia pendidikan Indonesia masih menunjukan kualitas sistem dan mutu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembelajaran di sekolah, peserta didik perlu memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. kebutuhan yang paling mendasar. Dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. siswa Indonesia mampu hidup menapak di buminya sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pembelajaran Model Matematika Knisley Terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu upaya untuk mendidik generasi penerus bangsa

BAB I PENDAHULUAN. dijamin dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 50 Ayat 3

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erie Syaadah, 2013

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Fisika memegang peranan penting. Indonesia sebagai negara

BAB I PENDAHULUAN. Kontribusi pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa memegang peranan penting

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK TERHADAP PENCAPAIAN LITERASI KUANTITATIF SISWA SMA PADA KONSEP MONERA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2015 KONTRUKSI ALAT UKUR LITERASI SAINS SISWA SMP PADA KONTEN SIFAT MATERI MENGGUNAKAN KONTEKS KLASIFIKASI MATERIAL

BAB I PENDAHULUAN. 1 Evy Yosita, Zulkardi, Darmawijoyo, Pengembangan Soal Matematika Model PISA

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Perangkat Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Mendukung Kemampuan Literasi Matematika Siswa Kelas VIII

BAB I PENDAHULUAN. semua aspek kehidupan masyarakat termasuk di bidang pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siti Nurhasanah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. martabat manusia secara holistik. Hal ini dapat dilihat dari filosofi

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER OLEH MAHASISWA CALON GURU FISIKA

BAB I PENDAHULUAN. yaitu krisis terhadap masalah, sehingga peserta didik (mahasiswa) mampu merasakan

I. PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. siswa memiliki kemampuan matematis yang baik. Adapun tujuan pembelajaran

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

2014 PENERAPAN PENDEKATAN COLLABORATIVE PROBLEM SOLVING DALAMPEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUANKONEKSI MATEMATIS SISWA SMP

I. PENDAHULUAN. penguasaan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Joyful Learning Journal

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kegiatan pembelajaran di sekolah tidak dapat terlepas dari buku pelajaran. Buku pelajaran termasuk salah satu sumber belajar yang digunakan dalam pembelajaran. Di dalam buku pelajaran terdapat materi pembelajaran yang harus dipelajari siswa untuk mencapai kompetensi. Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials), secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari oleh peserta didik dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai (Toharudin, dkk., 2011:179). Guru harus mampu memilih dan menentukan materi pembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran agar siswa dapat menguasai kompetensi yang diharapkan. Untuk itu materi pembelajaran sebaiknya disusun secara sistematis sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang mendukung siswa untuk belajar dengan baik serta memudahkan guru dalam penyampaian materi pembelajaran. Materi pembelajaran harus disesuaikan dengan tuntutan kurikulum, karakteristik mata pelajaran atau cabang ilmu yang dipelajari serta tuntutan pemecahan masalah belajar dan kesulitan dalam belajar. Jenkins dan Whitfield (dalam Al, dkk., 2008:2) mengemukakan bahwa IPA (biologi) merupakan suatu aktivitas eksplorasi terhadap gejala alam, maka idealnya pembelajaran biologi harus mengajak anak didik menggali gejala dan memecahkan masalah-masalah biologi. Piaget (dalam Al,dkk., 2008:2) juga mengemukakan untuk memahami obyek, dibutuhkan aktivitas memperlakukan 1

2 obyek yang melibatkan proses-proses mental dan fisiknya, minds on dan juga hands on. Dalam kurikulum Biologi kelas XII SMA/MA terdapat bahan ajar mengenai materi substansi genetika. Dalam materi substansi genetika dibahas mengenali konsep genetika yang menyangkut kromosom, gen, asam nukleat (DNA dan RNA), replikasi DNA, kode genetika, dan sintesis protein. Substansi genetika adalah salah satu contoh materi pembelajaran biologi yang dirasa masih kurang dalam penggunaan lingkungan yang dekat dengan keseharian siswa sebagai sumber belajar. Siswa perlu dilatih untuk dapat memecahkan permasalahan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan materi substansi genetika. Namun, ilustrasi kasus yang digunakan biasanya diambil dari luar negeri. Hal itu disebabkan buku-buku yang digunakan untuk bahan ajar maupun sumber belajar kebanyakan adalah hasil terjemahan (saduran) langsung dari buku luar negeri, sehingga contoh kasus yang digunakan berasal dari luar negeri pula. Misalnya saja kasus yang paling sering dipakai adalah kasus hemofilia keluarga kerajaan Inggris, fibrosis sistik di Amerika Serikat, Tay Sacks di AS, anemia sickle-cell dari Afro-Amerika, dan masih banyak lagi. Pembelajaran lebih banyak menyampaikan konsep-konsep genetika yang kurang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Akibatnya guru atau siswa sering mengalami kesulitan menjelaskan fenomena genetik pada organisme yang ada di sekitar kita. Beberapa penelitian yang dilaporkan oleh Murni (2013:2) menunjukkan adanya miskonsepsi dan kesulitan pembelajaran substansi genetika pada level sekolah menengah. Hal ini disebabkan karena substansi genetika merupakan konsep dengan topik yang sangat luas dan rumit dan sejumlah ahli menyatakan

3 bahwa bahasa yang ada pada konsep substansi genetika sulit dan banyaknya istilah-istilah asing pada konsep ini. Selain itu, materi substansi genetika sulit untuk diamati, akibatnya konsep ini menjadi salah satu konsep yang dianggap sulit. Suratsih dan Wuryadi (dalam Suratsih, dkk, 2009:725) menambahkan bahwa pembelajaran biologi di sekolah hendaknya terkait dengan lingkungan dimana peserta didik berada atau tinggal. Dilain pihak, belajar berdasar masalah yang nyata dalam kehidupan sehari-hari atau yang ada di sekitar siswa akan memberikan pengalaman yang tinggi nilainya kepada anak didik. Sedang bahan pelajaran yang ada saat ini tidak semuanya memuat masalah-masalah yang dekat dengan keseharian siswa. Laporan yang dikemukakan oleh Kesidou dan Roseman (dalam Reiser, dkk, 2003:1) menegaskan bahwa Proyek 2061 AAAS telah melakukan sebuah kajian yang ambisius pada bahan ajar kurikulum di sekolah menengah untuk mengetahui seberapa tersedia materi pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran Nasional dan kriteria paedagogik yang berakar pada literatur, dan menemukan bahwa program-program sekolah menengah dan sekolah tinggi yang mereka uji tidak mungkin menghasilkan siswa-siswa yang mengembangkan pemahaman kunci tujuan pembelajaran. Ini dikarenakan materi pembelajaran menyangkut banyak topik dengan tingkat yang rendah, memusatkan pada teknik kosakata, gagal dalam mempertimbangkan pengetahuan awal, kekurangan penjelasan ilmiah yang koheren dari fenomena nyata dunia dan memberikan sedikit kesempatan pada siswa untuk mengembangkan penjelasan dari fenomena tersebut.

4 Di Indonesia, pemahaman tentang pembelajaran sains yang mengarahkan peserta didik pada pembelajaran yang mampu memecahkan masalah di kehidupan nyata, tampaknya masih belum sepenuhnya dipahami dengan baik oleh para guru pengajar sains. Akibatnya, proses pembelajaran pun masih bersifat konvensional dan bertumpu pada penguasaan konseptual peserta didik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil pengukuran mutu hasil pembelajaran sains peserta didik yang dilakukan secara internasional. Hasilnya menunjukkan bahwa pencapaian peserta didik Indonesia masih jauh di bawah kemampuan peserta didik negara-negara lain di dunia. Dalam hal ini, rata-rata sains yang diperoleh peserta didik Indonesia adalah 371 pada 2000, 382 pada 2003, dan 393 pada 2006. Hasil penilaian PISA tahun 2012 yang bertema Evaluating School Systems to Improve Education diikuti oleh 65 negara partisipan melibatkan 510.000 pelajar yang mewakili populasi 28 juta anak usia 15-16 tahun di dunia serta 80 persen ekonomi global dipublikasikan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) dan melaporkan bahwa kemampuan anak Indonesia usia 15-16 tahun di bidang matematika, sains, dan membaca dibandingkan dengan anak-anak lain di dunia masih rendah. Hasil Programme for International Student Assessment 2012, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam tes. Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Peru yang berada di ranking terbawah. Rata-rata skor sains anak- anak Indonesia 382, padahal ratarata skor OECD untuk sains adalah 500. PISA membagi capaian siswa dalam enam tingkatan kecakapan, mulai level 1 (terendah) sampai level 6 (tertinggi) untuk matematika dan sains. Level

5 terendah terkait penggunaan perhitungan sederhana dan prosedur rutin, penggunaan pengetahuan sains yang terbatas, ataupun pencarian informasi tunggal dari bacaan yang pendek dan sederhana. Level tertinggi terkait kemampuan memadukan berbagai pengetahuan yang dimiliki ataupun informasi yang dinyatakan secara implisit untuk menyelesaikan masalah yang kompleks ataupun mengambil keputusan. Mayoritas siswa Indonesia belum mencapai level 2 untuk sains (66,6%), bahkan yang lebih memprihatinkan siswa belum mencapai level kecakapan terendah (level 1) untuk sains (24,7%). Hal ini menunjukkan bahwa sejak tahun 2000, performa murid Indonesia buruk di PISA. Dengan kata lain hasil penilaian PISA (Programme for International Student Assessment) yang mengukur kecakapan anak-anak usia 15 tahun dalam mengimplementasikan pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah-masalah di kehidupan nyata yang dilakukan sejak tahun 2000 tidak menunjukkan hasil yang gemilang karena skor rerata peserta didik masih jauh di bawah rata-rata internasional yang mencapai skor 500 (Driana, 2013:1). Untuk menghadapi permasalahan tersebut, maka perlu dikembangkan bahan ajar yang mampu menjawab atau memecahkan masalah. Bahan ajar yang mampu memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah adalah bahan ajar yang dikemas dengan pendekatan berbasis masalah. Pendekatan berbasis masalah diwujudkan dengan menghadirkan masalah kontekstual dalam proses penyampaiannya melalui situasi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan berbasis masalah diharapkan kemampuan problem solving siswa dapat terasah dengan baik.

6 Belt (2001:17) juga menjelaskan bahwa pada umumnya pembelajaran yang menyajikan masalah akan menjadi menarik, informatif dan bermanfaat dalam mengembangakan bahan ajar yang baru. Bekerja dengan penyajian masalah adalah salah satu cara untuk mencapai lingkungan pembelajaran yang efektif bagi siswa sebab: (1) Akan menimbulkan perhatian dan mempertahankan semangat yang besar karena pembelajaran dihadapkan dengan situasi kehidupan nyata; (2) memperkuat pengetahuan dan pemahaman materi pelajaran; (3) mempertinggi kemampuan menyampaikan; dan (4) memerlukan penilaian dan pengambilan keputusan terhadap masalah-masalah yang tidak biasa atau masalah-masalah yang kontroversial. Namun, Allen dan Dutch, 1998; Newton 2001; Rosen dan Geha, 2001 (dalam Allen dan Tanner, 2003:80) melaporkan bahwa buku-buku yang menyajikan masalahmasalah (PBL) secara umum kurang ada. Mereka juga melaporkan bahwa hanya beberapa buku saja yang menyajikan masalah kepada siswa, namun para pengajar harus meninjau kembali secara khusus masalah-masalah atau kasus-kasus di dalam buku-buku tersebut agar buku tersebut menyediakan informasi yang lebih sedikit guna memotivasi siswa untuk melakukan penyelidikan masalah. Untuk itu dibutuhkan bahan ajar yang menyajikan masalah-masalah bagi peserta didik sehingga dapat membantu peserta didik dalam memecahkan masalah yang ada kaitannya dengan materi ajar yang dibahas pada kehidupan nyata. Bahan ajar berbasis masalah (Problem Based Learning) dalam hal ini diajukan sebagai salah satu bahan ajar yang diharapkan bisa menstimulasi kemandirian belajar siswa sehingga siswa dituntut untuk lebih aktif dalam pembelajaran dan guru lebih banyak menjalankan peran fasilitator.

7 Penggunaan bahan ajar berbasis masalah dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian belajar dan penguasaan konsep siswa karena dengan bahan ajar ini siswa belajar menggunakan konsep dan proses interaksi untuk menilai apa yang mereka ketahui, mengidentifikasi apa yang ingin diketahui, mengumpulkan informasi dan secara kolaborasi mengevaluasi hipotesisnya berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Bahan ajar ini dibuat untuk mengoptimalkan konsep belajar mandiri sehingga penumbuhan motivasi belajar dan pelatihan keterampilan belajar mandiri bisa dilakukan secara lebih konseptual dan sistematis. Siswa yang sukses dalam melakukan belajar mandiri akan mampu membentuk pengetahuan baru melalui langkah analisis terhadap pengetahuan yang telah mereka miliki. Pengembangan bahan ajar berbasis masalah ini diperkuat dengan kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Probosari (2010:1), bahwa bahan ajar berbasis masalah dapat merangsang kemandirian belajar mahasiswa, meningkatkan keaktifan mahasiswa Pendidikan Biologi program SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) pada matakuliah Plant Embryology and Reproduction baik dalam pencarian sumber belajar maupun partisipasi dalam pembelajaran. Berdasarkan data tersebut, peneliti merasa perlu melakukan pengembangan bahan ajar berbasis masalah. Adapun materi ajar yang peneliti pilih adalah tentang substansi genetika karena materi substansi genetika yang dibelajarkan di sekolah merupakan salah satu materi yang belum mengaitkan permasalahan pembelajaran dalam kehidupan nyata. Dan buku-buku genetika yang ada kebanyakan merupakan buku-buku berbahasa asing yang belum banyak dimanfaatkan dengan baik karena kesulitan memahami isinya. Buku-buku atau tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh dosen pengampu jumlahnya masih sangat sedikit dan isinyapun

8 belum banyak memberikan varian pengetahuan yang berasal dari hasil-hasil penelitian yang berasal dari fenomena lokal (Suratsih, dkk, 2009:166). Untuk itulah perlu dikembangkan bahan ajar yang mampu merangsang pola berfikir siswa melalui proses pemecahan masalah sehingga dapat meningkatkan kreativitas siswa terutama dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan substansi genetika dalam kehidupan sehari-hari. 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Substansi genetika merupakan materi ajar yang masih kurang dalam penggunaan (aplikasi) lingkungan yang dekat dengan fenomena nyata keseharian siswa sebagai sumber belajar. 2. Substansi genetika merupakan materi ajar yang memuat konsep yang luas, rumit, memiliki bahasa yang sulit dipahami, banyak istilah-istilah asing dan sulit diamati sehingga terjadi miskonsepsi dan kesulitan pembelajaran substansi genetika pada level sekolah menengah. 3. Penilaian PISA menunjukkan bahwa pencapaian hasil pembelajaran sains peserta didik Indonesia sejak tahun 2000 masih jauh di bawah rata-rata internasional yang mencapai skor 500, dengan kata lain performa murid Indonesia buruk di PISA. 4. Bahan ajar yang berisi materi substansi genetika kebanyakan adalah hasil terjemahan (saduran) langsung dari buku luar negeri sehingga belum banyak dimanfaatkan dengan baik dikarenakan kesulitan memahami isinya.

9 5. Bahan ajar yang ada saat ini tidak semuanya memuat masalah-masalah genetika yang dekat dengan keseharian siswa. 6. Bahan ajar yang digunakan saat ini lebih dominan menyajikan topik dengan tingkat yang rendah, memusatkan pada teknik kosakata, gagal dalam mempertimbangkan pengetahuan awal, kekurangan penjelasan ilmiah yang koheren dari fenomena nyata dunia dan memberikan sedikit kesempatan pada siswa untuk mengembangkan penjelasan dari fenomena tersebut 7. Bahan ajar yang beredar belum menyajikan tema berbasis masalah secara seimbang untuk memecahkan masalah kontekstual dalam kehidupan seharihari. 8. Peserta didik belum mampu memecahkan masalah yang ada berkaitan dengan materi substansi genetika. 1.3. Batasan Masalah Agar penelitian memberikan arah yang tepat, masalah perlu dibatasi sebagai berikut: 1. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Perbaungan yang melibatkan masalah pengembangan produk bahan ajar biologi. 2. Penelitian dibatasi pada pengembangan produk bahan ajar biologi pada materi substansi genetika berbasis masalah. 3. Penelitian difokuskan kepada siswa kelas XII IPA SMA yang sedang mempelajari substansi genetika. 4. Bahan ajar yang telah dikembangkan divalidasi oleh ahli materi dan ahli desain pembelajaran.

10 5. Uji coba bahan ajar biologi materi substansi genetika dilakukan secara uji ahli dan uji lapangan terbatas. 6. Bahan ajar yang telah dikembangkan dinilai oleh guru biologi untuk mengetahui kelayakan bahan ajar yang telah dikembangkan. 1.4. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang diteliti yaitu: 1. Bagaimanakah tingkat kelayakan bahan ajar biologi berbasis masalah pada materi substansi genetika sebagai bahan bacaan bagi siswa kelas XII IPA SMA/MA? 2. Bagaimanakah keefektifan bahan ajar biologi berbasis masalah pada materi substansi genetika sebagai bahan bacaan bagi siswa kelas XII IPA SMA/MA terhadap bahan ajar biologi konvensional dalam meningkatkan hasil belajar biologi siswa? 1.5. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian pengembangan ini adalah untuk: 1. Mengetahui tingkat kelayakan bahan ajar biologi berbasis masalah pada materi substansi genetika sebagai bahan bacaan bagi siswa kelas XII IPA SMA/MA. 2. Mengetahui keefektifan bahan ajar biologi berbasis masalah pada materi substansi genetika sebagai bahan bacaan bagi siswa kelas XII IPA SMA/MA terhadap bahan ajar konvensional dalam meningkatkan hasil belajar biologi siswa.

11 1.6. Manfaat Penelitian Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat membantu lebih memahami tentang pengembangan bahan ajar substansi genetika yang mengaitkan lingkungan sekitar yang berbasis masalah, dapat memperkaya dan menambah khasanah ilmu pengetahuan guna meningkatkan kualitas pembelajaran, sebagai sumbangan pemikiran dan bahan acuan bagi guru, pengelola lembaga pendidikan dan peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji dan mengembangkan secara lebih mendalam tentang pengembangan bahan ajar substansi genetika SMA berbasis masalah. Manfaat praktisnya adalah dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan alternatif bagi guru dalam pemilihan bahan ajar substansi genetika (kromosom, gen, asam nukleat, kode genetik, dan sintesis protein) pada pembelajaran biologi di SMA, sehingga guru dapat merancang suatru rencana pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah substansi genetika.