1.1 LATAR BELAKANG DAN DASAR PEMIKIRAN PETA KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN PROVINSI JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. tahun 1970an bersamaan dengan adanya krisis pangan dan kelaparan dunia

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia (Badan Pusat Statistik, 2013). Walaupun Indonesia

KAJIAN KETAHANAN PANGAN DAN KERAWANAN PANGAN DI PROVINSI BENGKULU. Assessment of Food Security and Food Insecurity in Bengkulu Province

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nusa Tenggara Timur

METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nusa Tenggara Barat

SEKILAS TENTANG RAWAN PANGAN. Written by adminbkpp2 Wednesday, 20 May :37 - Last Updated Wednesday, 20 May :59

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

I. PENDAHULUAN. yang mendasar atau bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang penyelenggaraannya

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengantar Latar Belakang

Determinan Ketahanan Dan Kerentanan Pangan Pada Wilayah Lahan Sub Optimal Di Provinsi Sumatera Selatan

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data cross section. Data

2 TINJAUAN PUSTAKA. Etnobotani

TINGKAT KERAWANAN PANGAN WILAYAH KABUPATEN TUBAN PENDAHULUAN

KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN BERDASARKAN INDIKATOR KETAHANAN PANGAN KOMPOSIT

Better Prepared And Ready to Help

(Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) of Gorontalo Province in 2015)

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2015: Versi Rangkuman

ANALISIS INDIKATOR KETAHANAN PANGAN KOTA PROBOLINGGO: PENDEKATAN SPASIAL (ANALYSIS OF FOOD SECURITY INDICATORS IN PROBOLINGGO CITY: SPATIAL APPROACH)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

BAB I PENDAHULUAN. Declaration and World Food Summit Plan of Action adalah food security

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2008 TENTANG CADANGAN PANGAN PEMERINTAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur.

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi 20%, maupun target

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijamin dalam kualitas maupun kuantitas yang cukup untuk pemenuhan aspirasi

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2008 TENTANG CADANGAN PANGAN PEMERINTAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

Konsep dan Implementasi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan: Upaya Mendorong Terpenuhinya Hak Rakyat Atas Pangan

KEARIFAN LOKAL DALAM METODE PENGUKURAN KETAHANAN PANGAN (LOCAL WISDOM OF MEASUREMENT FOOD SECURITY METHOD)

WALIKOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut

Pola Sebaran Wilayah Ketahanan Pangan di Provinsi Banten

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

Dalam rangka. akuntabel serta. Nama. Jabatan BARAT. lampiran. perjanjiann. ini, tanggungg. jawab kami. Pontianak, Maret 2016 P O N T I A N A K

RPJMD KABUPATEN LINGGA DAFTAR ISI. Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

ANALISIS KETAHANAN PANGAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KETAHANAN PANGAN DI KECAMATAN KUALA CENAKU KABUPATEN INDRAGIRI HULU

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

I. PENDAHULUAN. Salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk hidup adalah kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN

EFEKTIVITAS KREDIT KETAHANAN PANGAN (KKP) DALAM UPAYA PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DI KECAMATAN KUPANG TIMUR, KABUPATEN KUPANG TUGAS AKHIR

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 75 TAHUN 2015 TENTANG

ANALISIS KETAHANAN PANGAN TINGKAT DESA DI KECAMATAN PURWOASRI, KECAMATAN PLEMAHAN DAN KECAMATAN MOJO KAB. KEDIRI, JAWA TIMUR PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

Versi ke 3 akan diluncurkan tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUKIT BATU 2013

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Hanani, 2012).

Ketahanan Pangan dan Pertanian. disampaikan pada : Workshop Hari Gizi Nasional (HGN) ke-55

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH DAN ISU STRATEGIS... II-1

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesehatan termasuk dalam hal gizi. Hal ini terbukti dari

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Diterjemahkan dari: Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003

STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

I. PENDAHULUAN. bagi setiap manusia untuk tercukupi kebutuhannya. Pangan merupakan bahan

DAFTAR TABEL. Tabel 2.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan dan Desa/Kelurahan... 17

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG DAN DASAR PEMIKIRAN PETA KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN PROVINSI JAWA BARAT Upaya pengurangan angka kemiskinan dan kelaparan di dunia pada Tahun 2015 sampai setengahnya telah menjadi tujuan utama dalam penetapan Millenium Development Goals (MDGs). Pemerintah sudah dan masih melanjutkan program pembangunan yang tertuang didalam triple track strategy (1. Mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi; 2. Penciptaan lapangan kerja; dan 3. Revitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi perdesaan untuk mengurangi kemiskinan). Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap saat, baik kuantitas maupun kualitas, aman, bergizi dan terjangkau daya beli masyarakat. Kekurangan pangan tidak hanya dapat menimbulkan dampak sosial, ekonomi, bahkan dapat mengancam keamanan sosial. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan pangan masyarakat, perlu dilakukan persamaan persepsi tentang instrument analisis yang digunakan para aparat. Dalam bidang ketahanan pangan, landasan perwujudan ketahanan didasarkan pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996, tentang Pangan, menyatakan bahwa pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Untuk mewujudkan kemandirian pangan dilakukan pemberdayaan masyarakat miskin didaerah rawan pangan melalui strategi jalur ganda/twin track strategi : (1) membangun ekonomi berbasis pertanian dan perdesaan untuk menyediakan lapangan kerja dan pendapatan; dan (2) memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin didaerah rawan pangan melalui pemberdayaan dan pemberian bantuan langsung. Provinsi Jawa Barat terdiri dari 17 (tujuh belas) kabupaten dan 9 (sembilan) kota, memiliki 618 Kecamatan terdiri dari 537 Kecamatan di 17 Kabupaten BAB I - 1

dan 81 Kecamatan di 9 Kota dengan total penduduk sebesar 43.021.826 jiwa pada tahun 2010 Provinsi Jawa Barat terletak antara 104.48 108.48 Bujur Timur dan 5.50-7.50 Lintang Selatan, dengan daratan seluas 3.710.061,32 Ha. dan garis pantai sepanjang 755,829 Km. Secara klimatologi iklim di Jawa Barat yaitu tropis, dengan suhu berkisar antara 19,9 30,7 C dan kelembaban udara antara 73 84 %. Dilihat dari segi jumlah penduduk, Jawa Barat mempunyai jumlah penduduk terbanyak di Indonesia (18,11%), dan karena tingginya jumlah penduduk tersebut, maka konsekwensinya tingkat pengangguran terbukapun cukup tinggi mencapai 10,96%, dan berdasarkan angka dari Badan Pusat Statistik jumlah rumah tangga miskin di Jawa Barat mendekati angka 5 juta-an. Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Jawa Barat yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2008 tentang : Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Jawa Barat, mempunyai tugas pokok sesuai dengan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 49 Tahun 2009 yaitu untuk menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan urusan Pemerintah Daerah bidang ketahanan pangan berdasarkan asas otonomi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dimana salah satu fungsinya adalah : Penyelenggaraan perumusan dan penetapan kebijakan teknis bidang ketahanan pangan. Dalam merumuskan kebijakan teknis dalam bidang ketahanan pangan tersebut diperlukan informasi mengenai situasi pangan disuatu negara/daerah pada periode tertentu. Hal ini dapat terlihat dari indikator-indikator yang berpengaruh atas situasi dan kondisi ketahanan dan kerentanan pangan. Sejalan dengan pertambahan penduduk, kebutuhan pangan dalam periode 2009 2029 diproyeksikan akan terus meningkat, sehingga dituntut adanya upaya pemerintah dalam meningkatkan ketahanan pangan secara berkelanjutan, sekaligus mencegah terjadinya Kerawanan pangan, khususnya di Jawa Barat yang dikenal sebagai lumbung beras (pangan). Maka dari itu untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan suatu strategi yang dapat menjadi tonggak peningkatan produksi, produktivitas dan kesejahteraan petani. Strategi yang dapat ditempuh dalam mengatasi Kerawanan pangan di Jawa Barat, dalam perspektif upaya pemenuhan kebutuhan pangan hingga tahun 2010 akan ditempuh melalui berbagai cara, yaitu : (1) peningkatan produktivitas dengan menerapkan teknologi usahatani terobosan, (2) peningkatan penanganan panen dan pasca panen untuk menekan kehilangan hasil dan peningkatan mutu produk, melalui pengembangan dan penerapan alat dan mesin pertanian (alsintan), (3) perbaikan jaringan distribusi dan dapat mengatur sampai tingkat perdagangannya. Mengingat permasalahan tersebut komplek dan sensitif maka diperlukan suatu Grand Design Penanganan Kerawanan Pangan Jawa Barat. Salah satu cara untuk memperoleh gambaran situasi pangan dapat disajikan dalam suatu peta yang BAB I - 2

dikenal dengan nama Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan atau dikenal dengan istilah Food Security and VulnerabiIlity Atlas (FSVA). Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 telah menerbitkan Peta Kerawanan Pangan atau Food Insecurity Atlas (FIA), namun Peluncuran FIA tersebut ternyata masih menyebabkan kesalahpahaman mengenai pengertian pemeringkatan kecamatan rawan pangan. Kata kerawanan pangan (food insecurity) di indikasikan secara langsung bahwa kecamatan-kecamatan peringkat bawah adalah kecamatan yang semua penduduknya rawan pangan. Oleh karena itu, pada tahun 2011 ini diberi judul Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia-Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) untuk menghindari kesalahpahaman pengertian tersebut. Perubahan nama Peta Kerawanan Pangan (FIA) menjadi Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) dilakukan dengan pertimbangan untuk memperjelas pengertian mengenai konsep ketahanan pangan berdasarkan tiga dimensi ketahanan pangan (ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan) dalam semua kondisi bukan hanya pada situasi kerawanan pangan saja. FSVA juga bertujuan untuk mengetahui berbagai penyebab kerawanan pangan secara lebih baik atau dengan kata lain kerentanan terhadap kerawanan pangan, bukan hanya kerawanan pangan itu sendiri. 1.2 KERANGKA KONSEP KETAHAN PANGAN DAN GIZI World Food Summit (1996), ketahanan pangan didefinisikan sebagai: Ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat. Pada FSVA Provinsi, analisis dan pemetaan dilakukan berdasarkan pada pemahaman mengenai ketahanan dan kerentanan pangan dan gizi seperti yang tercantum dalam Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi (Gambar 1.1). BAB I - 3

Sumber: WFP, Januari 2009. BAB I - 4

a. Ketahanan Pangan Di Indonesia, Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan mengartikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Seperti FIA Nasional 2005 dan FSVA Nasional 2009, FSVA Provinsi dibuat berdasarkan tiga pilar ketahanan pangan: (i) ketersediaan pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat. Akses Pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas. Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga, dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll), dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga. Produksi dan ketersediaan pangan yang cukup di tingkat nasional dan provinsi tidak secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Pangan mungkin tersedia dan dapat diakses namun sebagian anggota rumah tangga mungkin tidak mendapat manfaat secara maksimal apabila kelompok ini tidak memperoleh distribusi pangan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun keragaman atau apabila kondisi tubuh mereka tidak memungkinkan penyerapan makanan karena penyiapan makanan yang tidak tepat atau karena sedang sakit. Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek BAB I - 5

utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspek-aspek tersebut dengan kepemilikan aset rumah tangga, strategi penghidupan, dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain, status ketahanan pangan suatu rumah tangga, atau individu ditentukan oleh interaksi dari faktor lingkungan pertanian (agro-environmental), sosial ekonomi dan biologi dan bahkan faktor politik. Kerawanan pangan dapat bersifat kronis atau sementara/transien. Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang atau yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor strukural, yang tidak dapat berubah dengan cepat, seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem pemerintah daerah, kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat pendidikan, dll. Kerawanan Pangan Sementara adalah ketidakmampuan jangka pendek atau sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor dinamis yang berubah dengan cepat seperti penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian, berubahnya fungsi pasar, tingkat besarnya hutang, perpindahan penduduk (migrasi) dll. Kerawanan pangan sementara yang terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan menurunnya kualitas penghidupan rumah tangga, menurunnya daya tahan, dan bahkan bisa berubah menjadi kerawanan pangan kronis. b. Ketahanan Gizi Ketahanan gizi didefinisikan sebagai akses fisik, ekonomi, lingkungan dan sosial terhadap asupan makanan seimbang, air layak minum, kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan dasar. Ini berarti bahwa ketahanan gizi membutuhkan kombinasi dari komponen makanan dan non-makanan. Ketahanan gizi yang ditunjukkan oleh status gizi merupakan tujuan akhir dari ketahanan pangan, kesehatan dan pola asuh tingkat individu. Kerawanan pangan adalah salah satu dari 3 penyebab utama masalah gizi. Penyebab utama lainnya adalah kondisi kesehatan dan lingkungan masyarakat, dan pola asuh. Oleh karena itu, di manapun terjadi kerawanan pangan, maka akan beresiko kekurangan gizi, termasuk kekurangan gizi mikro. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kerawanan pangan adalah penyebab satu-satunya masalah gizi kurang, tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan dan pola asuh seperti kurangnya akses ke air layak minum, sanitasi, fasilitas dan pelayanan kesehatan, rendahnya kualitas pola asuh dan pemberian makan anak serta tingkat pendidikan ibu, dll. c. Kerentanan Kerentanan terhadap kerawanan pangan mengacu pada suatu kondisi yang membuat suatu masyarakat yang beresiko rawan pangan menjadi rawan pangan. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok BAB I - 6

masyarakat ditentukan oleh tingkat keterpaparan mereka terhadap faktorfaktor resiko/goncangan dan kemampuan mereka untuk mengatasi situasi tersebut baik dalam kondisi tertekan maupun tidak. 1.3 INDIKATOR YANG DIGUNAKAN FSVA PROVINSI Kerawanan pangan merupakan isu multi-dimensional yang memerlukan analisis dari berbagai parameter tidak hanya produksi dan ketersediaan pangan saja. Meskipun tidak ada cara spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas ketahanan pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada tiga dimensi yang berbeda namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh rumah tangga dan pemanfaatan pangan oleh individu. Indikator yang dipilih dalam FSVA Provinsi ini berkaitan dengan tiga pilar ketahanan pangan tersebut berdasarkan konsepsi Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi. Disamping itu, pemilihan indikator juga tergantung pada ketersediaan data pada tingkat kecamatan. Indikator yang digunakan untuk FSVA Provinsi tertera pada Tabel 1.1. Tim Asistensi FSVA Pusat sepakat untuk menggunakan 9 indikator untuk FSVA Provinsi dengan mengacu pada FSVA Nasional 2009. Angka kematian bayi (Infant Mortality Rate - IMR) yang digunakan pada FIA Nasional 2005 tidak dimasukkan lagi pada FSVA 2009 karena ketidak tersediaan data. Data kurang gizi kronis (pendek/stunting) pada balita diambil dari data Pemantauan Status Gizi (PSG) Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 Akan tetapi, data tersebut tidak dimasukkan kedalam perhitungan indeks ketahanan pangan komposit, tetapi tetap dianalisis dan dijelaskan dalam laporan secara deskritif. FSVA Provinsi ini dikembangkan dengan menggunakan 9 indikator kerawanan pangan kronis dan 4 indikator kerawanan pangan sementara/transien. Peta komposit ketahanan dan kerentanan pangan dibuat dengan mengkombinasikan 9 indikator kerawanan pangan kronis setelah melakukan pembobotan berdasarkan Principal Component Analysis. Seluruh data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Dinas/Badan/Lembaga yang menangani ketahanan pangan di Kabupaten dan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat serta publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat. Seluruh data yang digunakan untuk analisa FSVA provinsi ini berasal dari data tahun periode 2008-2010. Beberapa indikator merupakan data individu, sedangkan indikator yang lain merupakan data rumah tangga atau masyarakat. Small Area Estimation (SAE) digunakan untuk beberapa indikator untuk mengestimasi data tingkat kecamatan dengan menggunakan data tingkat kabupaten dan desa berdasarkan pedoman teknis dari BPS Pusat dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Peta komposit yang dikembangkan dari indikator-indikator tersebut hanya mengindikasikan situasi ketahanan BAB I - 7

pangan secara umum di suatu kecamatan. Pada kecamatan yang tahan pangan, sebagaimana diperlihatkan pada peta komposit, tidak berarti bahwa semua desa dan rumah tangga dalam kecamatan tersebut tahan pangan. Sama halnya juga dengan daerah-daerah yang rentan pangan. Peta-peta dibuat dengan menggunakan pola warna yang seragam yaitu gradasi warna merah dan hijau. Gradasi warna merah menunjukkan variasi tingkat prioritas yang harus disegerakan penanganannya dan gradasi warna hijau tingkat prioritas penanganannya tidak disegerakan karena kondisinya lebih baik. Pada kedua kelompok warna tersebut, warna yang semakin tua menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dalam hal ketahanan atau kerentanan pangan. Klasifikasi data pada peta untuk indikator individu sama dengan yang digunakan pada FIA Nasional 2005 dan FSVA Nasional 2009, kecuali data berat balita di bawah standar yang menggunakan batas klasifikasi masalah kesehatan masyarakat dari Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2000), batas klasifikasi berat badan dibawah standar ini (underweight) juga digunakan pada FSVA Nasional 2009. Pembulatan nilai terdekat ke angka rata-rata nasional diambil sebagai ambang batas antara kelompok gradasi warna merah dan hij au. Tabel 1.1. Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Provinsi Jawa Barat, 2010 Indikator Definisi dan Perhitungan Sumber Data Ketersediaan Pangan 1. Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar. 1. Data rata-rata produksi bersih tiga tahun (2007-2009) padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar pada tingkat kecamatan dihitung dengan menggunakan faktor konversi standar. Untuk rata-rata produksi bersih ubi kayu dan ubi jalar dibagi dengan 3 (faktor konversi serealia) untuk mendapatkan nilai yang ekivalen dengan serealia. Kemudian dihitung total produksi serealia yang layak dikonsumsi. 2. Ketersediaan bersih serealia per kapita per hari dihitung dengan membagi total ketersediaan serealia kecamatan dengan jumlah populasinya (data penduduk pertengahan Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten, (data 2008-2010) BAB I - 8

Indikator Definisi dan Perhitungan Sumber Data tahun 2010). 3. Data bersih serealia dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan karena data tidak tersedia pada tingkat kecamatan. 4. Konsumsi normatif serealia/hari/kapita adalah 300 gram/orang/hari. 5. Kemudian dihitung rasio konsumsi normatif perkapita terhadap ketersediaan bersih serealia per kapita. Rasio lebih besar dari 1 menunjukkan daerah defisit pangan dan daerah dengan rasio lebih kecil dari 1 adalah surplus untuk produksi serealia. Akses Pangan dan Matapencaharian 2. Penduduk hidup di bawah garis kemiskinan Nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan-kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk hidup secara layak.dihitung dengan metode Small Area Estimation (SAE). SUSENAS KOR 2008-2010, SUSENAS MODUL 2008, 3. Akses penghubung yang memadai 4. Rumah tangga tanpa akses listrik Lalu-lintas antar kecamatan yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik dari PLN dan/atau non PLN, misalnya generator. Dihitung dengan metode SAE. SUSENAS KOR 2008-2010, BAB I - 9

Indikator Definisi dan Perhitungan Sumber Data Pemanfaatan Pangan 5. Rumah tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan 6. Rumah tangga tanpa akses ke air bersih Persentase desa dengan jarak lebih dari 5 kilometer dari fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas, dokter, juru rawat, bidan yang terlatih, paramedik, dan sebagainya). Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air minum yang berasal dari air leding/pam, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung. Dihitung dengan metode SAE. SUSENAS KOR 2008-2010, 7. Perempuan Buta Huruf Persentase perempuan di atas 15 tahun yang tidak dapat membaca atau menulis. Dihitung dengan metode SAE. SUSENAS KOR 2008-2010, 8. Berat badan balita di bawah standar (Underweight) 9. Angka harapan hidup pada saat lahir Anak di bawah lima tahun yang berat badannya kurang dari -2 Standar Deviasi (-2 SD) dari berat badan normal pada usia dan jenis kelamin tertentu (Standar WHO 2005). Perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru lahir dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Dihitung dengan metode SAE. Pemantauan Status Gizi (PSG) 2010, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. SUSENAS KOR 2008-2010, BAB I - 10