TINJAUAN HUKUM TENTANG KEDUDUKAN JANDA MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA NUR AISAH / D

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA. Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH

BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI

BAB II STATUS HUKUM HARTA WARIS YANG DIPEROLEH BERDASAR PADA WASIAT / TESTAMEN. hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris.

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Perjanjian dan Waris

PEMBAGIAN HAK WARIS KEPADA AHLI WARIS AB INTESTATO DAN TESTAMENTAIR MENURUT HUKUM PERDATA BARAT (BW)

BAB V. KOMPARASI PEMBAGIAN WARIS DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI, CLD KHI DAN KUHPerdata

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB IV. PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KUHPerdata

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA

BAB II PROSES PERALIHAN OBJEK WARISAN SECARA AB INTESTATO BILA DI TINJAU DARI HUKUM PERDATA

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

Waris Menurut BW Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia dan

BAB I PENDAHULUAN. benua dan lautan yang sangat luas, maka penyebaran agama-agama yang dibawa. melaksanakan kemurnian dari peraturan-peraturannya.

BAB I TENJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS

PENERAPAN LEGITIME FORTIE (BAGIAN MUTLAK) DALAM PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KUH PERDATA. SULIH RUDITO / D

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

Lex et Societatis, Vol. V/No. 3/Mei/2017. KEDUDUKAN AHLI WARIS DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 1 Oleh : Daniel Angkow 2

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. pula harta warisan beralih kepada ahli waris/para ahli waris menjadi. Peristiwa pewarisan ini dapat terjadi ketika :

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah

HAK DAN KEWAJIBAN ORANG TUA DAN ANAK (ALIMENTASI) MENURUT K.U.H. PERDATA DAN U.U. NO.1 TAHUN 1974 SUNARTO ADY WIBOWO,SH.

BAB I PENDAHULUAN. dasar, antara lain bersifat mengatur dan tidak ada unsur paksaan. Namun untuk

BAB III WASIAT PENGANGKATAN AHLI WARIS (ERSFTELLING) DALAM KUHPERDATA. yaitu segala hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perorangan.

TINJAUAN YURIDIS ATAS AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM WARIS

Lex Administratum, Vol. V/No. 6/Ags/2017. TINJAUAN HUKUM MENGENAI PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA 1 Oleh: Pratini Salamba 2

BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga

TINJAUAN TENTANG BAGIAN AHLI WARIS YANG MENOLAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA BW

HUKUM WARIS PERDATA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Sistem hukum waris Adat diperuntukan bagi warga Indonesia asli yang pembagiannya

BAB I PENDAHULUAN. yang sudah ada sejak dahulu yaitu hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah

TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

PEWARISAN DAN AHLI WARIS PENGGANTI BIJ PLAATSVERVULLING

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGHIBAHAN SELURUH HARTA WARISAN OLEH PEWARIS SEHINGGA MELANGGAR LEGITIME PORTIE

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan

KEDUDUKAN HUKUM AHLI WARIS YANG MEWARIS DENGAN CARA MENGGANTI ATAU AHLI WARIS BIJ PLAATSVERVULLING MENURUT BURGERLIJK WETBOEK

BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWARISAN DAN PERMOHONAN

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya manusia tetap bergantung pada orang lain walaupun sampai

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK ANGKAT ATAS HARTA YANG DIPEROLEH DARI HIBAH SETELAH ORANG TUA ANGKATNYA MENINGGAL DUNIA RESUME TESIS

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia saat ini masih terdapat beraneka sistem hukum

Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Perdata

BAB IV WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF. dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara

TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN WARISAN MENURUT HUKUM ADAT UNTUK SUAMI ATAU ISTRI YANG HIDUP TERLAMA

PERBANDINGAN PEMBAGIAN WARISAN UNTUK JANDA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM WARIS ISLAM FITRIANA / D

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB IV ANALISIS AH TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM PERDATA. A. Ahli waris pengganti menurut hukum perdata

BAB III WASIAT DALAM KUH PERDATA. perbuatan pewaris pada masa hidupnya mengenai harta kekayaannya apabila

Tanah merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam kehidupan. manusia, hewan, dan juga tumbuh-tumbuhan. Fungsi tanah begitu penting dan

KAJIAN TERHADAP HAK MEWARIS ANAK ANGKAT DIDASARKAN HIBAH WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA. ( Studi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur )

PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. Mewaris adalah menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan menurut Pendapat Umum, yang dimaksud dengan Hukum adalah:

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEWARISAN MENURUT HUKUM ADAT BALI

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KEWARISAN

BAB I PENDAHULUAN. Belanda, meskipun saat ini penggolongan penduduk telah dihapus semenjak adanya

Lex Privatum, Vol. III/No. 3/Jul-Sep/2015. HAK ANAK ANGKAT ATAS WARISAN MENURUT HUKUM PERDATA 1 Oleh: Legi Riska Ivon 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

Hukum Perdata. Rahmad Hendra

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

BAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. PEMBATALAN ATAS PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA 1 Oleh : Erni Bangun 2

A. Keabsahan Kepemilikan Hak Atas Tanah Berdasarkan Asas Perlekatan. Vertikal Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

BAB III AKIBAT HUKUM PENGHIBAHAN HARTA WARISAN YANG MELANGGAR BAGIAN MUTLAK ATAU LEGITIME PORTIE AHLI WARIS OLEH PEWARIS MENURUT KUHPERDATA

BAB II PENGATURAN HIBAH DAN HIBAH WASIAT DALAM PEWARISAN MENURUT KUHPERDATA. A. Ketentuan Umum Pewarisan Menurut KUHPerdata

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENOLAKAN WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A.

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan

ANALISIS YURIDIS PENDAFTARAN PERALIHAN HAK GUNA BANGUNAN AKIBAT PEWARISAN SECARA AB INTESTATO DI KOTA MEDAN BERLIANA YUNITA HUTAGALUNG ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri.

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERWALIAN MENURUT K.U.H.P. PERDATA DAN U.U. NO. 1 TAHUN 1974 SUNARTO ADY WIBOWO. Program Studi Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

HUKUM HIBAH WASIAT TERHADAP ANAK ANGKAT MENURUT HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB IV HUKUM KELUARGA

Transkripsi:

TINJAUAN HUKUM TENTANG KEDUDUKAN JANDA MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA NUR AISAH / D 101 07 218 ABSTRAK Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Sistem hukum mengenai warisan di Indonesia disebut majemuk, karena ada beberapa sistem hukum yang mengatur hal tersebut. Sistem hukum yang dimaksud adalah hukum adat, hukum islam, hukum barat. Di satu pihak kadang-kadang proses waris mewaris dibelakukan Hukum Islam, di lain pihak juga berlaku Hukum Adat, demikian juga sering memberlakukan Hukum Perdata Barat atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pentingnya hukum kewarisan ini, disebabkan bahwa hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yangsangat penting dalam hidupnya, yang merupakan peristiwa hukum yang lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang yang akibatnya keluarga dekatnya kehilangan seseorang yang dalam hal ini sangat dicintainya sekaligus menimbulkan pula akibat hukum, yaitu tentang bagaimana cara kelanjutan pengurusan hak-hak kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia itu. Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban sseseorang akibat adanya peritiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum Kewarisan. Salah satu yang sampai saat ini belum mendapatkan persamaan pandangan adalah mengenai status janda, apakah janda termasuk ahli waris atau tidak, mengenai hal ini ada sebagian masyarakat adat yang menempatkan janda sebagai ahli waris dari almarhum suaminya, ada pula yang tidak. Namun, sebagai pedoman maka Mahkama Agung telah menempatkan janda sebagai ahli waris meskipun keputusan Mahkamah Agung tersebut bukanlah merupakan suatu keputusan tetap. Kata Kunci : Janda Sebagai Ahli Waris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Putusan Mahkamah Agung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum waris yang berlaku dewasa ini bersifat pluralisme, artinya terdapat beberapa hukum waris, yakni Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris BW, tentunya hal demikan ini membuat permasalahan tersendiri dalam penerapannya di tengah masyarakat. Karena dengan adanya tiga jenis Hukum Waris tersebut, menyebabkan tidak adanya unikasi hukum waris. Hal tersebut di atas dirumuskan dalam pasal 1023 BW, yang berbunyi ; bahwa semua orang yang memperoleh hak atas suatu warisan dan ingin menyelidiki keadaan harta peninggalan, agar suoaya mereka dapat mempertimbangkan apakah akan bermanfaat bagi mereka untuk menerima warisan itu secara murni atau dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta pe-ninggalan atau pula menolaknya, mempunyai hak untuk memikir. Tentang itu, mereka harus membuat suatu pernyataan di Kepaniteraan pengadilan Negeri, yang di dalam wilayahnya telah jatuh

meluang warisan tersebut; pernyataan mana akan dibukukan dalam suatu register yang disediakan untuk itu, dan seterusnya. Pemerintah telah berusaha untuk membentuk suatu undang-undang kewarisan nasional untuk mengikuti jejak Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, usaha mana sebenarnya jauh lebih dahulu dibandingkan Undang-undang Perkawinan, karena usaha tersebut dimulai sejak tahun 1963, tepatnya pada saat diadakannya Seminar Hukum Nasional 1963 pada tanggal 16 Maret, di mana salah satu topik adalah menyangkut dasar-asas tatahukum nasional dalam bidang kewarisan. Di mana dirumuskan bahwa tujuan Sosialisme Indonesia sebagai pancaran Pancasila hendaknya selalu menjiwai penyusunan Undan-undang Hukum Warisan Nasional, dengan mengindahkan prinsip keseimbangan pembagian antara laki-laki dan perempuan, dalam seminar tersebut dierima pula beberapa hal yang sangat penting yang berkaitan dengan upaya unifikasi hukum waris, di mana hukum kewarisan ditempatkan dalam kesatuan bulat Tatahukum Nasional, dan sebagai konsekuensi dari unifikasi tersebut, tentunya hukum kewaris ini harus pula dikodifikasi. Lebih lanjut disepakati pula bahwa hukum kewarisan nasional berdasarkan Pancasila. Dengan adanya unifikasi tersebut, maka Hukum Kewarisan tertulis dari masa kolonial dicabut, tentunya yang dimaksud adalah mencabut ketentuan mengenai peraturan-peraturan kewarisan yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Rencana pembentuk Undang-undang Kewarisan Nasional tersebut gagal, dan sampai saat ini belum pernah kembali dicanangkan pembentukannya. Salah satu penyebabnya kegagalan tersebut adalah adanya keanekaragaman agama dan budaya serta adat istiadat masyarakat Indonesia, yang pada dasarnya masing-masing mempunyai hukum kewariasannya sendiri, masing-masing tetap menginginkan agar hukum kewarisan mereka yang menjadi acuannya. 1 Pentingnya hukum kewarisan ini, disebabkan bahwa hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Bahwa setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yangsangat penting dalam hidupnya, yang merupakan peristiwa hukum yang lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang yang akibatnya keluarga dekatnya kehilangan seseorang yang dalam hal ini sangat dicintainya sekaligus menimbulkan pula akibat hukum, yaitu tentang bagaimana cara kelanjutan pengurusan hak-hak kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia itu. Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban sseseorang akibat adanya peritiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum Kewarisan. Telah dimaklumi, bahwa Indonesia adalah sebagai suatu negara hukum, sehingga amat logis bila dalam derap pembangunan yang digalakkan dewasa ini pemangunan hukum telah mendapat perhatia dari pemerintah dan masyarakat. Pembangunan hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhankebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum. Perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh dilakukan dengan peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain menadakan pembaharuan, kodifikasi, serta unifikasi hukum. Pembangunan dalam bidang hukum pada dasarnya dititik beratkan pada kodifikasi dan unifikasi hukum tanpa mengenyampingkan pembangunan segi-segi hukum lainnya. Bila pelaksanaan pembangunan dititik beratkan pada usaha kodifikasi dan unifikasi hukum, hal ini dapat dimaklumi karena hingg kini di dalam 1 Ramelan, Perspektif Hukum Kewarisan Nasional, Grafit, Jakarta. 1987, Hlm 12

masyarakat masih terdapat pluralisme hukum waris. Pada dasarnya masyarakat Indonesia berada dalam kebinekaan dalam arti yang sangat luas. Hal ini menyangkut agama, bentuk masyarakat, juga menyangkut hukum yang hidup dan tumbuh di dalamnya, teristimewa hukum waris 2. Hukum waris berhubungan erat dengan pengakuan terhadap hak milik dan hukum waris dalam bentuknya yang sekarang baru ada, dengan perkembangan sepanjang masa dari hak milik yang bersifat perseorangan. Bagi pewarisan dan bagi cara atas mana hal itu diatur oleh pembentuk undang-undang. 3 Pentingnya hukum kewarisan ini, disebabkan bahwa hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Bahwa setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yangsangat penting dalam hidupnya, yang merupakan peristiwa hukum yang lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang yang akibatnya keluarga dekatnya kehilangan seseorang yang dalam hal ini sangat dicintainya sekaligus menimbulkan pula akibat hukum, yaitu tentang bagaimana cara kelanjutan pengurusan hak-hak kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia itu. Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban sseseorang akibat adanya peritiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum Kewarisan. Bila seorang manusia sebagai individu meninggal dunia, maka akan timbul pertanyaan bagaimana hubungan yang meninggal dunia itu dengan yang ditinggalkan serta beberapa ragama pula coraknya dan mungkin pula ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi baik oleh si yang meninggal dunia maupun yang masih hidup, terutama masalah kekayaan 2 Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta. 1991, Hlm 295 3 F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata (Jilid 1), Rajawali Pers, Jakarta. 1989, Hlm 374 dari si meninggal dunia, 4 karena orang yang meninggal dunia inilah yang disebut Pewaris. Sedangkan Harta Warisan, adalah harta kekayaan yang ditnggalkan oleh pewaris kepada ahli warisnya. Salah satu yang sampai saat ini belum mendapatkan persamaan pandangan adalah mengenai status janda, apakah janda termasuk ahli waris atau tidak, mengenai hal ini ada sebagian masyarakat adat yang menempatkan janda sebagai ahli waris dari almarhum suaminya, ada pula yang tidak. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Kedudukan hukum janda sebagai ahli waris menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata? 2. Bagaimana Pandangan Mahkamah Agung mengenai status hukum janda sebagai ahli waris? II. PEMBAHASAN Kebendaan yang dihibah wasiatkan harus diserahkan dengan segala sangkut pautnya dan dalam keadaannya pada hari si yang mewasiatkannya meninggal dunia (pasal 963 KUH Perdata). Apabila si yang mewasiatkan telah menghibahkan sesuatu barang tertentu milik orang lain, maka batalah hibah wasiat yang demikian, baik kesalahan dalam hal ini disadari maupun tak disadarinya (pasal 966 KUH Perdata). Apabila hibah wasiat itu mengenai kebendaan tak tertentu, maka si pewaris tidak wajib menyerahkan kebendaan itu dari jenis yang terbaik, akan tetapi iapun tak boleh menyerahkan kebendaaan dari jenis yang terburuk (pasal 969 KUH Perdata). Apabila sebagai suatu yang dihibah wasiatkan, dengan singkat hanya disebut : hasil-hasil atau pendapatan saja dengan tidak dijelaskan dengan perkataan; pakai hasil atau pakai, amaka kebendaan yang bersangkutan tetaplah harus ada dibawah pengurusan sipewaris yang sementara itu wajib menyerahkan segala hasil dan pendapatannya 4 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bw), Sinar Grafika, Jakarta. 1994, Hlm 102

kepada sipenerima hibah (Pasal 970 KUH Perdata). Suatu hibah yang dihibahwasiatkan kepada seorang berpiutang, tak harus dianggap sebagai pelunasan akan piutangnya, sepertipun hibah kepada budak-budak tak harus dianggap pula sebagai pembayaran upah karena jasa yang telah di berikan oleh mereka (pasal 971 KUH Perdata). Apabila Harta Peninggalan tidak seluruhnya atau untuk sebagaian diterimanya, atau apabila warisan di diterimanya denga hak istimewaakan pendaftaraan harta peninggalan, dan yang ini tidak mencukupi guna memenuhi akan segala hibah wasiat, maka hibah wasiat itu dalam keseimbangan dengan besarnya harus dikurangi, kecuali si yang menghibahwasiatkan tentang hal ini telah menetapkan ketentan-ketentuan lain dalam surat hibah wasiatnya (pasal 972 KUH Perdata). Berbicara mengenai berlakunya Hukum Waris Burgerlijk Wetboek (BW) tidak terlepas dari sejarah berlakunya BW di mana pengaturan Hukum Waris terdapat di dalamnya dan sampai saat ini masih berlaku di Indonesia sekarang sesungguhnya berasal dari BW Nederland yang mutatis mutandis diperlakukan juga di Indonesia dengan menyesuaikan diri pada keadaan Indonesia pada ketika itu. Berlakunya itu di dasarkan kepada asas konkordansi/concordantie beginsel yang dinyatakan dalam Pasal 131 IS, ayat (2) sub. a. Arti asas tersebut adalah bahwa terhadap orang Eropah yang berada di Indonesia diperlakukan hukum perdata asalnya, yaitu hukum perdata yang di negeri Belanda. 5 Bahwa dalam hubungan berlakunya BW di Indonesia, penduduk dibagi dalam 3 (tiga) golongan, yaitu: 1. Golongan Eropa; 2. Golongan Timur Asing; 3. Golongan Bumiputera (Indonesia asli). Dengan demikian maka hukum yang berlaku, termasuk Hukum Waris yang berlaku di Indonesia Ketika itu berjumlah 2 buah, 5 Asis Safioedin, Beberapa Hal Tentang Burgerlijk Weboek, Alumni, Bandung. 1986, Hlm 3 yaitu Hukum Perdata Eropa dan Hukum Perdata yang berlaku bagi Bumiputera Hukum Adat. Hal ini mengakibatkan dualisme dalam lapangan hukum perdata, sehingga sampai sekarang pun di Indonesia belum terdapat kesatuan hukum, suatu unifikasi atau suatu uniformitas dalam lapangan hukum perdata, khususnya yaang meyangkut Hukum Waris. Yang termasuk ke dalam golongan eropa adalah pertama orang-orang Belanda, kedua, orang-orang yang berasal dari Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dan Jepang. Masuknya orang Jepang ke dalam golongan Eropa di dasarkan pada adanya perjanjian antara Nederland dan Jepang dalam lapangan perdagangan dan perkapalan, yang memberikan harapan kepada Jepang, bahwa bangsa Jepang akan dipersamakan dengan Eropa di Hindia Belanda. 1. Orang-orang yang tidak termasuk orang Belanda atau Eropa lainnya, akan tetapi taat pada suatu hukum keluarga yang pada garis besarnya sama dengan asas-asas hukum keluarga/waris yang terdapat dalam BW. Yang dimaksud adalah orang-orang Amerika, Inggeris,dll. 2. anak-anak golongan no. 2 dan no. 3 di atas, baik yang sah, maupun yang disahkan oleh Undang-undang. Yang termasuk ke dalam golongan orang-orang Asia yang terdiri dari, golongan Tionghoa: sejak tahun 1919 terhadap golongan ini dikenakan hampir seluruh ketentuan BW sebagaimana diatur dalam S. 1917-129, yang mulai berlaku pada tanggal 29 Maret 1917 (Engelbrecht : 379). Perlakuan ini di dasarkan kepada hubungan perdagangan, sehinggga kalau pada suatu waktu timbul suatu sengketa, maka perselisssihan tersebut akan dapat diselesaikan dengan mendasarkan diri pada BW, kemudian golongan bukan Tionghoa : Arab, pakistan, dan India dsb. Untuk mereka berlaku sebagian dari BW yang pada pokoknya hanya mengenai hukum harta kekayaan; jadi bukan yang mengenai hukum orang dan keluarga atau hukum waris. Untuk kedua jenis hukum yang terakhir ini mereka tetap tunduk kepada hukum negaranya sendiri sebagaimana diatur

dalam S 1924 556 yang mulai berlaku tanggal 1 Maret 1925 (Engelberecht : 377). Yang dimaksud dengan golongan tersebut adalah mereka yang tidak beragama Kristen, dan yang termasuk ke dalam golongan ini adalah orang-orang Indonesia asli yang tidak beragama Kristen. Hukum perdata yang diberlakukan kepada mereka adalah hukum perdata adat, sebagai hukum yang berlaku dikalangan rakyat sejak dahulu. Berdasarkan Pasal 131 IS yang berasal dari pasal 75 RR-lama ayat (4) yang diperkuat oleh S 1917-12 (Engelbrecht : 384) maka golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing dengan kemauan sendiri (denga sukarela) dapat menundukkan diri kepada hukum Perdata dan Hukum Dagang Eropa (BW dan WVK), baik sebagian, maupun dalam keseluruhannya. Apabila orang membicarakan masalah warisan, maka orang akan sampai kepada 3 (3) masalah pokok yang dan lainnya tidak dapat dipisahkan atau dengan perkataan lain yang satu merupakan rangkaian atau akibat dari yang lain. Ahlli waris, adalah mereka yang mempunyai hak atas harta untuk sebagian dari si peninggal warisan (pewaris). Dengan demikian ahli waris merupakan kerabat si mati yang menurut hukum ada bagian sebagai ahli waris, di samping anak-anak yang di dalam hukum kewarisan merupakan golongan utama, baik di dalam hukum adat, hukum Islam maupun dan Burgerlijk Wetboek. Di samping anak-anak sebagai ahli waris, juga ada ahli waris lainnya yang menurut hukum berhak untuk itu. 6 Dalam hubungan dengan ahli waris tersebut terdapat ketentuan khusus seperti yang tercantum dalam Pasal 2 BW, yaitu anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada. 6 Soedaryo Soimin, 1992, Hukum Orang Dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/Bw, Sinar Grafika, Jakarta. 1992, Hlm 80 Dengan demikian seorang anak yang baru lahir pada hal ayahnya meninggal dunia sebelum ia lahir, maka ia berhak mendapat warisan ayahnya. Hal ini dipertegas dalam Pasal 836 BW, yang berbunyi sebagai berikut Dengan mengingat akan ketentuan dalam pasal 2 Kitab ini, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada pada saat warisan terbuka. Undang-undang mengenal dua cara untuk menjadi ahli waris yang pertama, secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang) hal ini diatur dalam Pasal 832, kedua secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat (testamen) hal ini diatur dalam pasal 899 BW. Menurut ketentuan undang-undang ini, maka yang berhak menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama. Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris ini dibagi dalam empat golongan yang masing-masing merupakan ahli waris golongan pertama, golongan kedua, golongan ketiga dan golongan keempat. Dalam hal ini pewaris membuat surat wasiat di mana para ahli warisnya ditunjuk dalam surat wasiat tersebut. Testamen ini biasanya dibuat di hadapan Notaris, dan dititipkan pada Notaris yang bersangkutan atau Pengacara Pewaris, dan testamen dibuka atau diumumkan kepada para ahli waris setelah pembuat testamen meninggal dunia. Selanjutnya BW mengenal pula ahli waris Pengganti, yang dikenal dengan istilah plaatsvervulling (Bhs. Belanda). Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 841 BW, yang dirumuskan sebagai berikut Penggantian memberi hak kepada seorang yang menggant, utnuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti. Ada tiga macam penggantian tempat dalam Hukum Waris, pertama, dalam Pasal 842 Penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung berlangsung terus dengan tiada akhirnya. Dalam segala hal, pergantian seperti di atas selamnya diperbolehkan, baik dalam hal bilamana beberapa anak si yang meninggal dunia

mewaris bersama-sama dengan keturunan seorang anak yang telah meninggal lebih dahulu, maupun sekalian keturunan mereka mewaris bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-berbeda, kedua, kemudian Pasal 844, dalam garis menyimpang pergantian diperbolehkan atas keuntungan sekalian anak dan keturunan saudara laki dan perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu, baik mereka mewaris bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun warisan itu setelah meninggalnya semua saudara si meninggal lebih dahulu harus dibagi antara sekalian keturunan mereka, yang mana satu sama lain bertalian keluarga dalam perderajatan yang sama, dan ketiga, dalam Pasal 845, Pergantian garis menyimpang diperbolehkan juga bagi pewarisan bagi para keponakan, ialah dalam hal bilamana di samping keponakan yang bertalian keluarga sedarah terdekat dengan si meninggal, masih ada anak-anak dan keturunan saudara laki atau perempuan darinya saudara-saudara mana telah meninggal lebih dahulu. Menurut F.A. Vollmar 7 dalam pada itu masih ada beberapa aturan-aturan umum lain yang memuat syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi, agar ada yang disebut pergantia, yaitu, sebagai berikut: 1. Orang yang tempatnya diganti harus telah meninggal dunia. Jadi penggantian itu tidak dapat ada apabila orang yang tempatnya diganti masih hiudup dan misalnya menolak warisannya atau ia tak patut untuk menerima warisan itu, ataupun ia telah dicabut haknya untuk mewaris oleh orang yang mewariskan. 2. Penggantian hanyalah ada apabila ada keturunan-keturunan yang sah. Pada keturunan luar kawin tidaklah ada kekerabatan sedarah antara anak dan para kerabat ibunya atau kerabat bapak yang telah mengakuinya, sehingga pewarisan berdasarkan kekerabatan sedarah adalah tidak dapat ada. Sebaliknya dalam pada itu, keturunan-keturunan menurut undang- 7 Ibid, Hlm 387 undang dari seorang anak luar kawin dan juga dari seorang anak luar kawin yang sudah diakui sah dapat saja bertindak untuk orang-orang yang disebut terbelakang ini pada penggantian. 3. Orang yang mewaris pada penggantian itu sendiri haruslah memenuhi syarat-syarat umum agar dapat mewaris, lebih-lebih khususnya ia harus ada pada saat kematiannya orang yang mewariskan dan ia tidak boleh tak patut untuk dapat mewaris dari orang yang mewariskan tersebut. Pada dasarnya semua ahli waris sebagaimana yang telah dikemukakan di atas dapat mendapatkan warisan dari pewaris, namun dalam beberapa hal undang-undang memberikan pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 838 BW, yakni: a. mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal; b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan, karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pada si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat; c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya; d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat yang meninggal 8. Hibah wasiat atau legaat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana yang si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang tertentu dan harta peninggalannya atau memberikan barang-barangnya dari jenis tertentu, seperti misalnya, memberikan segala barang-barang yang bergerak atau tidak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atau seluruh atau 8 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1984, Hlm 418

sebagian harta peninggalannya. Setiap hibah wasiat yang bersahaja dan tak bersyarat, memberi hak kepada mereka yang dihibawasiatkannya itu, semenjak hari meninggalnya si yang mewasiatkannya untuk menuntut kebedaan yang dihibah wasiatkannya, hak mana menurun kepada sekalian ahli waris atau pengganti haknya. Tiap-tiap mereka yang menerima hibah harus melakukan tagihannya akan penyerahan kebendaan yang dihibahkannya kepada para ahli waris atau penerima wasiat yang diwajibkan menyerahkannya. Ia berhak segala hasil atau segala bunga dari pada kebendaan itu, semenjak hari meninggalnya si yang mewasiatkan, jika tuntutan penyerahan dilakukan dalam waktu satu tahun semenjak hari tersebut atau jika penyerahan kebedaan tadi sama, tenggang waktu yang sama secara sukarela dilakukan. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hibah wasiat (legaat) baru berlaku apabila si pemberi wasiat meninggal dunia. Orang menerima hibah wasiat (legaat) disebut legataris. Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang sapat diwariskan, dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Di samping itu berlaku juga suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya. Bahwa merupakan juga asas dalam BW ialah asas kematian artinya pewarisan hanya karena kematian (pasal 830). Demikian juga Hukum Kewarisan menurut BW masih mengenal 3 asas lain, yaitu: 1. Asas Individual; Asas individual (asas pribadi) di mana yang menjadi ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok klan, suku atau keluarga. Hal ini dapat dilihat dalam Padal 832 jo 852 yang menentukan bahwa yang berhak menerima warisan adalah suami atau isteri yang hidup terlama, anak beserta keturunannya. 2. Asas Bilateral; Asas bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewaris dari bapak saja tetapi juga sebaliknya dari ibu, demikian juga saudara laki-laki mewaris dari saudara laki-lakinya, mauoun saudara perempuannya, asas bilateral ini dapat temukan dalam pasal 850, 853 dan 856 yang mengatur bila anak-anak dan keturunannya serta suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada lagi maka harta peninggalan dari si meninggal diwarisi oleh dan bapak serta saudara baik saudara lakilaki maupun saudara perempuan. 3. Asas Penderajatan. Asas ini artinya bahwa ahli waris yang derajatnya dekat dengan si pewaris menurutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya, maka untuk mempermudah perhitungan diadakan penggolonganpenggolongan ahli waris. Pluralisme hukum di Indonesia tentunya amat tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional yang bertujuan mewujudkan satu kesatuan hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Karenanya sungguh tepat bila dalam pelaksanaan pembangunan bidang hukum uaha kodifikasi dan unifikasi hukum menempati prioritas. Pentingnya hukum waris tersebut karena ingga deasa ini aturan-aturan hukum yang berlaku dalam proses waris mewaris masih beraneka ragam (pluralistis). Di satu pihak kadangkadang proses waris mewaris dibelakukan Hukum Islam, di lain pihak juga berlaku Hukum Adat, demikian juga adakalanya berlaku Hukum Perdata Barat yang ersumber dari Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Pedoman maka Mahkama Agung telah menempatkan janda sebagai ahli waris meskipun keptusan Mahkamah Agung tersebut bukanlah merupakan suatu keputusan tetap. III. PENUTUP A. Kesimpulan Setelah membahas mengenai Hukum Waris menurut sistem BW dan

permasahannya, penulis dapat memberikan kesimpulan, 1. Bahwa hukum kewarisan menurut Burgelijk Wetboek (BW) berdasarkan bilateral, individual, penderajatan dan juga asas kematian. Ahli waris memperoleh warisan secara langsung, atau secara pergantian. Tetapi mungkin juga adalah permasalahan wasiat, hibah, hibah wasiat yang mengakibatkan pula problema pembagian mutlak (legitieme portie), dan apabila ada ahli waris dalam golongan kedua, ketiga atau ke empat, mungkin pula timbul pembelahan, pembelahan baru timbul apabila ahli waris itu pada golongan kedua terdiri dari saudara kandung dengan saudara sebapak atau saudara tiri seibu. Janda sebagai ahli waris termasuk golongan I. 2. Bahwa orang yang menerima suatu legaat, dinamakan legataris, ia bukan ahli waris, karenanya ia tidak enggantikan si meninggal dunia dalam hak-hak dan kewajibannya (yang paling penting tidak diwajibkan membayar utang-utang si meninggal dunia). Adakalanya seorang legataris yang menerima beberapa benda diwajibkan memberikan saalah satu benda itu kepada seorang lain yang ditunjuk dalam testamen. Pemberian suatu benda yang harus di tagih dari legataris dinamakan suatu Sublegaat. B. Saran Berhubung masih terjadinya pluralisme dalam hukum kewarisan di Indonesia, maka kiranya sudah pada waktunya untuk segera kembali memikirkan untuk di adakannya unifikasi hukum kewarisan tersebut, tentunya dengan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas ummat Islam. Di samping itu dapat dikatakan bahwa BW yang masih berlaku sekarang ini khususnya yang berkaitan dengan masalah kewarisan dapat dikatakan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yang disebabkan adanya hal-hal yang dapat mengganggu bagian seorang ahli waris, misalnya yang berkaitan dengan hibah wasiat. Mahkamah Agung Indonesia mengambil sikap mengenai hal ini, mengingat sampai saat ini belum ada hukum waris nasional yang menyangkut hak tersebut. Selain itu dengan adanya kajian mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan kedudukan hukum janda sebagai ahli waris, diharapkan dapat berguna dalam upaya lebih memahami seluk-beluk hukum kewarisan mengingat pentingnya hukum kewarisan ini dalam sistem hukum nasional Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Asis Safioedin, Beberapa Hal Tentang Burgerlijk Weboek, Alumni, Bandung. 1986. F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata (Jilid 1), Rajawali Pers, Jakarta. 1989. M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Sinar Grafika, Jakarta. 1994. R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta. 1984. Ramelan, Perspektif Hukum Kewarisan Nasional, Grafit, Jakarta. 1987. Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta. 1991. Soedaryo Soimin, 1992, Hukum Orang Dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Sinar Grafika, Jakarta. 1992.

NUR AISAH, Lahir di Taweli, 11 November 1987, Alamat Rumah Jalan Sampaga Biru Taweli Sul-Teng, Nomor Telepon +62..., Alamat Email nuraisah426@yahoo.com