TINJAUAN PUSTAKA. pemanfaatnya sehingga menjadi wilayah-wilayah open access, sehingga dapat

dokumen-dokumen yang mirip
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN PUSTAKA. Seluruh kawasan hutan yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi

(KPH) Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

this file is downloaded from

I. PENDAHULUAN. hutan dan hasil hutan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya

PEMBENTUKAN WILAYAH KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. (Firdaus, 2012). Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada

PERAN STRATEGIS KPH. Oleh : M.Rizon, S.Hut, M.Si (KPHP Model Mukomuko) Presentasi Pada BAPPEDA Mukomuko September 2014

BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

I. PENDAHULUAN. Oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan hutan pada tingkat tapak, melalui

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

Policy Brief. Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU. Fitra Riau

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan

PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN KPH

2 tentang Fasilitasi Biaya Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : P.20/MenLHK-II/2015 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG

this file is downloaded from

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN. Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA

P E N D A H U L U A N

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KEHUTANAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menhut-II/2011 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN DAERAH 1. Inventarisasi Hutan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

AA. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. Dalam mengiringi dinamika perkembangan pembangunan Indonesia, bangsa. Maka sesuai dengan amanat undang-undang, pemanfaatan hutan adalah

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. konsep pengelolaan hutan di Indonesia bersifat dinamis, sesuai dengan

I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LUAS KAWASAN (ha)

this file is downloaded from

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan;

PERAN DINAS KEHUTANAN SEBAGAI MITRA UTAMA DDPI KALTIM

OPTIMALISASI PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN

VISI, MISI & SASARAN STRATEGIS

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.01/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN. Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No. -2- Kehutanan, diperlukan penyempurnaan Peraturan Menteri Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam huruf b; d. bahwa berdasarkan pertimbangan se

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan paradigma pengelolaan hutan di dunia,yang meliputi paradigma

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008

REFLEKSI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DIKEPEMIMPINAN GUBERNUR JAMBI BAPAK Drs. H. HASAN BASRI AGUS, MM

K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 112 /Dik-2/2011

PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

SISTEMATIKA PENYAJIAN :

-1- GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 115 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kondisi hutan di Indonesia telah mengalami degradasi dan deforestasi yang sangat hebat. Kondisi terdegradasi dan deforestasi tersebut diakibatkan antara lain oleh pembangunan infrastuktur, pembangunan pertanian dan perkebunan, pemukiman. Selain itu banyak kawasan hutan yang belum ada pengelola dan pemanfaatnya sehingga menjadi wilayah-wilayah open access, sehingga dapat menimbulkan kerawanan dari kejahatan kehutanan illegal logging, perambahan dan sebagainya. Kondisi tersebut memerlukan langkah-langkah konkret di lapangan (Djajono, 2010). Sesuai dengan amanat UU No. 41 tahuan 1999 tentang Kehutanan tertuang dalam penyelenggaraan pengurusan hutan khususnya diperencanaan kehutanan. Sesuai peraturan perundangan Perencanaan Kehutanan terdiri dari Inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan perencanaan hutan. Rangkaian proses pemantapan kawasan hutan tersebut salah satu yang terpenting adalah terbentuknya wilayah pengelolaan hutan dan institusi pengelolanya, yang merupakan organisasi tingkat tapak ( teritory) dalam wujud Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH (Djajono, 2010).

7 Menurut PP No.6 Tahun 2007 Pasal 1 Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH diartikan sebagai wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 230/Kpts-II/2003 tentang Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi menyebutkan pengertian KPH Produksi adalah unit pengelolaan hutan produksi terkecil yang dapat dikelola secara efisien dan lestari (Firdaus, 2012). Pembentukan KPH sebenarnya sudah dimulai sejak ditetapkannya kebijakan Pemerintah berupa UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Namun amanat pembentukan KPH secara jelas baru tertuang dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan (Puspariani, 2008). Dalam rangka persiapan untuk mewujudkan kelembagaan KPH, Menteri Kehutanan dapat menetapkan wilayah KPH Model yang merupakan salah satu bagian dari wilayah KPH Provinsi. Kesatuan Pengelolaan Hutan Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat tapak, yang diindikasikan oleh suatu kemampuan menyerap tenaga kerja, investasi, memproduksi barang dan jasa kehutanan yang

8 melembaga dalam sistem pengelolaan hutan secara efisien dan lestari (Puspariani, 2008). Sampai dengan bulan Maret 2011, Menteri Kehutanan telah menetapkan sebanyak 28 KPH model, dua KPH model berada di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu KPHP Model Lakitan di Kabupaten Musi Rawas dan KPHP Model Lalan di Kabupaten Musi Banyuasin. Wilayah KPHP Model Lalan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 789/Menhut-II/2009 tanggal 9 Desember 2009, memiliki areal yang lebih luas dibandingkan dengan KPHP Model Lakitan, bahkan merupakan KPH Model yang paling luas di Indonesia, yaitu seluas 265.953 hektar. Walaupun merupakan gabungan antara dua kelompok hutan produksi, yaitu kawasan hutan produksi (HP) Lalan dan HP Mangsang Mendis, akan tetapi karena HP Lalan memiliki luas yang lebih dominan, sehingga Lalan digunakan sebagai nama KPHP (Puspariani, 2008). Sebagian besar kawasan KPHP Model Lalan telah ditetapkan untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) hutan tanaman, sedangkan selebihnya ditetapkan untuk hutan desa, pencadangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), pencadangan areal penyimpanan karbon dalam rangka penerapan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD), dan pecadangan hutan desa, serta ada yang dimohonkan untuk IUPHHK (Puspariani, 2008). Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan satu di antara upaya mengatasi permasalahan kehutanan Indonesia yang kondisinya makin memprihatinkan, yang ditandai dengan meningkatnya laju degradasi hutan, kurang berkembangnya investasi dibidang kehutanan, rendahnya kemajuan

9 pembangunan hutan tanaman, kurang terkendalinya illegal logging dan illegal trade, merosotnya perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan, serta meningkatnya luas kawasan hutan yang tidak terkelola secara baik. Melalui KPH diharapkan dapat dilakukan upaya-upaya strategis dalam bentuk deregulasi dan debirokratisasi kehutanan dengan pendekatan multi-pihak (Rizal, Dewi, Kusmedi 2009). Kesatuan Pengelolaan Hutan adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Konsep KPH sebenarnya mulai diwacanakan sejak diberlakukannya UU No.5/1967 yang pada masa itu diartikan sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan, sebagaimana diterapkan dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa. Menurut UU 41/1999 konsep ini kembali dimunculkan yang kemudian diikuti dengan aturan pedoman pembentukannya seperti tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan (Rizal, dkk, 2009). Konsep KPH memiliki hukum dengan dikeluarkannya PP 6/2007 jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, dimana berdasarkan konsep tersebut kawasan hutan di Indonesia terbagi dalam KPH, yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari maka seluruh kawasan hutan terbagi ke dalam KPH (Rizal, dkk, 2009). Kesatuan Pengelolaan Hutan tersebut dapat berbentuk KPHK, KPHL maupun KPHP tergantung dari fungsi yang luasnya dominan. Fungsi yang luasnya

10 dominan adalah apabila dalam satu wilayah KPH terdiri lebih dari satu fungsi hutan, misalnya terdiri dari hutan yang berfungsi produksi dan hutan yang berfungsi lindung, dan jika areal dari salah satu fungsi hutan, misalnya fungsi produksi, lebih luas atau mendominasi areal yang berfungsi lindung, maka KPH tersebut dinamakan KPH Produksi KPHP. Penentuan nama KPH berdasarkan fungsi yang luasnya dominan adalah untuk efektifitas dan efisiensi pengelolaannya (Rizal, dkk, 2009). KPH merupakan konsep perwilayahan pengelolaan hutan sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Konsep KPH sebenarnya mulai diwacanakan sejak diberlakukannya UU No. 5/1967 yang pada masa itu diartikan sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan, sebagaimana diterapkan dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa. Undang-undang 41/19993 konsep ini kembali dimunculkan yang kemudian diikuti dengan aturan pedoman pembentukannya seperti tertuang dalam beberapa peraturan perundangundangan. Sebelumnya pada awal tahun 1990an, keluar beberapa peraturan menteri yang mengatur KPHP yang konsepnya adalah juga pengelolaan hutan lestari (Ngakan, 2008). Pengelolaan hutan merupakan usaha untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari berdasarkan tata hutan, rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari, maka seluruh kawasan hutan terbagi ke dalam KPH yang merupakan wilayah pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Dengan adanya

11 KPH diharapkan ada pihak yang secara langsung bertanggung jawab terhadap kawasan hutan, sehingga pengelolaan hutan menjadi lebih efektif dan efisien (Alvian, 2008). Kepala KPH Sub Bagian Tata Usaha Seksi Rencana Teknik dan Evaluasi Seksi Bina Hutan Kelompok Jabatan Fungsional Gambar 2. Struktur kepegawaian Kesatuan Pengelolaan Hutan (Kementrian, 2013). B. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Hutan produksi yaitu dengan adanya kejelasan letak dan luas dari kesatuan pengelolaan dimana prinsip-prinsip kelestarin akan diterapkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan. Kesatuan-kesatuan pengelolaan untuk pengusahaan hutan diluar Pulau Jawa yang berbentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), sampai saat ini belum sepenuhnya memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang sehat. Sistim pengelolaan hutan di Pulau Jawa yang lebih mantap tertata perlu untuk dijadikan acuan dalam menglola hutan di luar Pulau Jawa Pasal 10 Undang-Undang No.5

12 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan menetapkan bahwa Untuk menjamin terselenggaranya pengurusan hutan negara yang sebaikbaiknya, maka dibentuk kesatuan-kesatuan pemangkuan hutan dan kesatuankesatuan pengelolaan hutan yang pelaksanaanya diatur lebih lanjut oleh menteri (Samsuri, 2004). Program pengelolaan hutan yang dilakukan pemerintah selama ini dilakukan bedasarkan asumsi bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang harus diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan funsi hutan. Dalam usaha itu pelestarian sumberdaya alam merupakan kegiatan utama juga memelihara tataguna air, memperluas lapangan pekerjaan juga untuk meningkatkan sumber pendapatan negara. Dalam pengelolaan itu peran pemerintah dan masyarakat sekitar hutan sangat strategis sebagai obyek utama dalam pengelolaan hutan (Soemarno, 2009). Selain itu peningkatan pengusahaan hutan produksi, hutan tanaman produksi serta hutan alam juga harus dilakukan untuk meningkatkan produksi hutan. Hutan rakyat juga dikembangkan melalui penyediaan bibit bagi hutan yang baru dipanen juga pengamanan arus kayu dan penjagaan keharusan melakukan reboisasi bagi perusahaan dan rakyat apabila melakukan pengambilan terhadap hasil hutan. Seluruh pengusahaan hutan tersebut harus di arahkan untuk mencegah kerusakan hutan dan pengelolaan yang lestari terhadap hutan selain asumsi bahwa hutan harus dikelola untuk kemakmuran, hutan juga harus dikelola sebagai bagian yang integral dari ekosistem. Pengelolaan harus mampu untuk menjaga fungsi tanah,

13 air, udara, iklim, dan lingkungan hidup. Setiap perubahan fungsi kawasan hutan harus diikuti dengan pengalihan fungsi lain agar hutan tetap lestari. Keseimbangan alampun tidak akan mengalami perubahan sehingga tidak mengganggu kehidupan masyarakat. Kondisi itu maka plasma nuftah sebagai kekayaan lama yang tidak ternilai harganya selain fungsi lain dapat terjaga (Soemarno, 2009). C. Kompetensi Sumberdaya Manusia Kompetensi didefinisikan Mitrani et al (1992) sesuatu yang melekat dalam dirinya yang dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kinerja. Sesuatu yang dimaksud menyangkut motivasi. Selanjutnya menurut Spencer dan Spencer (1993) kompetensi dapat dibagi atas dua kategori yaitu theshold competencies dan differentiating competencies. Theshold competencies adalah karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya, tetapi tidak untuk membedakan seorang yang berkerja tinggi dan rata-rata. Sedangkan differentiating competenceis adalah faktor-faktor yang membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah. Kompetensi sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan tingkat yang memuaskan ditempat kerja termasuk diantara kemampuan seseorang mengaplikasikan keterampilan dan pengetahuan tersebut dalam situasi yang baru dan meningkatkan manfaat yang disepakati. Kompetensi menjelaskan apa yang dilakukan orang di tempat kerja pada berbagai tingkatan, mengidentifikasi

14 karakteristik, pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan oleh individual yang memungkinkan menjalankan tugas dan tanggung jawab secara efektif sehingga mencapai standar kualitas professional dalam bekerja, dan mencakup semua aspek catatan manajemen kinerja, keterampilan dan pengetahuan tertentu, sikap, komunikasi, aplikasi, dan pengembangan (Sutrisno, 2011). D. Kompetensi Teknis Menurut Walshetal (2001) bahwa kompetensi dasar merupakan keterampilan yang luas tentang produksi dan teknologi korporasi yang mendukung organisasi untuk beradaptasi dengan cepat terhadap peluang-peluang yang timbul. Mengidentifikasi kompetensi-kompetensi apa yang relevan pada industri tertentu. Indikator dari kompetensi teknis. Tingkat Pendidikan merupakan persyaratan yang dibutuhkan dalam memegang jabatan dan biasanya berkaitan dengan tingkat intelektual, serta tingkat pengetahuan yang diperlukan ( Walshetal, 2001). E. Kompetensi Non Teknis Indikator dari kompetensi non teknis menurut Thoha (2008) yaitu pengendalian diri (self control) kemampuan untuk mengendalikan emosi diri agar terhindar dari berbuat sesuatu yang negatif saat situasi tidak sesuai harapan atau saat berada di bawah tekanan. Kepercayaan diri ( self confidence) tingkat kepercayaan yang dimilikinya dalam menyelesaikan karyawan. Fleksibilitas (flexibility) kemampuan untuk beradaptasi dan bekerja secara efektif dalam berbagai situasi, orang atau kelompok. Membangun hubungan ( Relationship Building) kemampuan bekerja untuk membangun atau memelihara keramahan, hubungan

15 yang hangat atau komunikasi jaringan kerja dengan seseorang, atau mungkin suatu hari berguna dalam mencapai tujuan kerja. F. Sumber Daya Manusia Sumber daya hutan merupakan salah satu kekayaan alam yang memiliki nilai sangat strategis. Meskipun sumberdaya alam ini termasuk kategori potensi alam yang dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan kekayaan alam ini harus benarbenar dilakukan secara arif, bijaksana dan profesional. Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa hutan merupakan suatu ekosistem, artinya konsep pengelolaannya harus menyeluruh yang memadukan unsur biotik dan abiotik beserta unsur lingkungan lainnya yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan secara lestari sustainable (Dinas Kehutanan, 2006). Perencanaan sumber daya manusia adalah proses mengantisipasi dan membuat ketentuan persyaratan untuk mengatur arus gerakan tenaga kerja ke dalam dan ke luar organisasi, dikatakan bahwa perencanaan sumber daya manusia merupakan perencanaan yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan organisasi dalam mencapai tujuan, melalui strategi pengembangan kontribusi pekerjanya di masa depan. Perencanaan sumber daya mansia sebagai suatu kegiatan merupakan proses bagaimana memenuhi kebutuhan tenaga kerja saat ini dan masa datang bagi sebuah organisasi. Memenuhi kebutuhan tenaga kerja saat ini, maka proses perencanaan sumberdaya manusia berarti usaha untuk mengisi/menutup kekurangan tenaga kerja baik secara kuantitas maupun kualitas. Sedangkan dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja di masa datang, perencanaan sumber daya manusia lebih menekankan adanya usaha peramalan ( forecasting)

16 mengenai ketersediaan tenaga kerja yang didasarkan pada kebutuhan sesuai dengan rencana bisnis di masa datang (Alwi, 2010). Tahapan dari proses perencanaan sumber daya manusia dimulai dengan mempertimbangkan tujuan dan strategi organisasi. Kemudian penilaian ke butuhan sumber daya manusia dan sumber pengadaan eksternal dan internal harus segera dilakukan dan perkiraan dilakukan. Kunci untuk penilaian sumber daya manusia internal adalah memiliki informasi yang baik di mana dapat diaskes melalui system informasi sumber daya manusia (Dipodiningrat, 2013). Sumber daya manusia adalah manusia yang ada dalam lingkungan suatu organisasi untuk bekerja, yang memiliki potensi untuk melaksanakan kegiatan organisiasi. Sumber daya manusia juga dapat disebut sebagai asset yang dimiliki oleh suatu organisasi untuk menghasilkan suatu potensi dalam bentuk hasil kerja yang nyata bagi kepentingan organisasi. Keberhasilan pengelolaan sumberdaya manusia akan nampak pada keberhasilan mendapatkan komitmen karyawan. Memberi perhatian yang penuh dan membuat karyawan percaya terhadap organisasi akan diperoleh komitmen karyawan. Jika komitmen karyawan telah diperoleh akan didapatkan karyawan yang setia, bekerja sebaik mungkin untuk kepentingan organisasi. Keadaan ini sangat baik bagi pencapaian tujuan organisasi, karena organisasi mendapat dukungan penuh dari anggotanya sehingga bisa berkonsentrasi secara penuh pada tujuan yang diprioritaskan (Widodo, 2012). Pemberdayaan sumber daya manusia merupakan aktivitas atau kegiatan yang dilaksanakan agar sumber daya manusia didalam organisasi dapat dipergunakan

17 untuk mencapai tujuan organisasi tersebut. Pemberdayaan sumber daya manusia itu sendiri adalah untuk memberikan dorongan, motivasi serta kemampuan yang dimiliki untuk dikembangkan guna kepentingan Intansi dengan cara memberikan kekuasaan atau mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada pihak lain. Pemberdayaan sumber daya manusia diharapkan mampu meningkatkan kredibilitas kerja yang pada akhirnya dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja pegawai agar dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Secara umum kinerja pegawai dapat dilihat dari kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan kewajibanya secara tepat waktu dan memuaskan (Nasrulloh, 2008). G. Rencana Pengelolaan KPHP Hutan produksi yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil-hasil hutan. Tata hutan pada hutan produksi memuat kegiatan penentuan batas hutan, yang ditata, inventarisasi potensi dan kondisi hutan, perisalahan hutan, pembagian hutan ke dalam blok-blok dan petak-petak, pemancangan tanda batas blok-blok dan petak-petak tersebut, pembukaan wilayah dan sarana pengelolaan, registrasi dan pengukuran serta pemetaan (Damik, 2013). Berdasarkan hasil penataan hutan pada setiap unit atau kesatuan pengelolaan hutan, maka disusunlah rencana pengelolaan hutan. Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara

18 transparan, bertanggung jawab, partisipatif, terpadu serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah (Damik, 2013). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 230/Kpts- II/2003 tentang Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi sebagai aturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan (saat ini telah direvisi dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan), maka dalam merumuskan kriteria dan standar pembentukan unit pengelolaan hutan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat, batas administrasi pemerintahan, dan hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan (Dinas Kehutanan, 2011). Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, telah dilakukan proses pembentukan KPH khususnya KPHL dan KPHP di seluruh Indonesia dan wilayah kerja Perum Perhutani di Pulau Jawa. Sedangkan untuk KPHK, telah dimulai penyiapan rumusan kebijakan untuk transformasi unit-unit Taman Nasional menjadi KPHK (Dinas Kehutanan, 2010). Progres pelaksanaan kegiatan sampai dengan tahun 2008 adalah pembuatan Rancang Bangun KPH sebanyak 23 provinsi, arahan pencadangan KPH (KPHP dan KPHL) oleh Badan Planologi Kehutanan sebanyak 15 provinsi, pengusulan

19 penetapan wilayah KPH (KPHP dan KPHL) oleh Gubernur kepada Menteri Kehutanan sebanyak 4 provinsi, dan penetapan wilayah KPH oleh Menteri Kehutanan sebanyak 1 (satu) provinsi. Hingga tahun 2009, diharapkan dapat diselesaikan pembuatan rancang bangun KPH (sebanyak 27 provinsi), arahan pencadangan KPH (KPHP dan KPHL) sebanyak 27 pro vinsi, pengusulan penetapan wilayah KPH (KPHP dan KPHL) sebanyak 28 provinsi dan penetapan wilayah KPH oleh Menteri Kehutanan sebanyak 28 provinsi. 22 (Dinas Kehutanan, 2010). Kementerian Kehutanan Implementasi pembangunan KPH di lapangan ditempuh melalui pendekatan pembangunan KPH model yang pada hakekatnya merupakan KPH persiapan menuju KPH yang operasional. Target pembangunan KPH model dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 adalah satu unit di tiap provinsi atau sebanyak 23 unit di 22 provinsi (khusus Provinsi Kalimantan Selatan terdapat 2 unit KPH) yang terdiri dari KPHK sebanyak 2 unit, KPHL 6 unit dan KPHP 15 unit. Dalam tahun 2009 akan diselesaikan pembangunan KPH model sebanyak 5 unit di 5 provinsi yang terdiri dari KPHL sebanyak 1 unit dan KPHP 4 unit (Dinas Kehutanan, 2010).