BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan tinjauan studi terdahulu terkait pelestarian ruang publik bersejarah pada kawasan tradisional. Adapun studi terdahulu yang berkaitan dengan ruang publik, ruang publik bersejarah ataupun ruang publik pada permukiman tradisional adalah sebagai berikut: 1. Memorable Square: Identities, Meanings and the Production of Urban Space in Yogyakarta, Indonesia (Widiyastuti. 2012) Penelitian ini membahas tentang ruang tradisional di Yogyakarta Indonesia disebut alun-alun, berbentuk persegi, yang terletak didepan istana dan dikelilingi oleh bangunan penting. Dengan segala perhitungan, alun-alun yang terletak di kawasan yang merupakan simbol kekuasaan dan peradaban. Fungsi awal alun-alun tidak dimaksudkan untuk melayani tujuan kerajaan dan menunjukkan keagungan kesultanan. Melalui sejarah, alun-alun telah mengubah peran dan menjadi hanya menjadi ruang publik. Hal ini telah mengalami berbagai konflik reproduksi dan kontrol mulai dari isu privatisasi, komersialisasi, dan penyalahgunaan konflik antara modernisasi dan konservasi. Penelitian ini menghasilkan keluaran berupa kajian tentang sejarah dan kondisi eksisting alun-alun saat ini 9
10 yang kemudian memberi rekomendasi untuk mengembalikan fungsi ruang publiknya dan dan fungsi budayanya. 2. Pelestarian Ruang Publik Lingkungan Laweyan Surakarta (Karsono, Danarti. 2010) Penelitian ini mengungkapkan tentang makna pengaruh-pengaruh sosial budaya masyarakat terhadap morfologi lingkungan untuk melestarikan suatau lingkungan dengan segala perubahan kehidupan masyarakatnya. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil studi menunjukkan bahwa ruang publik pada lingkungan aweyan merupakan jalan lingkungan yang digunakan sebagai sirkulasi mempunyai makna sebagai tempat berkomunikasi visual antara manusia dan bangunan yang berdiri secara kokoh di kedua sisinya. Sebagai tempat berkomunikasi visul jalan yang menjadi suatu publik area dapat mmbuktikan secara nyata merupakan salah satu peninggalan sejarah masyarakat pada masanya dan menggambarkan keadaan penghuni pada saat itu. Dengan melihat keberadaan ruang publik pada saat sekarang dapat disimpulkan bahwa hanya terjadi sedikit perubahan pada penggunaannya, untuk itu guna melestarikan ruang publik pada lingkungan Laweyan perlu pengaturan dan arahan dalam penggunaan dan pengembangannya pada masa berikutnya.
11 3. Alun-alun sebagai identitas kota jawa, dulu dan sekarang (Handinoto. 1992) Penelitian ini mengidentifikasi dan mendeskripsikan karakteristik alun-alun di jawa pada era pra-kolonial, kolonial, dan post-kolonial. Adapun fungsi alun-alun pada zaman pra-kolonial adalah (1) Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya. (2) Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara kraton-mesjid dan alun-alun). (3) Tempat pertunjukan kekuasaan militeri yang bersifat profan Sedangkan di era kolonial, alun-alun tidak lagi bersifat sakral namun cenderung bersifat moderat dan mencoba mengikis sifat-sifat kerajaan yang melekat padanya. Sedangkan di masa pasca kolonial setelah kemerdekaan hingga saat ini, alun-alun cenderung kehilangan identitas seperti apa yang dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan pola tradisional, tapi belum menemukan struktur-struktur baru yang mantap.
12 Tabel 2.1 Studi Terdahulu No Sumber Penelitian Judul Penulis Metode Keluaran Manfaat bagi Penelitian 1 Jurnal Pelestarian ruang publik kampung Laweyan Kota Surakarta Karsono, Danarti (2010) Deskriptif-eksploratif Behaviour mapping Family tree Karakteristik permukiman serta polanya, arahan pelestarian fisik dan non fisik. Memberikan masukan mengenai identifikasi karakteristik permukiman tradisional dan arahan pelestariannya. 2. Jurnal Alun-Alun Sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang Handinoto (1992) Deskriptif Karakteristik alun-alun di Jawa pada era pra-kolonial, kolonial, dan post-kolonial Mengetahui karakteristik ruang publik bersejarah. 3 Jurnal Memorable Square: Identities, Meanings and the Production of Urban Space in Yogyakarta, Indonesia Dyah Widiyastuti (2012) Deskriptif-eksploratif Rekomendasi untuk mengembalikan fungsi ruang publiknya dan dan fungsi budayanya. Memberikan masukan mengenai karakteristik ruang publik bersejarah Sumber: Karsono, Danarti (2010), Handinoto (1992), Widiastuti (2006)
13 2.2 Kerangka Berpikir Ancaman degradasi fisik dan makna ruang publik Yaroana Masigi. Berubahnya Obyek di dalam ruang publik secara fisik arsitektural serta makna Rumusan Masalah 1.Bagaimana Karakteristik fisik eksisting ruang publik Yaroana Masigi? 2.Bagaimana Karakteristik Sejarah dan signifikansi budaya pada ruang publik Yaroana Masigi? 3.Bagaimana upaya-upaya pelestarian pada ruang publik Yaroana Masigi? Olah data Survei primer : 1. Observasi Lapangan Pemetaan Pemotretan/ Video recording 2. Wawancara Narasumber kunci dan narasumber-narasumber yang direkomendasikan narasumber kunci Survey Sekunder : 1. Studi Kepustakaan Pustaka buku Pustaka jurnal, tesis Internet 2. Dokumen dari instansi/organisasi terkait Profil Kawasan Dokumen rencana terkait Analisa Analisis Deskriptif Karakteristik Fisik : spasial tata letak, hirarki, batasan dan besaran ruang. Nilai Sejarah dan Signifikansi Budaya : Sejarah, aktivitas budaya yang berlangsung di ruang publik Yaroana Masigi. Analisis Evaluatif dan Development Digunakan untuk menentukan arahan pelestarian fisik berdasarkan makna kultural yang terdapat pada ruang publik Yaroana Masigi Keluaran Pelestarian Yaroana Masigi sebagai ruang publik peninggalan kesultanan Buton di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara Gambar 2.1.Diagram Kerangka Berpikir
14 2.3 Konsep Konsep dimaksudkan untuk memberikan batasan terhadap terminologi teknis yang merupakan bagian dari kerangka teori. 2.3.1 Konsep Ruang Publik Yaroana Masigi a. Berdasarkan peraturan Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010, pasal 1, konsep konservasi tidak hanya mencakup monumen, bangunan atau benda arkeologis saja melainkan juga lingkungan, taman dan bahkan kota bersejarah. Mengacu pada undang-undang tersebut Yaroana Masigi merupakan kawasan yang perlu dikonservasi. b. Ruang publik pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung aktivitas atau kegiatan tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu maupun kelompok. Bentuk ruang publik bergantung pada pola dan susunan massa bangunan (Mulyandari. 2010) c. Yaroana Masigi berupa ruang publik yang selain mewadahi aktivitas publik yang bersifat tradisional, juga memuat benda arkeologis peninggalan kesultanan Buton. d. Yaroana Masigi berada ditengah-tengah permukiman tradisional Buton. Permukiman tersebut merupakan satu-satunya permukiman tradisional di Kota Baubau yang menjadi bukti peradaban peninggalan kesultanan Buton. Yaroana Masigi merupakan bagian inti dari permukiman tersebut, peninggalan kesultanan yang paling sakral berada di kawasan Yaroana Masigi seperti Masjid Agung Keraton, tiang bendera kesultanan, Baruga, Batu Popaua (batu pelantikan),
15 makam Sultan Buton pertama dan Batu Wolio (batu petirtaan). Kesemuanya menjadi satu kesatuan dalam ruang publik Yaroana Masigi. Tidak sekedar ruang publik dengan obyek dan bangunan bersejarah disekitarnya, ruang publik Yaroana masigi juga menjadi wadah aktivitas budaya yang sangat penting artinya bagi masyarakat Buton dan pulau Buton yaitu ritual pelantikan Sultan dan pemimpin daerah yang dilangsungkan di Yaroana Masigi. 2.3.2 Karakteristik Fisik Eksisting Karakteristik berasal dari bahasa Inggris characteristic yang berarti fitur atau kualitas yang dimiliki. Biasanya untuk orang, tempat, atau hal yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi. Karakteristik fisik eksisting dalam penelitian ini mencakup tinjauan umum kawasan yang berupa deskripsi umum saat ini mengenai lokasi studi, dan tinjauan khusus yang merupakan deskripsi tangible (fisik) dan intangible (non fisik) dari Yaroana Masigi baik terkait ruang maupun obyek atau bangunan didalamnya. 2.3.3 Nilai Sejarah Yaroana Masigi merupakan ruang publik yang banyak digunakan untuk keperluan kerajaan, keberadaan penting bagi fungsi kota kerajaan saat itu. Upaya untuk memahami ruang publik Yaroana Masigi adalah melalui penelusuran sejarahnya. Nilai sejarah kawasan yang dimaksudkan pada penelitian ini merupakan deskripsi mengenai kawasan dari aspek sejarahnya untuk mengetahui nilai sejarah yang terkandung serta melatarbelakangi keberadaan kawasan.
16 2.3.4 Signifikansi Budaya Dalam kamus bahasa Indonesia signifikansi diartikan sebagai keadaan signifikan atau arti penting. Dalam Piagam Burra disebutkan bahwa signifikansi budaya artinya nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial atau spiritual untuk generasi terdahulu, kini atau masa datang. Signifikansi budaya tersirat dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata letaknya, fungsinya, asosiasinya, maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait dan obyek-obyek terkait. Dalam penelitian ini signifikansi budaya mencakup ruang budaya dan kegiatan budaya maupun tradisi lokal yang telah berlangsung turun-temurun. 2.3.5 Konsep Pelestarian Menurut Undang-Undang No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya bahwa pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya. Upaya pelestarian dalam penelitian ini berupa arahan tindakan pelestarian fisik maupun non fisik yang mengacu pada jenis-jenis pelestarian pada piagam Burra 1999, yang kegiatan pelestariannya meliputi pengelolaan dan perencanaan. Konsep konservasi tidak hanya mencakup monumen, bangunan atau benda arkeologis saja melainkan juga lingkungan, taman dan bahkan kota bersejarah. Berdasarkan peraturan Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010 pasal 1, lingkup objek pelestarian yang ditetapkan antara lain: a. Benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagianbangiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima
17 puluh) tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan b. Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. 2.4 Landasan Teori Landasan teori adalah landasan berpikir yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah berdasarkan teori-teori yang ada. 2.4.1 Karakteristik Fisik Eksisting Ruang Publik 2.4.1.1 Ruang Publik Ruang publik merupakan konstruksi sosial dari ruang (Siahaan. 2005) karena ruang di sekitar kita, baik ruang tempat bermukim hingga ruang yang kita kunjungi ketika berpergian, merupakan bagian dari realitas sosial. Perilaku spasial yang ditentukan dan menentukan ruang sekitar kita merupakan bagian yang terintegrasi dengan eksistensi sosial kita. Senada dengan Siahaan, dalam (Whyte. 2003) Ruang publik merupakan ruang dalam suatu kawasan yang dipakai masyarakat penghuninya untuk melakukan kegiatan kontak publik. Ruang publik dapat berbentuk cluster maupun linier dalam ruang terbuka maupun tertutup. Beberapa contoh ruang publik antara lain : plaza, square, atrium, pedestrian.
18 Sejalan dengan pengertian diatas, Kementrian Pekerjaan Umum mendefinisikan ruang publik dalam tata guna lahan atau pemanfaatan ruang wilayah/area perkotaan adalah ruang terbuka (open space) yang dapat diakses atau dimanfaatkan oleh warga kota secara cuma-cuma sebagai bentuk pelayanan publik dari pemerintah kota yang bersangkutan demi keberlangsungan beberapa aktivitas sosial (rekreasi, kebersihan, keindahan, keamanan dan kesehatan ). Istilah ruang publik (public space) pernah dilontarkan Lynch dengan menyebutkan bahwa ruang publik adalah nodes dan landmark yang menjadi alat navigasi didalam kota (Lynch. 1960). Ruang publik diartikan sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini, warga privat (private person) berkumpul untuk membentuk sebuah publik dimana nalar publik ini akan diarahkan untuk mengawasi kekuasaan pemerintah dan kekuasaan negara. Ruang publik mengasumsikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Lebih lanjut, ruang publik dalam hal ini terdiri dari media informasi seperti surat kabar dan jurnal. Disamping itu, juga termasuk dalam ruang publik adalah tempat minum dan kedai kopi, balai pertemuan, serta ruang publik lain dimana diskusi sosiopolitik berlangsung. Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna (Carr et al. 1992) Responsif dalam arti ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Demokratis, artinya ruang publik dapat digunakan oleh masyarakat umum
19 dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Bermakna memiliki arti kalau ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia luas dengan konteks sosial. Mall atau pusat-pusat perbelanjaan tidak akan pernah menjadi ruang publik utuh, meski belakangan ini tempat tersebut dijadikan sebagai lokasi bertemu, bertukar informasi, atau sekedar tempat rekreasi melepas kepenatan, mall tetap menampilkan wajah yang privat dimana orang yang ada disana cenderung berasal dari kalangan ekonomi tertentu. Tidak adanya kontak dan interaksi sosial sebagai prasyarat bagi penguatan kapital sosial merupakan alasan utama mengapa ruang publik tidak dapat tergantikan oleh mall atau pusat perbelanjaan. Sementara itu, secara spasial ruang publik didefinisikan sebagai tempat dimana setiap orang memiliki hak untuk memasukinya tanpa harus membayar uang masuk atau uang lainnya. Ruang publik dapat berupa jalan (termasuk pedestrian), tanah perkerasan (pavement), public squares, dan taman (park). 2.4.1.2 Alun-alun Alun-alun merupakan salah satu konsep ruang terbuka publik yang dikenal oleh masyarakat Jawa tradisional. Konsep spasial alun-alun sebagai bagian dari komplek keraton atau pusat pemerintahan telah dikenal sejak abad 13-18 M, tepatnya pada masa kerajaan Majapahit hingga Mataram (Handinoto. 1992). Karena dibentuk oleh aktivitas kerajaan, karakteristik alun-alun pun memiliki fungsi-fungsi tersebut, seperti di ungkapkan Santoso (1984) dalam Handinoto (1992) tentang karakteristik alun-alun:
20 1) Lambang berdirinya sistem kekuasaan raja terhadap rakyatnya. 2) Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara kraton-mesjid dan alun-alun). 3) Tempat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profan. Seperti halnya alun-alun, ruang publik Yaroana Masigi juga terbentuk oleh konsensus budaya Kesultanan Buton, sehingga memiliki sifat-sifat yang mirip dengan alun-alun, yaitu sama-sama mengindikasikan adanya kerajaan, tempat kegiatan upacara keagamaan yang penting ditandai dengan adanya elemen masjid dan ruang terbuka, serta menjadi tempat pertunjukan kekuatan militer yang bersifat profan. Perbedaan fisik alun-alun dan Yaroana Masigi adalah pada elemen keraton. Pada Yaroana Masigi tidak terdapat wujud fisik yang bernama keraton, karena Sultan tidak dipilih berdasarkan jalur keturunan tetapi dipilih oleh muswarah dewan Siolimbona/Patalimbona. Sehingga kediaman Sultan (malige) merupakan rumah pribadi masing-masing Sultan. Kediaman sultan tersebut tersebar diseluruh kelurahan Melai dan tidak berada di areal Yaroana Masigi. Sedangkan penyebutan Benteng Keraton Buton terhadap benteng yang mengintari kelurahan Melai adalah konsep bahwa apa yang dilindungi oleh benteng adalah keraton (mencakup permukiman dan fasilititas lainnya di dalam benteng). 2.4.1.3 Elemen Spasial Kawasan Spasial adalah sesuatu yang terkait dengan lingkungan yang dibatasi oleh permukaan tanah sebagai bidang dasar dan udara di atasnya sebagai
21 rongga. Batas-batas spasial yang lain dapat berupa relung-relung yang terbentuk secara alamiah atau buatan yang menjadi relief permukaan tanah, tumbuh-tumbuhan, dan bangunan buatan manusia (Ronald. 2005). Ronald menjelaskan bahwa aspek-aspek spasial yang terdiri dari: arah (orientation), letak (setting), tingkatan (hierarchy), keterbukaan (transparancy), dan besaran ruang (size). 1. Letak (setting) Letak (setting) adalah posisi keberadaan seluruh komponen pembentuk ruang. Dalam Piagam Burra disebutkan bahwa tata letak artinya kawasan yang mengitari sebuah tempat yang dapat mencakup jangkauan visual. 2. Keterbukaan/batas ruang (transparancy) Pada lingkungan spasial bersifat relatif. Secara umum bernuansa tertutup atau terbatas. Sehingga sifat keterbukaan lingkungan sosial bila diterapkan pada keterbukaan ruang akan menunjukkan konsep jenjang ruang secara skalatis (Ronald. 2005). Dalam konteks ruang publik menurut Mulyandari (2010) batasan ruang ini dibagi atas pembatas bidang lunak (soft edges) ataupun bidang keras (hard edges) 3. Besaran ruang (size) Aspek besaran ruang (size) berhubungan langsung dengan konsep keterbukaan ruang. Pada lingkungan perkampungan di Indonesia pada umumnya memiliki ruang terbuka berupa halaman berbentuk persegi sebagai tempat bermain anak-anak atau orang dewasa
22 bertemu pada sore hari untuk merundingkan sesuatu (Jayadinata, 1992). Ruang terbuka yang berhirarki publik tersebut pada umumnya memiliki ukuran ruang yang lebih besar. Sedangkan ruang yang berhierarki privat pada umumnya memiliki besaran ruang yang lebih intim (Ronald. 2005). 4. Orientasi Orientasi adalah arah perhatian utama atau perasaan baik sesorang maupun sekelompok terhadap tanda-tanda tertentu dalam lingkungan kehidupannya. Pada umumnya status tanda-tanda tersebut adalah tetap, misalnya: arah peredaran matahari timur-barat, arah mata angin utara-selatan, gunung, sungai/air, lapangan terbuka, bangunan gedung, menara/tugu (Ronald. 2005). Orientasi secara sederhana dapat dilihat dengan mengetahui arah hadap dari komponenkomponen pembentuk ruang. Dalam konteks ruang publik menurut (Mulyandari. 2010), orientasi ruang dapat dibagi atas ruang yang berorientasi ke dalam, ruang yang tidak memiliki orientasi, dan ruang yang berorientasi keluar. Ruang yang berorientasi kedalam lazimnya memiliki sesuatu yang dapat dinikmati secara visual. 5. Tingkatan (hierarchy) Aspek tingkatan ruang timbul bermula dari sikap orang Jawa yang menempatkan dirinya ke dalam tingkatan tertentu. Paham yang berhubungan dengan tingkatan tersebut ialah paternalisme, yaitu menganggap adanya tingkatan sebagai tokoh masyarakat atau anggota biasa. Selain itu ada pula faham paternalisme yang
23 menganggap adanya orang dituakan dan yang dianggap lebih muda. Konsep tingkatan hierarki yang tumbuh pada kehidupan orang Jawa ini diterapkan pada saat menentukan ruang tinggalnya (Ronald. 2005). 2.4.1.4 Makna ruang pada ruang publik tradisional Istilah makna (referensi) menurut Keraf (2004) adalah hubungan antara bentuk (ekspresi) dengan hal atau barang yang diwakilinya (referennya). Makna terkait dengan persoalan bahasa itu mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi atau makna. Bentuk atau isi dapat diserap dengan panca indera, yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Mengenai isi atau makna adalah segi yang bisa menimbulkan reaksi bagi pendengar, pembaca, (terkait dengan objek visual adalah yang melihat) terhadap bentuk. Berhubungan dengan persoalan makna, ruang Yaroana Masigi dapat dibaca secara kontekstual atau diiterpretasi maknanya berdasarkan sejarah, aktivitas penggunaanya, serta elemen-elemen pembentuknya. Makna ruang dalam konteks pelestarian disebutkan di dalam piagam Burra adalah yang menyatakan bagaimana sebuah tempat dapat mengartikan, mengindikasikan, membangkitkan atau mengekspresikan sesuatu. 2.4.2 Nilai Sejarah dan Signifikansi Budaya Dari segi eksistensinya, kota maupun kawasan di dalamnya merupakan sejarah yang saling berkaitan satu sama lain, karena satu sejarah
24 mempengaruhi dan menentukan yang lain, satu sejarah memelihara dan menghidupi yang lain, serta satu sejarah melayani dan membutuhkan yang lainnya. Dengan merawat dan melestarikan pita sejarah. Rossi (1966) dalam The Architecture of the City melihat kota sebagai artefak yang merupakan gabungan dari tapak (site), peristiwa (event), dan tanda (sign). Peristiwa ini dapat kita artikan sebagai rentetan sejarah yang terjadi di dalam ruang tersebut, termasuk dalam ruang publik, sehingga tempat dan sejarah tidak dapat dipisahkan satu sama lain serta saling mendukung. Karena dari sinilah keberlanjutan sebuah kota itu dapat dicapai melalui monumen-monumen yang telah dibangun sebagai arsitektur kota, dengan ingatan sejarah itulah kota dapat selalu hidup, akrab dan komunikatif meskipun fungsinya ada yang berubah. Upaya untuk memahami kota tidak bisa dilakukan tanpa telaah sejarah, karena kota dapat dipandang sebagai organisasi hidup yang dari sudut pandang sejarah akan terlihat adanya berbagai peristiwa-peristiwa yang terjadi dan berkembang. Signifikansi budaya budaya menurut piagam Burra (1999) adalah nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial atau spiritual untuk generasi dahulu, kini atau masa akan datang. Dalam penelitian ini signifikansi budaya mencakup konsep pemaknaan tempat dan kegiatan budaya maupun tradisi lokal yang telah berlangsung turun-temurun, maka dapat diartikan bahwa signifikansi budaya pada ruang publik di permukiman tradisional Buton di Kelurahan Melai ini meliputi fakta bahwa ruang publik tersebut berada di kawasan permukiman tradisional, serta kearifan lokal yang tercakup di dalamnya.
25 Unsur-unsur kebudayaan yang terdiri dari rangkaian sistem aktivitas masyarakat, pengetahuan dan bahasa dalam lingkup kehidupan masyarakat diwujudkan lagi menjadi tiga seperti yang dijelaskan Koentjaraningrat (1974), sebagai berikut: 1. Kebudayaan sebagai kompleksitas ide-ide, gagasan, norma-norma dan peraturan yang bersifat abstrak, disebut sebagai culture system. 2. Kebudayaan sebagai kompleksitas aktivitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat, bersifat lebih konkrit dan disebut sebagai social system. 3. Kebudayaan benda-benda hasil karya manusia (artefak), mempunyai sifat paling konkrit, dapat diraba, diobservasi dan didokumentasi, disebut sebagai kebudayaan fisik atau physical culture. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebudayaan semakin terwujud pada bentuk konkrit yang didasari oleh adanya unsur culture system, social system dan akhirnya physical culture. Unsur dan wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat tersebut diilustrasikan seperti gambar 2.2 berikut. Gambar 2.2 Unsur dan wujud kebudayaan universal Sumber: Koentjaraningrat (1974)
26 Kebudayaan fisik atau physical culture dapat diwujudkan melalui wujud fisik tertentu, misalnya berupa benda yang dihasilkan dari karya manusia. Terkait dengan hal tersebut, menurut Koentjaraningrat (1987), benda-benda hasil karya manusia merupakan wujud kebudayaan fisik termasuk di dalamnya adalah permukiman dan bangunan tradisional. Ruang publik Yaroana Masigi sendiri sangat erat kaitannya dengan permukiman tradisional Buton di kelurahan Melai, berada di tengah-tengah permukiman tradisional yang keberadaanya dianggap penting bagi permukiman, terbentuk oleh kebudayaan masyarakat di permukiman tersebut dan menjadi bagian dari pola permukiman. Pola permukiman dan bangunan tradisional merupakan salah satu wujud kebudayaan fisik dari masyarakat penghuninya. Bagaimana suatu permukiman tradisional terbentuk dari nilai sosial budaya masyarakat, salah satunya dijelaskan oleh Rapoport (1997) bahwa permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuninya, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar norma-norma tradisi. Dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat pengaruh nilai sosial budaya masyarakat yang di dalam pembentukannya didasarkan pada normanorma tradisi masyarakat tertentu terhadap pembentukan permukiman tradisional baik secara fisik (bangunan tradisional) maupun secara pola (konsep penataan/pengaturan ruang di dalam suatu permukiman). Nilai sosial budaya tertentu dari suatu anggota masyarakat tertentu yang
27 dimanifestasikan dalam pola permukiman dan bangunan tradisional membentuk karakter khas yang mungkin tidak dimiliki oleh masyarakat lainnya. Kekhasan yang dimiliki oleh pola permukiman tersebut pada akhirnya dapat berfungsi untuk membentuk citra/karakter suatu kawasan. Terkait hal tersebut Wikantiyoso (1991) menyatakan bahwa permukiman tradisional adalah aset kawasan yang dapat memberikan ciri ataupun identitas lingkungan. Identitas kawasan tersebut terbentuk dari pola lingkungan, tatanan lingkungan binaan, ciri aktivitas sosial budaya dan aktivitas ekonomi yang khas. Pola tata ruang permukiman tradisional sendiri mengandung tiga elemen, yaitu ruang dengan elemen-elemen penyusunnya (bangunan dan ruang di sekitarnya), tatanan (formation) yang mempunyai makna komposisi serta pattern atau model dari suatu komposisi. 2.4.2.1 Pengaruh Kebudayaan pada Ruang Fisik Wujud fisik berhubungan erat dengan kebudayaan, antara lain terlihat pada pandangan hidup, konsepsi tentang dunia/alam semesta dan organisasi sosial dari masyarakatnya yang berada di lingkungan tersebut (Rapoport.1960). Berkaitan dengan hal tersebut, untuk memahami suatu masyarakat dapat dipelajari melalui pemahaman terhadap lingkungan buatannya, begitu pula sebaliknya, bahwa untuk memahami suatu lingkungan buatan dapat dipelajari melalui pemahaman terhadap aspekaspek kemasyarakatannya. Pengertian ini dapat menunjukkan pada tempat tinggal manusia, susunan bangunan, serta sifat dan watak bangunan. Lingkungan mencerminkan banyak pengaruh sosio-budaya yang meliputi religi, kekerabatan, organisasi sosial, dan sebagainya. Hal-hal yang
28 menurut Rapoport lebih memberikan variasi bentuk daripada kebutuhan biologis, kondisi iklim, peralatan membangun dan yang lainnya, yang menjadi sebab mengapa salah satu aspek dapat lebih berpengaruh dibanding lainnya pada suatu budaya dibanding aspek tersebut pada budaya lain. Apa yang dinyatakan oleh Rapoport tersebut dapat dijadikan dasar bahwa sosiobudaya yang diwujudkan dalam religi, kekerabatan, organisasi sosial mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi wujud lingkungan tradisional. Terkait dengan budaya dan ritual ditunjukkan sebagai peristiwa publik yang ditampilkan pada tempat khusus (sacred places).pada upacara ritual yang berkaitan dengan: kelahiran, puber, perkawinan, kematian, dan berbagai peristiwa krusial lainnya sebagai perubahan atau transisi dalam kehidupan seseorang (Sasongko. 2005). 2.4.2.2 Karakteristik Kawasan Tradisional Ungkapan fisiknya sangat dipengaruhi oleh faktor sosio-kulural dan lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang. Perbedaan wilayah dan latar budaya akan menyebabkan perbedaan pula dalam ungkapan arsitekturalnya. Permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuninya, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar norma-norma tradisi (Rapoport.1969). Karena berkaitan dengan nilai sosial budaya penghuninya yang sifatnya komunitas dan bukan individu, artinya komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri permukiman yang berbeda
29 pula. Perbedaan inilah yang memberikan keunikan tersendiri pada, yang antara lain dapat dilihat dari orientasi, bentuk dan bahan bangunan serta konsep religi yang melatarbelakanginya. Masyarakat-masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat religius. Agama dan kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-orang akan terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu lingkungan yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan suatu makna yang paling penting. Sebuah pandangan yang lebih pragmatik, adalah bahwa hal yang sakral tersebut serta ritual keagamaan yang menyertainya dapat menjadi efektif untuk membuat orang-orang melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang disahkan atau dilegalkan (Rapoport. 1969). Ruang-ruang pada permukiman tradisional dimaknai beragam sesuai dengan tradisi masyarakatnya. Hal ini senada dengan teori Rapoport (1982) bahwa elemen ruang menjadi unsur penting dalam menciptakan makna, salah satu bahasa komunikasi untuk memaknai ruang adalah budaya (cultural code) Dari teori tersebut, dapat dilihat bahwa place dapat dirasakan oleh manusia ketika terkandung kombinasi makna yang ditangkap oleh indra manusia. Budaya setempat menjadi elemen berkembangnya ruang menjadi sakral. Ruang sakral ini secara garis besar dibagi menjadi dua (Tuan. 2010), yaitu : 1) Place yang tercipta dari pelebaran ruang yang familiar dan setiap hari kita alami secara langsung. Ketika kita pernah
30 merasakan suasana pegunungan, pengalaman tersebut akan terulang kembali di tempat yang berbeda namun memiliki suasana yang hampir sama. 2) Place yang dikenal dengan kosmologi. Ruang ini lebih bersifat mistis dari ruang yang pertama. Ruang ini merupakan gambaran dari dunia, dimana manusia memiliki sistem keteraturan, alami dan ditunjukan dengan hubungan yang harmonis di dalamnya. 2.4.2.3 Kearifan Lokal Hal yang paling sering di jumpai pada permukiman tradsional adalah kearifan lokalnya, baik itu dalam bentuk fisik permukiman maupun non fisik. Definisi kearifan lokal menurut Ridwan (2007), kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, obyek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Kearifan lokal yang lebih spesifik disebut pula pengetahuan lokal (indigenous knowledge) oleh Ellen, Parker & Bicker (2005) didefinisikan sebagai: a) Suatu pengetahuan yang terkait dengan suatu tempat (place), dan sekumpulan pengalaman (experience), dan dikembangkan oleh masyarakat ditempat itu. b) Suatu pengetahuan yang diperoleh melalui meniru, mencontoh, dan bereksprimen (mencoba-coba).
31 c) Pengetahuan praktis sehari-hari yang didapat dari pengalaman trial and error d) Suatu pengetahuan empiris yang bukan teoritis. e) Suatu pengetahuan yang bersifat holistik dan integratif di dalam ranah tradisi dan budaya. Pengetahuan lokal juga merupakan suatu informasi yang sistematis yang berasal dari masyarakat biasa dan biasanya tidak tertulis (Brush & Stabinsky, 1996). Pengetahuan lokal dapat dipahami sebagai suatu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu, yang didapatkan melalui suatu proses yang panjang (trial and error) dan sesuai dengan lingkungannya. Jenis kearifan lokal dapat berupa tata kelola, nilai-nilai adat (sistem nilai), serta tata cara dan prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat) (Ernawi. 2009) 2.4.3 Tinjauan tentang Arahan Pelestarian Pelestarian adalah upaya yang dilakukan manusia untuk melestarikan atau melindungi alam. Pelestarian adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, pelestarian berasal dari bahasa Inggris, (Inggris) Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan. Istilah pelestarian yang biasa digunakan para arsitek mengacu pada Piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1999 yaitu Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance,
32 Burra, Australia. Piagam ini lebih dikenal dengan Burra Charter. Dalam Burra Charter konsep pelestarian adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang telah dirumuskan dalam piagam tersebut. Pelestarian adalah konsep proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik. Pengertian ini sebenarnya perlu diperluas lebih spesifik yaitu pemeliharaan morfologi (bentuk fisik) dan fungsinya. Kegiatan pelestarian meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut. Bila dikaitkan dengan kawasan maka pelestarian kawasan atau sub bagian kawasan mencakup suatu upaya pencegahan adanya aktivitas perubahan sosial atau pemanfaatan yang tidak sesuai dan bukan secara fisik saja. Adapun tujuan kegiatan pelestarian adalah sebagai berikut: 1. Memelihara dan melindungi tempat-tempat yang indah dan berharga, agar tidak hancur atau berubah sampai batas-batas yang wajar. 2. Menekankan pada penggunaan kembali bangunan lama, agar tidak terlantar. Apakah dengan menghidupkan kembali fungsi lama, ataukah dengan mengubah fungsi bangunan lama dengan fungsi baru yang dibutuhkan. 3. Melindungi benda-benda cagar budaya yang dilakukan secara langsung dengan cara membersihkan, memelihara, memperbaiki, baik secara fisik maupun khemis secara langsung dari pengaruh berbagai faktor lingkungan yang merusak.
33 4. Melindungi benda-benda (dalam hal ini benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala) dari kerusakan yang diakibatkan oleh alam, kimiawi dan mikro organisme Kegiatan pelestarian antara lain di jelaskan dalam Burra Charter (1999) bida berbentuk sebagai berikut: 1. Konservasi artinya seluruh proses pemeliharaan sebah tempat untuk mempertahankan signifikansi budayanya. pemeliharaan artinya perlindungan terus menerus pada bahan dan tata letak sebuah tempat. 2. Preservasi artinya mempertahankan sebuah tempat dalam kondisi sebenarnya 3. Restorasi artinya mengembalikan bahan/ kondisi eksisting sebuah tempat pada keadaan semula sebagaimana yang diketahui dengan menghilangkan tambahan atau dengan meniru kembali komponen eksisting 4. Rekonstruksi artinya mengembalikan sebuah tempat pada keadaan semula yang diketahui dan dibedakan dari restorasi dengan menggunakan material baru dari sebagai bahan 5. Adaptasi artinya meodifikasi sebuah tempat untuk disesuaikan dengan pemanfaatan eksisting atau pemanfaatan yang diusulkan Undang-undang Cagar Budaya no 11 tahun 2010 juga menyebutkan metode pelestarian yang lain yaitu revitalisasi dan adaptasi. Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting cagar budaya dengan penyesuaian fungsi
34 ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Adaptasi adalah upaya pengembangan cagar budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting. Langkah pelestarian lainnya adalah rehabilitasi atau pemeliharaan, merupakan upaya mengembalikan kondisi suatu bangunan yang telah mengalami kerusakan/kemunduran atau degradasi, kepada kondisi aslinya sehingga dapat berfungsi kembali sebagaimana mestinya (Budiharjo.1987) Aktivitas tersebut tergantung dengan kondisi, persoalan, dan kemungkinan yang dapat dikembangkan dalam upaya pemeliharaan lebih lanjut, hal ini ditentukan dengan melihat tingkat perubahan pada obyek seperti pada tabel berikut: Tabel.2.2 Pelestarian Fisik Pelestarian Fisik Tingkat intervensi/perubahan Preservasi Sangat kecil Konservasi Kecil Rehabilitasi Sedang Restrorasi Sedang Besar Rekonstruksi Besar Sumber: Antariksa (2011) Sebelum mengambil tindakan pelestarian fisik seperti pada tabel diatas, perlu dilakukan penilaian makna kultural sebagai cara untuk menentukan arahan pelestariannya.
35 Tabel 2.3 Penilaian makna kultural Kriteria Definisi dan tolak ukur Estetika Berkaitan dengan bentuk estetika apakah ada perubahan atau tidak Karakter Bangunan Memiliki peran yang penting dalam pembentukan karakter bangunan. Memiliki ciri khas seperti usia bangunan, ukuran/luas bangunan, bentuk bangunan, dan sebagainya Kelangkaan Kelangkaan dari suatu jenis karya yang mewakili sisa warisan peninggalan terakhir minimal berusia 50 tahun atau lebih Peranan sejarah Berkaitan dengan peristiwa bersejarah sebagai hubungan simbolis peristiwa dahulu dan sekarang keluarbiasaan Obyek konservasi yang memiliki bentuk menonjol, besar, tinggi, ukuran, karakter, dan hal luar biasa lainnya Memperkuat karakter kawasan Sumber: Feilden (1982) Peran kehadirannya dapat sesuai dengan fungsi kawasan dan meningkatkan kualitas serta citra dan karakter kawasan Dalam menganalisis nantinya masing masing kriteria tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Yang sesuai dengan kondisi bangunan ditinjau dari makna kultural elemen elemen bangunan. Setiap tingkatan mempunyai bobot nilai tertentu. Bobot penilaian ini juga dapat digunakan pada bobot nilai yang berbeda juga. Penelitian ini menggunakan scoring dengan tiap kriteria dibagi menjadi tiga tingkatan mulai rendah, sedang dan tinggi, yaitu 1,2 dan 3. 2.5 Model Penelitian Ruang publik Yaroana Masigi dengan obyek bersejarah didalam lingkungannya termasuk dalam ruang publik yang perlu dipertahankan kelestariannya baik secara fisik maupun makna. Namun degradasi serta
36 perubahan fisik obyek yang berimbas pada hilangnya makna dikhawatirkan mengancam kelestarian ruang publik Yaroana Masigi. Kemudian disusunlah model penelitian yang merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian yang mendasari penelitian. ini dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut. Ruang Publik Yaroana Masigi Lestarinya ruang publik, lestari secara fisik maupun makna Ancaman degradasi fisik dan makna ruang publik Yaroana Masigi. Berubahnya Obyek di dalam ruang publik secara fisik arsitektural serta makna Rumusan masalah 1 Rumusan masalah 2 Rumusan masalah 3 Bagaimana Karakteristik fisik eksisting ruang publik Yaroana Masigi? Bagaimana nilai sejarah dan signifikansi budaya pada ruang publik Yaroana Masigi? Bagaimana upaya pelestarian ruang publik Yaroana Masigi? Teori: Teori elemen spasial (Ronald. 2005) Teori: Teori kebudayaan (Koenjtaraningrat. 1990) Pengaruh kebudayan terhadap ruang fisik (Rapoport. 1969) Teori: Arahan pelestarian fisik: Burra Carter (1999) Penilaian makna cultural (Feilden. 1982), Pembahasan Kesimpulan dan Saran Gambar. 2.3 Diagram model penelitian Sumber: Analisis Penulis