BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi keuangan pemerintah yang dilaksanakan pada awal tahun 2000 berdampak meningkatnya tuntutan masyarakat akan suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Paradigma baru tersebut mewajibkan setiap satuan kerja termasuk pemerintah daerah untuk mempertanggungjawabkan keuangan daerah secara transparan kepada publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 tentang Perbendaharaan Negara. Pertanggungjawaban keuangan pemerintah daerah dalam bentuk laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang disusun oleh kepala satuan pengelolaan keuangan daerah (SKPKD) selaku pejabat pengelola keuangan daerah (PPKD) berdasarkan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan laporan pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan daerah. LKPD yang disajikan pemerintah daerah harus mampu memberikan informasi keuangan yang berkualitas. Laporan keuangan yang berkualitas menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2010 adalah laporan keuangan yang memiliki karakteristik relevan, andal, dapat dibandingkan serta dapat dipahami. Relevan yaitu informasi yang termuat didalamnya dapat memengaruhi keputusan pengguna dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu atau masa kini, dan memprediksi masa depan, serta menegaskan atau mengoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu. Andal yaitu informasi dalam laporan keuangan bebas dari pengertian yang menyesatkan dan kesalahan yang material, menyajikan setiap fakta secara jujur, serta dapat diverifikasi. Dapat dibandingkan dengan laporan 1
2 keuangan periode sebelumnya atau laporan keuangan entitas pelaporan lain pada umumnya. Dapat dipahami dalam artian dapat dimengerti oleh pengguna dan dinyatakan dalam bentuk serta istilah yang disesuaikan dengan batas pemahaman para pengguna untuk mempelajari informasi yang dimaksud (PP 71, 2010). Penilaian atas kualitas laporan keuangan pemerintah daerah dilakukan oleh badan pemeriksa keuangan (BPK) dengan melaksanakan audit setiap tahunnya. Hasil penilaian BPK dinyatakan dalam 4 (empat) bentuk opini yaitu wajar tanpa pengecualian (WTP) termasuk wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas (WTP-DPP), wajar dengan pengecualian (WDP), tidak wajar (TW) dan tidak memberikan pendapat (TMP). Representasi kewajaran dituangkan dalam bentuk opini dengan mempertimbangkan kriteria kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas pengendalian internal (BPK, 2014, Indriasih, 2014). Data hasil pemeriksaan BPK RI berdasarkan ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) I Tahun 2014 atas 339 LKPD kabupaten tahun 2013 menunjukkan opini WTP diberikan atas 102 entitas termasuk entitas dengan opini WTP-DPP (30%), opini WDP atas 214 entitas (63%), opini TW atas 9 entitas (3%), dan opini TMP atas 14 entitas (4%). Berdasarkan fakta tersebut, maka diketahui masih terdapat permasalahan dalam penyusunan laporan keuangan (IHPS I, 2014). Secara garis besar permasalahan yang menghambat pencapaian LKPD kabupaten memperoleh opini WTP pada tahun 2013 antara lain adanya pembatasan lingkup pemeriksaan, aset tetap tidak didukung dengan pencatatan dan pelaporan yang memadai, penatausahaan kas yang tidak sesuai dengan ketentuan, penyertaan modal belum ditetapkan dengan peraturan daerah, saldo dana bergulir belum disajikan dengan metode nilai bersih yang dapat direalisasikan, penatausahaan
3 persediaan tidak memadai, pelaksanaan belanja modal tidak sesuai dengan ketentuan, kelemahan pengelolaan yang material pada akun aset tetap, kas, piutang, persediaan, investasi permanen dan non permanen, aset lainnya, belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal (IHPS I, 2014). Kualitas LKPD dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kompetensi sumber daya manusia (SDM), penerapan sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP), serta SAP (Bastian, 2006:51; Nordiawan, 2006:49; Choirunisah, 2008; Darman, 2009; Irwan, 2011; Roviyanti, 2011). SDM adalah pilar penyangga utama sekaligus penggerak roda organisasi dalam usaha mewujudkan visi dan misi tujuannya (Sudarmanto, 2009:76). Suatu sistem yang sebaik apapun akan sia-sia begitu saja, apabila tidak ditunjang oleh kualitas SDM yang memadai khususnya kualitas pribadi SDM yang terdiri dari potensi pendidikan, pengalaman, dan pelatihan (Indriasih, 2014) dan diukur dari pengetahuan, keterampilan dan perilaku (Wyatt dalam Ruki, 2003:106; Sudarmanto, 2009:76 dan Irwan, 2011) SDM yang bersangkutan. SDM merupakan faktor terpenting dalam menciptakan laporan keuangan yang berkualitas karena yang menerapkan SPIP dan SAP adalah manusia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Simanjuntak (2005:72) bahwa penyiapan dan penyusunan laporan keuangan memerlukan SDM yang memiliki kompetensi serta menguasai akuntansi pemerintahan. Bastian (2006:55), Roviyanti (2011) dan Zeyn (2011) juga menegaskan bahwa kompetensi SDM aparatur dalam penyusunan laporan keuangan yang sesuai SAP akan menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas. Laporan keuangan yang disajikan harus berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan sesuai dengan SAP. Pengendalian internal terdiri dari kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai untuk manajemen bahwa tujuan dan sasaran organisasi telah dicapai (Penatua et al., 2010; Mahmudi 2010:24). Komponen pengendalian intern
4 dirancang dan diimplementasikan oleh manajemen untuk memastikan bahwa tujuan pengendalian internal akan tercapai (Arens et al., 2012:320). Pengendalian internal ini dibangun dari lima komponen sebagai berikut: (a) lingkungan pengendalian; (b) penilaian risiko; (c) aktivitas pengendalian; (d) informasi dan komunikasi; serta (e) monitoring (PP Nomor 60 tahun 2008; Bodnar dan Hoopwod, 2010; Aren et al., 2012:298). Gubernur, bupati dan walikota selaku kepala daerah wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan (PP 60, 2008) serta menyampaikan LKPD yang disusun dengan mengikuti SAP yang telah diterima secara umum (Kawedar, 2010) sehingga pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dapat dicapai (Susilawati dan Riana, 2013; Irwan, 2011; Indriasih, 2014). SAP merupakan prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan LKPD (PP Nomor 71 Tahun 2010) yang mempunyai kekuatan hukum dalam upaya meningkatkan kualitas LKPD di Indonesia (Kawedar, 2010; Susilawati dan Riana, 2013). SAP mewajibkan setiap entitas pelaporan termasuk pemerintah daerah untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan serta hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan akuntabilitas, manajemen, transparansi, keseimbangan antara generasi dan evaluasi kinerja. Penerapan SAP oleh pemerintah daerah akan menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas dan mengandung informasi yang berguna (Zeyn, 2011). Penelitian ini penting dan menarik untuk dilakukan karena fenomena menunjukkan bahwa LKPD yang mendapatkan opini WTP masih relatif sedikit. Masih sedikitnya LKPD yang memperoleh opini WTP di Indonesia menjadi suatu fenomena penting untuk dianalisis, mengingat pemerintah menargetkan LKPD
5 yang memperoleh opini WTP tahun 2014 bisa mencapai 60% seperti yang tertuang dalam indikator keberhasilan reformasi birokrasi (PermenPAN dan RB No. 11, 2011), namun sampai dengan audit tahun buku 2013 baru tercapai 30% (IHPS, 2014). Lemahnya kompetensi SDM dalam menerapkan SPIP serta SAP diduga sebagai faktor penyebab tidak tercapainya opini WTP seperti yang ditargetkan pemerintah pusat. Obyek penelitian ini adalah Kabupaten Tabanan sebagai salah satu kabupaten yang pada hasil pemeriksaan BPK tahun 2014 untuk LKPD tahun 2013 memperoleh opini WDP. Opini WDP ini bukan merupakan suatu hasil yang maksimal serta mengindikasikan bahwa masih banyak kelemahan dalam pencatatan dan pelaporan keuangan daerah yang perlu diperbaiki (Indriasih, 2014). Permasalahan yang menghambat Kabupaten Tabanan untuk mencapai opini WTP berdasarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK RI tahun 2014 atas LKPD Kabupaten Tabanan tahun 2013 antara lain seperti: 1) Tidak tertibnya pengelolaan persediaan obat, bahan laboratorium dan bahan rontgent pada Badan Rumah Sakit Umum (BRSU) Tabanan dan Dinas Kesehatan (Diskes) Kabupaten Tabanan yang disebabkan pencatatan yang tidak rinci serta tidak lengkapnya dokumen yang tersedia, sehingga persediaan obat senilai Rp 4.249.941.619,00 pada BRSU Tabanan dan Rp 2.504.326.331,00 pada Diskes tidak dapat ditelusuri. 2) Tidak tertibnya pengelolaan aset tetap gedung dan aset tetap jalan yang disebabkan pencatatan aset yang tidak rinci serta dokumen yang tidak lengkap, sehingga nilai aset tetap gedung dan aset tetap jalan sebesar Rp 73.461.619.225,20 tidak dapat diuji kewajarannya. Masih lemahnya sistem pengendalian intern pemerintah terungkap dalam LHP BPK RI Tahun 2013, diantaranya:
6 1) Tidak tertibnya penatausahaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) per 31 Desember 2013 sebesar Rp 43.193.391.363,00 yang tidak didukung dengan register rincian pendapatan yang disebabkan belum adanya standar operasional dan prosedur yang dapat dijadikan pedoman dan belum berjalannya aktifitas pengendalian. 2) Tidak tertibnya penatausahaan piutang pada Dinas Pendapatan Daerah dan Pasedahan Agung (Dispenda) dan BRSU yang disebabkan kesalahan pencatatan dan lemahnya verifikasi dan validasi yang dilaksanakan pada kedua instansi. 3) Belum tertibnya penatausahaan keuangan Alokasi Dana Desa (ADD), sebesar Rp 67.735.167.721,41 yang disebabkan laporan pertanggungjawaban atas ADD belum didukung dengan bukti yang lengkap. Kegiatan pengendalian tidak berjalan sebagaimana mestinya karena Pihak Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) tidak pernah melakukan sosialisasi dan verifikasi atas penatausahaan laporan keuangan ADD. 4) Lemahnya pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan persediaan yang menyebabkan nilai persediaan tahun anggaran 2013 pada BRSU dan Diskes Kabupaten Tabanan sebesar Rp 6.754.267.950,00 tidak dapat diyakini kewajarannya. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan belum memiliki master kode obat dan standar operasional prosedur (SOP) terkait persediaan obat serta tidak dilaksanakannya rekonsiliasi persediaan obat di puskesmas dengan gudang Diskes. 5) Lemahnya pengamanan dan pengendalian aset yang dilakukan oleh pengguna dan pengurus barang yang menyebabkan nilai aset tetap-peralatan dan mesin sebesar Rp 430.482.553,15 tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan nilai aset tetap sebesar Rp 3.946.966,00 tidak dapat diyakini kewajarannya. Daftar aset tetap yang tersedia tidak memberikan informasi yang lengkap dan akurat.
7 Penerapan SAP pada Pemkab Tabanan berdasarkan temuan BPK RI Tahun 2013 juga terdapat kesalahan yaitu tidak tepatnya penganggaran barang yang akan diserahkan kepada masyarakat/ pihak ketiga per 31 Desember 2013 sebesar Rp 25.310.134.611 pada rekening belanja modal. Kondisi ini tidak sesuai dengan SAP terutama pernyataan standar akuntansi pemerintahan (PSAP) nomor 02 tentang laporan realisasi belanja dan PSAP nomor 07 tentang akuntansi aset tetap. Penelitian ini merupakan pengembangan model dari penelitian Irwan (2011) yang mengkaji pengaruh SPIP, kompetensi SDM dan SAP terhadap kualitas LKPD Provinsi Sumatera Barat. Penelitian sebelumnya (Irwan, 2011) menggunakan kualitas SDM dan penerapan SPIP sebagai variabel independen, penerapan SAP sebagai variabel pemediasi dan kualitas laporan keuangan sebagai variabel dependen dengan menggunakan responden dari Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) pada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan analisis jalur. Penelitian ini menggunakan kualitas SDM sebagai variabel independen, penerapan SPIP dan SAP sebagai variabel pemediasi dan kualitas laporan keuangan sebagai variabel dependen, menggunakan PPK pada lingkungan Pemkab Tabanan sebagai responden serta Partial Least Square (PLS) sebagai alat analisis data. Pemilihan PPK sebagai responden dalam penelitian ini dilandasi pemikiran bahwa PPK merupakan orang yang berkompeten dalam penyusunan laporan keuangan SKPD sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 59 Tahun 2007, sehingga pemahaman PPK atas SPIP dan SAP sangatlah penting dan memengaruhi kualitas LKPD. Penggunaan PLS sebagai alat analisis dilandasi pemikiran bahwa metode PLS mempunyai keunggulan diantaranya: (a) data tidak harus berdistribusi normal multivariate; (b) dapat bekerja dengan variabel skala metrik maupun ordinal; (c) dapat digunakan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antara variabel laten; (c) dapat digunakan pada sampel
8 yang dipilih dengan pendekatan non-probabilitas serta (d) dapat mencapai statical power yang cukup tinggi dan tidak memiliki masalah model pada ukuran sampel kecil (Hartono dan Abdilah, 2009:16; Hair et al., 2011; Ghozali, 2014:30; Sholihin, 2014:11-12). Keunggulan yang terdapat pada PLS ini sesuai dengan jumlah sampel pada penelitian ini yaitu 39 responden. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1) Apakah kompetensi SDM berpengaruh positif pada penerapan SPIP di Pemkab Tabanan? 2) Apakah kompetensi SDM berpengaruh positif pada penerapan SAP di Pemkab Tabanan? 3) Apakah kompetensi SDM berpengaruh positif pada kualitas LKPD Pemkab Tabanan? 4) Apakah penerapan SPIP berpengaruh positif pada kualitas LKPD Pemkab Tabanan? 5) Apakah penerapan SAP berpengaruh positif pada kualitas LKPD Pemkab Tabanan? 6) Apakah kompetensi SDM berpengaruh positif pada kualitas LKPD Pemkab Tabanan melalui penerapan SPIP? 7) Apakah kompetensi SDM berpengaruh positif pada kualitas LKPD Pemkab Tabanan melalui penerapan SAP? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris:
9 1) Pengaruh kompetensi SDM pada penerapan SPIP di Pemkab Tabanan. 2) Pengaruh kompetensi SDM pada penerapan SAP di Pemkab Tabanan. 3) Pengaruh kompetensi SDM pada kualitas laporan keuangan Pemkab Tabanan 4) Pengaruh penerapan SPIP terhadap kualitas LKPD Pemkab Tabanan. 5) Pengaruh penerapan SAP pada kualitas LKPD Pemkab Tabanan. 6) Pengaruh kompetensi SDM pada kualitas LKPD Pemkab Tabanan melalui penerapan SPIP. 7) Pengaruh kompetensi SDM pada kualitas LKPD Pemkab Tabanan melalui penerapan SAP. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dukungan konseptual pada pengembangan teori akuntansi sektor publik dan bahan acuan bagi peneliti selanjutnya khususnya pengaruh kompetensi SDM pada penerapan SPIP dan SAP serta implikasinya terhadap kualitas LKPD. 1.4.2 Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran kepada Pemkab Tabanan didalam menentukan kebijakan-kebijakan yang akan dilaksanakan sehubungan peningkatan kualitas LKPD yang berkaitan dengan kompetensi SDM, penerapan SPIP dan SAP.