BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

Abstrak. Kata kunci: Kinerja Keuangan, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Belanja Modal.

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik.

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otomoni daerah yang berlaku di Indonesia berdasarkan UU No.22 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam menciptakan good governance sebagai prasyarat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Empiris di Wilayah Karesidenan Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. makro ekonomi. Tinggi rendah angka pembangunan dilihat dari trend

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Dokumen anggaran daerah disebut juga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB I PENDAHULUAN. mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan yang diserahkan kepada daerah, pemerintah pusat akan mentransferkan dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Pemerintah daerah juga diharapkan dapat menggali pendapatan melalui sumber pendapatan sendiri yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD). Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola keuangan daerah dalam rangka membangun dan mengembangkan daerah masing-masing sesuai dengan kebutuhan, termasuk dalam penyusunan dan pengalokasian dana yang dimiliki secara efektif dan efisien (Tuasikal, 2008). Pemberian kewenangan tersebut atas dasar pemerintah daerah lebih mengetahui keadaan dan kebutuhan masyarakat di daerahnya. Oleh karena itu, fungsi alokasi lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Kewenangan daerah yang luas menuntut adanya kemandirian daerah dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah daerah harus memperkuat struktur anggaran belanjanya mengingat pelayanan publik 1

2 berhubungan erat dengan kebijakan belanja daerah yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD merupakan media utama pemerintah daerah dalam melakukan alokasi sumber daya secara optimal (Tuasikal, 2008). Menurut Key (1940) pengalokasian anggaran merupakan permasalahan mendasar yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam proses penyusunan anggaran (dalam Abdullah dan Asmara, 2006). Masalah alokasi terkait dengan sumber daya yang terbatas, sedangkan kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas dan terus berkembang. Pemerintah daerah harus bijak dalam mengalokasikan penerimaan daerah yang diperoleh untuk belanja daerah yang bersifat produktif. Menurut Saragih (2003) alokasi belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah setiap tahun harus dimanfaatkan untuk hal-hal yang produktif, misalnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan (dalam Darwanto dan Yustikasari, 2007). Sejalan dengan pernyataan Saragih, Stine (1994) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah harusnya lebih banyak dimanfaatkan untuk program-program layanan publik (dalam Darwanto dan Yustikasari, 2007). Belanja Modal (BM) merupakan belanja pemerintah yang bersifat produktif dan dapat sebagai penunjang Pertumbuhan Ekonomi (PE) daerah, pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. BM digunakan untuk membiayai segala kebutuhan publik akan fasilitas, sarana dan prasarana umum dan pembangunan infrastruktur daerah yang dapat meningkatkan produktivitas masyarakat dan iklim investasi di daerah (Danayanti, 2014).

3 Berdasarkan hal tersebut di atas menyiratkan bahwa BM memiliki peran penting dalam rangka memberikan kualitas pelayanan publik. Peran penting BM belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2013). Terlihat dari anggaran pemerintah baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun APBD lebih besar porsinya untuk belanja pegawai daripada BM. Terlebih lagi pada akhir tahun realisasi BM sering di bawah target atau realisasi lebih rendah dari anggaran yang telah ditetapkan (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2013). Hal ini dikarenakan penyerapan yang menumpuk diakhir tahun anggaran dan melemah diawal tahun. Padahal program dan kegiatan belanja modal mempunyai hubungan langsung dengan pelayanan publik dan pada gilirannya akan berdampak pada PE daerah. Kondisi ini bertolak belakang dengan realisasi belanja pegawai. Belanja ini pada akhir tahun terjadi pelampauan target dari yang dianggarkan. Padahal belanja ini bersifat konsumtif dan tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan publik. Data secara agregat kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009-2013 menunjukkan bahwa rata-rata rasio BM terhadap belanja daerah masih di bawah rata-rata yaitu mencapai 15% dari total belanja daerah. Sebaliknya ratarata rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah mencapai 61% (Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Jawa Tengah, 2014). Angka ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh alokasi belanja dimasing-masing kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah untuk membiayai belanja pegawai. Hal ini mengindikasikan bahwa masih rendahnya penyerapan BM di daerah dan akan berdampak pada

4 pelayanan publik yang tidak maksimal serta pembangunan infrastruktur yang lambat. Sedangkan penerimaan daerah sebagai sumber dana untuk merealisasikan BM yang terdiri dari pendapatan daerah (PAD, dana perimbangan, pendapatan daerah yang sah) dan penerimaan pembiayaan (Selisih Lebih Perhitungan Anggaran atau SiLPA tahun sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, penerimaan kembali pemberian pinjaman) cenderung mengalami peningkatan. Rendahnya penyerapan BM mencerminkan pengelolaan keuangan daerah yang belum baik. Apabila keuangan daerah dikelola dengan baik akan berpengaruh terhadap kemandirian dan kemajuan suatu daerah. Kemajuan suatu daerah salah satunya dapat dilihat dari meningkatnya PE. Peningkatan PE menjadi prioritas utama pemerintah daerah. Faktor utama bagi pemerintah daerah untuk mendorong PE adalah meningkatkan investasi baik investasi pemerintah maupun investasi swasta. Investasi pemerintah dalam hal ini adalah belanja modal. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah pembangunan aset tetap seperti ketersediaan infrastruktur dan sarana prasarana yang memadai, baik kualitas maupun kuantitas untuk menunjang perekonomian (Kusnandar dan Siswantoro, 2011). Belanja modal ini bertujuan untuk menarik investor agar berinvestasi di daerah baik domestik maupun asing (investasi swasta). Investasi Swasta (IS) dibutuhkan dalam menunjang pertumbuhan ekonomi mengingat keterbatasan fiskal yang dimiliki pemerintah pusat maupun daerah. Selain itu, menurut Todaro (2004) tenaga kerja juga menjadi faktor pendorong pertumbuhan

5 ekonomi. Adanya investasi akan mendorong kegiatan ekonomi suatu daerah karena akan terjadi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan output. Peran pemerintah daerah dalam meningkatkan realisasi belanja modal tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Semakin besar dana yang dimiliki yang bersumber dari penerimaan daerah, daerah akan mampu untuk meningkatkan realisasi belanja modal atau mengatasi masalah rendahnya penyerapan belanja modal. Penelitian ini membatasi hanya menggunakan sumber penerimaan yang berasal dari PAD, DAU, DAK dan SiLPA tahun sebelumnya sebagai variabel independen yang ditengarai mempengaruhi realisasi BM sebagai variabel dependen. Penelitian ini juga menguji realisasi BM, investasi swasta dan tenaga kerja sebagai variabel independen yang ditengarai mempengaruhi PE tahun berikutnya. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Danayanti (2014) mengenai analisis pengaruh PAD, DAK dan SiLPA terhadap realisasi BM dan PE pemerintah kabupaten/kota di Jawa dan Bali periode 2008-2011. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Danayanti yaitu penelitian ini menambah DAU sebagai variabel independen. Alasan menggunakan variabel DAU dikarenakan secara fiskal jumlah DAU yang diterima daerah lebih dominan dibandingkan dengan dana perimbangan lainnya (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2013). Selain itu, terdapat hasil penelitian yang tidak konsisten mengenai pengaruh DAU terhadap BM. Penelitian yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007), Tuasikal (2008) dan Putro (2010) memberikan bukti empiris bahwa DAU berpengaruh positif terhadap perubahan belanja modal.

6 Bukti ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2011). Mereka menemukan bahwa DAU tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Hal ini menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Kemudian penelitian ini memasukkan variabel investasi swasta dan tenaga kerja untuk menguji pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Alasan memasukkan variabel investasi swasta dan tenaga kerja adalah investasi dan tenaga kerja merupakan faktor utama dari pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2004). Perbedaan selanjutnya yaitu objek dan periode penelitian. Penelitian ini menggunakan laporan realisasi APBD kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah periode anggaran 2010-2011 dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan yang merupakan rekomendasi dari penelitian Danayanti (2014). Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, peneliti tertarik untuk mengkaji pengaruh PAD, DAU, DAK dan SiLPA terhadap realisasi belanja modal dan pengaruh realisasi belanja modal, investasi swasta dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi pemerintah kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2010-2012. 1.2 Rumusan Masalah Alokasi belanja modal pemerintah kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah dalam lima tahun terakhir menunjukkan jumlah yang tidak lebih besar dari belanja pegawai. Terlebih lagi penyerapan belanja modal setiap tahun sering di bawah target atau realisasi lebih rendah dibandingkan anggaran yang telah

7 ditetapkan. Padahal penerimaan daerah berasal dari PAD, DAU, DAK dan SiLPA cenderung mengalami peningkatan setiap tahun. Seharusnya peningkatan penerimaan daerah tersebut diimbangi dengan meningkatnya alokasi BM dan dimanfaatkan secara optimal untuk pelayanan publik sehingga pada akhirnya dapat memacu PE daerah. Kondisi seperti ini ditengarai karena pengelolaan keuangan daerah yang belum optimal, baik dari pengelolaan pendapatan, belanja dan pembiayaan. Penelitian ini akan menguji sejauh mana penerimaan daerah yang diperoleh digunakan untuk kepentingan publik (belanja modal), serta pengaruh realisasi BM, investasi swasta dan tenaga kerja terhadap PE daerah tahun berikutnya. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Apakah PAD, DAU, DAK dan SiLPA tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap realisasi BM pemerintah kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2010-2012? 2. Apakah realisasi BM, investasi swasta dan tenaga kerja berpengaruh positif terhadap PE tahun berikutnya pada pemerintah kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2011-2013?

8 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk memperoleh bukti empiris dan menganalisis pengaruh positif PAD, DAU, DAK dan SiLPA tahun sebelumnya terhadap realisasi BM pemerintah kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2010-2012. 2. Untuk memperoleh bukti empiris dan menganalisis pengaruh positif realisasi BM, investasi swasta dan tenaga kerja terhadap PE tahun berikutnya pada pemerintah kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2011-2013. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi dunia pendidikan. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran serta bahan referensi bagi penelitipeneliti selanjutnya yang tertarik pada bidang kajian sejenis ini. 2. Bagi pemerintah. Memberikan informasi dan masukan mengenai peran penting BM dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam hal penyusunan kebijakan dan aturan dimasa yang akan datang. Kebijakan tersebut mengenai kebijakan pemerintah pusat terkait dengan dana transfer dan

9 kebijakan teknis di daerah terutama kebijakan yang mampu mengatasi masalah rendahnya penyerapan belanja modal. 1.6 Sistematika Penulisan Penelitian Sistematika rancangan penulisan penelitian ini dibagi menjadi 5 (lima) bab yang diuraikan sebagai berikut : BAB 1. Pendahuluan Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB 2. Tinjauan Pustaka Bab ini berisi pembahasan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan topik penelitian, hipotesis penelitian yang akan diuji, model penelitian, hasil-hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan permasalahan. BAB 3. Metode Penelitian Bab ini berisi uraian tentang metode penelitian yang akan digunakan yaitu meliputi populasi dan sampel penelitian, jenis dan sumber data, variabel penelitian, teknik pengumpulan data, metode analisis data.

10 BAB 4. Analisis Data Bab ini berisi gambaran data penelitian, pembahasan mengenai langkah-langkah analisis data dan hasil serta pembahasan hasil analisis data. BAB 5. Penutup Bab ini berisi kesimpulan yang bisa diambil dari hasil analisis data pada bab sebelumnya, keterbatasan penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya.