BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek serta fenomena

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

ISTILAH DI NEGARA LAIN

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

+ MODEL SPASIAL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12.5 M MITRA ELISA HUTAGALUNG

I MADE HARIBHAWANA WIJAYA

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan dan Realisasi Antena Mikrostrip Polarisasi Sirkular dengan Catuan Proxmity Coupled

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA


II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5. SIMPULAN DAN SARAN

L A P O R A N. Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan Pengelolaan Sumberdaya

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III BAHAN DAN METODE

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

BAB III METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi dan pada suatu obyek atau fenomena, dengan mnggunakan suatu alat perekaman dari suatu kejauhan, dimana pengukuran dilakukan tanpa melakukan kontak langsung secara fisik dengan obyek atau fenomena yang diukur atau diamati (Jaya 2010). Kegiatan penginderaan jauh tidak cukup hanya melakukan dengan pengumpulan data secara mentah namun diperlukan pula pengolahan data secara otomatis (komputerisasi) dan manual (interpretasi), analisis citra dan penyajian data yang diperoleh. Kegiatan penginderaan dibatasi pada penggunaan energi elektromagnetik (Jaya 2010). Menurut Lillesand dan Kiefer (1972) penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Gambar 1 Pengindraan jauh elektromagnetik untuk sumber daya bumi. Sumber :Lillesand dan Kiefer (1979) Gambar 1 menunjukan skematis proses dan elemen yang terkait di dalam sistem penginderaan jauh dengan menggunakan energi elektromagnetik untuk sumber daya alam. Elemen yang diperlukan dalam proses pengumpulan data meliputi : (a) sumber energi, (b) perjalanan energi, (c) interaksi antara energi

6 dengan kenampkana muka bumi, (d) sensor wahana pesawat terbang dan/atau satelit, dan (e) hasil pembentukan data dalam bentuk pictorial dan/ atau bentuk numeric. Sedangkan untuk dalam proses pengalisan data meliputi (f) pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk mengalisis data pictorial, dan/atau computer untuk mengalisis data sensor numerk, (g) data yang disajikan lokasi, bentang alam, kondisi sumber daya yang dinformasikan oleh sensor pada umumnya dalam bentuk peta, tabel, dan suatu bahasan tertulis laporan (h) pemanfaatan oleh pengguna untuk proses pengambilan keputusan (informasi yang dikhususkan untuk penggunaan lahan dan data statistik tentang suatu luas tanaman). 2.2 Sistem informasi Geografis (SIG) Menurut Bettinger dan Wing (2004) sistem informasi geografis terdiri dari alat dan layanan yang diperlukan untuk memungkinkan pengguna untuk mengumpulkan, mengorganisir, memanipulasi, menafsirkan, dan menampilkan informasi geografis. Suatu sistem informasi geografis dapat didefinisikan bagaimana penggunaan lahan sistem informasi, manajemen sistem informasi sumber daya alam dengan apa yang berisi(spasial fitur yang berbeda, kegiatan, atau peristiwa yang didefinisikan sebagai titik, garis, poligon, atau raster grid), dengan kemampuannya (Satu set alat yang kuat untuk mengumpulkan, menyimpan, mengambil, ternsforming, dan menampilkan data), atau dengan perannya. Sistem informasi georagfis merupakan sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menampilkan dan menganalisis, dan menampilkan informasi yang bereferensi geografis (Jaya 2002). Komponen komponen yang membentuk dalam sistem informasi geografis akan menentukan kesuksesan pengembangan terhadap SIG tersebut. Disebutkan juga bahwa SIG untuk di bidang kehutana dapat membantu dalam pengambilan keputusan untuk memecahkan permasalahan keruangan, mulai dari tahapan perencanaan, pengelolaan, hingga pengawasan. Selain itu pula SIG dapat memecahkan

7 permasalahan dalam menyangkut suatu luasan areal (polygon), batas (line atau arc), dan lokasi (point). Aplikasi aplikasi yang dapat dibentuk dalam sistem informasi geogarfis dapat berupa data spasial (peta). Menurut Jaya (2002),data spasial yang digunakan dalam bidang kehutanan antara lain: (1) peta rencana tata ruang, (2) peta tataguna hutan, (3) peta rupa bumi (kontur), (4) peta jalan, (5) peta sungai, (6) peta tata batas, (7) peta batas unit pengelolaan hutan, (8) peta batas administrasi kehutanan, (9) peta tanah, (10) peta iklim, (11) peta vegetasi, (12) peta potensi sumberdaya hutan 2.3 Citra Sistem RADAR (Radio Detecting and Ranging) Pengembangan sistem RADAR ditujukan sebagai suatu cara yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya obyek dan menentukan jarak posisinya (Lillesand dan Kiefer 1979). Proses sistem RADAR meliputi transmisi ledakan pendek atau pulsa tenaga gelombang mikro ke arah yang dikehendaki dan merekam kekuatannya dari asal gema echo atau pantulan yang diterima dari obyek dalam sistem medan perang. Penginderaan jauh sistem RADAR merupakan penginderaan jauh sistem aktif, tenaga elektromagnetik yang digunakan di dalam penginderaan jauh dibangkitkan pada sensor. Tenaga ini berupa pulsa bertenaga tinggi yang dipancarkan dalam waktu yang sangat pendek yaitu sekitar 10-6 detik (Lillesand dan Kiefer 1979). Sistem RADAR mempunyai sensor sendiri (sensor aktif) sehingga permukaan bumi yang direkam tidak menggunakan energi matahari. Hal ini yang membuat perbedaan antara sistem optik dengan sistem radar karena pada sistem optik bergantung padascattering dan penyerapan yang disebawan oleh klorofil, struktur daun maupun biomassa, sedangkan sensor dari sistem RADAR tergantung dari struktur kasar tajuk, kadar air vegetasi, sebaran ukuran bagianbagian tanaman dan untuk panjang gelombang tinggi tergantung pada kondisi permukaan tanah.selain itu, energi gelombang RADAR menyebar ke seluruh bagian permukaan bumi, dengan sebagian energi yang dikenal sebagai backscatter atau hamburan balik.hamburan balik ini dipantulkan kembali pada RADAR

8 sebagai pantulan gelombang RADAR yang lemah dan diterima oleh antena pada bentuk polarisasi tertentu (horizontal atau vertikal, tidak selalu sama dengan yang ditransmisikan). Pantulan gelombang tersebut dikonversikan menjadi data dijital dan dikirim ke perekaman data kemudian ditampilkan menjadi image (citra satelit). Sistem RADAR seperti ini dinamakan dengan SLR (side looking radar) atau SLAR (side looking airborne radar). Sistem SLAR menghasilikan jalur citra yang berkesinambungan yang menggambarkan daerah medan luas serta berdekatan dengan jalur terbang. Faktor utama yang mempengaruhi sifat khas transmisi sinyal dari suatu sistem RADAR adalah panjang gelombang dan polarisasi pulsa yang digunakan. Tabel 1 menunjukkansaluran panjang gelombang yang lazim digunakan dalam transmisi pulsa. Kode huruf untuk berbagai saluran (K, X, L dsb) digunakan dan menandakan berbagai saluran yang berbeda panjang gelombangnya. Pada umumnya untuk saluran K dan X merupakan saluran yang paling umumn digunakan dalam terapan sumber daya bumi. Tabel 1 Penandaan saluran RADAR Kode saluran Panjang gelombang (λ) (mm) Frekuensi (f) = C λ-1 Megaherts (10 6 putaran detik -1 K a 7.5 11 40.000 26.500 K 11 16.7 26.500 18.000 K 4 16.7 24 18.000 12.500 X 24 37.5 12.500 8.000 C 37.5 75 8.000 4.000 S 75 150 4.000 2.000 L 150-300 2.000 1.000 P 300 1000 1.000 300 Sumber :Lillesand dan Kiefer (1979) Sinyal RADAR dapat ditransmisikan atau diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda artinya sinyal dapat disaring sedemiian sehingga getaran gelombang elektrik dibatasi hanya pada suatu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang. Satu sinyal SLAR dapat ditransmisikan pada bidang datar (H) ataupun tegak (V). Sinyal tersebut dapat pula diterima pada bidang mendatar atau tegak. Demikian pula dapat diterima pada bidang mendatar maupun tegak

9 sehingga ada empat kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim H diterima H (HH), dikirim H diterima V (HV), dikirim V diterima H (VH), dan dikirim V diterima V (VV). Karena berbagai objek mengubah polarisasi tenaga yang dipantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan. Sifat yang mempengaruhi dalam pantulan yang paling utama adalah ukuran geometris dan sifat khas elektrik obyek. Sifat dari ukuran (geometris) adalah suatu corak pandangan samping di dalam mencitrakan berbagai relatif medan. Pada gambar 2 ditunjukan bahwa variasi sensor geometris medan relatif untuk berbagai orientasi medan. Variasi lokal lereng medan mengakibatkan sudut datang sinyal yang berbeda beda. Sebaliknya, variasi ini mengakibatkan hasil balik yang relatif tinggi bagi kelerengan yang menghadap sensor, dan hasil balik yang rendah atau tidak ada sama sekali bagi kelerengan membelakangi sensor. Kekuatan hasil balik lawan grafik waktu yang ditempatkan pada medan sehingga dimana sinyal dapat dikorelasikan pada kenampakan yang menghasilkan (Gambar 2) dan secara skematik perubahan pada nilai kecerahan. Namun berbeda denganp permukaan dengan kekasaran yang pada dasarnya sama atau lebih besar daripada panjang gelombang yang ditransmisikan sehingga pemantulann dari permukaan kasar menjadi membaur dan sebagian kecil akan kembali ke antena seperti yang digambarkan (Gambar 3). Pada umumnya semakin halus suatu permukaan semakin jauh panjang gelombang untuk sensor menerima dan mengakibatkan sinyal balik menjadi rendah (Lillesand dan Kiefer 1979). Gambar 2 Efek geometri sensor/medan pada citra SLAR. Sumber :Lillesand dan Kiefer (1979)

10 (a) Pemantulan baur (b) pemantulan sempurna (c) pemantulan sudut Gambar 3 Pantulan RADAR dari berbagai permukaan. Sumber :Lillesand dan Kiefer (1979) Sifat khas elektrik merupakan kenampakan medan bekerja sangat erat dengan sifat geometris dalam menentukan intesitas hasil balik RADAR. Satu ukuran bagi sifat khas elektrik obyek adalah tetapan dielektrik komplek. Parameter ini merupakan suatu indikasi bagi daya pantul dan konduktivitas berbagai material (Lillesand dan Kiefer 1979). 2.4 Karakteristik ALOS PALSAR Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite), yang salah satu sensor disebut PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar) merupakan salah satu satelit dengan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh oleh kondisi cuaca. Satelit ALOS PALSAR merupakan pengembangan lebih lanjut dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya JERS-1. Satelit ALOS adalah satelit milik Jepang yang merupakan generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Satelit ALOS diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006. Melalui observasinya, yaitu ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas yaitu 250 hingga 350 km. ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya (yang dapat diatur) pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan yang lebih lebar daripada SAR konvensional.

11 Tabel 2 Bentuk dari karakteristik PALSAR Mode Fine ScanSAR Frekuensi 1.270 MHz (L-Band) 1.270 MHz (L-Band) Lebar Kanal 28/114 MHz 28/114 MHz Polarisasi HH/VV/HH+HV atau VV+VH HH atau VV Resolusi Spasial 10 m (2 look)/20 m (4 look) 100 m (multi look) Lebar cakupan 70 km 250-350 km Panjang Bit 3 bit atau 5 bit 5 bit Ukuran AZ:8.9 m x EL :2.9 m AZ:8.9 m x EL :2.9 m Sumber : Jaxa (2006) 2.5 Pendugaan Biomassa Menurut Brown (1997) biomassa merupakan jumlah total organik yang hidup di atas permukaan tanah pada tanaman khususnya pohon (daun, ranting, cabang, batang utama), yang dinyatakan dalam satuan berat kering ton per unit area dan umumnya biomassa dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight).tumbuhan memilikikomponen biomassa di atas dan di bawah permukaan tanah,tetapi komponen biomassa terbesar terdapat pada atas permukaan tanah. Karbon atau zat arang merupakan suatu unsur berbentuk padat maupun cair yang biasanya banyak terdapat di dalam perut bumi, di dalam tumbuhan maupun di udara (atmosfer) dalam bentuk gas. Penyimpanan karbon tumbuhan pada bagian atas pemukaan tanah lebih besar dibandingkan bagian bawah permukaan tanah, tetapi jumlah karbon di atas pemukaan tanah tetap ditentukan oleh besarnya jumlah karbon di bawah permukaan tanah. Hal ini terkait dengan kondisi kesuburan tanah (Hairiah dan Rahayu 2007). Karbon memiliki peran penting dalam proses fotosintesis. Proses ini menyerap CO 2 dan menghasilkan C 6 H 12 O 6 berikut O 2 yang sangat bermanfaat sebagai kebutuhan dasar makhluk hidup (CIFOR 2008). Hutan merupakan salah satu ekosistem terpenting dalam menstabilkan konsentrasi CO 2 yang terkait dengan perubahan iklim. Selain dapat memberikan pembangunan yang berkelajutan, hutan pun dapat memberikan banyak keuntungan seperti keragaman hayati, perlindungan DAS, berkelanjutan pasokan

12 kayu bulat, peningkatan tanaman dan rumput produktivitas serta mata pencaharian bagi masyarakat yang bergantung pada hutan. Selain itu, sektor kehutanan berperan dalam mitigasi perubahan iklim dengan cara : (1) mempertahankan atau meningkatkan kawasan hutan, (2) mempertahankan atau meningkatkan kepadatan karbon di tingkat lokasi,(3) mempertahankan atau meningkatkan kepadatan karbon pada tingkat lanskap, (4) meningkatkan cadangan karbon off-site dalam produk kayu dan produk meningkatkan, dan (5) bahan bakar substitusi(ipcc 2007). Menurut Chapman (1976), secara garis besar metode pendugaan biomassa di atas permukaan tanah dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu : 1. Metode Pemanenan a. Metode pemanenan individu tanaman Metode ini digunakan pada tingkat kerapatan dan jenis individu cukup rendah. Nilai total biomassa dengan metode ini diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area contoh. b. Metode pemanenan kuadrat Metode ini mengharuskan pemanenan semua individu dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomasa diperoleh dengan mengkonversikan berat bahan organik tumbuhan yang dipanen ke dalam suatu unit area tertentu. c. Metode pemanenan individu yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata Metode ini cukup baik untuk tegakan dengan ukuran individu yang seragam. Dalam metode ini, pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan rata-rata diameter tegakan. Berat pohon yang ditebang ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar dari semua pohon dalam suatu area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon contoh.

13 2. Metode Pendugaan Tidak Langsung a. Metode hubungan alometrik Metode ini beberapa pohon contoh dengan diameter mewakili kisaran kelas-kelas diameter pohon dalam suatu tegakan yang ditebang dan ditimbang beratnya. Berdasarkan berat berbagai organ dari pohon contoh, maka dibuat persamaan alometrik antara berat pohon dengan dimensi pohon (diameter, tajuk, dan tinggi). Persamaan alometrik tersebut digunakan untuk menduga berat semua individu pohon dalam suatu unit area. b. Metode Cropmeter Pendugaan biomassa dengan metode ini menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik. Secara praktis dua buah elektroda listrik diletakkan di permukaan tanah pada suatu jarak tertentu, biomassa tumbuhan yang terletak antara kedua elektroda dapat dipantau dengan electrical capacitance yang dihasilkan alat tersebut. Riska (2011) telah melakukan pendugaan biomassa hutan di wilayah KPH Banyumas Barat menggunakan ALOS PALSAR. Dalam studi tersebut dilakukan analisis regresi terhadap hubungan biomassa dengan koefisien backscatter dari data PALSAR. Dari studi tersebut diperoleh bahwa polarisasi HV menunjukan hubungan yang lebih baik dengan biomassa dibandingkan dengan pada polarisasi HH. Penelitian lain dilakukan oleh Awaya (2009) di daerah Palangkaraya. Dalam studi tersebut dilakukan analisis hubungan biomassa dengan koefisien backscatter menggunakan analisis regresi. Hasilstudi tersebut menunjukkan bahwa polarisasi HV lebih baik dibandingkan dengan pada polarisasi HH dalam menduga biomassa hutan.