Putih Galih Satrio Nugroho 2014 Inspirasi Tulisan (: Penyunting Arvin Kristian Putra Konsep dan Desain Miftah Nova Iskandar Cetakan pertama, April 2014 Pewarna GALIH SATRIO NUGROHO Author Management galihsatrion@gmail.com @galihwrites +6289668691830
Untuk Bapak Trisnanto Nugroho dan Ibuk Sri Hastuti Nuzulul Hidayati. Hanya sekedar pemberian yang mungkin takkan bisa mengganti apapun yang sudah kalian berikan. Termasuk CINTA yang PUTIH.
MEWARNAI HATI Mari kita berbicara tentang hati. Tempat untuk menaungi rasa yang menggelora ini terbalut daging lembut, namun tidak rapuh. Mungil namun berkapasitas tak terhingga, kita sebut dia hati. Kita sadar tak akan membiarkannya untuk kosong sepanjang hidup, perlu adanya pengisian, perlu adanya pewarnaan. Mari kita berbicara tentang takdir. Apa yang bisa lakukan jika kita memiliki firasat namun tak pernah sanggup melakukan apa-apa untuk mengubahnya? Tentu kita hanya bisa: menerima. Di balik rasa kecewa, tangis kering nan hampa hingga penyesalan yang membuncah. Maka kita harus tersadar akan satu hal: takdir itu indah selama kita bisa menerima. Bahkan mungkin saking percayanya, aku ingin meminta kekuatan untuk sekedar mengubah takdir, dan merencanakannya meski aku tahu itu tidak akan bisa. Mari kita berbicara tentang doa. Satu-satunya yang bisa kita lantunkan ketika merasakan perasaan Yang Maha Indah tetapi tak ingin membuat segalanya kecewa hingga penyesalan merajalela adalah berdoa. Di kala kita berpikir bahwa mendekat adalah untuk menjauh, untuk mengaku justru hanya dusta yang terpaku, dan memaksa hanya untuk mengisi kekosongan sewaktu-waktu. Rasa ini mulia, dan doa jauh lebih mulia. Tak sepatutnya kita memberikan embelembel palsu atas janji-janji yang belum tentu kita penuhi. Putih merupakan kumpulan prosa. Mengajak kita untuk hanyut dalam indahnya takdir dan hidup. Bersama luka-luka manis, tepukan sebelah tangan yang bersahaja, dan kisah menunggu dengan keterpisahan yang elegan.
Meski tanpa pensil dan cat warna, mari menjadi pembelajar dan pewarna kehidupan. Salam Putih dari Galih. Selamat mewarnai hati! Galih Satrio Nugroho
100% keuntungan buku akan disumbangkan ke Komunitas Menara milik Ahmad Fuadi. Semangat! #1000PAUD
PERSEMBAHAN DARI HATI. TERUNTUK KITA. YANG HATINYA SUDAH TERPATRI, NAMUN BELUM TERISI SEMPURNA.
PUTIH Kemarin, aku janji akan pergi ke perantauan untuk mencari kehidupan. Kamu juga janji, tetap berada disini. Tanpa beranjak se-inchi pun dari kakimu berpijak. Seketika pula kamu meminta untuk jangan pergi terlalu jauh, bersamaan itu dinding hatiku goyah. Ada semacam pukulan keras disana, sehingga menjalar menuju seluruh potongan syaraf dan setiap bagian dari hati. Tak pernah kurasakan jiwa dan logika jatuh sekeras ini, namun aku tahu tak ada yang berhak merasakan jatuh dan keterpurukan di dunia ini. Bibirmu melengkung manis, kamu tersenyum, malu mengakui yang ada di hati. Aku pun menjadi aktor dadakan untuk sesegera mungkin menyembunyikan perasaan terdalam sehingga lebih tidak terlihat, jauh masuk ke dalam. Semakin kusembunyikan perasaan itu, semakin terasa pedih, hingga aku sadari bahwa insan yang ada di depanku memaksa untuk merindu, dalam haru, dan nantinya ditambah dengan cerita saling menunggu, namun tak tahu waktu. Pedih itu sangat mengiris, tanpa kusadari bendungan air mataku tak tertahankan lagi, lepaslah semua keraguan ini dalam bentuk tangisan suci dan putih. Aku tersenyum, pahit mengakui bahwa segalanya akan terjadi. Suratan takdir akan menghampiri siapapun yang sudah tepat nomor antriannya, dan ia tak bisa menolak meski sudah mengerahkan seluruh tenaga alam semesta.
Mengapa tak bisa Kau tunda, Tuhan? Di palung hati terdalam aku berdoa: Bisakah Kau tiadakan proses perpisahan ini? Bukankah Kau sendiri yang menentukan? Apakah tak ada cara lain untuk menyatukan kami, tanpa harus menjauhkan? Hari itu kepalaku tersiksa dengan jutaan pertanyaan yang aku sudah tahu jawabannya. Semua hal yang terjadi di dunia ini sudah digariskan, tak ada yang dapat menghalangi. Kalaupun untuk menyatukan butuh pengasingan satu sama lain, maka jadikan aku orang yang paling dibenci di dunia, agar kami kelak bisa dipertemukan. Semoga dengan jutaan tanya itu membuatku terhibur bahwa tak semua kisah ada jawabnya, terkadang kita harus menunggu akhir untuk mendapatkan jawabannya. Kepasrahan menunggu. Menjauhkan untuk menyatukan. Aku sungguh tidak akan mengerti arti dari perkataan itu. Mungkin hanyalah sebuah penghibur dibalik kisah sedih seujung kuku yang akan selalu tumbuh sampai kapanpun, ataupun sebuah pembenaran halus atas elegi kisah cinta sepasang pemalu yang saling merindu tanpa ada yang tahu bahwa mereka berada di tingkat tertinggi dalam klasifikasi cinta dan rindu yaitu saling mengirim doa meski saling berbalik punggung dan menjauh mengharu biru. Ada yang bilang bahwa cinta tak harus memiliki. Bagaimana bisa merasa cinta sedangkan aku saja tidak memilikinya? Entahlah, konsep darimana itu. Tapi tak tahu mengapa, aku sedang merasakannya. Dan semakin nyata dengan kepergianku ini. Hingga saat ini, kamu pun belum tahu apapun yang ada di dalam hati dan masa depanku. Karena pada hakikatnya, isi mereka adalah sama. Aku belum sempat mengolahnya
menjadi rangkaian kata, dan menunjukkannya laiknya sebuah laku. Aku percaya bahwa kamu tidak akan berpindah se-inchi pun dari tempatmu sekarang. Karena kamu sudah menjadi penghuni tetap disini. Ternyata, ada yang berhak jatuh disini. Satu-satunya bagian dari hidupku yang jatuh. Hati. Bila kamu mengerti. Hidupku adalah hatimu.
BERKENALAN HUJAN Membiasakan diri untuk menikmati hujan adalah salah satu cara untuk menikmati hidup. Ketika kita jatuh berulang kali, dalam jurang keputusasaan yang menganga. Sekali lagi, barangkali kita harus belajar kepada hujan yang dengan tegarnya jatuh secara elegan. Waktu itu, jam 5 sore. Pusat kegiatan mahasiswa sudah cukup sepi. Menyisakan sekelompok mahasiswa-mahasiswi yang sedang menylesaikan forumnya sebentar lagi. Sedang aku, hanya berdiam diri di beranda ruangan 5x10 meter itu. Berada di antara pepohonan yang rindang dan tepat di depan mushola kampus menjadikan tempat ini salah satu favoritku dalam menikmati senja. Ada atau tidaknya kegiatan hari ini tidak berpengaruh banyak kepada hobiku ini. Aku tetap saja duduk di beranda untuk melihat jalanan, dedaunan yang gugur, dan tanah lembab di depan tempat ini. Mungkin benar jika orang-orang introvert menyukai kesepian dan kesendirian, sedang banyak orang menganggap bahwa mereka aneh, karena sulit untuk bersosialisasi. Bagiku, itu tak menjadi masalah. Karena aku pun memaklumi hal yang banyak orang pikirkan tentangku. Tetapi, aku merasakan kebebasan dalam kesepian, ketentraman dalam kesendirian, bukan karena aku terpaksa untuk menyendiri, tapi menunggalkan diri sendiri menjadi aktivitas wajib bagiku.
Tawa-tawa serta teriakan bahagia dari forum itu menggema dari dalam ruangan. Aku yang sedari tadi diam masih bercumbu dengan bahagiaku dalam kesendirian. Sudah sejak beberapa waktu yang lalu aku menyempatkan untuk berlama-lama di sini. Selain berteman senja yang menjadi kawan baruku; hatiku pun memiliki teman yang baru. Kusadari aku yang berada di sini bukan semata-mata senja yang menggodaku untuk terus bertahan. Tapi, di dalam sana ada seseorang yang menahanku untuk tetap duduk di sini. Bersama mereka teman setia; kesendirian, tepukan sebelah tangan, dan cerita tentang perpisahan. Separuh diriku memaksa untuk tinggal, sedang separuhnya lagi memaksa meninggalkan. Seperti senja yang meninggalkan malam. Bukan karena sudah tak ada harapan dan pemenjaraan diri atas sifat menyerah, tapi untuk sadar bahwa menjaga jarak membuatku lebih baik. Aku tak perlu bertahan dengan cerita-cerita sendu seorang pemalu, dan hatiku takkan terpatri di ruangan itu. Secepat inikah? Tanganku menengadah. Memastikan bahwa hujan telah memulai atraksinya. Dimulai dengan gerimis kecil, yang dibiskkan kepada dedaunan, kemudian merintik bersama angin sepoi yang membelah udara dan menusuk jiwa. Seketika itu juga aku teringat. Kamu masih di dalam, kita tertahan. Forum itu selesai, ditandai dengan pembacaan notulen dan salam penutup dari ketua forum. Badanku gemetaran.
Tak dapat kututupi kursi kosong di sebelahku, karena aku sengaja tidak membawa tas. Aku tak suka membawa tas, hanya memberatkanku saja. Kamu keluar. Wajahmu cukup tertegun dengan hujan yang datang, namun masih tersenyum kecil. Dari situ aku mengerti, kamu suka hujan. Kamu melangkah. Menuju aula kesendirianku, membuka paksa, dan berteriak keras di sana. Membangunkanku. Boleh duduk? Silakan. Aku perhatiin, udah sebulan lebih kamu duduk di sini sore-sore. Iya, aku suka di sini. Tempatnya asik. Meski aku bukan anak organisasi. Satu kata yang dapat mendeskripsikanku saat ini: gugup. Aku juga suka. Salah satu alasanku masuk organisasi ini. Karena basecamp mereka di sini? Hehe. Aneh ya? Kamu aneh pun aku suka. Nggak aneh sih. Karena memang di sini asik. Rasain, anginnya, lihat tuh daun-daun yang jatuh, berserakan nggak beraturan tapi indah, warna-warnanya bentuk gradasi yang unik. Apalagi, kalau udah waktu shalat, kita bisa langsung shalat deh di mushola depan. Bicaraku yang entah kenapa- sangat lancar. Wah, aku kira kamu pendiem loh. Ternyata asik juga diajak ngobrol. Kenapa kamu betah di sini?
Justru kenapa kamu yang betah untuk tetap di sini sedang aku mengikutimu kemana kamu pergi. Aku di sini karena berusaha mengekskalasi peluangku untuk menemuimu. Terpujilah penemu prinsip probabilitas. Ya, mungkin salah satunya karena sekarang ini. Hujan. Aku suka duduk di sini apalagi waktu hujan. Aku juga suka hujan! Apalagi aroma tanah sewaktu hujan. Hmmm, enak banget. Juga suaranya, rintiknya, gerimisnya, yang membuat manusia bingung untuk sekedar menerobos hujan atau berjalan pelan menikmatinya. Mungkin aku orang jenis kedua. Entah kenapa, pemikiran kita tentang hujan sama. Hujan itu buatku semacam memory recorder. Pada waktu-waktu tertentu, kepada kenangan-kenangan yang memaksa kita untuk tidak melupakannya, kita bisa meminta bantuan hujan. Karena bersama mereka, kenangan itu akan menyatu bersama derai hujan dan memori-memori kita akan tersimpan dan terserap utuh bersama akar serta tanah yang jujur untuk mengakui bahwa mereka tak bisa melupakan kenangan yang terpatri. Setelah itu kita bisa menyetel ulang kapanpun kita mau; seperti sekarang ini misalnya. Hujan menampilkan ulang kenangan-kenangan yang sudah terlewati sore ini, aku bisa mengingat mereka: baik, buruk, pahit, manis, sendu, rindu, segalanya dapat terekam. Hanya saja, kita terkadang tak mempunyai keberanian cukup untuk menyimpan, tetapi sekarat untuk mengenang. Kamu terpana. Aku merasakannya. Aku kagum sama kamu.
Aku mengagumimu sejak lama. Sebelum kamu sadar bahwa hujan adalah mesin waktu. Nggak kok, biasa aja. Oh iya kita udah ngobrol banyak tapi aku belum tahu namamu. Siapa namamu? Emir. Emir Rahadian. Kenalin, aku Hujan. Nuansa Wangi Hujan. Aku menemukan hujan seindah-indahnya Hujan.