BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gesekan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II RUNNING-IN PADA KONTAK ROLLING SLIDING

UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. (a) (b) (c)

Gesekan. Hoga Saragih. hogasaragih.wordpress.com

BAB I PENDAHULUAN. (a) (b) (c)

Jenis Gaya gaya gesek. Hukum I Newton. jenis gaya gesek. 1. Menganalisis gejala alam dan keteraturannya dalam cakupan mekanika benda titik.

BAB III PEMODELAN KONTAK BERPELUMAS DAN PERHITUNGAN KEAUSAN

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 1, (2014) ISSN: ( Print) B-108

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Studi Eksperimental Keausan Permukaan Material Akibat Adanya Multi-Directional Contact Friction

Momentum, Vol. 11, No. 1, April 2015, Hal ISSN , e-issn

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Soal Pembahasan Dinamika Gerak Fisika Kelas XI SMA Rumus Rumus Minimal

ANALISA KEAUSAN CYLINDER BEARING MENGGUNAKAN TRIBOTESTER PIN-ON- DISC DENGAN VARIASI KONDISI PELUMAS

BAB 3 DINAMIKA GERAK LURUS

ANALISIS KEAUSAN ALUMUNIUM MENGGUNAKAN TRIBOTESTER PIN-ON-DISC DENGAN VARIASI KONDISI PELUMAS

MEKANIKA FLUIDA DI SUSUN OLEH : ADE IRMA

8. FLUIDA. Materi Kuliah. Staf Pengajar Fisika Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

BAB II TEORI KEAUSAN. 2.1 Pengertian keausan.

ANALISIS KEAUSAN DISC DENGAN MATERIAL BAJA St 70 MENGGUNAKAN ALAT TRIBOTESTER PIN-ON- DISC DENGAN VARIASI PELUMASAN

Menentukan Regime Pelumasan Pada Ball Bearing Dengan Menggunakan Kurva Stribeck

BAB 3 DINAMIKA. Tujuan Pembelajaran. Bab 3 Dinamika

II. TINJAUAN PUSTAKA

Rheologi. Rini Yulianingsih

ANALISA TEKANAN PADA BANTALAN LUNCUR YANG MENGGUNAKAN MINYAK PELUMAS ENDURO SAE 20W/50 DAN FEDERAL SAE 20W/50 DENGAN VARIASI PUTARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang.

BAB II DASAR TEORI. m (2.1) V. Keterangan : ρ = massa jenis, kg/m 3 m = massa, kg V = volume, m 3

GAYA GESEK. Gaya Gesek Gaya Gesek Statis Gaya Gesek Kinetik

MODUL II VISKOSITAS. Pada modul ini akan dijelaskan pendahuluan, tinjauan pustaka, metodologi praktikum, dan lembar kerja praktikum.

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi fluida

EFEK PENAMBAHAN ZAT ADITIF PADA MINYAK PELUMAS MULTIGRADE TERHADAP KEKENTALAN DAN DISTRIBUSI TEKANAN BANTALAN LUNCUR

Uji Kompetensi Semester 1

DASAR PENGUKURAN MEKANIKA

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISA KEAUSAN POINT CONTACT MENGGUNAKAN TRIBOMETER PIN-ON-DISC DAN PEMODELAN GLOBAL INCREMENTAL WEAR MODEL DENGAN VARIASI PEMBEBANAN

BAB iv HUKUM NEWTON TENTANG GERAK & PENERAPANNYA

REYNOLDS NUMBER K E L O M P O K 4

Aliran Turbulen (Turbulent Flow)

Contoh Soal dan Pembahasan Dinamika Rotasi, Materi Fisika kelas 2 SMA. Pembahasan. a) percepatan gerak turunnya benda m.

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Fluida

Studi Eksperimen Dan Analisa KeausanJournal Bearing Dry ContactPada Rotary Valve Mesin Pembuat Pasta

KARAKTERISASI KOEFISIEN GESEK PERMUKAAN BAJA ST 37 PADA BIDANG DATAR TERHADAP VISKOSITAS PELUMAS

Ciri dari fluida adalah 1. Mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah

KINEMATIKA DAN DINAMIKA: PENGANTAR. Presented by Muchammad Chusnan Aprianto

Dinamika Rotasi, Statika dan Titik Berat 1 MOMEN GAYA DAN MOMEN INERSIA

ANALISIS KEAUSAN BALL BAJA ST 90 MENGGUNAKAN TRIBOTESTER PIN-ON- DISC DENGAN VARIASI KONDISI PELUMAS

KARAKTERISTIK ZAT CAIR Pendahuluan Aliran laminer Bilangan Reynold Aliran Turbulen Hukum Tahanan Gesek Aliran Laminer Dalam Pipa

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang

Minggu 1 Tekanan Hidrolika (Hydraulic Pressure)

PENGUJIAN RUNNING-IN PADA KONTAK SLIDING ANTARA BOLA BAJA DENGAN PELAT KUNINGAN

Aliran Fluida. Konsep Dasar

BAB V Hukum Newton. Artinya, jika resultan gaya yang bekerja pada benda nol maka benda dapat mempertahankan diri.

HUKUM NEWTON B A B B A B

Hukum Newton tentang Gerak

ANALISA RUNNING-IN RODA GIGI TRANSMISI PRODUK USAHA KECIL MENENGAH

DINAMIKA 1. Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MT., MS.

PENENTUAN UMUR BANTALAN LUNCUR TERLUMASI BERDASAR LAJU KEAUSAN BAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA

BAB iv HUKUM NEWTON TENTANG GERAK & PENERAPANNYA

JURNAL TEKNIK ITS VOL.5, No.2, (2016) ISSN: ( Print)

MAKALAH KOMPUTASI NUMERIK

ULANGAN UMUM SEMESTER 1

PR I PERGERAKAN RODA KENDARAAN BERMOTOR AKIBAT GESEKAN

1/24 FISIKA DASAR (TEKNIK SIPIL) FLUIDA. menu. Mirza Satriawan. Physics Dept. Gadjah Mada University Bulaksumur, Yogyakarta

PERHITUNGAN KEAUSAN PADA SISTEM KONTAK ROLLING-SLIDING MENGGUNAKAN FINITE ELEMENT METHOD

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Jenis bearing: (a) sliding contact bearing (b) roller contact bearing [8]

Definisi dan Sifat Fluida

BAB II SIFAT-SIFAT ZAT CAIR

SILABUS : : : : Menggunakan alat ukur besaran panjang, massa, dan waktu dengan beberapa jenis alat ukur.

BAB II ALIRAN FLUIDA DALAM PIPA. beberapa sifat yang dapat digunakan untuk mengetahui berbagai parameter pada

JUDUL TUGAS AKHIR ANALISA KOEFISIEN GESEK PIPA ACRYLIC DIAMETER 0,5 INCHI, 1 INCHI, 1,5 INCHI

ANALISIS KELAYAKAN-PAKAI MINYAK PELUMAS SAE 10W-30 PADA SEPEDA MOTOR (4TAK) BERDASARKAN VISKOSITAS DENGAN METODE VISKOMETER BOLA JATUH

Perpindahan Panas Konveksi. Perpindahan panas konveksi bebas pada plat tegak, datar, dimiringkan,silinder dan bola

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) F-316

HUKUM STOKES. sekon (Pa.s). Fluida memiliki sifat-sifat sebagai berikut.

LAPORAN PRA PRAKTIKUM FISIKA UMUM. GESEKAN STATIS DAN GESEKAN KINETIS Tanggal Pengumpulan : Senin, 28 November 2016

ALIRAN FLUIDA. Kode Mata Kuliah : Oleh MARYUDI, S.T., M.T., Ph.D Irma Atika Sari, S.T., M.Eng

BAB I PENDAHULUAN. dan otomatis. Maka dari itu minyak pelumas yang di gunakan pun berbeda.

Jika sebuah sistem berosilasi dengan simpangan maksimum (amplitudo) A, memiliki total energi sistem yang tetap yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Salah satu contoh MEMS: accelerometer silikon untuk aplikasi sensor pada otomotif [2]

BAB II LANDASAN TEORI

MODUL MATA PELAJARAN IPA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tarikan/dorongan yang bekerja pada suatu benda akibat interaksi benda tersebut dengan benda lain. benda + gaya = gerak?????

IV. PENDEKATAN DESAIN

FIsika USAHA DAN ENERGI

DINAMIKA 1. Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MS., MT.

Bab 6 Momentum Sudut dan Rotasi Benda Tegar

No. Job : 07 Tgl :12/04/2005 I. TUJUAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA DATA

Pengantar Oseanografi V

PERTEMUAN III HIDROSTATISTIKA

Fisika Dasar I (FI-321) Gaya dan Hukum Gaya Massa dan Inersia Hukum Gerak Dinamika Gerak Melingkar

Rumus bilangan Reynolds umumnya diberikan sebagai berikut:

Metode penentuan karakteristik gesek (indeks) geosintetik dengan uji geser langsung

SP FISDAS I. acuan ) , skalar, arah ( ) searah dengan

PENGARUH PELUMASAN TERHADAP DEFORMASI PLASTIS PADA KONTAK DUA BENDA

PHYSICS SUMMIT 2 nd 2014

II LANDASAN TEORI. Misalkan adalah suatu fungsi skalar, maka turunan vektor kecepatan dapat dituliskan sebagai berikut :

Masalah aliran fluida dalam PIPA : Sistem Terbuka (Open channel) Sistem Tertutup Sistem Seri Sistem Parlel

Transkripsi:

5 BAB II DASAR TEORI 2.1 Gesekan Ketika dua benda saling bersinggungan satu dengan yang lainnya, apabila diamati pergerakannya seperti dilawan oleh suatu gaya. Fenomena ini adalah gesekan (friction); sedangkan gaya yang bekerja di dalamnya disebut gaya gesek (friction force). Gesekan atau friction adalah bentuk dari hilangnya energi yang terjadi diantara dua permukaan yang saling kontak dan bergerak relatif, dan sering dinyatakan sebagai gaya yang melawan. Gesekan diuraikan dengan koefisien gesek (µ). Koefisien gesek adalah suatu fungsi area kontak antara dua permukaan, sifat dan kekuatan yang saling mempengaruhi. Adapun mekanisme gesekan antara dua permukaan dapat diilustrasikan pada Gambar 2.1. w F N f Brake shoe Brake linning Gambar 2.1 Mekanisme gesekan dan aplikasinya di dunia nyata [3]. Gesekan juga dipengaruhi oleh beban dan kondisi permukaan. Topografi permukaan suatu material sebenarnya jika dilihat secara mikro adalah tidak rata. Koefisien gesek antara permukaan secara normal meningkat dengan meningkatnya temperatur dan menurunnya beban. Hilangnya energi pada gesekan dapat mendorong kearah meningkatnya temperatur atau deformasi kontak area. Pada hampir semua kasus koefisien gesek rendah akan mendorong ke arah menurunnya laju keausan. The Laws of Friction (Hukum Amonton): 1. Gaya gesek (tangential) secara langsung sebanding gaya normal. 2. Gaya gesek tidak tergantung kontak area. 3. Gesekan kinetis tidak tergantung kecepatan sliding.

6 Gesekan dipengaruhi oleh: 1. Adanya partikel keausan (wear) dan partikel dari luar pada arena luncur (sliding interface). 2. Kekerasan relatif material pada daerah kontak. 3. Gaya luar dan perpindahan sistem. 4. Kondisi lingkungan dan suhu pelumasan. 5. Topografi permukaan. 6. Struktur mikro dan morfologi dari material. 7. Kinematik dari permukaan kontak. 2.1.1 Gaya Gesek Statis Gaya gesek statis adalah gesekan antara dua benda padat yang tidak bergerak relatif satu sama lainnya. Sebgai contoh, gesekan statis dapat mencegah benda meluncur ke bawah pada bidang miring. Koefisien gesek statis umumnya dinotasikan dengan f s, gaya gesek dinotasikan dengan F w (friction of weight) dan gaya normal dinotasikan dengan F n (friction of normal). Gaya gesek statis dihasilkan dari sebuah gaya yang diaplikasikan tepat sebelum benda tersebut bergerak. Gaya gesekan maksimum antara dua permukaan sebelum gerakan terjadi adalah hasil dari koefisien gesek statis dikalikan gaya normal. F w = - f s F n (2.1) Ketika tidak ada gerakan yang terjadi, gaya gesek dapat memiliki nilai dari nol hingga gaya gesek maksimum. Setiap gaya yang lebih kecil dari gaya gesek maksimum yang berusaha untuk menggerakkan salah satu benda akan dilawan oleh gaya gesekan yang setara dengan besar gaya tersebut namun berlawanan arah. Setiap gaya yang lebih besar dari gaya gesek maksimum akan menyebabkan gerakan terjadi [4]. 2.1.2 Gaya Gesek Kinetis Gaya gesek kinetis (atau dinamis) terjadi ketika dua benda bergerak relatif satu sama lainnya dan saling bergesekan. Koefisien gesek kinetis umumnya dinotasikan dengan f k dan pada umumnya selalu lebih kecil dari gaya gesek statis untuk material yang sama. Gambar 2.2 menunjukkan skema gaya gesek kinetis yang bekerja pada bidang datar dan bidang miring. Gaya gesek kinetis dapat dirumuskan sebagai berikut:

7 F w = - f k F n (2.2) Fn Fn F w w sin a w F w w cos a w a (a) (b) Gambar 2.2 Gaya gesek: (a) Pada bidang datar, (b) Pada bidang miring. 2.2 Viskositas Viskositas merupakan sifat yang paling utama dari sebuah bahan pelumas karena sifat ini secara garis besar menunjukkan kemampuan melumasi sesuatu [5]. Atau dengan kata lain bahwa viskositas adalah kemampuan dari bahan pelumas untuk melawan tegangan geser yang terjadi pada waktu bergerak. Viskositas minyak pelumas berubah-ubah menurut perubahan temperatur. Dengan sendirinya minyak pelumas yang baik tidak terlalu peka terhadap perubahan temperatur, sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya, baik dalam keadaan dingin pada waktu mesin mulai bekerja maupun pada saat temperatur kerja. Bahan harus mengalir ketika suhu mesin atau temperatur yang beruabah-ubah. Mengalir secara cukup agar terjamin pasokannya ke komponen-komponen yang bergerak. Semakin kental bahan pelumas, maka lapisan yang ditimbulkan menjadi lebih kental. Lapisan halus pada pelumas kental memberi kemampuan ekstra menyapu atau membersihkan permukaan logam yang terlumasi. Sebaliknya pelumas yang terlalu tebal akan memberi resistensi berlebih mengalirkan pelumas pada temperatur rendah sehingga mengganggu jalannya pelumasan ke komponen yang dibutuhkan. Untuk itu, pelumas harus memiliki kekentalan lebih tepat pada temperatur tertinggi atau temperatur terendah ketika mesin dioperasikan. Hukum Newton tentang aliran viscous menyatakan bahwa tegangan geser di dalam fluida adalah berbanding lurus dengan perubahan kecepatan. Gambar 2.3 menunjukkan penjelasan dari definisi viskositas melalui hukum Newton.

8 Plate (A=Area) V. F Liquid ρ, η y Stationary Surface Gambar 2.3 Definisi viskositas melalui hukum Newton. Jadi viskositas menurut hukum Newton dapat definisikan sebagai berikut: τ du u = η = dy η h dimana: τ = tegangan geser fluida (N/m 2 ) η = viskositas dinamik (Poise, P) u = kecepatan relatif prmukaan (m/s) h = tebal lapisan pelumasan (m) Sehingga viskositas dinamik dapat ditulis: τ η = du dy (2.3) (2.4) Viskositas dinamik disebut juga dengan viskositas absolut, sementara kadar geseran adalah du/dy. Jika viskositas dinamik dibagi dengan rapat massa pada temperatur yang sama hasilnya disebut viskositas kinematik [6]. Secara matematis ditulis: v η = ρ dimana: v = viskositas kinematik (Stoke, S) ρ = rapat massa (gram/cm 3 ) 2.2.1 Indeks Viskositas Kemampuan (2.5) minyak pelumas untuk mengatasi perubahan nilai viskositas terhadap perubahan suhu dikenal dengan istilah indeks viskositas, yaitu menyatakan perbandingan relatif antar minyak pelumas yang dinyatakan dengan persen. Nilai

9 indeks viskositas yang tinggi menyatakan bahwa minyak pelumas tersebut mengalami perubahan nilai viskositas yang kecil pada rentang suhu tertentu, yang berarti bahwa mutu minyak pelumas tersebut semakin baik. Indeks Viskositas dapat dicari dengan rumus berikut [6]: ( L U ) VI = x100 ( L H ) dimana: VI = indeks viskositas (2.6) L = Viskositas minyak pelumas referensi (100 o C) U = Viskositas minyak pelumas spesimen (40 o C) H = Viskositas minyak pelumas referansi (100 o C) Karakteristik L dan H dari pelumas referensi ada di lampiran [6]. 2.2.2 Klasifikasi Viskositas SAE Sistem klasifikasi ini disusun oleh SAE (Society of Automotive Engineers), dalam SAE J300 pertama kali dilaporkan Miscellaneous Division, disetujui pada Juni 1911, dan direvisi kembali oleh suatu komite September 1980. Walaupun sistem kekentalan ini disusun oleh SAE, klasifikasi kekentalan minyak pelumas bukan hanya untuk otomotif, melainkan semua tipe penggunaan minyak pelumas termasuk industri, kapal laut dan pesawat [7]. Pada Tabel 2.1, kolom 2 menunjukkan viskositas dinamik dan kolom 3 menunjukkan viskositas kinematik. Viskositas suhu rendah merupakan indikator kemampuan pada saat cuaca awal dingin. Viskositas pada temperatur 100 o C adalah saat temperatur operasi normal dari mesin. Minyak tanpa akhiran W disebut dengan monograde karena hanya ada satu kelas SAE. Minyak dengan akhiran W yang merupakan singkatan dari Winter disebut multigrade yang memiliki kemampuan baik saat mesin masih dingin. Pada saat suhu rendah dibawah 0 o C, viskositas dapat rendah pada suhu awal. Minyak multigrade mempunyai indeks viskositas yang lebih tinggi daripada minyak monograde [6]. Minyak pelumas SAE 15W-40 artinya minyak pelumas ini mempunyai indeks viskositas multigrade dimana pada suhu rendah dapat bekerja pada temperatur -15 o C sampai 20 o C dan pada temperatur tinggi dapat bekerja pada temperatur mencapai 150 o C.

10 Tabel 2.1 Klasifikasi SAE [6] SAE viscosity grade Viscosity [sp] at temp [ o C] max Kinematic viscosity [cs] at 100 o C Cranking Pumping Min max 0 W 3250 at -30 30000 at -35 3,8-5 W 3500 at -25 30000 at -30 3,8-10 W 3500 at -20 30000 at -25 4,1-15W 3500 at -15 30000 at -20 5,6-20 W 4500 at -10 30000 at -15 5,6-25 W 6000 at -5 30000 at -10 9,3-20 5,6 < 9,3 30 9,3 < 12,5 40 12,5 < 16,3 50 16,3 < 21,9 60 21,9 < 26,1 2.3 Pelumasan Salah satu hal yang penting dalam bekerjanya mesin adalah pelumasan, karena pelumasan efektif mengurangi gesekan dan keausan. Aplikasi dari pelumasan kebanyakan mempunyai harapan yang ingin dicapai adalah gesekan yang terjadi kecil saat terjadi kontak antara dua permukaan. Contohnya adalah kontak roda gigi dan bearing. Pertanyaan yang sering muncul adalah Berapakah koefisien gesek dari sistem ini. Hal yang paling penting harus diketahui untuk menjawab pertanyaan ini adalah apakah sistem itu menggunakan pelumas atau tidak. Selanjutnya apabila sistem itu menggunakan pelumas, karakteristik dari pelumas menjadi hal yang harus diketahui. Gaya yang diberikan pada permukaan kontak dan kecepatan gesekan adalah faktor yang juga harus diketahui untuk menentukan koefisien gesek. Pada tahun 1902 Stribeck mempresentasikan makalahnya tentang pengaruh kecepatan interaksi permukaan dan tegangan terhadap koefisien gesek untuk journal bearing dan roller bearing. Pelumasan dapat dibedakan menjadi tiga regime, Boundary Lubrication, Mixed Lubrication, dan Hydrodynamic Lubrication. Tiga regime ini dapat ditemukan dalam kurva Stribeck [8].

11 2.3.1 Kurva Stribeck Kurva Stribeck adalah kurva hubungan antara koefisien gesekan dan nomor pelumasan, kurva Stribeck ditunjukkan oleh Gambar 2.4. Sumbu vertikal adalah koefisien gesek yang didapat dari pembagian gaya gesek dan gaya normal. Sedangkan sumbu horizontal adalah nomor pelumasan, di berbagai literatur yang ada menunjukkan banyak definisi dari nomor pelumasan. Ada yang mendefinisikan nomor pelumasan sebanding dengan kecepatan sudut, kecepatan luncur, viskositas pelumas, dan terakhir kekasaran permukaan dimasukkan dalam parameter nomor pelumasan [9]. Akan tetapi parameter yang sering digunakan adalah kecepatan, tekanan, dan viskositas pelumas. ML f BL HL η v P Gambar 2.4 Kurva Stribeck. 2.3.2 Pengaruh Running-in terhadap Kurva Stribeck Ketika dua permukaan diberi pembebanan untuk pertama kalinya dan terjadi gerak relatif antar permukaan maka terjadi perubahan kondisi pada tiap permukaan tersebut. Perubahan ini biasanya disebabkan oleh berbagai hal, antara lain keselarasan sumbu gerak, perubahan bentuk, perubahan kekasaran permukaan, dan keseimbangan berbagai sifat mekanis dan sifat kimiawi diantara kedua permukaan yang bersinggungan (kontak) seperti kekerasan mikro, yang disebabkan oleh proses pengerasan atau pembentukan lapisan oksida pada lapisan batas kontak. Perubahan ini secara alamiah bertujuan untuk meminimalisir aliran energi yang terjadi, baik energi mekanis maupun energi kimiawi [10]. Perubahan tersebut awalnya dalam jumlah besar yang kemudian menjadi sedikit sampai akhirnya menjadi relatif tetap. Perubahan yang terjadi mulai dari kondisi awal menuju tetap atau kondisi tunak (steady state) disebut sebagai running-in.

12 Gambar 2.5 menunjukkan gesekan dan kekasaran menurun sebagai fungsi waktu, jumlah kontak rolling dan jarak sliding. Dalam fase running-in, perubahan kekasaran permukaan dibutuhkan untuk meminimalisir aliran energi antara permukaan gerak [10]. Berdasarkan Gambar 2.5 fase I ditandai dengan penurunan kekasaran permukaan dan koefisien gesek. Dalam fase II, kontak yang berulang-ulang menyebabkan pengerasan benda, menghasilkan peningkatan kekerasan mikro dan tegangan sisa dalam permukaan. Selama fase ini penurunan koefisien gesek dan kekasaran permukaan terbatas. Phase I Phase II Steady state Friction Friction Lubricated System Roughness Ra Gambar 2.5 Perubahan koefisien gesek dan kekasaran sebagai fungsi waktu, jumlah kontak rolling atau jarak sliding [10]. Running-in dapat meningkatkan beban daya dukung, contohnya meningkatkan tindakan hidrodinamik sehingga mengurangi gesekan pada kondisi operasional konstan. Untuk keadaan tekanan rendah (Gambar 2.6a), running-in dapat mengurangi nilai lubrication number (H) pada tahap mixed lubrication dan juga dapat mengurangi koefisien gesekan. Perubahan dalam mikro-geometri mempengaruhi koefisien gesekan pada boundary lubrication ke nilai yang lebih rendah. Pergeseran yang sama ditemukan untuk keadaan tekanan tinggi (Gambar 2.6b), kecuali pada koefisien gesekan minimum, saat transisi dari mixed lubrication ke hydrodynamic lubrication bergeser ke nilai yang lebih tinggi.

13 Gambar 2.6 Efek dari running-in: (a) tekanan rendah dan (b) tekanan tinggi [10]. 2.3.3 Hydrodynamic Lubrication Hydrodynamic lubrication terjadi ketika tidak ada kontakk langsung antara dua permukaan material. Diantara permukaan ini seluruhnya dilapisi oleh lapisan pelumas. Pada Gambar 2.7 menunjukkan permukaan material yang mempunyai asperity yang kecil dan diatara kedua materil terdapat lapisan pelumas sehingga tidak terjadi kontak secara langsung. Gambar 2.7 Hydrodynamic lubrication [8]. Hydrodynamic lubrication terbentuk ketika geometri, gerak permukaan dan kecepatan pelumas berkombinasi dan menyebabkan meningkatnya tekanan pelumas sehingga dapat menahan beban yang diberikan. 2.3.4 Boundary Lubrication Boundary lubrication terjadi ketika lapisan pelumas mempunyai ketebalan yang sama dibanding dengan kekasaran permukaan, sering terjadi pada permukaan yang mempunyai asperity yang tinggi pada kontak permukaan. Pada umumnya hal ini tidak

14 diinginkan dalam pengoperasian mesin karena akan meningkatkan gesekan, kerugian energi, dan keausan. Tetapi kebanyakan mesin akan mengalami kondisi boundary lubrication, khususnya pada saat awal nyala mesin, mematikan mesin, dan pengoperasian kecepatan rendah. Gambar 2.8 berikut ini menunjukkan peristiwa boundary lubrication. Gambar 2.8 Boundary lubrication [8]. 2.3.5 Mixed Lubrication Mixed lubrication merupakan transisi antara hydrodynamic lubrication dengan boundary lubrication. Dalam kasus ini, beban yang diterima selama kontak dibagi oleh pelumas (fluid film) dan asperity. Asperity menerima sejumlah beban selama kontak terjadi, karena adanyaa gesekan, beban, dan gerakan relatif antar permukaan. Gambar 2.9 menunjukkan peristiwa mixed lubrication. Gambar 2.9 Mixed lubrication [8]. 2.4 Tribometer 2.4.1 Pengertian Tribometer Tribometer adalah perangkat yang digunakan untuk mengukur gesekan dan keausan antara dua permukaan. Ada berbeda desain pada tribometer, tapi yang paling sering digunakan adalah permukaan datar atau bulat yang bergerak berulang-ulang di seluruh muka material lain. Sebuah material diberikan tepat pada bagian bergerak

15 selama tes. Pengukuran terakhir menunjukkan keausan pada bahan dan sering digunakan untuk menentukan kekuatan dan panjang umur. Tribometer merupakan bagian integral dari manufaktur dan rekayasa. Dalam industri dan manufaktur, tribometer dapat digunakan untuk berbagai produk. Kebanyakan yang terkait dengan tribometer adalah pada pengujian bagian bagian mesin yang berkontak. Aplikasi lain yang sering dilakukan adalah pengujian pada implan medis dan pelumas [11]. 2.4.2 Jenis-Jenis Tribometer Jenis tribometer ada banyak, tiga diantara jenis tribometer yang sering digunakan adalah sebagai berikut: 2.4.2.1 Tribometer Pin-on-Disc Tribometer pin-on-disc adalah tribometer yang menggunakan pin dan lempengan plat datar sebagai material yang bergesekan. Disc akan berotasi dan pin diberikan beban agar permukaan pin menekan pada permukaan disc. Pada sebagian tribometer, pin dikondisikan untuk diam tetapi pada tribometer yang lain juga ada yang menggerakkan pin ketika diberi beban agar terjadi sliding. Gambar 2.10 menunjukkan tribometer jenis pin-on-disc. Gambar 2.10 Tribometer pin-on-disc [12]. 2.4.2.2 Tribometer Pin-on-Ring Tribometer pin-on-ring merupakan jenis tribometer yang menggunakan ring dan pin sebagai material yang berkontak. Ring melakukan rotasi sedangkan pin diberikan beban agar menekan ring. Sebagian tribometer pin-on-ring, pada bidang kontak dapat

16 diberikan pelumas untuk mengukur nilai dari karakteristik minyak pelumas yang akan diuji. Gambar 2.11 menunjukkan tribometer jenis pin-on-ring. Gambar 2.11 Tribometer pin-on-ring [13]. 2.4.2.3 Tribometer Block-on-Ring Pada tribometer block-on-ring material yang digunakan sebagai spesimen adalah sebuah block dan ring. Ring melakukan rotasi sedangkan block diberikan beban agar menekan ring. Sebagian tribometer block-on-ring, pada bidang kontak dapat diberikan pelumas untuk mengukur nilai dari karakteristik minyak pelumas yang akan diuji. Pada tribometer jenis ini, untuk mengatur bagian yang akan berkontak relatif lebih susah karena permukaan kontaknya lebih besar. Gambar 2.12 menunjukkan tribometer jenis block-on-ring. Gambar 2.12 Tribometer block-on-ring [14].