BAB III AKIBAT HUKUM PENGHIBAHAN HARTA WARISAN YANG MELANGGAR BAGIAN MUTLAK ATAU LEGITIME PORTIE AHLI WARIS OLEH PEWARIS MENURUT KUHPERDATA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III AKIBAT HUKUM PENGHIBAHAN HARTA WARISAN YANG MELANGGAR BAGIAN MUTLAK ATAU LEGITIME PORTIE AHLI WARIS OLEH PEWARIS MENURUT KUHPERDATA"

Transkripsi

1 BAB III AKIBAT HUKUM PENGHIBAHAN HARTA WARISAN YANG MELANGGAR BAGIAN MUTLAK ATAU LEGITIME PORTIE AHLI WARIS OLEH PEWARIS MENURUT KUHPERDATA A. Hibah dan Hibah Wasiat Sebagai Peristiwa Hukum Anggota masyarakat setiap hari mengadakan hubungan antara satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kepentingannya sehingga menimbulkan berbagai peristiwa kemasyarakatan. Peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh hukum diberikan akibat-akibat dinamakan peristiwa hukum atau kejadian hukum (rechtfeit). 176 Namun tidak setiap peristiwa dikategorikan peristiwa hukum, melainkan hanyalah suatu peristiwa, misalnya A mengambil sepeda motor miliknya sendiri. Contoh peristiwa yang menggerakkan hukum untuk bekerja yaitu apabila A mengambil sepeda orang lain. Peristiwa yang terakhir disebut peristiwa hukum karena hukum digerakkan bekerja untuk memberikan perlindungan terhadap orang lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hanya peristiwa-peristiwa yang dicantumkan dalam hukum saja yang bisa menggerakkan hukum dan disebut sebagai peristiwa hukum. 177 Tindakan penghibahan dan penghibahwasiatan sendiri dikategorikan sebagai suatu peristiwa hukum karena tindakan tersebut tercantum dalam hukum dan menimbulkan suatu akibat hukum. Dalam hukum dikenal dua macam peristiwa hukum yaitu : 1. Peristiwa hukum yang bukan tindakan manusia yakni kelahiran, kematian, dan daluwarsa; 176 C.S.T. Kansil, Op.cit., hal Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti), hal

2 70 2. Peristiwa hukum yang merupakan tindakan manusia yang terbagi menjadi: a. Perbuatan subjek hukum Perbuatan subjek hukum dapat dibedakan antara perbuatan hukum dan perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum. Suatu perbuatan merupakan perbuatan hukum kalau perbuatan itu oleh hukum diberi akibat yang dikehendaki oleh yang bertindak. Apabila akibat hukum dari suatu perbuatan itu tidak dikehendaki oleh yang melakukannya atau salah satu dari yang melakukannya, maka perbuatan itu bukanlah suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum ada yang bersegi satu (eenzijdig), misalnya pembuatan surat wasiat, pemberian hadiah (hibah), dan lain sebagainya; dan ada yang bersegi dua (tweezijdig), misalnya jual beli, sewa menyewa, dan lain sebagainya. b. Peristiwa lain yang bukan perbuatan subjek hukum Perbuatan bukan subjek hukum dapat dibedakan menjadi : 1) Perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, walaupun oleh hukum tidak perlu akibat tersebut dikehendaki oleh pihak yang melakukan perbuatan itu. Contohnya perbuatan memperhatikan (mengurus) kepentingan orang lain dengan tidak diminta oleh orang itu untuk memperhatikan kepentingannya (zaakwaarneming) yang diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata; 2) Perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige daad) yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Akibat dari perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur oleh hukum namun akibat itu tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu. 178 Dari penggolongan peristiwa hukum di atas, dapat diketahui bahwa hibah dan hibah wasiat termasuk perbuatan subjek hukum yang bersegi satu (eenzijdigi). Hal ini artinya perbuatan penghibahan dan penghibahwasiatan adalah perbuatan hukum yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari satu subjek hukum saja (orang yang menghibahkan atau pewaris). Dengan begitu, prestasi hanya dilakukan oleh orang menghibahkan atau pewaris tanpa menuntut kontraprestasi dari orang yang menerima hibah atau hibah wasiat. 178 C.S.T. Kansil, Op.cit., hal

3 71 Secara umum, akibat hukum yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum dapat berwujud tiga hal yaitu sebagai berikut : 1. Lahir, berubah atau hilangnya suatu keadaan hukum, misalnya : a. Menurut KUHPerdata, sejak seseorang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun, maka ia dianggap cakap menurut hukum (lahirlah keadaan hukum yang baru); b. Seseorang yang berada di bawah pengampuan, maka ia telah kehilangan kecakapan hukum (hilangnya keadaan hukum); dan c. Sejak suatu hal dinyatakan daluwarsa atau lewat waktu atau verjaring, maka seseorang bisa mendapatkan hak (Pasal 584 KUHPerdata) serta bisa juga kehilangan hak; 2. Lahir, berubah atau hilangnya sesuatu hubungan hukum, misalnya dalam perjanjian jual beli, maka lahirlah hubungan hukum antara penjual dan pembeli. Setelah barang telah dibayar lunas oleh pembeli dan barang telah dilepaskan oleh penjual, maka hubungan hukum tersebut menjadi lenyap; dan 3. Adanya sanksi apabila dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum, misalnya seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari perbuatan di pencuri tersebut yang mengambil barang orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum. 4. Akibat hukum yang timbul karena adanya kejadian-kejadian darurat oleh hukum yang bersangkutan telah diakui atau dianggap sebagai akibat hukum, meskipun dalam keadaan wajar, tindakan-tindakan tersebut mungkin terlarang menurut hukum. Misalnya dalam keadaan terbakar di mana seorang sudah terkepung api sehingga merusak dan menjebol tembok, jendela, pintu, dan lain-lain untuk jalan keluar menyelamatkan diri. 179 Terkait hibah dan hibah wasiat, maka akibat hukum yang ditimbulkan adalah lahirnya suatu hubungan hukum. Hubungan hukum yang dimaksud adalah hubungan hukum bersegi satu antara orang yang menghibahkan atau pewaris dengan orang yang menerima hibah atau hibah wasiat. Artinya dari hubungan hukum bersegi satu hanya timbul hak dan kewajiban pada satu pihak saja (orang yang menghibahkan atau pewaris). 179 Edy Mayor, Jurnal Hukum Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Dalam Etnis Tionghoa di Kota Medan, hal 48-49, ( kedudukan-anak-angkat-perempuan-terhadap-harta-warisan-di-kalangan-etnis-tionghoa-sukuhainan-di-kota-medan.htm?page=4), diakses tanggal 2 April 2016.

4 72 B. Bagian Mutlak atau Legitime Portie Sebagai Batasan Dalam Hibah dan Hibah Wasiat 1. Pengertian Bagian Mutlak atau Legitime Portie Bagian mutlak atau legitime portie sebagai batasan dalam pembuatan hibah dan hibah wasiat, sangat penting untuk diperhatikan agar suatu hibah atau hibah wasiat tidak menimbulkan suatu akibat hukum yang tidak diinginkan oleh orang yang menghibah atau pewaris. Untuk itu, perlu diketahui secara jelas apa yang dimaksud dengan bagian mutlak atau legitime portie. Ada beberapa ahli hukum yang mengemukakan definisi atau pengertian dari bagian mutlak atau legitime portie, yaitu sebagai berikut : a. Menurut Idris Ramulyo, bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan atau dengan kata lain bahwa legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus (wajib) diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut Undang-undang, terhadap bagian mana si pewaris tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup atau selaku wasiat. 180 b. Menurut Subekti, legitime portie adalah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Hak atas legitime portie barulah timbul apabila seseorang dalam keadaan sungguh-sungguh tampil sebagai ahli waris sebagaimana ditentukan hukum waris. Dalam hal ini yang berhak atas suatu legitime portie dinamakan legitimaris. Ia dapat meminta pembatalan setiap testamen yang melanggar haknya dan berhak menuntut dilakukan pengurangan (inkorting) terhadap segala pemberian warisan, baik berupa erfstelling maupun legaat, atau bersifat schenking yang mengurangi haknya. 181 c. Menurut Pitlo, legitime portie/wettlijk erfdel merupakan hak dia/mereka yang mempunyai kedudukan utama/istimewa dalam warisan. Hanya sanak saudara dalam garis lurus (bloedverwanten in de rechte lijn) dan merupakan ahli waris ab-intestato saja yang berhak atas bagian yang dimaksud M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Op.cit., hal Komar Andhasasmita, Notaris III : Hukum Harta Perkawinan dan Waris Menurut KUHPerdata, (Jawa Barat : Ikatan Notaris Indonesia, 1997), hal. 143.

5 73 Sebenarnya, ada dua sistem tentang legitime portie yakni sebagai berikut : a. Sistem Prancis-Jerman, menetapkan bahwa bagian mutlak atau legitime portie adalah bagian tertentu dari seluruh warisan yang tidak dapat dilanggar dengan suatu ketetapan dalam testamen. Oleh karena itu, berdasarkan sistem ini, warisan seseorang dibagi dua yaitu : 183 1) Bagian bebas yang merupakan bagian dari warisan, atas bagian mana pewaris mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk mengambil ketetapan-ketetapan. Wewenang pewaris pada bagian ini meliputi baik tindakan-tindakan semasa hidupnya pewaris maupun sesudah pewaris meninggal (melalui surat wasiat). Pewaris berhak untuk membebani maupun memberikan secara cuma-cuma kepada orang lain; dan 2) Bagian yang tidak bebas merupakan bagian tertentu dari seluruh warisan diperuntukkan bagi para ahli waris dalam bentuk bagian mutlak atau legitime portie. Dalam bagian ini, pewaris tidak bebas dan seakan-akan bagian legitime ini diberikan secara kolektif (collectief) kepada para ahli waris mutlak atau legitimaris. Cara pengaturan bagian mutlak atau legitime portie demikian disebut cara negatif. b. Sistem Romawi, menetapkan bagian mutlak atau legitime portie adalah bagian tertentu dari setiap ahli waris yang tidak dikurangi dengan testamen. Jadi, menurut sistem ini, bagian mutlak atau legitime portie ditetapkan secara individual sehingga tidak ada pembagian warisan ke dalam dua bagian yang pasti seperti di dalam sistem Prancis-Jerman. Cara pengaturan bagian mutlak atau legitime portie yang demikian disebut sistem positif. 184 Dari kedua uraian sistem di atas, dapat diketahui perbedaan sistem Prancis-Jerman dengan sistem Romawi. Dalam sistem Prancis-Jerman, bagian bebas dan bagian tidak bebas (legitime portie) telah ditentukan secara tegap (bagian tetap) sehingga tidak bergantung pada banyaknya ahli waris mutlak atau legitimaris. Konsekuensinya adalah jika ada seorang ahli waris 183 J. Satrio, Op.cit., hal Ali Afandi, Op.cit., hal. 44.

6 74 mutlak atau legitimaris yang menolak warisan atau dinyatakan tidak patut mewaris, maka bagian ahli waris tersebut tetap berada pada bagian tidak bebas (legitime portie) dan menjadi hak kawan ahli waris mutlak atau legitimaris yang lain. Lain halnya dengan sistem Prancis-Jerman, sistem Romawi menjamin bagian mutlak atau legitime portie secara individual kepada tiap-tiap ahli waris, bukan kepada para ahli waris sebagai keseluruhan atas satu bagian bersama-sama. Konsekuensinya jika ada ahli waris mutlak atau legitimaris yang menolak warisan atau dinyatakan tidak patut mewaris, maka bagian legitimaris yang bersangkutan jatuh ke dalam bagian bebas warisan, bukan kepada bagian legitimaris yang lain. 185 KUHPerdata sendiri menganut sistem Romawi dan memberikan definisi bagian mutlak atau legitime portie dalam Pasal 913 KUHPerdata yang berbunyi : Bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut Undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat. 186 Jadi, ada dua unsur penting dari uraian pasal di atas yaitu bagian mutlak atau legitime portie adalah bagian dari suatu warisan yang tidak dapat dikurangi dengan pemberian semasa hidup atau pemberian dengan testamen serta bagian mutlak atau legitime portie harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah. 185 Ibid., hal Pasal 913 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

7 75 2. Ketentuan Umum Bagian Mutlak Atau Legitime Portie Dalam Pewarisan Tidak dapat dipungkiri, pada asasnya seseorang atau pewaris mempunyai hak dan wewenang untuk menentukan hartanya semasa hidup maupun setelah ia meninggal dunia. Namun atas kebebasan atau kemerdekaan seseorang atau pewaris ini, Undang-undang membuat beberapa pengecualian, yang tak lain berarti pembatasan-pembatasan. Caranya adalah memberikan suatu jaminan bagi ahli waris tertentu bahwa suatu bagian tertentu dari hak waris ab-intestato mereka, tidak dapat diganggu gugat oleh pewaris, baik melalui tindakan semasa hidup maupun melalui suatu testamen, kecuali atas persetujuan oleh yang bersangkutan (Pasal 913 KUHPerdata). 187 Dengan mengacu pada Pasal 913 KUHPerdata, legitime portie merupakan suatu hak yang Undang-undang berikan kepada ahli waris tertentu yang tidak dapat disingkirkan sama sekali oleh pewaris dari pewarisannya. 188 Namun, hak atas bagian mutlak atau legitime portie hanya diberikan jika yang bersangkutan menyatakan menggunakan haknya yakni hak untuk menuntut legitime portie. Hak tuntut bagian mutlak atau legitime portie diberikan kepada masing-masing ahli waris tertentu (ahli waris mutlak) untuk sebesar legitime portie-nya, sehingga jika ada beberapa ahli waris mutlak, tetapi hanya ada satu yang menuntut bagian mutlak atau legitime portie, maka 187 J. Satrio, Op.cit., hal A. Pitlo, Op.cit., hal. 89.

8 76 yang kembali dalam warisan hanya bagian mutlak atau legitime portie satu ahli waris mutlak saja. 189 Hampir dalam perundang-undangan semua negara dikenal lembaga bagian mutlak atau legitime portie. Peraturan di negara satu tidak sama dengan peraturan di negara lain, terutama mengenai siapa-siapa sajalah yang berhak atasnya dan ahli waris mutlak berhak atas apa. 190 Tujuan dari adanya lembaga bagian mutlak atau legitime portie adalah agar harta warisan sebagai harta keluarga, jatuh ke tangan keluarga. Jadi dasarnya adalah harta keluarga sedapat-dapatnya tetap berada dalam keluarga. Secara tidak langsung, bagian mutlak atau legitime portie mempunyai fungsi pemerataan di antara anakanak sebagai ahli waris. Hal ini berarti dengan adanya bagian mutlak atau legitime portie tidak mungkin ada pewarisan mayorat, di mana anak yang satu memperoleh seluruh warisan dan yang lain sama sekali tidak menerima apaapa. 191 Ditinjau dari calon penerima warisan, maka tujuan bagian mutlak atau legitime portie adalah untuk melindungi kepentingan ahli waris tertentu dengan mewujudkan keadilan di antara mereka. Hal ini dapat disimpulkan dari pengaturan dalam Pasal 920 KUHPerdata yang berbunyi : Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat yang mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak dalam sesuatu warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan, bilaman warisan itu jatuh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para ahli waris mutlak dan ahli waris atau pengganti mereka. 189 J. Satrio, Op.cit., hal Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter, (Yogyakarta : Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1984), hal J. Satrio, Op.cit., hal. 244.

9 77 Namun demikian, para ahli waris mutlak tidak diperbolehkan menikmati sedikit pun dari sesuatu pengurangan atas kerugian para berpiutang si meninggal. 192 Ketentuan Pasal 913 KUHPerdata mengenai bagian mutlak atau legitime portie bersifat hukum pemaksa, tetapi perlu ditegaskan bahwa hal ini bukan demi kepentingan umum. Ketentuan tersebut ada mempertegas bahwa fungsi bagian mutlak atau legitime porite adalah demi kepentingan ahli waris tertentu dan bukan kepentingan umum. Oleh karena itu, ahli waris tertentu tersebut dapat saja membiarkan haknya dilanggar serta pelaksanaan hibah dan hibah wasiat tetap dijalankan saja. 3. Ahli Waris yang Berhak Atas Legitime Portie dan Bagiannya KUHPerdata tidak memperlakukan semua ahli waris ab-intestato secara sama, melainkan terdapat sebagian daripadanya yang oleh KUHPerdata diberikan jaminan hak atas bagian tertentu (legitime portie) dari bagian warisan. Terkait dengan kebebasan pewaris dalam membagikan hartanya, hak yang diberi oleh KUHPerdata terkait bagian mutlak atau legitime portie sering dilanggar, dengan adanya tindakan-tindakan pewaris yang memboroskan hartanya, baik melalui tindakan yang pelaksanaannya selagi hidup atau pada saat kematiannya. Ahli waris yang diberikan hak oleh KUHPerdata atas bagian tertentu (legitime portie) dinamakan ahli waris mutlak atau legitimaris. 192 Pasal 920 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

10 78 Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ahli waris mutlak atau legitimaris yaitu sebagai berikut : a. Orang yang bukan legitimaris dapat dikesampingkan dengan wasiat; b. Bagian mutlak harus selalu dituntut. Apabila tidak dituntut tidak diperoleh bagian mutlak atau legitime portie itu. Jadi, kalau ada tiga legitimaris dan yang menuntut hanya satu, maka yang menuntut itu saja yang dapat, sedangkan yang dua lagi (yang tidak menuntut) tidak dapat; c. Seorang legitimaris berhak menuntut atau melepaskan bagian mutlak atau legitime portie-nya tanpa bersama-sama dengan ahli waris legitimaris lainnya; d. Penuntutan atas bagian mutlak atau legitime portie baru dapat dilakukan terhadap hibah atau hibah wasiat yang mengakibatkan berkuranhnya bagian mutlak atau legitime portie dalam suatu harta peninggalan setelah warisan terbuka; e. Penuntutan itu dapat dilakukan terhadap segala macam pemberian yang telah dilakukan oleh si pewaris, baik berupa erfstelling (pengangkatan sebagai ahli waris), hibah wasiat atau terhadap segala pemberian yang dilakukan oleh pewaris sewaktu si pewaris masih hidup (hibah); f. Apabila si pewaris mengangkat seorang ahli waris dengan wasiat untuk seluruh harta peninggalannya, maka bagian ahli waris yang tidak menuntut itu menjadi bagian ahli waris menurut wasiat itu; g. Orang yang dinyatakan tidak patut mewaris atau menolak warisan, akan kehilangan bagian mutlak atau legitime portie; h. Ahli waris yang dikesampingkan sebagai ahli waris oleh si pewaris atau onterfd, tetap berhak atas bagian mutlak atau legitime portienya. Ketentuan bagian mutlak atau legitime portie diadakan oleh KUHPerdata untuk melindungi ahli waris legitimaris, agar mereka tidak dirugikan oleh tindakan sewenang-wenang si pewaris; dan i. Menurut Pasal 902 KUHPerdata, kepada suami atau istri kedua atau selanjutnya tidak boleh dengan surat wasiat diberi hibah hak milik atau sejumlah barang yang lebih besar dibandingkan bagian anak sah dari perkawinan pertama. Maksimum adalah ¼ (seperempat) dari harta peninggalan seluruhnya. 193 Ahli waris yang dapat menuntut bagian mutlak atau legitime portie atau legitimaris (Pasal 913 KUHPerdata) harus memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu : 193 Effendi Perangin, Op.cit., hal. 84.

11 79 a. Mereka harus ahli waris dalam garis lurus. Garis lurus tersebut berarti keluarga dalam garis lurus ke atas (ascendent) atau keluarga dalam garis lurus ke bawah (decendent). Jadi, dapat diketahui bahwa legitime portie hanya diberikan kepada ascendent dan decendent pewaris; b. Mereka harus benar-benar terpanggil untuk mewaris berdasarkan Undang-undang, pada saat matinya pewaris (ahli waris ab-intestato); dan 194 c. Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan wasiat pewaris, merupakan ahli waris secara ab-intestato. 195 Dari syarat di atas, dapat disimpulkan bahwa bagian mutlak atau legitime portie hanya diperuntukkan bagi ahli waris garis lurus ke atas yakni orang tua dan semua leluhurnya, serta ahli waris garis lurus ke bawah yakni anak-anak dan keturunannya serta anak luar kawin yang diakui secara sah. Dalam hal ini, istri atau suami, saudara-saudara (paman atau bibi) tidak berhak atas bagian mutlak atau legitime portie. 196 Istri atau suami yang hidup lebih lama tidak termasuk dalam kelompok ahli waris yang bagian mutlak atau legitime portie sekalipun berdasarkan Pasal 852 a KUHPerdata, hak waris istri atau suami yang hidup lebih lama dipersamakan dengan seorang anak. Ketentuan tersebut adalah mengenai pewarisan karena kematian (abintestato), sehingga tidak berlaku bagi pewarisan berdasarkan wasiat atau testamen. 197 Dengan melihat pada syarat kedua, maka harus diingat asas yang mengatakan bahwa golongan ahli waris yang lebih dekat menutup golongan ahli waris yang lebih jauh dan dalam tiap-tiap golongan, ahli waris yang lebih 194 J. Satrio, Op.cit., hal Komar Andhasasmita, Op.cit., hal Ali Afandi, Op.cit., hal J. Satrio, Loc.cit.

12 80 dekat menutup yang lebih jauh. Namun mengingat bagian mutlak atau legitime portie tidak berlaku untuk semua golongan ahli waris, maka dekatnya hubungan perderajatan dengan si pewaris, bukanlah faktor yang menjamin bahwa seseorang mempunyai hak atas bagian mutlak atau legitime portie. Tidak tertutup kemungkinan bahwa orang yang hubungan perderajatannya dengan si pewaris lebih jauh malah mempunyai bagian mutlak atau legtime portie, sedangkan yang lebih dekat tidak. 198 Misalnya, pewaris yang meninggal dunia meninggalkan saudara dan kakek buyut, maka ahli waris yang mempunyai hak atas bagian mutlak atau legitime portie adalah kakek buyut bukan saudara-saudara, meskipun saudara derajatnya lebih dekat dengan pewaris daripada kakek buyut. Besarnya bagian mutlak atau legitime portie bagi legitimaris dalam garis lurus ke bawah diatur dalam Pasal 914 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut : Dalam garis lurus ke bawah, apabila si yang mewariskan hanya meninggalkan anak yang sah satu-satunya saja, maka terdirilah bagian mutlak itu atas setengah dari harta peninggalan, yang mana oleh si anak itu dalam pewarisan sedianya harus diperolehnya. Apabila dua orang anak yang ditinggalkannya, maka bagian mutlak itu adalah masing-masing dua per tiga dari apa yang sedianya harus diwariskan oleh mereka masing-masing dalam pewarisan. Tiga orang atau lebih pun anak yang ditinggalkannya, maka tiga per empatlah bagian mutlak itu dari apa yang sedianya masing-masing mereka harus mewarisnya, dalam pewarisan. Dalam sebutan anak, termasuk juga di dalamnya sekalian keturunannya dalam derajat keberapapun juga, akan tetapi mereka terakhir ini hanya dihitung sebagai pengganti si anak yang mereka wakili dalam warisanwarisan si mewariskannya Ibid. 199 Pasal 914 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

13 81 uraian berikut : Untuk lebih jelasnya, isi Pasal 914 KUHPerdata dapat dilihat dalam a. Jika hanya ada seorang anak sah, maka jumlah bagian mutlak atau legitime portie adalah ½ (setengah) dari bagian yang sebenarnya yang akan diperoleh sebagai ahli waris menurut Undang-undang; b. Jika ada dua orang anak sah, maka jumlah bagian mutlak atau legitime portie adalah 2/3 (dua per tiga) dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh sebagai ahli waris menurut Undang-undang; c. Jika ada tiga orang anak sah atau lebih, maka jumlah bagian mutlak atau legitime portie adalah ¾ (tiga per empat) dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh ahli waris menurut Undang-undang; dan d. Jika si anak sebagai ahli waris menurut Undang-undang meninggal dunia lebih dahulu, maka hak bagian mutlak atau legitime portie beralih kepada sekalian anak-anaknya bersama-sama sebagai penggantian. 200 Selanjutnya, pada Pasal 915 KUHPerdata diatur mengenai besarnya bagian mutlak atau legitime portie bagi legitimaris dalam garis lurus ke atas yang berbunyi sebagai berikut Dalam garis lurus ke atas, bagian mutlak itu adalah selamanya setengah dari apa yang menurut Undang-undang menjadi bagian tiap-tiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena kematian. 201 Artinya pasal tersebut bahwa garis lurus ke atas adalah orang tua atau nenek atau seterusnya ke atas sehingga jumlah bagian mutlak atau legitime portie adalah ½ (setengah) dari bagiannya sebagai ahli waris menurut Undangundang. Sebagai salah satu legitimaris, besarnya bagian mutlak atau legitime portie anak luar kawin diatur dalam Pasal 916 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut Bagian mutlak seseorang anak luar kawin yang telah diakui 200 Maman Suparman, Op.cit., hal Pasal 915 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

14 82 dengan sah adalah setengah dari apa yang menurut Undang-undang menjadi bagian tiap-tiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena kematian. 202 Jadi, dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa bagian anak luar kawin yang diakui sah, jumlah bagian mutlak atau legitime portie-nya adalah ½ (setengah) dari bagiannya sebagai ahli waris menurut Undang-undang, baik ada atau tidak ada anak sah dari si pewaris. Terkadang, muncul keadaan di mana pewaris sama sekali tidak memiliki ahli waris mutlak atau legitimaris, maka pewaris di sini dapat memberikan seluruh harta peninggalannya kepada orang lain dengan hibah semasa hidup atau hibah wasiat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 917 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut Dalam hal tak adanya keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, pun tak adanya anak-anak luar kawin yang diakui dengan sah, hibah-hibah antara yang masih hidup atau dengan surat wasiat, boleh meliputi segenap harta peninggalan. 203 Dengan tidak adanya ahli waris mutlak atau legitimaris, maka secara otomatis tidak ada pelanggaran bagian mutlak atau legitime portie yang dilakukan oleh pewaris. Hal tersebut memberikan kepada pewaris kesempatan untuk secara bebas mengatur pembagian seluruh hartanya sendiri. Dalam kondisi ahli waris mutlak atau legitimaris sama sekali tidak menuntut, maka pelaksanaan hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie yang meliputi seluruh harta peningga lan tetap dapat dijalankan dan berlaku. 202 Pasal 916 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 203 Pasal 917 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

15 83 Mengenai kasus seorang ahli waris yang menolak warisan (onwaardigheid) terkait dengan perhitungan bagian mutlak atau legitime portie, maka penyelesaiannya secara konsekuensi seharusnya tidak turut dihitung menentukan pecahan bagian mutlak atau legitime portie. 204 Hal ini sesuai dengan isi Pasal 1058 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut Si waris yang menolak warisannya dianggap tidak pernah telah menjadi waris. 205 Apabila legitimaris menerima pelanggaran atas hak mutlak atau legitime portie-nya, maka ia tetap tidak kehilangan kedudukannya sebagai ahli waris. Kedudukannya sebagai ahli waris hanyalah dapat hilang dengan cara seperti diatur dalam Pasal 1057 KUHPerdata yang berbunyi Menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu. 206 C. Akibat Hukum Adanya Hibah dan Hibah Wasiat yang Melanggar Bagian Mutlak Atau Legitime Portie Dalam hukum waris menurut KUHPerdata, berlaku asas kebebasan berwasiat (testeervrijheid). Dengan asas ini, seseorang bebas menentukan kepada siapakah harta kekayaannya jatuh baik selama ia masih hidup (hibah) atau pada saat ia meninggal dunia (hibah wasiat). Tindakan penghibahan atau penghibahwasiatan yang dilakukan seseorang atau pewaris harus memenuhi batasan bagian mutlak atau legitime portie sehingga bagian ahli waris mutlak atau 204 J. Satrio, Op.cit., hal Pasal 1058 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 206 Pasal 1057 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

16 84 legitimaris tidak terlanggar. Oleh karena itu, hibah dan hibah wasiat yang mungkin dilakukan tersebut dapat dibagi dua macam yakni hibah dan hibah wasiat yang tidak melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris serta hibah dan hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris. Untuk hibah dan hibah wasiat yang tidak melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris tentu saja tidak ada masalah dan dapat dilaksanakan sepenuhnya. Namun sebaliknya untuk hibah dan hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris, akan menimbulkan suatu permasalahan dalam pelaksanaannya. Bagi ahli waris mutlak atau legitimaris yang bagian mutlak atau legitime portie-nya terlanggar, terbuka dua kemungkinan untuk ditempuh. Kemungkinan pertama ialah menerima kenyataan itu tanpa mengajukan keberatan (zich berusten). Artinya, ia tidak mengadakan suatu usaha atau tindakan agar bagian mutlak atau legitime portie-nya dipenuhi sehingga ia bermaksud merelakan bagian mutlak atau legitime portie-nya yang terlanggar. 207 Alasan ahli waris mutlak atau legitimaris bersikap seperti ternyata dalam kemungkinan pertama bisa bermacam-macam. Mulai dari adanya rasa enggan menimbulkan suasana ribut di antara sesama keluarga dengan mengajukan tuntutan. Selanjutnya, mungkin juga hal tersebut terjadi karena adanya keinginan untuk tunduk dan menaruh hormat sepenuhnya pada apa yang sudah ditetapkan oleh pewaris melalui surat wasiatnya dan melalui perbuatan-perbuatan hibah 207 M.U. Sembiring, Op.cit., hal. 80.

17 85 yang telah dilakukannya selagi hidup. Tindakan menuntut bagian mutlak atau legitime portie berarti melawan kehendak pewaris, hal mana dianggap tidak etis dan menunjukkan tipisnya sikap hormat kepada pewaris. Alasan lain yang lebih positif mungkin juga terjadi yakni keinginan untuk menguntungkan orang lain sesama ahli waris. 208 Sikap berdiam diri (zich berusten) ahli waris mutlak atau legitimaris tidak dilarang oleh Undang-undang karena dikenal prinsip hak adalah hak, jadi terserah ahli waris mutlak atau legitimaris apakah ia mau mempergunakan atau tidak mempergunakan haknya. Kemungkinan kedua yang dapat ditempuh oleh ahli waris mutlak atau legitimaris yang terlanggar bagian mutlak atau legitime portie adalah mengajukan perlawanan (gugatan) dengan meminta kepada sesama ahli waris dan penerima hibah agar bagian mutlak atau legitime portie-nya dipenuhi. 209 Dengan adanya gugatan dari para ahli waris mutlak atau legitimaris, maka pada prinsipnya tuntutan bagian mutlak atau legitime portie harus dipenuhi, kalau perlu dengan memotong hibah atau hibah wasiat. Pemenuhan bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan berapa besarnya bagian mutlak atau legitime portie yang dimaksud. Berdasarkan Pasal 921 KUHPerdata, besarnya bagian mutlak atau legitime portie dihitung dengan cara yaitu sebagai berikut: 1. Menghitung semua hibah yang telah diberikan oleh pewaris semasa hidupnya, termasuk hibah yang diberikan kepada salah seorang atau para ahli waris mutlak atau legitimaris; 208 Ibid. 209 Ibid., hal. 81.

18 86 2. Jumlah tersebut ditambahkan dengan aktiva warisan yang ada; 3. Kemudian, dikurangi utang-utang pewaris; dan 4. Dari hasil penjumlahan dan pengurangan di atas, kemudian dihitung besarnya bagian mutlak atau legitime portie dari ahli waris mutlak atau legitimaris yang menuntut bagiannya. Besarnya bagian mutlak atau legitime portie yang didapat tersebut adalah jumlah yang benar-benar diterima ahli waris mutlak atau legitimaris yang bersangkutan. 210 Dari ketentuan di atas, terkait dengan hibah dan hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris, maka bagian yang diterima oleh penerima hibah dan hibah wasiat dapat dikurangi untuk memenuhi bagian mutlak atau legitime portie yang terlanggar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penerima hibah mempunyai kewajiban untuk mengembalikan harta yang telah dihibahkan kepadanya ke dalam harta warisan guna memenuhi bagian mutlak atau legitime porie ahli waris mutlak atau legitimaris, dengan memperhatikan Pasal 1086 KUHPerdata, tentang hibah-hibah yang wajib inbreng (pemasukan). 211 Inbreng merupakan suatu istilah dalam hukum perdata yang berasal dari bahasa Belanda, yang artinya hibah yang wajib diperhitungkan. 212 Para ahli hukum memberikan beragam definisi terkait inbreng atau pemasukan,yaitu sebagai berikut : 1. Menurut J.D. Vegeens dan J. Oppenheim, inbreng adalah pengembalian akan apa yang telah diterima oleh seorang ahli waris dari pewarisnya, sebagai hibah atau hibah wasiat ke dalam boedel, baik dalam wujudnya (in natura), baik hanya nilainya atau dengan cara memperhitungkannya Maman Suparman, Op.cit., hal Anisitius Amanat, Op.cit., hal Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang : Aneka Ilmu, 1977), hal J. Satrio, Op.cit., hal. 348.

19 87 2. Menurut Pitlo, inbreng adalah memperhitungkan apa yang diterima oleh seorang ahli waris dari penghibahnya Menurut Oemar Salim, inbreng berasal dari bahasa Belanda yang berarti memperhitungkan pemberian benda-benda yang dilaksanakan oleh orang yang meninggalkan harta warisan, pada waktu ia masih hidup, terhadap para ahli warisnya Menurut Wirjono Prodjodikoro, inbreng berasal dari bahasa Belanda yang berarti memperhitungkan pemberian barang-barang yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan warisan pada waktu ia masih hidup kepada para ahli waris Menurut Soerojo Wongsowidjojo, inbreng adalah semua hibah yang pernah diberikan oleh pewaris kepada para ahli waris dalam garis lurus ke bawah (anak cucu, dan seterusnya) kecuali pewaris secara tegas membebaskan mereka dari pemasukan. Hal ini seakan-akan merupakan persekot (uang muka) atas bagian para ahli waris dalam harta peninggalan pewaris. 217 KUHPerdata sendiri tidak merumuskan secara konkrit tentang apa yang dimaksudkan dengan inbreng atau pemasukan, tetapi hanya mengaturnya dalam beberapa pasal yakni Pasal 1086 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1099 KUHPerdata. Dari ciri-ciri yang ada dalam ketentuannya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan inbreng adalah memperhitungkan kembali hibahhibah yang diberikan oleh pewaris kepada ahli warisnya, ke dalam warisan, agar pembagian waris di antara para ahli waris menjadi lebih merata. 218 Adapun fungsi inbreng yaitu untuk menjamin tercapainya keadilan dan kesamaan di antara anakanak dalam menerima bagian dari segala pemindahan harta kekayaan orang tuanya, baik pemindahan sewaktu hidup yaitu hibah atau pemindahan setelah mati dengan cara pembagian warisan, terutama yang berkaitan dengan bagian mutlak atau legitime portie yaitu bagian yang harus diterima sehingga setiap anak 214 Ibid. 215 Oemarsalim, Op.cit., hal, Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hal Maman Suparman, Op.cit., hal J. Satrio, Op.cit., hal. 348.

20 88 mendapatkan bagiannya masing-masing. 219 Oleh karena itu, dapat disimpulkan secara singkat bahwa ketentuan inbreng adalah untuk melindungi hak legitimaris. 220 berbunyi : Yang terkena kewajiban inbreng menurut Pasal 1086 KUHPerdata yang Dengan tidak mengurangi kewajiban sekalian ahli waris untuk membayar kepada kawan-kawan waris mereka atau memperhitungkan kepada kawan-kawan waris mereka atau memperhitungkan dengan mereka ini segala utang mereka kepada harta peninggalan, maka segala hibah yang diperoleh dari si yang mewariskan di akla hidupnya orang ini, harus dimasukkan : 1. Oleh para waris dalam garis turun ke bawah, baik sah maupun luar kawin, baik mereka itu telah menerima warisannya secara murni maupun dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran, baik mereka itu hanya memperoleh bagian mutlak mereka maupun mereka telah memperoleh lebih dari itu, kecuali apabila pemberian-pemberian itu telah dilakukan dengan pembebasan secara jelas dari pemasukan, ataupun apabila para penerima itu di dalam suatu akta otentik, atau dalam suatu wasiat telah dibebaskan dari kewajibannya untuk memasukkan; 2. Oleh semua waris lainnya, baik waris karena kematian maupun wasiat, namun hanyalah dalam hal si yang mewariskan maupun si penghibah dengan tegas telah memerintahkan atau memperjanjikan dilakukannya pemasukan. 221 Dari pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa yang harus inbreng adalah para ahli waris dalam garis lurus ke bawah baik sah maupun di luar perkawinan, termasuk juga penggantinya kecuali dengan tegas dibebaskan dari pemasukan serta para ahli waris lainnya (pihak lain juga), baik ab-intestato atau testamentair apabila kepada mereka diharuskan secara tegas melakukan pemasukan. 222 Pewaris dalam hal ini harus bebas untuk menentukan apakah penerima hibah diharuskan 219 Ahmad Budinta Rangkuti, Pembatalan Hibah dan Akibat Hukumnya Terhadap Sertifikat Hasil Peralihan Hak, hal , ( diakses tanggal 5 April Effendi Perangin, Op.cit., hal Pasal 1086 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 222 Maman Suparman, Loc.cit.

21 89 memasukkan yang telah diterimanya atau tidak, demikian juga dengan tidak mengurangi apa yang ditentukan dalam Pasal 921 KUHPerdata. 223 Menurut Pasal 1087 KUHPerdata, bagi ahli waris yang menolak warisan tidak diwajibkan memasukkan apa yang telah diterimanya sebagai hibah, kecuali untuk menutup kekurangan bagian mutlak atau legitime portie. 224 Selanjutnya, dalam Pasal 1088 KUHPerdata diatur bahwa untuk menutup bagian mutlak atau legitime portie, jumlah yang harus dimasukkan tidak boleh lebih dari bagian mutlaknya sendiri. 225 Jika seorang kakek (nenek) melakukan pemberian kepada cucunya, maka jika ia meninggal, orang tua dari cucu itu tidak perlu memperhitungkan pemberian itu (Pasal 1089 KUHPerdata). Demikian juga terhadap orang tua tersebut juga tidak perlu memperhitungkan bagian yang jatuh kepada anaknya, jika anak tersebut menjadi ahli waris si kakek (dengan cara pengangkatan ahli waris dengan wasiat). Sebaliknya jika seorang anak tampil ke muka sebagai pengganti dari orang tuanya, maka anak itu harus memperhitungkan segala pemberian yang telah dilakukan kepada orang tuanya meskipun anak itu telah menolak warisan dari orang tua itu sendiri. 226 Apabila penghibahan dilaksanakan oleh bapaknya atau ibunya sendiri, maka penghibahan itu mesti diperhitungkan. Lain halnya jika penghibahan dilaksanakan oleh mertuanya, maka barang itu tidak perlu diperhitungkan. Apabila penghibahan dilakukan kepada suami istri, maka penghibahan itu harus diperhitungkan sebagian saja. Dalam Pasal 1091 KUHPerdata, ditegaskan bahwa 223 H.M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal Pasal 1087 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 225 Pasal 1088 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 226 Ali Afandi, Op.cit., hal. 77.

22 90 perhitungan inbreng hanya dilaksanakan untuk keperluan ahli waris lain, tidak untuk keperluan legataris atau para kreditur dari orang yang meninggalkan harta warisan. 227 Menurut Pasal 1096 KUHPerdata, selain hibah-hibah yang harus diperhitungkan, ada beberapa hal yang juga harus diperhitungkan dalam inbreng yaitu sebagai berikut : 1. Segala ongkos untuk memberi suatu kedudukan pekerjaan, atau perusahaan kepada seorang ahli waris; 2. Pembayaran utang-utang dari ahli waris; dan 3. Segala sesuatu yang diberikan kepada seorang ahli waris sebagai bekal hidup setelah ia kawin. 228 Sebaliknya, dalam Pasal 1097 KUHPerdata dikatakan apa yang tidak perlu diperhitungkan dalam inbreng yaitu sebagai berikut : 1. Biaya untuk nafkah dan pendidikan si ahli waris; 2. Biaya untuk belajar guna perdagangan, kerajinan tangan, dan perusahaan; 3. Biaya untuk menuntut ilmu atau pengajaran; 4. Biaya pada saat nikah dan untuk pakaian yang perlu untuk hidup setelah nikah (huwelijks ultzet); dan 5. Biaya untuk membayar orang yang menggantikan si ahli waris sebagai pewajib dalam pertahanan negara. 229 Inbreng dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu sebagai berikut : 1. Inbreng dalam wujud (in natura) ialah menyerahkan barang-barang hibah seperti wujudnya semula; 2. Inbreng dengan uang tunai ialah menyerahkan nilai barang dalam uang ke dalam harta peninggalan; 3. Inbreng dengan cara perhitungan, yaitu memperhitungkan apa yang telah diterima sebagai hibah dengan bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang bersangkutan, misalnya apabila bagian A dalam warisan adalah Rp ,- (lima juta Rupiah) dan ia telah menerima hibah rumah tinggal seharga Rp ,- (empat juta Rupiah), maka ia 227 Oemarsalim, Op.cit., hal Maman Suparman, Op.cit., hal Ibid.

23 91 tinggal menerima Rp ,- (satu juta Rupiah) jika rumah itu diperhitungkan sebagai bagiannya. 230 Cara-cara yang dapat dipilih di atas tergantung pada siapa yang harus inbreng. Selain itu, juga dengan melihat keadaan, misalnya hibah tadinya adalah tanah dan di atasnya telah dibangun rumah, maka wajarlah bila dipilih cara perhitungan. 231 Sehubungan dengan cara melakukan inbreng, perlu diperhatikan beberapa pasal yakni sebagai berikut : 1. Menurut Pasal 1093 KUHPerdata yang menyatakan : Benda tak bergerak boleh dimasukkan dengan cara mengembalikan dalam wujudnya pada saat diterima maupun dengan diperhitungkan harganya menurut harga pada saat diberikan. Kalau dipilih cara pengembalian dalam wujud semula maka si penerima hibah bertanggung jawab atas kemunduran nilai benda itu, apabila kemunduran itu karena salahnya serta si penerima hibah harus membersihkan beban-beban (misalnya sewa, hipotik) atas benda itu. Dalam hal yang sama, penerima hibah juga harus memberikan penggantian segala biaya yang perlu dikeluarkan untuk menyelamatkan benda yang bersangkutan, termasuk biaya pemeliharaan Menurut Pasal 1094 KUHPerdata yang berbunyi : Pemasukkan uang tunai dilakukan atas pilihan si yang memasukkan, yaitu boleh membayar jumlah uang tersebut, atau menyuruh mengurangi bagian warisannya dengan jumlah tersebut Menurut Pasal 1095 KUHPerdata yang berbunyi : Pemasukkan benda-benda bergerak dilakukan atas pilihan si yang memasukkan ialah dengan mengembalikan harganya di kala pemberian dilakukan, atau dengan mengembalikan benda-benda tersebut dalam wujudnya. 234 Adapun akibat hukum yang timbul terkait hibah dan hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris adalah dapat dilakukan 230 Effendi Perangin, Op.cit., hal Ibid. 232 Pasal 1093 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 233 Pasal 1094 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 234 Pasal 1095 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

24 92 pemotongan (inkorting) terhadap hibah dan hibah wasiat tersebut. Dasar hukum dapat dilihat pada Pasal 920 KUHPerdata yang berbunyi : Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiatnya mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak (legitime portie) dalam warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan bilamana warisan itu jatuh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para ahli waris mutlak atau pengganti mereka. 235 Pemotongan atas hibah-hibah dilakukan secara berjenjang yakni dimulai dengan memotong hibah yang paling muda usianya. Kalau tidak cukup, barulah dipotong hibah yang usianya setingkat lebih tua, demikian seterusnya, jika perlu sampai pada hibah yang paling tua usianya. 236 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 924 KUHPerdata yang berbunyi : Segala hibah antara yang masih hidup sekali-kali tidak boleh dikurangi, melainkan apabila ternyata, bahwa segala barang-barang yang telah diwasiatkan tak cukup guna menjamin bagian mutlak dalam suatu warisan. Apabila kendati itu masih harus dilakukan pengurangan terhadap hibah-hibah antara yang masih hidup, maka pengurangan ini harus dilakukan mulai dari hibah yang terkemudian, lalu dari yang ini ke hibah yang lebih tua, dan demikian selanjutnya. 237 Menurut Soerojo Wongsowidjojo, pemotongan (inkorting) terjadi bila bagian mutlak atau legitime portie tersinggung, kejadian ini bertentangan dengan kemauan pewaris. Hal ini untuk melindungi hak-hak para ahli waris yang berhak atas bagian mutlak atau legitime portie. Undang-undang memberi wewenang kepada para legitimaris untuk menuntut, agar diadakan pemotongan terhadap 235 Pasal 920 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 236 M.U. Sembiring, Op.cit., hal Pasal 924 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

25 93 hibah-hibah dan hibah wasiat, yang menyinggung bagian mutlak atau legitime portie. 238 Pemotongan (inkorting) dapat dilaksanakan dengan mengacu pada Pasal 914 KUHPerdata sampai dengan Pasal 916 a KUHPerdata. Urutan-urutan dari pemotongan (volgorde der inkorting) adalah sebagai berikut : 1. Pemotongan dilakukan terhadap sisa harta peninggalan yang tidak ditegaskan oleh pewaris, yang tidak disebut dalam wasiat (perolehan secara ab-intestato) dengan mempergunakan asas perimbangan; 2. Apabila belum cukup, kekurangan dipotong dari perolehan secara testamentair,baik berupa hibah wasiat (legaat) maupun pengangkatan sebagai ahli waris (erfstelling). Pemotongan ini dilakukan dengan asas perimbangan; dan 3. Kalau pemotongan kesatu dan kedua belum mencukupi menutup bagian mutlak atau legitime portie, maka dilakukan pemotongan dari hibah-hibah yang telah dilakukan oleh pewaris pada waktu pewaris masih hidup. Pemotongan dilakukan bukan dengan asas perimbangan, melainkan berdasarkan jenjang usia hibah. Ini berarti pemotongan hibah dilakukan berurutan mulai dari hibah yang tanggalnya terdekat dengan pewaris pada waktu meninggalnya terus berlanjut sampai kekurangan legitime portie terpenuhi. 239 Adapun terkait pemberian harta oleh seseorang atau pewaris kepada pihak ketiga ada diatur pembatasannya dalam Pasal 916 a KUHPerdata. Oleh karena itu perlu diketahui lebih rinci isi Pasal 916 a KUHPerdata yakni berbunyi sebagai berikut : Dalam hal-hal, bilamana guna menentukan besarnya bagian mutlak harus diperhatikan adanya beberapa ahli waris, yang kendati menjadi ahli waris karena kematian, namun bukan ahli waris mutlak, maka apabila kepada orang-orang selain ahli waris tak mutlak tadi, baik dengan suatu perbuatan perdata antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat, telah dihibahkan barang-barang sedemikian banyak, sehingga melebihi jumlah yang mana, andaikata ahli waris tak mutlak tadi tidak ada, sedianya adalah jumlah terbesar yang diperbolehkan, dalam hal-hal demikian pun, haruslah hibah-hibah tadi mengalami pemotongan- 238 R.H. Soeroso Wongsowidjojo, Op.cit., hal Maman Suparman, Op.cit., hal. 160.

26 94 pemotongan yang demikian sehingga menjadi sama dengan jumlah yang diperbolehkan tadi, sedangkan tuntutan untuk itu haus dilancarkan oleh dan untuk kepentingan para ahli waris mutlak, beserta sekalian ahli waris dan pengganti mereka. 240 Batasan yang diatur dalam Pasal 916 a KUHPerdata tersebut di atas adalah bahwa pihak ketiga dikatakan tidak boleh menerima harta peninggalan yang melanggar atau menyinggung bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris. Pewaris hanya boleh memberikan harta peninggalannya dengan cara hibah, hibah wasiat, ataupun pengangkatan sebagai ahli waris dengan jumlah yang tidak melebihi besarnya bagian mutlak atau legitime portie. Apabila jumlah yang telah dihibahkan, dihibahwasiatkan kepada pihak ketiga melebihi besar bagian mutlak atau legitime portie, maka jumlah tersebut dapat dipotong (inkorting). Perlu diperhatikan bahwa menurut R. Soerojo Wongsowidjojo, untuk menerapkan Pasal 916 a KUHPerdata diperlukan adanya tiga golongan ahli waris, yakni ahli waris ab-intestato legitimaris, ahli waris ab-intestato bukan legitimaris, dan pihak ketiga. Hal ini berarti pasal 916 a KUHPerdata hanya relevan jika ketiga jenis ahli waris tersebut mewaris sekaligus. 241 Selanjutnya Pasal 921 KUHPerdata menentukan bahwa benda yang dihibahkan itu harganya ditaksir menurut keadaan benda itu ketika hibah terjadi, akan tetapi menurut harga pada saat kematian. Ketentuan ini memerlukan penjelasan lebih jauh terutama jika keadaan benda tersebut telah mengalami perubahan. Misalnya benda yang dihibahkan berupa satu hektar tanah belukar yang pada waktu dihibahkan berharga Rp ,-. Kemudian, pada saat 240 Pasal 916 a Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 241 Effendi Perangin, Op.cit., hal

27 95 kematian penghibah atau pewaris, tanah tersebut karena diolah dan dikerjakan oleh penerima hibah telah berubah menjadi tanah kebun buah-buahan yang berharga Rp ,- (empat puluh juta Rupiah). Taksiran harga tanah untuk menetapkan besarnya bagian mutlak atau legitime portie bukan Rp ,- (seratus ribu Rupiah) ataupun Rp ,- (empat puluh juta Rupiah), melainkan harga tanah harus ditaksir pada saat kematian sekiranya tanah itu belum berubah menjadi tanah kebun, tetapi masih tetap berupa tanah belukar. Hal ini berarti perubahan yang diadakan oleh penerima hibah tidak diperhatikan dalam melakukan penaksiran harga. Harga tanah ditaksir seakan-akan tanah belum mengalami perubahan. 242 Lain halnya jika perubahan status benda yang dihibahkan bukan karena aktivitas penerima hibah, melainkan karena faktor-faktor eksternal (luar) diri penerima hibah, maka harga benda yang dihibahkan mengikuti perubahan status benda tersebut. Misalnya suatu bidang tanah karena keputusan pemerintah dalam rangka perluasan kota telah dimasukkan dalam wilayah kotamadya dan statusnya telah berubah menjadi tanah tapak perumahan. Harga tanah melambung tinggi menjadi Rp ,- (tiga ratus juta Rupiah), padahal pada saat dihibahkan harga tanah tersebut hanya Rp ,- (tiga puluh juta Rupiah). Terkait dengan hal ini, patokan harga yang digunakan dalam menetapkan besarnya bagian mutlak atau legitime portie adalah harga tanah perumahan pada saat kematian yakni Rp ,- (tiga ratus juta Rupiah). Dasar pemikirannya karena 242 M.U. Sembiring, Op.cit., hal

28 96 sekiranya tanah itu tidak dihibahkan akan terjadi juga perubahan status sehingga tanah tersebut akan diwarisi sebagai tanah perumahan. 243 berikut : Pemotongan atau inkorting dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai 1. Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) disebut juga pemotongan tidak langsung. Pemotongan ini dilakukan dari bagian ahli waris yang tidak berhak atas bagian mutlak atau legitime portie dan pemotongan dari pemberian yang dilakukan dengan wasiat seperti hibah wasiat atau pengangkatan sebagai ahli waris. Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) dibagi dua yaitu : 244 a. Pemotongan dari bagian ahli waris yang tidak berhak atas bagian mutlak atau legitime portie; dan b. Hibah wasiat yang sudah dihitung tetapi belum diberikan, karena bagian mutlak atau legitime portie tersinggung, maka hibah wasiat itu dipotong dan jumlah potongan itu dipersamakan untuk menutup kekurangan bagian mutlak atau legitime portie. 2. Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting) Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting) adalah pemotongan yang sungguh-sungguh dilaksanakan, seperti pemotongan hibah yang telah diberikan dan telah diterima. Si penerima hibah tersebut harus mengembalikan suatu jumlah untuk menutup bagian mutlak atau legitime portie. 245 Dari kedua jenis pemotongan di atas, pemotongan terhadap hibah termasuk jenis pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting). Hal ini karena bendabenda yang dihibahkan telah diberikan atau dalam penguasaan penerima hibah pada waktu penghibah masih hidup, sedangkan penuntutan ahli waris mutlak atau legitimaris muncul pada saat penghibah meninggal dunia. Oleh karena itu, diperlukan pemotongan yang sungguh-sungguh dilaksanakan dengan pengembalian sejumlah tertentu untuk menutup bagian mutlak. 243 Ibid, hal Maman Suparman, Loc.cit. 245 Effendi Perangin, Op.cit., hal. 114.

PENERAPAN LEGITIME FORTIE (BAGIAN MUTLAK) DALAM PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KUH PERDATA. SULIH RUDITO / D

PENERAPAN LEGITIME FORTIE (BAGIAN MUTLAK) DALAM PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KUH PERDATA. SULIH RUDITO / D PENERAPAN LEGITIME FORTIE (BAGIAN MUTLAK) DALAM PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KUH PERDATA. SULIH RUDITO / D 101 09 645 ABSTRAK Hukum waris dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata termasuk dalam bidang hukum

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGHIBAHAN SELURUH HARTA WARISAN OLEH PEWARIS SEHINGGA MELANGGAR LEGITIME PORTIE

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGHIBAHAN SELURUH HARTA WARISAN OLEH PEWARIS SEHINGGA MELANGGAR LEGITIME PORTIE RIVERA WIJAYA 1 AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGHIBAHAN SELURUH HARTA WARISAN OLEH PEWARIS SEHINGGA MELANGGAR LEGITIME PORTIE AHLI WARIS DITINJAU DARI KUHPERDATA (STUDI PUTUSAN NOMOR 188/PDT.G/2013/PN.SMG) RIVERA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D

TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D 101 08 063 ABSTRAK Membuat wasiat (testament) adalah perbuatan hukum, seseorang menentukan tentang apa yang terjadi dengan harta kekayaannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, ketika seorang anggota dari

BAB I PENDAHULUAN. suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, ketika seorang anggota dari BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Warisan dapat diartikan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, ketika seorang anggota dari masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV. PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KUHPerdata

BAB IV. PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KUHPerdata BAB IV PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KUHPerdata A. Kewarisan dalam KUHPerdata Dalam KUHPerdata Hukum kewarisan diatur dalam Buku II KUHPerdata. Jumlah pasal yang mengatur hukum waris sebanyak

Lebih terperinci

HUKUM WARIS PERDATA BARAT

HUKUM WARIS PERDATA BARAT HUKUM WARIS PERDATA BARAT I. PENGERTIAN HUKUM WARIS Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan lain perkataan mengatur

Lebih terperinci

Waris Menurut BW Bab I Pendahuluan

Waris Menurut BW Bab I Pendahuluan Waris Menurut BW Bab I Pendahuluan Disusun Oleh: Dimas Candra Eka 135010100111036(02) Hariz Muhammad 135010101111182(06) Nyoman Kurniadi 135010107111063 (07) Edwin Setyadi K. 135010107111071(08) Dewangga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia ( naturlijk person) sebagai subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban sehingga dapat melakukan perbuatan hukum. Mempunyai atau menyandang hak dan kewajban

Lebih terperinci

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan 46 BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata Sebelum penulis membahas waris anak sumbang dalam KUH Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan yang mana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH Hukum Keluarga dan Waris HUKUM WARIS ISTILAH Didalam hukum waris dikenal istilah-istilah seperti pewaris, ahli waris, harta waris, boedel, testament, legaat, dan legitieme portie[1]. Yang dimaksud Pewaris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar, antara lain bersifat mengatur dan tidak ada unsur paksaan. Namun untuk

BAB I PENDAHULUAN. dasar, antara lain bersifat mengatur dan tidak ada unsur paksaan. Namun untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk dalam lapangan atau bidang hukum perdata. Semua cabang hukum yang termasuk dalam bidang

Lebih terperinci

BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA. Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek

BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA. Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA A. Hukum kewarisan perdata Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek yang sering disebut BW adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, BAB I PENDAHULUAN Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dengan adanya kelahiran maka berakibat pada timbulnya hak dan kewajban baik dari

Lebih terperinci

PEMBAGIAN HAK WARIS KEPADA AHLI WARIS AB INTESTATO DAN TESTAMENTAIR MENURUT HUKUM PERDATA BARAT (BW)

PEMBAGIAN HAK WARIS KEPADA AHLI WARIS AB INTESTATO DAN TESTAMENTAIR MENURUT HUKUM PERDATA BARAT (BW) PEMBAGIAN HAK WARIS KEPADA AHLI WARIS AB INTESTATO DAN TESTAMENTAIR MENURUT HUKUM PERDATA BARAT (BW) Oleh : Indah Sari, SH, M.Si 1 (Indah.alrif@gmail.com) ----------------------------------- Abstrak: Hukum

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA

TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA USWATUN HASANAH / D 101 10 062 Pembimbing: I. ABRAHAM KEKKA, S.H, M.H., II. MARINI CITRA DEWI, S.H, M.H., ABSTRAK Menurut pasal 832 KUH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB II PROSES PERALIHAN OBJEK WARISAN SECARA AB INTESTATO BILA DI TINJAU DARI HUKUM PERDATA

BAB II PROSES PERALIHAN OBJEK WARISAN SECARA AB INTESTATO BILA DI TINJAU DARI HUKUM PERDATA 25 BAB II PROSES PERALIHAN OBJEK WARISAN SECARA AB INTESTATO BILA DI TINJAU DARI HUKUM PERDATA A. Hukum Waris di Indonesia Hukum Waris merupakan salah satu bagian dari hukum Perdata secara keseluruhan

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018 PELAKSANAAN SURAT WASIAT BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DALAM PRAKTEK KENOTARIATAN 1 Oleh: Karini Rivayanti Medellu 2 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Telly Sumbu, SH, MH Meiske T. Sondakh, SH,

Lebih terperinci

Singh, selaku ahli waris Harminder Singh tanggal 14 Mei 2012.

Singh, selaku ahli waris Harminder Singh tanggal 14 Mei 2012. BAB II HAK AHLI WARIS TERHADAP HARTA ORANG TUA YANG TELAH DIHIBAHKAN DAN TELAH DIBALIK-NAMAKAN ATAS NAMA PENERIMA HIBAH A. Kasus Posisi Kasus pembatalan hibah wasiat bermula dari gugatan para ahli waris

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

BAB I TENJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS

BAB I TENJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS BAB I TENJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS A. PENGERTIAN HUKUM WARIS Pengertian waris timbul karena adanya peristiwa kematian. Peristiwa kematian ini, terjadi pada seseorang anggota keluarga, misalnya ayah,

Lebih terperinci

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1 A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata Anak dalam kandungan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) memiliki

Lebih terperinci

BAB III WASIAT PENGANGKATAN AHLI WARIS (ERSFTELLING) DALAM KUHPERDATA. yaitu segala hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perorangan.

BAB III WASIAT PENGANGKATAN AHLI WARIS (ERSFTELLING) DALAM KUHPERDATA. yaitu segala hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perorangan. BAB III WASIAT PENGANGKATAN AHLI WARIS (ERSFTELLING) DALAM KUHPERDATA A. Sekilas KUHPerdata Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil yaitu segala hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia dan

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses hidup manusia secara kodrati berakhir dengan suatu kematian yang merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia dan menimbulkan akibat hukum

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015 AHLI WARIS PENGGANTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 1 Oleh : Patricia Diana Pangow 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan seseorang sebagai

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HIBAH DAN HIBAH WASIAT DALAM PEWARISAN MENURUT KUHPERDATA. A. Ketentuan Umum Pewarisan Menurut KUHPerdata

BAB II PENGATURAN HIBAH DAN HIBAH WASIAT DALAM PEWARISAN MENURUT KUHPERDATA. A. Ketentuan Umum Pewarisan Menurut KUHPerdata BAB II PENGATURAN HIBAH DAN HIBAH WASIAT DALAM PEWARISAN MENURUT KUHPERDATA A. Ketentuan Umum Pewarisan Menurut KUHPerdata 1. Pengertian Hukum Waris Definisi hukum waris atau pewarisan sangat banyak ditemui

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dalam perjalanan hidupnya pasti akan mengalami peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah kejadian, keadaan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru

BAB I PENDAHULUAN. Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru dalam kehidupannya. Dalam arti sosiologis manusia menjadi pengemban hak dan kewajiban, selama manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk dalam lapangan atau bidang hukum perdata. Semua cabang hukum yang termasuk dalam bidang

Lebih terperinci

BAB III WASIAT DALAM KUH PERDATA. perbuatan pewaris pada masa hidupnya mengenai harta kekayaannya apabila

BAB III WASIAT DALAM KUH PERDATA. perbuatan pewaris pada masa hidupnya mengenai harta kekayaannya apabila BAB III WASIAT DALAM KUH PERDATA A. Pengertian Wasiat Sehubungan dengan pewaris, yang penting dipersoalkan ialah perbuatan pewaris pada masa hidupnya mengenai harta kekayaannya apabila ia meninggal dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang manusia yang lahir di dunia ini, memiliki hak dan kewajiban yang diberikan hukum kepadanya maupun kepada manusia-manusia lain disekitarnya dimulai kepadanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahkluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan

BAB I PENDAHULUAN. mahkluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai anggota dari masyarakat merupakan penyandang hak dan kewajiban. Menurut Aristoteles, seorang ahli fikir yunani kuno menyatakan dalam

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 3/Mei/2017. KEDUDUKAN AHLI WARIS DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 1 Oleh : Daniel Angkow 2

Lex et Societatis, Vol. V/No. 3/Mei/2017. KEDUDUKAN AHLI WARIS DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 1 Oleh : Daniel Angkow 2 KEDUDUKAN AHLI WARIS DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 1 Oleh : Daniel Angkow 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan ahli waris menurut KUH

Lebih terperinci

GUGATAN PEMOTONGAN (INKORTING) DALAM PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

GUGATAN PEMOTONGAN (INKORTING) DALAM PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA GUGATAN PEMOTONGAN (INKORTING) DALAM PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Dedy Pramono Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta Jalan Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB V. KOMPARASI PEMBAGIAN WARIS DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI, CLD KHI DAN KUHPerdata

BAB V. KOMPARASI PEMBAGIAN WARIS DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI, CLD KHI DAN KUHPerdata BAB V KOMPARASI PEMBAGIAN WARIS DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI, CLD KHI DAN KUHPerdata Dalam pembahasan bab ini merupakan ulasan mengenai titik singgung antara pembagian kewarisan dalam KHI, CLD KHI dan

Lebih terperinci

Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Perjanjian dan Waris

Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Perjanjian dan Waris Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Perjanjian dan Waris Pembicara : 1. Betric Banjarnahor (2012) : 2. Dian Prawiro Napitupulu (2013) Pemateri : 1. Tioneni Sigiro (2014). 2. Waristo Ritonga (2014) Moderator

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut Mr.A.Pitlo adalah rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana,

BAB I PENDAHULUAN. menurut Mr.A.Pitlo adalah rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia yang meninggal dunia maka hak dan kewajibannya demi hukum akan beralih kepada ahli warisnya. Hak dan kewajiban yang dapat beralih adalah hak dan kewajiban

Lebih terperinci

Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia.

Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia. Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia. Hukum orang merupakan suatu hukum yang mempelajari ketentuan mengenai orang sebagai subjek hukum. Dalam arti luas meliputi ketentuan-ketentuan mengenai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga

BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga Masyarakat di Indonesia telah menganut tiga hukum mengenai hibah, yaitu Hukum Adat,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Waris Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa

Lebih terperinci

BAB II STATUS HUKUM HARTA WARIS YANG DIPEROLEH BERDASAR PADA WASIAT / TESTAMEN. hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris.

BAB II STATUS HUKUM HARTA WARIS YANG DIPEROLEH BERDASAR PADA WASIAT / TESTAMEN. hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris. 20 BAB II STATUS HUKUM HARTA WARIS YANG DIPEROLEH BERDASAR PADA WASIAT / TESTAMEN A. Perolehan Harta Waris Menurut BW Pewarisan berdasarkan undang-undang adalah suatu bentuk pewarisan dimana hubungan darah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

Soal Latihan UAS 2014/2015 Asas-Asas Hukum Perdata

Soal Latihan UAS 2014/2015 Asas-Asas Hukum Perdata Soal Latihan UAS 2014/2015 Asas-Asas Hukum Perdata SOAL 1. Apa yang dimaksud dengan pewaris, ahli waris, hukum waris dan harta warisan? 2. Sebutkan aspek-aspek hukum lain selain aspek hukum benda yang

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN AKTA WASIAT YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANNYA OLEH AHLI WARIS DAN PENERIMA WASIAT BAGI GOLONGAN PENDUDUK PRIBUMI

BAB II KEDUDUKAN AKTA WASIAT YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANNYA OLEH AHLI WARIS DAN PENERIMA WASIAT BAGI GOLONGAN PENDUDUK PRIBUMI BAB II KEDUDUKAN AKTA WASIAT YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANNYA OLEH AHLI WARIS DAN PENERIMA WASIAT BAGI GOLONGAN PENDUDUK PRIBUMI C. Tinjauan Umum Mengenai Wasiat. 6. Pengertian Wasiat Wasiat atau testament

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sudah ada sejak dahulu yaitu hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

BAB I PENDAHULUAN. yang sudah ada sejak dahulu yaitu hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem Hukum Perdata di Indonesia khususnya hukum waris bersifat pluralisme (beraneka ragam). Belum adanya unifikasi dalam hukum waris di Indonesia yang merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial. Artinya setiap manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain, bahkan sejak manusia lahir, hidup dan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan penjelasan-penjelasan pada bab sebelumnya, maka. dapat disimpulkan bahwa:

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan penjelasan-penjelasan pada bab sebelumnya, maka. dapat disimpulkan bahwa: BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan-penjelasan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Hambatan dalam pelaksanaan peralihan hak berdasarkan hibah wasiat di Kota Yogyakarta

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG BAGIAN AHLI WARIS YANG MENOLAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA BW

TINJAUAN TENTANG BAGIAN AHLI WARIS YANG MENOLAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA BW 15 TINJAUAN TENTANG BAGIAN AHLI WARIS YANG MENOLAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA BW Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan Abstract Based on the constitution, basically everyone has

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pemberi Wasiat adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pemberi Wasiat adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pemberi Wasiat 1. Pemberi Wasiat Menurut KUHPerdata Pemberi Wasiat adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017 EKSISTENSI LEMBAGA HEREDITATIS PETITIO DALAM PENUNTUTAN HAK OLEH AHLI WARIS APABILA HARTA WARISAN MENJADI JAMINAN HUTANG OLEH PENGAMPU (CURATOR) 1 Oleh: Septian Ardianzah Nugroho 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya manusia tetap bergantung pada orang lain walaupun sampai

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya manusia tetap bergantung pada orang lain walaupun sampai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia selain sebagai individu juga sebagai makhluk sosial, dimana dalam memenuhi kebutuhannya manusia tetap bergantung pada orang lain walaupun sampai saat ia akan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN 31 BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN A. PENANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN Sesuai defenisinya, suatu Penanggungan adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh Ahmad Royani Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan Abstrak

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ATAS AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM WARIS

TINJAUAN YURIDIS ATAS AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM WARIS TINJAUAN YURIDIS ATAS AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM WARIS, SH.MH 1 Abstrak : Sistem Ahli Waris Pengganti menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjadi apabila seorang ahli waris terlebih dahulu

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata pengertian jual beli adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB II. A. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. kewajiban-kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia itu.

BAB II. A. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. kewajiban-kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia itu. 25 BAB II PENGATURAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH WARISAN YANG SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN MENURUT KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia saat ini masih terdapat beraneka sistem hukum

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia saat ini masih terdapat beraneka sistem hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia saat ini masih terdapat beraneka sistem hukum kewarisan yang berlaku bagi warga negara Indonesia. Negara Indonesia memberlakukan tiga macam hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu PERATURAN DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA 53 BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengertian Hutang Piutang Pengertian hutang menurut etimologi ialah uang yang dipinjam dari

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara)

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara) 0 TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI

BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI A. Kedudukan Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling) Pasal 841 KUH Perdata Dengan Pasal 185 KHI Hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam perjalanan hidupnya mengalami beberapa peristiwa yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan mempunyai akibat hukum.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa Bea Perolehan Hak Atas Tanah

Lebih terperinci

Pengantar Ilmu Hukum. Disampaikan oleh : Fully Handayani R, SH,M.Kn

Pengantar Ilmu Hukum. Disampaikan oleh : Fully Handayani R, SH,M.Kn Pengantar Ilmu Hukum Pengertian Pokok dalam Sistem Hukum Disampaikan oleh : Fully Handayani R, SH,M.Kn Subjek Hukum Adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2011 NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI TANGGAL : 3 JANUARI 2011 NOMOR : 1 TAHUN 2011 TENTANG : BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Sekretariat Daerah Kota

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM PEMBAGIAN WARISAN APABILA PADA AKHIRNYA DIKETAHUI ADANYA AKTA WASIAT.

BAB III AKIBAT HUKUM PEMBAGIAN WARISAN APABILA PADA AKHIRNYA DIKETAHUI ADANYA AKTA WASIAT. BAB III AKIBAT HUKUM PEMBAGIAN WARISAN APABILA PADA AKHIRNYA DIKETAHUI ADANYA AKTA WASIAT. C. Akibat Hukum Terhadap Pelaksanaan Akta Wasiat Yang Tidak Diketahui Hukum Waris menurut para sarjana pada dasarnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehidupan manusia di dalam perjalanan di dunia mengalami 3 peristiwa yang

I. PENDAHULUAN. Kehidupan manusia di dalam perjalanan di dunia mengalami 3 peristiwa yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia di dalam perjalanan di dunia mengalami 3 peristiwa yang penting yaitu pada waktu ia dilahirkan, waktu ia kawin, dan waktu ia meninggal dunia (Ali Afandi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI 2.1 Asas Subrogasi 2.1.1 Pengertian asas subrogasi Subrogasi ini terkandung dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang- Undang Hukum Dagang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

MAKALAH HUKUM WARIS HAK-HAK KHUSUS PARA AHLI WARIS. Dosen Pengampu : NURFAUZIAH, SH. MH

MAKALAH HUKUM WARIS HAK-HAK KHUSUS PARA AHLI WARIS. Dosen Pengampu : NURFAUZIAH, SH. MH MAKALAH HUKUM WARIS HAK-HAK KHUSUS PARA AHLI WARIS Dosen Pengampu : NURFAUZIAH, SH. MH Disusun Oleh : ZULKAFLI NIM. 1600874201008 RISKY AMELIA NIM. 1600874201050 FAROUK ASYROF FAHREZA NIM. 1600874201395

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA BAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan usaha-usaha yang dapat menghasilkan barang-barang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL Muchamad Arif Agung Nugroho Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang agungprogresif@gmail.com ABSTRAK Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK ANGKAT DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERDATA. A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata

BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK ANGKAT DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERDATA. A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata 19 BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK ANGKAT DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERDATA A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata Sejak diundangkannya Staatblad. 1917 Nomor 129 tanggal

Lebih terperinci

BAB II KARAKTERISTIK PINJAM PAKAI PADA PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK

BAB II KARAKTERISTIK PINJAM PAKAI PADA PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK BAB II KARAKTERISTIK PINJAM PAKAI PADA PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK 1. Karakteristik Klausul Pinjam Pakai dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik Perjanjian pinjam pakai merupakan salah satu perjanjian

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM KEPENTINGAN ANAK DI BAWAH UMUR TERHADAP HIBAH YANG MELANGGAR LEGITIEME PORTIE NITA NILAN SRY REZKI PULUNGAN ABSTRACT

PERLINDUNGAN HUKUM KEPENTINGAN ANAK DI BAWAH UMUR TERHADAP HIBAH YANG MELANGGAR LEGITIEME PORTIE NITA NILAN SRY REZKI PULUNGAN ABSTRACT Nita Nilan Sry Rezki Pulungan -1 PERLINDUNGAN HUKUM KEPENTINGAN ANAK DI BAWAH UMUR TERHADAP HIBAH YANG MELANGGAR LEGITIEME PORTIE NITA NILAN SRY REZKI PULUNGAN ABSTRACT In practice, the grant giver always

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 ANALISIS YURIDIS KEHILANGAN HAK MEWARIS MENURUT KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA 1 Oleh : Weidy V. M. Rorong 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah sistem pembagian

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. V/No. 6/Ags/2017. TINJAUAN HUKUM MENGENAI PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA 1 Oleh: Pratini Salamba 2

Lex Administratum, Vol. V/No. 6/Ags/2017. TINJAUAN HUKUM MENGENAI PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA 1 Oleh: Pratini Salamba 2 TINJAUAN HUKUM MENGENAI PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA 1 Oleh: Pratini Salamba 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penggolongan pembagian harta warisan

Lebih terperinci