TINJAUAN PUSTAKA Snack

dokumen-dokumen yang mirip
PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI SNACK DAN PANGAN LAINNYA, PADA MURID SD BINA INSANI BOGOR YANG BERSTATUS GIZI NORMAL DAN GEMUK

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 : PENDAHULUAN. kemungkinan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Gizi lebih yang terjadi pada remaja,

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan manusia bekerja secara maksimal (Moehji, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. lebih di Indonesia terjadi di kota-kota besar sebagai akibat adanya

BAB I PENDAHULUAN. mereka dalam dekade pertama kehidupan. Masa remaja merupakan jembatan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk fungsi tubuh yang normal (Soetjiningsih, 2016). Umumnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan fisik erat hubungannya dengan status

BAB I PENDAHULUAN. badan menjadi gemuk (obese) yang disebabkan penumpukan jaringan adipose

BAB I PENDAHULUAN. perlu disiapkan dengan baik kualitasnya (Depkes RI, 2001 dalam Yudesti &

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI SNACK DAN PANGAN LAINNYA PADA MURID SEKOLAH DASAR DI BOGOR YANG BERSTATUS GIZI NORMAL DAN GEMUK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. prevalensi yang selalu meningkat setiap tahun, baik di negara maju maupun

BAB I PENDAHULUAN. untuk menghindar dari fast food. Fast food memiliki beberapa kelebihan antara lain

BAB I PENDAHULUAN. anak dan remaja saat ini sejajar dengan orang dewasa (WHO, 2013). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. fast food maupun health food yang popular di Amerika dan Eropa. Budaya makan

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas merupakan pembahasan yang sensitif bagi remaja, semua remaja

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini

BAB 1 PENDAHULUAN. akan menjadikan masyarakat Indonesia untuk dapat hidup dalam lingkungan sehat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. higienis. Menurut (Irianto,2007) fast food memiliki beberapa kelebihan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. tetapi kurang serat (Suyono dalam Andriyani, 2010). Ketidakseimbangan antara

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pilihan yang banyak disukai masyarakat (Anonim, 2007).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi di Indonesia saat ini memasuki masalah gizi ganda (Double

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum SMP Muhammadiyah 10 Surakarta. SMP Muhammadiyah 10 Surakarta terletak di Jl. Srikoyo No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Contoh Penghitungan BMI: Obesitas atau Overweight?

KUESIONER PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

BAB I PENDAHULUAN. Santri merupakan sebutan untuk murid yang bertempat tinggal di suatu

BAB 1 : PENDAHULUAN. pada anak-anak hingga usia dewasa. Gizi lebih disebabkan oleh ketidakseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. dengan masalah gizi kurang, berkaitan dengan penyakit infeksi dan negara maju

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. antara jumlah energi yang masuk dengan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. anak remaja yang dimulai pada usia 12 tahun yaitu pada jenjang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan menjadi status gizi

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh negatif yang secara langsung maupun tidak langsung. yang berperan penting terhadap munculnya overweight (Hadi, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. setelah diketahui bahwa kegemukan merupakan salah satu faktor risiko. koroner, hipertensi dan hiperlipidemia (Anita, 1995).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai akibat dari kecenderungan pasar global, telah memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Gizi Prof.DR.Dr.Poorwo Soedarmo melalui Lembaga Makanan Rakyat

BAB I PENDAHULUAN. sebagai generasi penerus bangsa yang potensi dan kualitasnya masih perlu

PEMBAHASAN Status Gizi Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kegemukan Karakteristik Anak Jenis Kelamin.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius dari pemerintah. Gizi yang baik merupakan pondasi bagi

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya berbagai perubahan dalam kehidupan. Salah satu hal yang

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara

tersebut dibanding produk lainnya (BPOM, 2005).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan sebelum mengisi aktivitas yang lain setiap hari. Sarapan dibutuhkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Salah satu indikator

BAB I PENDAHULUAN. asupan makanan yang semakin mengarah kepada peningkatan asupan makanan siap saji

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Anak Sekolah Dasar

BAB I PENDAHULUAN. tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Masalah gizi, tidak terlepas

TINJAUAN PUSTAKA. Sosial Ekonomi Keluarga

KUESIONER PENELITIAN KONSUMSI SERAT DAN FAST FOOD SERTA AKTIVITAS FISIK ORANG DEWASA YANG BERSTATUS GIZI OBES DAN NORMAL

BAB I PENDAHULUAN. lebih sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan lain. Gizi lebih dan. nama Sindrom Dunia Baru New World Syndrome.

BAB I PENDAHULUAN. penambahan bahan-bahan lain. Bahkan fast food (makanan cepat saji) semakin

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan gizinya serta aktif dalam olahraga (Almatsier, 2011).

TINJAUAN PUSTAKA Anak Usia Sekolah Dasar

PENDAHULUAN. tahun 2004, konsumsi protein sudah lebih besar dari yang dianjurkan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dunia, lebih dari 1 milyar orang dewasa adalah overweight dan lebih dari 300

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebiasaan makan..., Evi Heryanti, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Periode pubertas akan terjadi perubahan dari masa anak-anak menjadi

BAB I PENDAHULUAN. lemak, karena itu agar energi tercukupi perlu pemasukan makanan. serta tumbuh kembang anak (Anggaraini, 2003:11).

BAB 1 PENDAHULUAN. Berbagai permasalahan gizi yang dialami Indonesia saat ini, baik gizi kurang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan kematangan fisiologis sehubungan dengan adanya pubertas

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. dan orang-orang terdekat,mudah mengikuti alur zaman seperti mode dan trend

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. kegemukan sebagai lambang kemakmuran. Meskipun demikian, pandangan yang

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Fast Food

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Variabel penelitian beserta kategorinya tahun < Rp 5000,OO Rp 5.000,OO - Rp ,OO. > Persentil ke-95 = Ovenveighr (CDC 2000)

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

BAB I PENDAHULUAN. masa atau usia antara anak-anak dan dewasa. Perubahan fisik pada masa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran fast food dalam industri makanan di Indonesia mempengaruhi

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing, maka

Transkripsi:

5 TINJAUAN PUSTAKA Snack Makanan ringan atau snack adalah istilah bagi makanan yang bukan merupakan menu utama (makan pagi, makan siang atau makan malam). Makanan yang dianggap makanan ringan adalah sesuatu yang dimaksudkan untuk menghilangkan rasa lapar seseorang sementara waktu, memberi sedikit suplai energi ke tubuh, atau sesuatu yang dimakan untuk dinikmati rasanya. Harper (1981) membagi makanan ringan menjadi dua kelompok makanan ringan. Kelompok pertama meliputi produk konvensional seperti keripik singkong, keripik kentang dan krakers. Kelompok kedua adalah makanan ringan yang diolah melalui proses ekstrusi. Makanan ringan esktrudat adalah makanan ringan yang dibuat melalui proses ekstrusi dari bahan baku tepung dan pati untuk pangan dengan penambahan bahan makanan lain serta bahan tambahan makanan lain yang diijinkan dengan atau tanpa melalui proses penggorengan (Badan Standarisasi Nasional 2000). Ekstrusi adalah suatu proses dimana bahan dipaksakan oleh sistem ulir untuk mengalir dalam suatu ruangan yang sempit sehingga akan mengalami pencampuran dan pemasakan sekaligus (Hariyadi 2000). Konsumsi terhadap produk makanan ringan atau snack food juga menunjukan peningkatan yang terus menerus sejalan dengan kesibukan masyarakat yang terkadang memaksa harus bisa makan, terutama pada remaja. Akibatnya, produk snack saat ini bukan hanya sebagai makanan selingan namun sebagai pelepas rasa lapar. Makanan yang tergolong sebagai snack food diduga telah memberikan sumbangan nyata bagi pemenuhan gizi dan kalori masyarakat Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan adanya perubahan gaya hidup dan pola makan masyarakat Indonesia. Masyarakat yang semakin sibuk akan cenderung tidak memiliki waktu untuk makan seperti biasanya, sehingga terpaksa mereka harus mengonsumsi snack untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya (Sulaeman 2003). Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Jahns et al. (2001) menunjukkan terjadinya peningkatan snacking di semua kategori (2-5 thn, 6-11 thn, dan 12-18 thn) sebesar 24-32%. Snacking didefinisikan sebagai kegiatan seseorang yang mengonsumsi makanan diluar makanan utama. Perubahan/peningkatan kegiatan snacking ini mengakibatkan peningkatan asupan kalori dari snack sebesar 30%

6 (378, 462 dan 612 Kal/hari pada anak usia 2-5, 6-11 dan 12-18). Hal ini dikarenakan berat dan kandungan snack yang dikonsumsi relatif stabil setiap waktu. Penelitian yang dilakukan Cusatis dan Shannon (1996) juga menunjukkan adanya pengaruh positif dari konsumsi snack dengan nilai gula pada remaja lakilaki dan nilai gula serta lemak pada remaja perempuan. Data-data diatas sejalan dengan observasi yang dilakukan oleh Nielson et al. (2002) yang menunjukkan adanya peningkatan konsumsi snack asin, permen dan soft drink dari tahun 1977-1996. Kebiasaan Makan Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengonsumsi sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, dan sosial budaya (Suhardjo 1994). Menurut Wirakusumah (1994) kebiasaan makan kelurga menjadi contoh bagi generasi muda dalam keluarga tersebut. Kebiasaan keluarga makan berlebihan, frekuensi makan yang sering, kebiasaan makan snack, dan makan diluar waktu makan akan ditiru oleh anak. Kebiasaan makan adalah faktor penting yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan. Variasi makanan diperkirakan dapat mengurangi risiko terhadap penyakit dan pada beberapa kasus dapat mencegah penyakit. Kebiasaan makan mencerminkan terjadinya kelebihan asupan dan penyakit akibat gizi (Atmarita 2005). Kebiasaan makan yang tergesa-gesa, termasuk kurang mengunyah akan membawa efek yang kurang menguntungkan bagi pencernaan dan mengakibatkan cepat merasa lapar kembali. Rasa lapar yang sering muncul akan berakibat pada konsumsi makanan yang tidak tepat pada waktunya dan bertambahnya intik makanan. Begitu pula jika frekuensi makan tidak teratur, jarak antara dua waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan adanya kecenderungan untuk makan lebih banyak dan melebihi kebutuhan (Wirakusumah 1994). Kebiasaan makan yang berubah dapat disebabkan karena pendidikan gizi dan kesehatan serta aktivitas pemasaran atau distribusi pangan. Kebiasaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti lingkungan budaya (cultural environment), lingkungan alam (natural environment), serta populasi. Nasution dan Khomsan (1995) menyatakan bahwa remaja telah mempunyai pilihan sendiri terhadap makanan yang disenangi. Pada masa remaja kebiasaan makan telah terbentuk. Remaja laki-laki cenderung menyukai makanan yang

7 mengenyangkan sedangkan remaja perempuan cenderung menyukai makanan yang ringan atau tidak mengenyangkan (Dewi 1997). Faktor kebiasaan makan, disamping faktor genetik, lingkungan, perilaku dan sosial budaya adalah faktor utama yang menjadi pemicu ketidakmampuan tersebut (Blackburn 2001). Kebiasaan mengonsumsi pangan yang nutrisinya kurang, seperti snack (termasuk junk food dan fast food) dapat mengganggu status gizi anak, karena dapat menyebabkan terjadinya obesitas, risiko terkena hipertensi dan penyakit degeneratif lain. Hal ini karena snack (termasuk junk food dan fast food) umumnya tinggi kalori, lemak, dan garam tapi miskin zat gizi yang lain. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Mengonsumsi Snack dan Pangan Lainnya Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga dapat mempengaruhi tingkat pengeluaran rumah tangga. Besar keluarga dapat mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Menurut Suhardjo (1996), semakin banyak anggota keluarga, maka makanan untuk setiap orang akan berkurang. Beberapa penelitian juga menunjukan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982). Pendapatan Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain, seperti pendidikan, perumahan, kesehatan dan lain-lain (Hardinsyah 1997). Tingkat pendidikan orang tua yang baik akan memungkinkan orang tua dapat memantau dan menerima informasi tentang kesehatan anaknya. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap pangan yang dipilih untuk dikonsumsi sehari-hari (Soetjiningsih 1994). Hukum Bennet menyatakan bahwa semakin meningkat pendapatan seseorang maka konsumsi pangan akan bergeser ke arah konsumsi pangan dengan hanya kalori yang lebih mahal seperti pangan hewani yang kandungannya lebih tinggi (Holman 1987).

8 Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang pertumbuhan anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan baik primer maupun sekunder (Soetjiningsih 1994). Suhardjo (1989) mengatakan bahwa meningkatnya pendapatan perorangan menyebabkan terjadinya perubahan dalam susunan makanan, akan tetapi pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Pendidikan Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak, termasuk didalamnya pemberian makan. Suhardjo (1996) mengatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Tingkat pendidikan orang tua yang lebih tinggi akan lebih memberikan stimulasi lingkungan (fisik, sosial, emosional, dan psikologis) bagi anak-anaknya dibandingkan dengan orang tua yang tingkat pendidikannya rendah. Jenis Pekerjaan Suhardjo (1989) menyatakan bahwa besar pendapatan yang diterima oleh individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi seseorang dapat diperoleh melalui pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal ialah melalui kurikulum yang diterapkan di sekolah. Dicirikan dengan adanya tingkatan kronologis yang ketat untuk tingkat usia sasarannya. Sementara pendidikan informal tidak terorganisasi secara struktural dan tidak mengenal tingkatan kronologi menurut usia, keterampilan, dan pengetahuan, tetapi terselenggara setiap saat di lingkungan sekitar manusia (Hayati 2000). Pendidikan gizi menjadi landasan yang menentukan konsumsi pangan. Remaja yang memiliki pendidikan gizi yang baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan sepenuhnya dalam pemilihan maupun pengolahan pangan (Nasution & Khomsan 1995). Pengetahuan gizi merupakan prasyarat penting untuk terjadinya perubahan sikap dan perilaku gizi. Pengetahuan juga merupakan salah satu

9 pertimbangan seseorang dalam memilih dan mengonsumsi makanan. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang maka akan semakin memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsinya. Orang yang semakin baik pengetahuan gizinya akan lebih banyak mempergunakan pertimbangan rasional dan pengetahuannya dibandingkan panca inderanya sebelum mengonsumsi makanan (Sediaoetama 1996). Sikap Gizi Sikap gizi merupakan kecenderungan seseorang untuk menyetujui atau tidak menyetujui terhadap suatu pernyataan (statement) yang diajukan terkait gizi umum, snack dan obesitas. Sikap gizi seringkali terkait erat dengan pengetahuan gizi. Mereka yang berpengetahuan gizi baik, cenderung akan memiliki sikap gizi yang baik pula. Sikap gizi dikategorikan ke dalam klasifikasi kurang (<60), sedang (60-79), dan baik ( 80). Sikap gizi akan sangat berperan untuk mengubah praktek atau perilaku gizi. Hanya saja perilaku konsumsi pangan seseorang seringkali dipengaruhi oleh faktor yang lebih kompleks (Khomsan et al. 2009). Uang Saku Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu, seperti harian, mingguan, atau bulanan. Hal tersebut dapat mempengaruhi anak untuk belajar menghemat dan bertanggungjawab atas uang saku yang dimilikinya (Napitu 1994). Hayati (2000) menyatakan bahwa peningkatan uang saku pada anak SMU sebanding dengan peningkatan pendapatan keluarga. Uang saku yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi apa yang dimakan. Tersedianya berbagai jajanan khususnya di kota-kota besar akan mempengaruhi pengeluaran atau penggunaan uang saku remaja. Makanan jajanan dapat memberi dampak positif dalam menunjang kecukupan gizi mereka jika keamanannya terjamin (Napitu 1994). Aktivitas Fisik Aktivitas fisik didefinisikan sebagai pergerakan tubuh, diproduksi oleh otot-otot skeletal, dan mengakibatkan terjadinya pengeluaran energi (Caspersen et al. 1985). Ada banyak teknik untuk mengukur aktivitas fisik. Secara umum, dibagi menjadi lima kategori yaitu obeservasi tingkah laku, kuisioner (meliputi catatan harian, recall, dan wawancara), penandaan aktivitas fisiologis seperti denyut jantung, kalorimetri, dan sensor gerak (Montoye et al. 1996). Pola

10 aktivitas dan aktivitas akan mempengaruhi pengeluaran energi dan hal ini berkaitan dengan berat badan dan obesitas. Pengeluaran energi harian meningkat seiring dengan peningkatan berat badan. Aktivitas fisik yang kurang atau tidak memadai dan nutrisi yang tidak mencukupi karena hanya konsumsi pangan padat kalori diakui sebagai mekanisme utama yang mendasari peningkatan dalam berat badan berlebih. Aktivitas fisik dan gizi merupakan fokus utama sebagai tindakan awal dalam peningkatan kesehatan untuk mencegah overweight dan obesitas pada anakanak (Nicklaj & Jhonson 2004). Orang obes menghabiskan lebih banyak energi untuk aktivitas fisik, namun bisa menunjukan lebih sedikit aktivitas karena berat badan yang lebih besar, terutama aktivitas yang ditunjang oleh berat badan (Westertrep 2000). Inaktivitas fisik dapat meningkatkan risiko obesitas, meski hubungan antara level / tingkatan aktivitas fisik dengan pengukuran lemak tubuh pada anak-anak secara umum tidak konsisten dilaporkan. Komponen aktivitas fisik dan pola makan merupakan kontributor utama terhadap risiko obesitas. Secara umum, peningkatan obesitas sering ditandai dengan penurunan tingkat aktivitas fisik. Akan tetapi, laporan mengenai hubungan kedua hal tersebut masih kurang. Salah satu penelitian yang memakai metode monitoring heart rate pada 28 anak laki-laki usia 9 tahun, menunjukan adanya hubungan positif antara waktu yang digunakan untuk aktivitas sedentary dengan persentasi lemak tubuh, tapi tidak terdapat hubungan antara aktfitas dengan % lemak tubuh (Rennie et al. 2005). Mengacu pada penelitian Hebestreit (2004), diketahui bahwa pengurangan perilaku inaktif dan peningkatan aktivitas fisik adalah kunci untuk mencegah obesitas. Sementara itu, latihan yang rutin dan perubahan perilaku menjadi gaya hidup aktif adalah bagian dari perawatan terhadap obesitas. Overweight dan Obesitas Pengertian kegemukan sering kali disamakan dengan obesitas, padahal kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda. Kegemukan adalah kondisi berat tubuh melebihi berat tubuh normal, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat pertumbuhan lemak, untuk pria dan wanita masingmasing melebihi 20% dan 25% dari berat tubuh (Rimbawan & Siagian 2004). Seseorang disebut mengalami obesitas apabila besar lemak tubuhnya melebihi batas normal. Jumlah lemak yang normal pada wanita adalah sekitar 15-28% dari berat badanya dan untuk pria jumlah lemak yang normal adalah 10-18%

11 dari berat badannya. Persentase lemak simpanan dibawah kulit pada wanita adalah 9% dan pada pria adalah 4,4%, persentase lemak simpanan dirongga perut dan dada pada wanita adalah 2,3% dan 1,55 pada wanita (Effendy 1995). Faktor risiko utama penyebab obesitas berdasarkan hasil penelitian Gu et al. (1995) diantaranya adalah frekuensi konsumsi snack (OR=2,65), kebiasaan makan yang terlalu cepat (OR=2,51), kebiasaan makan yang tidak seimbang (OR=1,84), memiliki ibu atau ayah yang obes (OR= 1,73), serta berat lahir >3,5 kg (OR=1,52). Faktor risiko lainnya adalah kesukaan terhadap daging atau telur, ketidaksukaan terhadap sayuran dan buah, serta kurang aktif dalam melakukan aktivitas fisik. Lingkungan yang berpengaruh terhadap kebiasaan makan diantaranya termasuk perubahan alami suplai makanan, peningkatan konsumsi di luar rumah, pemasaran, promosi dan juga harga makanan tersebut. Kondisi orangtua yang sama-sama bekerja, serta keterbatasan waktu di rumah juga menjadi faktor penting dalam menentukan tipe makanan yang dikonsumsi. Kondisi ini diperparah dimana industri merespon dengan meningkatkan produksi jumlah pangan yang mudah disiapkan (French et al. 2001). Hasil penelitian Lubis dan Andesta (2004) terhadap 3786 murid sekolah dasar favorit juga menunjukan bahwa ada beberapa faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap terjadinya obesitas. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah waktu pengenalan makanan padat saat balita, pemberian susu formula dini, perilaku makan, intik energi dan protein, aktivitas fisik, berat badan saat lahir serta riwayat obes pada orang tua. Penelitian di Amerika menunjukan bahwa obes pada usia 1-2 tahun dengan orang tua normal, sekitar 8% menjadi dewasa obes, sedangkan obes pada usia 10-14 tahun dengan salah satu orang tuanya obes, 79% akan menjadi dewasa obes (Hidayah et al. 2006). Hal senada diungkapkan Hadi et al. (2004), bahwa kegemukan pada orang tua secara sigifikan berperan sebagai prediktor kegemukan pada anak. Anak dengan orang tua gemuk memiliki risiko lebih besar untuk obes daripada anak yang orang tuanya tidak memiliki riwayat obes. Mengacu pada Riyadi (2003), maka status gizi diukur dengan menggunakan metode antropometri melalui perhitungan indeks IMT/U. Indeks IMT/U yang digunakan adalah untuk yang berumur 9-24 tahun berdasarkan persentil. Untuk menilai kurus bila nilai IMT/U < persentil ke-5, normal persentil ke-5 < Nilai IMT/U < persentil ke-85, berisiko overweight bila persentil ke-85 < nilai IMT/U < persentil ke-95, dan overweight bila nilai IMT/U > persentil ke-95.

12 IMT Berat badan( Kg) Tinggi badan 2 ( meter) Obesitas pada anak-anak sampai saat ini masih merupakan masalah yang kompleks. Obesitas mempunyai dampak terhadap perkembangan anak terutama aspek perkembangan psikososial. Obesitas yang terjadi selama masa kanak-kanak memiliki konsekuensi medis jangka pendek, meliputi efek-efek yang merugikan terhadap pertumbuhan, tekanan darah, lipid darah, dan metabolisme glukosa. Komplikasi lainnya meliputi kondisi pernapasan seperti asma (Thorpe et al. 2004). Konsekuensi medis jangka panjang meliputi risiko yang lebih besar untuk terkena hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskuler, dan osteoartitis pada masa dewasa. Obesitas pada masa anak-anak juga menimbulkan konsekuensi psikososial jangka pendek dan panjang seperti image diri yang negatif, penurunan kepercayaan diri, gangguan makan, dan kesehatan yang lebih rendah hubungannya dengan kualitas hidup (Thorpe et al. 2004). Komplikasi obesitas lainnya pada anak adalah gangguan fungsi saluran nafas yang dikenal dengan obstructure sleep apnea syndrome (OSAS). Apabila obesitas yang dialami pada masa anak-anak berlanjut hingga masa dewasa, maka hal ini dapat menimbulkan penyakit yang dapat mengganggu pertumbuhan bahkan dapat menyebabkan kematian.