BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
PENGEMBANGAN TEORI LENTUR PADA GLULAM I-JOIST DAN VERIFIKASI EMPIRISNYA RENTRY AUGUSTI NURBAITY

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

Tegangan Dalam Balok

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lama berkembang sebelum munculnya teknologi beton dan baja. Pengolahan kayu

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber (CLT) 1) Definisi 2) Manfaat dan Keunggulan

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

TEKNOLOGI KOMPOSIT KAYU SENGON DENGAN PERKUATAN BAMBU LAMINASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Kayu merupakan salah satu sumber alam yang bersifat dapat diperbarui.

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

Papan partikel SNI Copy SNI ini dibuat oleh BSN untuk Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan untuk Diseminasi SNI

BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L)

KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PEREKAT (251M)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu :

Pd M Ruang lingkup

SNI Standar Nasional Indonesia

KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PAKU (252M)

PERILAKU LENTUR DAN TEKAN BATANG SANDWICH BAMBU PETUNG KAYU KELAPA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. Garis perekat arah radial lurus. (c)

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB 1 PENDAHULUAN...1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Produksi Kayu Gergajian dan Perkiraan Jumlah Limbah. Produksi Limbah, 50 %

Besarnya defleksi ditunjukan oleh pergeseran jarak y. Besarnya defleksi y pada setiap nilai x sepanjang balok disebut persamaan kurva defleksi balok

III. TEGANGAN DALAM BALOK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PERANCANGAN JEMBATAN RANGKA BAJA KERETA API. melakukan penelitian berdasarkan pemikiran:

BAB III METODE PENELITIAN

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331)

sejauh mungkin dari sumbu netral. Ini berarti bahwa momen inersianya

PEMANFAATAN TEKNOLOGI LAMINASI DALAM PEMBUATAN RUMAH KAYU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI

TINJAUAN KUAT LENTUR BALOK BETON BERTULANGAN BAMBU LAMINASI DAN BALOK BETON BERTULANGAN BAJA PADA SIMPLE BEAM. Naskah Publikasi

V. BATANG TEKAN. I. Gaya tekan kritis. column), maka serat-serat kayu pada penampang kolom akan gagal

Sifat Mekanik Kayu Keruing untuk Konstruksi Mechanics Characteristic of Keruing wood for Construction

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian rangka

BAB IV PERHITUNGAN GAYA-GAYA PADA STRUKTUR BOX

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR TERHADAP STABILITAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD)

KARAKTERISTIK MEKANIS DAN PERILAKU LENTUR BALOK KAYU LAMINASI MEKANIK

BAB III BAHAN DAN METODE

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 5

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS PENGHUBUNG GESER (SHEAR CONNECTOR) PADA BALOK BAJA DAN PELAT BETON

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembahasan hasil penelitian ini secara umum dibagi menjadi lima bagian yaitu

STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR

TINJAUAN KUAT LENTUR BALOK LAMINASI KOMBINASI ANTARA KAYU SENGON DAN KAYU JATI DENGAN PEREKAT LEM EPOXY

2- ELEMEN STRUKTUR KOMPOSIT

BAB I PENDAHULUAN. pozolanik) sebetulnya telah dimulai sejak zaman Yunani, Romawi dan mungkin juga

BAB III BAHAN DAN METODE

SIFAT-SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU KERUING - SENGON. Oleh : Lorentius Harsi Suryawan & F. Eddy Poerwodihardjo

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR

PENGARUH VARIASI LUAS PIPA PADA ELEMEN BALOK BETON BERTULANG TERHADAP KUAT LENTUR

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pembebanan Pada Pelat Lantai

BABII TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku

BAB II DASAR TEORI. bahan pangan yang siap untuk dikonsumsi. Pengupasan memiliki tujuan yang

PENGOLAHAN KAYU (WOOD PROCESSING) Abdurachman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan

DAFTAR NOTASI. = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balok-kolom (mm²) = Luas penampang tiang pancang (mm²)

Kayu lapis untuk kapal dan perahu

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING TAHAN GEMPA

MATERI/MODUL MATA PRAKTIKUM

Bab II STUDI PUSTAKA

II. TEGANGAN BAHAN KAYU

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT

sehingga menjadi satu kesatuan stmktur yang memiliki sifat stabil terhadap maka komponen-komponennya akan menerima gaya aksial desak dan tarik, hal

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBUATAN PRODUK BAMBU KOMPOSIT. 1. Dr. Ir. IM Sulastiningsih, M.Sc 2. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si 3. Dr. Krisdianto, S.Hut., M.

Dimana : g = berat jenis kayu kering udara

1.2. Tujuan Penelitian 2

PENGARUH DIMENSI BILAH TERHADAP KERUNTUHAN LENTUR BALOK LAMINASI BAMBU PETING

BAB I PENDAHULUAN. pesat yaitu selain awet dan kuat, berat yang lebih ringan Specific Strength yang

A. IDEALISASI STRUKTUR RANGKA ATAP (TRUSS)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.. Gambaran Umum Kayu Karet (Hevea brasiliensis) Kayu Karet (Hevea brasilensis) termasuk dalam golongan kayu daun lebar/ kayu berpori (hardwood/porous wood) dari famili Euphorbiaceae. Menurut Oey Djoen Seng (990), berat jenis kayu karet adalah 0,55-0,70 dengan rata-rata 0,6. Kayu karet termasuk dalam kelas awet V dan kelas kuat II-III. Hal ini berarti kayu karet setara dengan kayu hutan alam seperti kayu ramin, perupuk, akasia, mahoni, pinus, meranti, durian, ketapang, keruing, sungkai, gerunggang, dan nyatoh. Pori-pori kayu karet berbentuk bulat dimana sebagian berisi tilosis, sebagian soliter (60%) dan sisanya bergabung 2-5 pori dalam arah radial (Coto 987). Kayu karet memiliki beberapa kelebihan antara lain warna yang menarik dan penampilannya cukup dekoratif dimana teksturnya mirip dengan kayu ramin. Penyusutan kayu karet sangat kecil dan memiliki sifat khas yaitu perubahan warnanya yang putih kekuningan ketika baru dipotong, dan akan menjadi kuning pucat seperti warna jerami setelah dikeringkan. Dalam pengerjaannya, kayu karet mudah digergaji, permukaan gergajinya cukup halus, serta mudah dibubut dengan menghasilkan permukaan yang rata dan halus. Kayu karet juga mudah dipaku, dan mempunyai karakteristik perekatan yang baik dengan semua jenis perekat. Namun, adanya butiran latex dengan kandungan karbohidrat dan protein yang tinggi sehingga mudah terserang jamur (blue strain), mudah terserang serangga pembuat lubang (borer), dan mudah terkena oksidasi. Oleh karena itu, pengerjaan kayu karet harus segera dilakukan setelah penebangan. Pemanfaatan kayu karet dapat berupa kayu gelondongan (log) dengan diameter 20 cm ke atas dipergunakan sebagai kayu gergajian (Boerhendhy et al. 2003). Kayu ini memiliki potensi yang cukup besar karena dalam lahan perkebunan seluas 3,4 juta ha mampu menyediakan kayu karet sebesar 3,4 m 3 /tahun (Nurhayati et al. 2006). Sayangnya, secara nasional pemanfaatan kayu

karet sebagai bahan industri kayu di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara penghasil karet seperti Thailand, Malaysia, dan India. 2.2. Balok Laminasi Bentuk I Balok laminasi (glue laminated lumber) adalah dua atau lebih lapisan kayu yang disusun secara sejajar dan digabungkan dengan perekat. Salah satu jenis balok laminasi adalah balok laminasi dengan bentuk penampang I atau balok laminasi I-joist. Balok ini umumnya digunakan dalam konstruksi bangunan. Balok laminasi I-joist memiliki bentuk penampang seperti huruf I. Bagian atas dan bawah balok I disebut dengan sayap atau flange. Bagian tengah balok I disebut dengan porsi tegak atau tubuh atau web. Proses pembuatan glulam diatur dalam BS (British Standard) 469. Lapisan kayu penyusun balok laminasi disebut dengan lamina. Lamina yang digunakan dapat beragam jenis, jumlah, ukuran, bentuk maupun ketebalannya. Pada umumnya, tebal lamina ialah,9 cm sampai 3,8 cm. lamina yang digunakan harus dikeringkan hingga mencapai kadar air 2-5 persen kemudian dipilah. Cacat tidak terlalu dipermasalahkan dalam lamina karena daerah penampang melintang (cross section) setiap lamina dibandingkan dengan seluruh daerah dari glulam. Lamina pada arah panjang dapat disambung dengan finger joint dan sambungan serong (:2). Jika sambungan bergeser maka pengurangan kekuatan untuk seluruh balok sangat kecil dan dapat diabaikan (Yap 997). Salah satu cara penyambungan bagian sayap dengan tengah adalah dengan menggunakan perekat. Pada umumnya pelaburan perekat diberikan pada kedua permukaan. Perekatan harus dilakukan segera setelah penyerutan untuk mencegah terjadinya case hardening dan menurunnya efektifitas perekat. Perekat yang dapat digunakan untuk glulam seperti Urea Formaldehida atau resorsinol formaldehida, tergantung pada tujuan penggunaan. Salah satu penentu keberhasilan perekatan adalah pengempaan. Menurut Yap (997), ada tiga alat pengempaan menurut urutan kesempurnaannya yaitu mesin penekan hydrolis, alat pengapit dengan baut dan sekrup (klem), dan dengan

menggunakan baut dan paku. Tekanan yang dibutuhkan pada saat pengempaan adalah 0,7 N/mm² selama 2 jam. Pembuatan balok I-joist memiliki beberapa keunggulan, antara lain: a) sifat balok I-joist dapat direkayasa sesuai dengan tujuan penggunaan, b) bahan baku dimanfaatkan secara efisien, c) meminimumkan pengaruh cacat, d) menghasilkan produk dengan bentuk yang lebih lurus dan dimensi yang stabil, e) meningkatkan kualitas dari lamina penyusun, f) dapat dimanfaatkan untuk bahan kostruksi. 2.3. Phenol Resorsinol Formaldehida (PRF) Phenol resorsinol formaldehida adalah salah satu jenis perekat sintesis yang terdiri dari campuran fenol, resorsinol, dan formaldehida. Komposisi campuran antara phenol, resorsinol, dan formaldehida berdasarkan berat berturutturut,25:,25:0,33 (Blomquist et al 98). Perekat ini telah beredar di perdagangan dan pernah diujikan oleh Santoso (2000). Tabel Spesifikasi perekat PRF No. Pengujian Spesifikasi PRF. Keadaan Warna coklat sampai hitam, berbau khas 2. Bahan Asing Tidak ada 3. Waktu Tergelatinasi (menit) 85 4. Kadar resin padat (%) 57,03 5. Viskositas (25 ± ºC) (poise) 3,4 6. Keasaman (ph) 8,0 7. Bobot jenis,5 8. Formaldehida bebas 0,04 PRF termasuk dalam jenis perekat thermosetting yaitu perekat yang dapat mengeras bila terkena panas atau reaksi kimia dengan bantuan katalisator atau hardener dan bersifat irreversible. Perekat ini dapat mengeras pada suhu ruangan dan sedang (Carney 978). Oleh karena itu, perekat ini dapat diaplikasikan untuk pengempaan dingin.

Pada umumnya, perekat ini digunakan sebagai perekat eksterior (karena sifatnya yang lebih tahan air) dan dapat pula digunakan untuk interior. Perekat ini dapat digunakan untuk mengikat komponen bangunan seperti sambungan jari, balok bentuk I, panel sandwich, dan sebagainya. Namun hal yang harus diperhatikan untuk perekat ini adalah membutuhkan waktu yang lama pada proses perekatan dimana akan tercipta pada suhu 2ºC (70ºF). 2.4. Momen Inersia (Second Moment) 2.4.. Definisi Moment Inersia (Second Moment) Momen inersia adalah nilai yang menggambarkan sifat penampang. Momen inersia besar perannya untuk perencanaan balok terlentur. Momen inersia dari suatu penampang harus diambil terhadap sumbu yang melalui centroid penampang tadi. Centroid adalah titik berat benda. Besarnya momen inersia dari suatu elemen penampang terhadap sumbu yang sebidang dengan elemen tersebut adalah hasil kali dari luas elemen dengan kuadrat jarak antara elemen dengan sumbu tertentu (Nash 977). Momen Inersia elemen luas terhadap sumbu-x adalah dlx = y 2 da. Sedangkan momen inersia elemen luas terhadap sumbu-y besarnya adalah diy = x 2 da. 2.4.2. Momen Inersia (Second Moment) Penampang Tertentu Momen inersia suatu penampang tertentu terhadap satu sumbu yang sebidang besarnya sama dengan penjumlahan momen inersia dari seluruh elemen pembentuk penampang terhadap masing-masing sumbu yang dimaksud (Nash 977). a. Momen inersia penampang terhadap sumbu-x (Ix): Ix = d Ix = y² da b. Momen inersia penampang terhadap sumbu-y (Iy) Iy = d Iy = x² da Satuan dari momen Inersia tersebut adalah pangkat-4 dari satuan panjang (mm 4 atau m 4 ).

2.4.3. Dalill Sumbu Sejajar Momen Inersia pada Penampang Tertentu (Parallel Axis Theorem for Second Moment) Dalil Sumbu Sejajar momen inersia adalah momen inersia dari suatu penampang terhadap suatu sumbu adalah samaa dengan momen inersia terhadap sumbu sejajar yang melalui centroid penampang tadi, ditambah dengann hasil kali luas penampang dengann pangkat dua jarak antara kedua sumbu sejajar. Dalil ini dapat digunakan untuk penampang lintang yang tidak simetris. Momen inersia pada sumbu-x dan sumbu-y masing-masinpenampang terhadap sumbu-x (Ix): dinyatakan dengan a. Momen inersia 2 Ix = Ixc + A(y ) b. Momen inersia penampang terhadap sumbu-y (Iy) 2 Iy = Iyc + A(x ) 2.4.4. Momen inersia pada Balok Utuh Nash (977) mengemukakan bahwa momen inersia pada balok utuh sebagai berikut: b dy y x G Gambar Momen inersia pada balok utuh. Sehingga dari gambar tersebut didapatkan rumus momen inersia pada balok utuh (I XG ) adalah Ix G = bh 3 2

2.5. Tegangan pada Balok Lentur 2.5.. Tegangan Normal (σ) Tegangan normal (σ) balok yang mempunyai bidang longitudinal yang simetris persamaannya: σ = tegangan normal M =Momen Lentur y = jarak dengan sumbu netral I = Momen Inersia Besarnya tegangan normal berubah dari nol pada sumbu netral dan mencapai batas maksimum pada bagian serat terluar balok (Nash 977). Tegangan normal maksimum balok harus lebih kecil daripada keteguhan lentur balok itu sendiri (S Ri// ) agar tidak terjadi kerusakan. Keteguhan lentur dilambangkan dengan MOR. MOR adalah ukuran kemampuan suatu benda menahan beban lentur sampai mengalami kerusakan. 2.5.2. Tegangan Geser pada Balok (V) Pada balok lentur terjadi gaya geser (V) pada cross-section dan tegangan geser horizontal ( ) (Nash 977). Besarnya tegangan geser horizontal ( ) sebanding dengan besarnya gaya geser. Gambar 2, y ialah jarak terhadap sumbu netral, I ialah momen inersia di seluruh cross-section, y o ialah jarak serat tertentu dari sumbu netral, dan b ialah lebar balok, sehingga persamaannya: N.A yo c b Gambar 2 Gaya geser pada balok.

2.6. Defleksi pada Balok Lentur 2.6.. Definisi Defleksi Balok Balok yang diberi beban akan mengalami perubahan bentuk. Perubahan bentuk tersebut dapat berupa lendutan (Nash 977). Defleksi atau lendutan adalah perubahan bentuk dari kedudukan semula. Kedudukan semula yaitu bentuknya mula-mula tanpa diberi beban. 2.6.2. Persamaan Diferensial Defleksi Balok Pembebanan Gaya Lateral Nash (977) menyatakan bahwa momen lentur M terjadi pada crosssection, R merupakan radius lekukan antara bagian yang mengalami defleksi dengan permukaan netral, E modulus elastisitas, dan I merupakan momen inersia, maka dapat dituliskan persamaan Untuk menggambarkan lendutan yang terjadi dari garis netral pada balok terlentur, maka persamaan lain dapat ditulis: Lendutan pada suatu titik yang mengakibatkan perubahan bentuk atau deformasi terhadap permukaan netral. Persamaan lendutan dapat ditulis dengan cara kalkulus diferensial / / / dy/dx digunakan untuk kemiringan yang terdapat pada lenturan di titik tertentu. Dan untuk defleksi yang kecil menggunakan asumsi bahwa maka untuk defleksi yang ukurannya kecil (small deflection) persamaannya menjadi

2.7. Metode Statistik untuk Mengepas Kurva Beban-Deformasi Metode statistik untuk mengepas kurva beban-deformasi adalah metode perhitungan untuk menentukan batas elastis secara objektif. Selama ini, penentuan batas elastis selalu subjektif dimana hanya memanfaatkan bagian linear saja dan membuang wilayah lainnya. Pada metode baru yang disajikan pada Bahtiar (2008a), pengepasan kurva beban-deformasi lebih objektif karena memanfaatkan kedua bagian dari kurva sehingga kurva beban deformasi menjadi kurva yang menerus. Pengepasan ini sangat berguna dalam menentukan nilai MOE. MOE adalah nilai yang menggambarkan kemampuan kayu untuk mempertahankan perubahan bentuk akibat beban. Dua bagian yang dimanfaatkan adalah bagian kurva linear dan bagian kurva kuadratik. Titik pertemuan antara kedua bagian tersebut disebut dengan batas elastis atau disebut juga batas proporsi. Di bawah batas elastis, kayu yang diberi beban dapat kembali ke bentuknya semula dan digambarkan dengan persamaan linear berikut ini: P = β 0 + β Δ Sedangkan di atas batas elastis, kayu yang diberi beban akan mengalami deformasi permanen ataupun dapat terjadi kerusakan. Bagian tersebut digambarkan dengan persamaan kuadratik berikut ini: P = β 2 + β 3 Δ + β 4 Δ² Dimana, P = Beban Δ = deformasi Β 0,,2, = koefisien regresi Apabila data deformasi aktual dikategorikan dalam dua komponen yaitu deformasi elastis dan deformasi plastis maka dapat dikatakan: Δ = Δ e + Δ p Deformasi plastis bernilai nol ketika kurang dari atau sama dengan batas elastis. Hal tersebut dikarenakan pada saat itu deformasi plastis belum terjadi dan deformasi yang terjadi adalah deformasi elastis. Deformasi elastis bernilai maksimum terjadi tepat pada batas elastis dan konstan setelah batas tersebut. Deformasi plastis terjadi di atas batas elastis dimana besarnya sama dengan selisih antara deformasi aktual dengan deformasi elastis maksimum.

Tabel 2 Contoh penyajian data pada kurva beban-deformasi P Δ Δ e Δ p Δp² 84,79 3,92 3,92 0 0 86,22 3,97 3,97 0 0 87,68 4,03 4,03 0 0 Batas Elastis 89, 4,08 4,08 0 0 90,48 4,4 4,4 0,05 0,002 9,92 4,9 4,4 0, 0,0 93,27 4,25 4,4 0,6 0,03 94,67 4,30 4,4 0,22 0,05 96,05 4,36 4,4 0,28 0,08 Dari Tabel 2 didapat satu persamaan tunggal yaitu: P = β 5 + β 6 Δ e + β 7 Δ p + β 8 Δ² p Jika diasumsi gabungan kurva linear dan kurva kuadratik merupakan kurva menerus dan tidak patah, maka dapat dikatakan batas elastis adalah titik singgung kurva linear dan kurva kuadratik sehingga β 6 = β 7. Selanjutnya didapat persamaan baru yaitu model tunggal optimal yang secara teoritis mampu menggabungkan dua persamaan pada kurva beban deformasi. Persamaan tersebut adalah sebagai berikut: P = β 5 + β 6 (Δ e + Δ p ) + β 8 Δ² p = β 5 + β 6 Δ + β 8 Δ² p 2.8. Metode Transformed Cross Section Metode transformed cross section adalah sebuah metode dimana dari nilai modulus elasitisitas berbagai macam lamina dikonversi menjadi modulus elastisitas glulam yang bernilai tunggal. Namun metode ini berasumsi pada ketergantungan sifat penampang terhadap modulus elastisitas material. Asumsi ini mengakibatan pengurangan lebar lamina dengan nilai (E ) yang kecil dan penambahan lebar lamina dengan nilai (E ) yang besar, seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Multilayer asymetric orthotropic laminate : (a) geomerti (b) transformed cross section. Lapisan muka (face) pada umunya dipilih untuk standar transformasi, tetapi menurut Bodig dan Jayne (993) bisa dipilih laminaa yang manapun. Pada asimetris multi lapis lamina ortotropis, transformasi dihitung dengan persamaan: w i = w Dimana w i adalah lebar lamina transformasi pada lapis ke-i, w adalah lebar lamina, E adalah MOE standar, dan E n adalah MOE lamina a pada lapis ke-i. Dikarenakan lebar tiap lamina berlainann maka perlu ditentukan letak garis netral/ centroid. Centroid didapat dengan mengasumsi modulus elastisitas sama di setiap lamina. Centroid dihitung dengan persamaan berikut: Sedangkan momen inersia dapat dituliskan dengan persamaan I = ( I Dimana I adalah momen inersia cross section dan d jarak bidang netral terhadap centroid, dan I 0 adalah momen inersia pada bidang netral. Tegangan normal didapat dengan persamaan E E n Ad i = c = n A i = n i= i n + A i d ) 2 0 i σ = Mw i Iw y

2.9. Glulam 2.9.. Glulam Vertikal Ada dua jenis glulam menurut arah penyusunan laminanya yaitu glulam vertikal dan glulam horizontal. Glulam vertikal adalah glulam yang menerima momen lentur sejajar muka laminasi. Dalam makalah yang ditulis oleh Bahtiar (2008a) terdapat rumus untuk menghitung modulus elasitas dan keteguhan lentur untuk glulam vertikal. Rumus tersebut diturunkan tanpa mentransformasi luas penampang lamina, sehingga persamaan yang diperoleh tetap taat azas. Berdasarkan hasil penurunan rumus oleh Bahtiar (2008b), modulus elastisitas glulam dapat dihitung dengan rumus: Sedangkan untuk keteguhan lentur (S R ) glulam sejajar muka lamina yang diturunkan dari persamaan yang taat azas didapat rumus sebagai berikut: 6 ² Tegangan normal maksimum yang dialami setiap lamina harus lebih kecil daripada keteguhan lentur lamina tersebut (S Ri// ). Oleh karena itu, untuk menduga nilai keteguhan lentur glulam sejak sebelum diproduksi dimana sifat-sifat laminanya telah diketahui dapat dihitung dengan rumus: 6 ² S // ; iv,2,3, n 2.9.2. Glulam Horizontal Jenis glulam yang kedua adalah glulam horizontal. Glulam horizontal adalah glulam yang menerima momen lentur tegak lurus muka laminasi. Dalam makalah yang ditulis oleh Bahtiar (2008b) terdapat rumus untuk menghitung modulus elasitas dan keteguhan lentur untuk glulam horizontal. Rumus tersebut diturunkan tanpa mentransformasi luas penampang lamina, sehingga persamaan yang diperoleh tetap taat azas.

Berdasarkan hasil penurunan rumus oleh Bahtiar (2008b), bentuk umum untuk mengitung nilai tunggal modulus elastisitas glulam dari lamina yang bervariasi sifat mekanisnya dapat dihitung dengan rumus: Sedangkan untuk keteguhan lentur (S R ) glulam sejajar muka lamina yang diturunkan dari persamaan yang taat azas didapat rumus sebagai berikut: Agar tidak terjadi kerusakan, maka tegangan lentur lamina harus lebih rendah daripada keteguhan lentur tiap lamina tersebut (σ S Ri ). Oleh karena itu, untuk menduga nilai keteguhan lentur glulam sejak sebelum diproduksi dimana sifatsifat laminanya telah diketahui dapat dihitung dengan rumus: S ; i,2,3, n Namun dari rumus diatas nilai variabel y belum dapat ditentukan. Variabel y adalah jarak suatu titik terhadap garis netral. Oleh karena itu, perlu ditentukan posisi netral terlebih dahulu. Dalam Bahtiar (2008b) telah didapat rumus menentukan letak centroid/ posisi netral pada penampang berbentuk persegi. 2