BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

Presiden, DPR, dan BPK.

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

II. TINJAUAN PUSTAKA

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULUAN. Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam

BAB III PENUTUP. pada bab-bab sebelumnya maka dapat dijabarkan kesimpulan sebagai berikut:

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

I. PENDAHULUAN. manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen,

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1989), hal.1. Presindo, 1986), hal.1. Universitas Indonesia. Lembaga hakim..., Ervan Saropie, FHUI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah

9/6/2013 suwarnatha.webs.com

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1

KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA (Studi di Kejaksaan Negeri Medan) JURNAL ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyampingan Perkara(Seponering) 1. Pengertian Penyampingan Perkara (Seponering)

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

2. Pengawasan dan penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

ALASAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PEMBERHENTIAN SUATU PERKARA 1 Oleh: Intansangiang Permatasari Malagani 2

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses penyidikan penting untuk menentukan keberhasilan penuntutan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Lebih lanjut kegagalan dalam penyidikan dapat mengakibatkan kegagalan penuntut umum dalam proses penuntutan di pengadilan. Dengan demikian, hukum acara pidana harus merumuskan ketentuan mengenai koordinasi dan hubungan fungsional yang erat antara dua lembaga penegak hukum yang bertanggung jawab pada masalah ini yaitu penyidik dan penuntut umum. 1 Adanya keterpaduan pada dua lembaga tersebut membuat seyogyanya tidak dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sejarah hukum acara pidana di Indonesia, mencatat dari tanggal 17 Desember 1945 hingga 31 Desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam Het Herziene Inlands Reglement (HIR) atau diterjemahkan dengan Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB S.1941 No.44). 2 HIR berasal dari Inlands Reglement (IR) atau biasa disebut Reglemen Bumi Putra. 3 Selain HIR, peraturan mengenai hukum acara pidana yaitu Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der justitie (RO) yaitu peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Pengadilan. 4 Setelah 31 Desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur oleh Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Prinsip diferensiasi fungsional adalah penegasan pemberian tugas wewenang antara jajaran aparat penegak hukum antar instansi. KUHAP menganut asas diferensiasi fungsional yang terlihat dari pengaturan tiap jajaran instansi. Instansi-instansi tersebut 1 Topo Santoso., Studi Tentang Hubungan Polisi dan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3. 2 Ibid., hal 38. 3 H.Haris, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Terdapat Dalam HIR, (Badan Pembinaan Hukum Nasional:1978) hal.1. 4 Andi Hamzah (a), Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, (Sinar Grafika:2004) hal.48.

tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum. Penjernihan diferensiasi fungsi dan wewenang lebih ditekankan antara kepolisian dan kejaksaan. 5 Sebelum diberlakukan KUHAP, ada beberapa ketentuan yang mengatur mengenai kewenangan penyidikan. Ketentuan tersebut yaitu: 1. Pasal 38-45 HIR/RIB menegaskan kejaksaan mempunyai tugas bukan hanya melingkupi penuntutan melainkan meluas juga pada bidang penyidikan. 6 2. Pasal 12 Undang-Undang No.13 Tahun 1961 Tentang Pokok-Pokok Kepolisian menyatakan polisi sebagai penyidik. 7 3. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.15 Tahun 1961 secara implisit menyatakan kejaksaan sebagai penyidik. 8 Adanya lebih dari satu peraturan yang mengatur tentang fungsi kewenangan penyidikan membuat KUHAP memberi landasan diferensiasi fungsional dengan menegaskan dan memberi wewenang kepada : 1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. 9 2. Jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan oleh KUHAP. 10 Dalam sistem peradilan pidana, kejaksaan merupakan satu-satunya lembaga penuntut umum. Kecuali dalam tindak pidana ringan, Pasal 205 ayat (2) KUHAP, penuntut umum ialah penyidik atas kuasa penuntut umum. 11 5 Yahya Harahap (a), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:Penyidikan dan Penuntutan, (Sinar Grafika:2005) hal. 47. 6 R.Soesilo (a), RIB/HIR dengan penjelasan, (Politeia:1995) hal.20-30. 7 Indonesia, Pokok-Pokok Kepolisian, Undang-Undang No.13 Tahun 1961, ps.12. 8 Indonesia (a), Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961, ps.2 ayat (2). 9 Indonesia (b), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No.8 Tahun 1981, ps. 1 angka 1 jo. Pasal 6 ayat (1). 10 Ibid., ps.1 angka 6 a dan b jo. Ps. 13. 11 Ibid., ps.205 ayat (2).

Pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagai ketentuan peralihan dari periode HIR ke KUHAP, merupakan pengecualian dari asas diferensiasi fungsional yang dianut KUHAP karena mengatur kewenangan kejaksaan sebagai penyidik yaitu : Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan Undang-Undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. 12 Ketentuan ini dipandang bersifat sementara, namun kenyataannya sampai sekarang belum dicabut. Sehingga memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk menyidik tindak pidana khusus sesuai dengan ketentuan terdahulu sampai ada ketentuan khusus yang mengatur. 13 Sistem Peradilan Pidana Indonesia tidak terlepas dari KUHAP sebagai pedoman utama. Namun, keberlakuan Undang-Undang yang lebih khusus juga menjadi pedoman kepada penegak hukum untuk beracara dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Pengertian ketentuan khusus acara pidana dalam undang-undang tertentu adalah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang tindak pidana. Tindak pidana korupsi termasuk yang ketentuan acara pidananya diatur secara khusus pada Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 14 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 Tahun 1999 secara implisit memberikan kewenangan penyidikan kepada lembaga kejaksaan. Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 menyatakan bila terdapat petunjuk adanya 12 Penelitian ini tidak membahas penyidikan lebih lanjut, namun lebih menitik beratkan kepada penghentian penyidikan. 13 Yahya Harahap (a), Op. Cit., hal.363. 14 Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (PT Gramedia:2005) hal. 146.

korupsi maka hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Komisi Pemeriksaan disampaikan kepada instansi yang berwenang. 15 Penjelasan Pasal 18 ayat (3) menyatakan : 16 Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempertegas atau menegaskan perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pemeriksa selaku pemeriksa harta kekayaan Penyelenggara Negara dan Fungsi Kepolisian dan Kejaksaan Fungsi pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Pemeriksaan sebelum seseorang diangkat selaku Pejabat Negara bersifat pencatatan, sedangkan diangkat selaku Pejabat Negara adalah bersifat pendataan, sedangkan pemeriksaan yang dilakukan sesudah Pejabat Negara selesai menjalankan jabatannya bersifat evaluasi untuk menentukan ada atau tidaknya petunjuk tentang korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang dimaksud dengan instansi yang berwenang adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Berdasarkan ketentuan tersebut, Kejaksaan mempunyai wewenang dalam menyidik kasus korupsi. Mengenai kalimat instansi yang berwenang aparat kejaksaan agung bukan kapasitas sebagai penuntut umum, karena hasil pemeriksaan dari komisi pemeriksa statusnya hanya sebagai pencatatan, pendataan, dan evaluasi untuk mengetahui adanya petunjuk tindak pidana korupsi. Selain itu komisi pemeriksa bukan aparat penyidik. Oleh karena itu hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa yang diterima Kejaksaan Agung sebagai kapasitas penyidik. Kewenangan Kejaksaan untuk menyidik diuji keabsahannya oleh Ny. A Nuraini dan Subarda Midjaja sebagai warga Negara Indonesia melalui Mahkamah Konstitusi (MK). MK ialah lembaga yang berwenang untuk menguji materil (judicial review) Undang-Undang yang berlaku termasuk Undang-Undang Kejaksaan terhadap Undang- 15 Indonesia (c), Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999,ps. 18 ayat (3). 16 Ibid., penjelasan ps. 18 ayat (3).

Undang Dasar 1945. 17 Pengujian materil didasarkan apakah keberlakuan suatu Undangundang bertentangan dengan dasar konstitusional yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Ny. A Nuraini dan Subarda Midjaja mengajukan permohonan pengujian Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengenai kewenangan kejaksaan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Pada pertimbangan mahkamah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU- V/2007 menyatakan kalau kejaksaan juga berwenang melakukan penyidikan disamping kepolisian Negara RI. 18 Undang-undang yang mengatur tentang Kejaksaan Republik Indonesia keberlakuannya telah berubah sebanyak tiga kali. Yang pertama Undang-Undang No.15 Tahun 1961 mengatur kewenangan kejaksaan secara implisit untuk melakukan penyidikan segala tindak pidana. 19 Kemudian, Undang-undang tersebut dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1991. Alasannya karena sudah tidak selaras dengan pembaruan hukum nasional yaitu pemberlakuan KUHAP dan lebih mengkonsentrasikan perannya di bidang penuntutan. Undang-Undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2004. Undang-undang ini memberi wewenang penyidikan lagi pada instansi kejaksaan namun hanya tindak pidana khusus. 20 Tindak pidana khusus yaitu perkara pidana korupsi 21 dan hak asasi manusia. 22 Berdasarkan ketentuan Pasal 53 dan 54 Statuta Roma, penuntut umum mempunyai kewenangan untuk menyidik. 23 Statuta Roma atau Rome Statute of The 17 Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No.24 Tahun 2003, ps. 10 ayat (1) huruf a. 18 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan_sidang.php, diakses tanggal 1 Mei 2008. 19 Indonesia (a), Op.Cit., ps.2 ayat (1). 20 Indonesia (d), Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang No.16 Tahun 2004, ps. 30 ayat (1) huruf d. 21 Indonesia (b), Op.Cit., ps. 282 ayat (2) jo. Indonesia (d), Op.Cit., ps 30 ayat (1) jo. Indonesia (c), Op.Cit., ps 18 ayat (3). 22 Indonesia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No.26 Tahun 2000, ps. 21 Ayat (1) jo. Indonesia (d), Op.Cit., ps 30 ayat (1). 23 http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=lain+1&f=statuta%20roma.htm, diakses tanggal 27 Desember 2008

International Criminal Court adalah persetujuan yang disepakati tahun 1998 oleh United Nations Diplomats Conference of Plenipotentiaries on Establishment of an International Criminal Court untuk membentuk International Criminal Court (ICC) atau Pengadilan Pidana Internasional. ICC adalah pengadilan internasional yang permanen dan independen untuk melakukan penyidikan dan mengadili pelaku kejahatan internasional seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. 24 ICC sifatnya melengkapi keberadaan sistem peradilan nasional sebuah negara. ICC hanya akan memproses suatu perkara apabila suatu negara tidak mempunyai kemauan atau kemampuan untuk menyidik dan menuntut perkara tersebut. 25 Meskipun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, namun ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma telah diadopsi ke dalam hukum nasional. Antara lain dengan menyempurnakan hukum acara pidana yang merupakan hukum acara untuk perkara pelanggaran hak asasi manusia dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 26 Berdasarkan uraian tersebut, KUHAP menegaskan instansi kejaksaan berfungsi sebagai lembaga penuntut umum saja. Namun, pada pengaturan Undang- Undang yang lebih khusus instansi kejaksaan dapat berfungsi menjadi dua, yaitu sebagai penyidik dan penuntut umum. Kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang mengendalikan tugas dan wewenang kejaksaan. 27 Salah satu tugas dan wewenang Jaksa Agung dalam Pasal 5 ayat (1) huruf g Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1999 Tentang Perihal Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu : 2008 24 http://www.antara.co.id/arc/2008/5/1/meratifikasi-statuta-roma/,diakses tanggal 27 Desember 25 http://ucupneptune.blogspot.com/2008/01/international-criminal-court-icc.html, diakses tanggal 27 Desember 2008 2008 26 http://www.antara.co.id/arc/2008/5/1/meratifikasi-statuta-roma/, diakses tanggal 27 Desember 27 Indonesia (d), Op.Cit., ps. 18 ayat (1).

Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait meliputi penyelidikan dan penyidikan serta melaksanakan tugas-tugas yustisial lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan umum yang ditetapkan presiden. Berdasarkan ketentuan di atas, Jaksa Agung berhak mengkoordinasikan penanganan perkara korupsi. Konsekuensinya Jaksa Agung berhak menetapkan dan mengendalikan kebijakan hukum mengenai perkara korupsi yang sedang ditanganinya. Salah satu kebijakan hukum yang menjadi wewenang Jaksa Agung ialah penyampingan perkara. Penyampingan perkara didasarkan pada asas oportunitas. Asas oportunitas ialah asas yang melandaskan penuntut umum mempunyai kewenangan untuk tidak menuntut suatu perkara di muka sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Dengan kata lain perkaranya dikesampingkan walaupun cukup bukti dan bila diteruskan di persidangan kemungkinan besar terdakwa diputus bersalah. 28 Asas oportunitas merupakan diskresi penuntutan yang dimiliki institusi kejaksaan dalam hal ini pelaksanaanya ada pada Jaksa Agung. Menurut Soebekti 29 diskresi ialah kebijakan atas dasar pertimbangan keadilan semata-mata dengan tidak terikat dengan ketentuan unda Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sukoharjo diduga melakukan korupsi. Dalam perkara ini, ada hal yang menarik yang perlu diteliti. Jaksa Agung M.A Rachman memerintahkan untuk melakukan penghentian penyidikan dengan alasan demi kepentingan umum. Pasal 109 ayat (2) menyatakan : 30 Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. 28 Yahya Harahap (a), Op.cit., hal.436. 29 Soebekti, Kamus Hukum (Jakarta :1980) hal.40. 30 Indonesia (b), Op.cit., ps. 109 ayat (2).

Pada ketentuan diatas, Undang-undang secara expresif neubis menyebutkan alasan-alasan yang dipergunakan penyidik untuk menghentikan penyidikan. Kejaksaan sebagai penyidik dapat menggunakan alasan-alasan di atas untuk menghentikan penyidikan. Namun Jaksa Agung menggunakan wewenang oportunitas yang dimilikinya untuk menghentikan penyidikan. Penghentian penyidikan ini menimbulkan satu pandangan bahwa penghentian penyidikan dengan alasan demi kepentingan umum tidak masuk menjadi alasan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. KUHAP sendiri tidak mengatur secara tegas ketentuan penyampingan atau penghentian perkara demi kepentingan umum ini boleh digunakan ditahap yang mana. Apakah ketetapan penghentian perkara ini boleh digunakan pada tahap penyidikan atau tahap penuntutan. Pandangan ini timbul karena adanya diferensiasi dalam KUHAP antara instansi penyidik dan penuntut. Namun bagaimana bila dilihat dari sudut pandang asas dominus litis dan teori magistraat. Asas dominus litis dikaitkan dengan penuntutan ialah asas yang memberikan wewenang monopoli kepada badan penuntutan untuk melakukan penuntutan, sehingga tiada badan lain dapat melakukan penuntutan. Wewenang monopoli mengakibatkan penuntut umum berwenang melakukan tindakan apapun yang berkaitan dengan penuntutan termasuk penghentian penuntutan. 31 Asas dominus litis dianut oleh KUHAP yang dinyatakan dalam Pasal 137 KUHAP. Pasal 137 KUHAP menyatakan Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan tindak pidana. Magistraat ialah pejabat yang berperan penting dalam proses penyelesaian perkara pidana yaitu hakim dan penuntut umum. 32 Penuntut umum berwenang melimpahkan perkara ke sidang Pengadilan dan diharuskan membuktikan segala dakwaan yang telah ia buat didalam sidang pengadilan. Sedangkan hakim hanya memutuskan suatu perkara dan tidak dapat meminta suatu delik diajukan kepadanya. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan penuntutan ialah keberhasilan 31 Andi Hamzah (a), Op.Cit., hal.13. 32 R.Soesilo (a), Op.Cit., hal 32.

penyidikan. Lebih lanjut kegagalan dalam penyidikan dapat mengakibatkan kegagalan penuntut umum dalam proses penuntutan di pengadilan. 33 Oleh karena itu, demi keberhasilan membuktikan dakwaan, penuntut umum diberi kewenangan untuk menyidik perkara pidana. Teori Magistraat dianut oleh HIR. Pasal 46 ayat (2) HIR menyatakan pegawai penyidik penuntut umum ialah para jaksa pada Pengadilan Negeri. 1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan yang perlu diadakan penelitian adalah : 1. Apakah asas oportunitas yang merupakan diskresi Jaksa Agung RI dapat menjadi alasan untuk melakukan penghentian penyidikan? 2. Apakah penyampingan perkara meliputi penyidikan dan penuntutan? 33 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan_sidang.php,

1.3 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian secara teoritis untuk memberi gambaran dan mengetahui posisi, kedudukan, fungsi dan wewenang lembaga kejaksaan sebagai lembaga penyidik atau penuntut serta mengetahui fungsi dan wewenang Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi di Indonesia. Selain itu juga memberi gambaran mengenai hubungan lembaga penyidikan dan lembaga penuntutan sebagai instansi penegak hukum dalam sistem peradilan pidana 1.4 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui asas oportunitas yang merupakan diskresi Jaksa Agung RI dapat menjadi alasan untuk melakukan penghentian penyidikan. 2. Untuk mengetahui penyampingan perkara meliputi penyidikan dan penuntutan. 1.5 Kerangka Konsepsional Kerangka konsepsional ini merupaka konsep yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep umum dan khusus yang akan diteliti. Dalam kerangka konsepsional ini dituangkan beberapa konsepsi atau pengertian yang digunakan sebagai dasar dari penelitian hukum. Definisi atau pengertian yang digunakan dalam kerangka konsepsional ini dapat memberikan batasan dari luasnya pemikiran mengenai hal-hal yang terkait dengan penelitian ini. Kerangka konsepsional yang akan dikemukakan adalah: 1. Pengertian asas oportunitas ialah asas memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk meniadakan penuntututan hukum terhadap seseorang yang disangka telah mewujudkan suatu perbuatan. Peniadaan penuntutan berdasarkan pertimbangan bahwa lebih menguntungkan kepentingan umum jika tidak diadakan penuntutan. 34 Pengertian asas oportunitas tersebut merupakan asas oportunitas yang merupakan yurisdiksi kejaksaan yaitu sebatas penyampingan perkara demi kepentingan umum. hal.151. 34 Andi Hamzah (b), Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Ghalia Indonesia:1986)

2. Diskresi menurut Soebekti adalah kebijakan dalam hal memutuskan sesuatu oleh suatu pejabat atas dasar pertimbangan keadilan semata-mata dengan tidak terikat kepada ketentuan Undang-Undang 35 3. Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga yang bertugas melakukan penuntutan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan. 36 4. Dominus litis berasal dari bahasa Latin yang artinya pemilik. Penuntut umum ialah dominus litis. Pengertiannya ialah wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli dan tidak ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan selain penuntut umum. 37 5. Magistraat ialah pejabat yang berperan penting dalam proses penyelesaian perkara pidana. 38 1.6 Metode Penelitian Tipe penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan ruang lingkup penelitian yang terbatas pada objek tertentu. Metode penelitian hukum yang dipergunakan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan melalui studi dokumen. 39 Penelitian ini penulisannya bersifat deskriptif. Dalam hal ini peneliti menggambarkan apa yang diatur secara teoritis tentang proses pemeriksaan perkara pidana. Proses tersebut ditekankan pada tahap penyidikan dan penuntutan. Bentuk penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif. Yuridis normatif artinya penelitian mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 35 Adiyaksa, Analisis Diskresi Kejaksaan Dalam Penuntutan, (Tesis:2003), hal.31. 36 Indonesia (d), Op.Cit., ps.2 ayat(1) jo. Ayat (3) 37 Andi Hamzah (a), Op.Cit., hal.13. 38 R.Soesilo (a), Op.Cit., hal 32. 39 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995), hal.13.

Penelitian yuridis normatif ini menggunakan jenis data sekunder dengan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan itu dirumuskan sebagai berikut: 40 1. Bahan hukum primer, seperti Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Peraturan Perundang-undangan dan Yurisprudensi 2. Bahan hukum sekunder, seperti buku-buku tentang hukum, hasil penelitian, makalah dan lain sebagianya. 3. Bahan hukum tertier, seperti kamus, katalog dan lainnya. Analisis data dilakukan secara kualitatif karena menganalisis data secara mendalam dan dengan melihat fakta yang terjadi pada penghentian perkara yang dilakukan oleh Jaksa Agung. Bentuk dari hasil penelitian ini akan dituangkan secara deskriptif-analisis. Penelitian deskriptif ini dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu keadaan. 41 Hasil penelitian ini dituangkan secara analisis bertujuan untuk menarik asas-asas hukum tertentu yang terdapat dalam ketentuan hukum yang berlaku dan mempertanyakan apakah ketentuan hukum yang berlaku telah diterapkan dalam proses penghentian perkara oleh Jaksa Agung dengan alasan demi kepentingan umum. 1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini terbagi atas lima bab. Setiap bab akan diuraikan dengan sistematika berikut : Bab I Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitan, metode penelitian, sistematika penulisan. Latar belakang terdiri dari uraian mengenai situasi atau keadaan dari suatu masalah yang timbul, alasan mengapa penulis meneliti masalah tersebut dan mengenai hal-hal yang telah diketahui tentang masalah yang diteliti. Pokok permasalahan tertuju pada asas oportunitas yang merupakan diskresi Jaksa Agung RI dapat menjadi alasan untuk melakukan penghentian penyidikan. Tujuan penelitan adalah 40 Ibid. 41 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UII Press:2006), hal. 10.

untuk memberi gambaran mengenai posisi, fungsi, dan wewenang kejaksaan sebagai lembaga penyidikan dan penuntutan serta hubungan lembaga penyidikan dan penuntutan sebagai instansi penegak hukum. Metode penelitian ialah arah bagi penelitian yang akan dilakukan. Sistematika penulisan digunakan sebagai pembagian dalam memaparkan persoalan yang akan dibahas setiap babnya. Bab II Tugas dan Wewenang Kejaksaan Sebagai Instansi Penyidikan dan Instansi Penuntutan. Bab ini terdiri dari tiga sub bab yaitu sub bab pertama penyidikan dan sub bab kedua penuntutan yang akan membahas istilah dan pengertian penyidikan dan penuntutan, pejabat penyidik (sub bab pertama) dan penuntutan (sub bab kedua) beserta tugas dan wewenangnya pada masa keberlakuan HIR dan KUHAP termasuk didalamnya membahas kejaksaan sebagai penyidik, perbandingan fungsi dan wewenang lembaga kejaksaan sebagai lembaga penyidik (sub bab pertama) dan sebagai lembaga penuntutan (sub bab kedua) pada saat keberlakuan Undang-Undang No.15 Tahun 1961 jo. Undang- Undang No.5 Tahun 1991 jo. Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan penghentian penyidikan (sub bab pertama) dan penghentian penuntutan (sub bab kedua);sub bab ketiga akan membahas koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Bab III Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum Oleh Jaksa Agung Bab ini terdiri dari tiga sub bab yaitu sub bab pertama asas oportunitas sebagai dasar kewenangan untuk menyampingkan perkara yang akan membahas pengertian dan istilah asas oportunitas, tinjauan umum lembaga-lembaga peniadaan tuntutan, sejarah singkat asas oportunitas di Belanda dan di Indonesia, alasan kepentingan umum; sub bab kedua akan membahas penghentian penyidikan merupakan ruang lingkup praperadilan atau tidak ; sub bab ketiga akan membahas mengenai penyampingan perkara demi kepentingan umum dapat menjamin atau tidaknya kepastian dan keadilan hukum yang akan membahas asas legalitas dikaitkan dengan asas oportunitas dan asas oportunitas dikaitkan dengan keadilan masyarakat. Bab IV Analisis Kasus Penghentian Penyidikan Atas Dasar Kepentingan Umum Oleh Jaksa Agung.

Bab ini akan membahas kasus yang berkaitan dengan kewenangan Jaksa Agung menghentikan penyidikan dengan alasan kepentingan umum. Produk hukum dari penghentian penyidikannya ialah Surat Penghentian Penyidikan atas dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD Sukoharjo. Bab V Penutup. Bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan laporan penelitian yang terdiri dari bagian kesimpulan atas permasalahan yang ada dan saran-saran atas permasalahan yang telah dikemukakan tersebut.