PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL BERBASIS KONTEKSTUAL DI SEKOLAH DASAR 1

dokumen-dokumen yang mirip
SERI MATERI PEMBEKALAN PENGAJARAN MIKRO 2013 PUSAT LAYANAN PPL & PKL. Pembelajaran Kontekstual Contextual Teaching & Learning (CTL)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu teori belajar yang cukup dikenal dan banyak implementasinya dalam

Pembelajaran Berbasis Kontekstual 2

PENDEKATAN CTL (Contextual Teaching and Learning)

BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN Contextual Teaching and Learning

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN. Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CTL PADA BAHAN AJAR GEOMETRI DAN PENGUKURAN DI SEKOLAH DASAR. Oleh TITA ROSTIAWATI 1 MAULANA 2 ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pembelajaran yang menekankan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL. contextual teaching and learning

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Rini Apriliani, 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and

Di dalam kamus bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari kata mampu. yang berarti kuasa (bisa, sanggup, melakukan sesuatu, dapat, berada, kaya,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching And Learning (CTL)

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah yang dinilai

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada

PENGARUH PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA SMP PADA MATERI GARIS DAN SUDUT

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. sendiri. Sedangkan Sinaga dan Hadiati (2001:34) mendefenisikan kemampuan

I. TINJAUAN PUSTAKA. tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN FISIKA DI SMA

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SDN No 2 Ogoamas II Pada Sifat-sifat Balok Dan Kubus Menggunakan Pendekatan Kontekstual

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sikap serta tingkah laku. Di dalam pendidikan terdapat proses belajar,

Pendekatan Kontekstual (CTL) dalam KTSP pada Pembelajaran di SD

Condition of Ind. Ind.Condition-1. Ind.Condition-2. The Rural. Ind. Rural Policy. Rulal Educational. Higher Education. Non Formal Ed.

Pendekatan Contextual Teaching and Larning (CTL)

kata kunci: bimbingan teknis, pendekatan kontekstual, dan mutu guru.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan ilmu atau pengetahuan. Tujuan pembelajaran matematika adalah terbentuknya

Kata kunci: manik-manik, kontekstual, konvensional.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DASAR FILOSOFI. Manusia harus mengkontruksikan pengetahuan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pendekatan Kontekstual

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UPAYA MENINGKATKAN MINAT DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING SISWA KELAS VIIIC

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan kemampuan untuk memperoleh informasi, memilih informasi dan

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Rasa puas ini (atau lebih tepat barangkali. membangkitkan rasa ingin tahu lebih lanjut yang memerlukan pemuas.

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DENGAN CONTEXTUAL TEACHING & LEARNING SISWA KELAS VII E SMP N 1 SRANDAKAN

Meningkatkan Pemahaman Konsep Perubahan Wujud Benda Pada Siswa Kelas IV SDN 3 Siwalempu Melalui Pendekatan

Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS 2010

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Belajar merupakan aktivitas

UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI DAN PRESTASI MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUALSISWA KELAS IV SDI RAI TAHUN PELAJARAN 2011/2012

Oleh: Dra. Masitoh, M.Pd.

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB II LANDASAN TEORI. Secara umum pengertian pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pembelajaran Matematika Sekolah dengan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)

PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.)

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI MPK BERBASIS KOMPETENSI

Rumusan masalahan. Tujuan Penelitian. Kajian Teori. memahaminya. Demikian pula dengan siswa kelas IX SMP Negeri 1 Anyar masih

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan tidak terlepas dari tujuan pendidikan yang telah hendak dicapai,

I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah suatu proses penyampaian maksud pembicara kepada orang

Kata kunci : Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari,

LEMMA VOL I NO. 2, MEI 2015

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

MENINGKATKAN KREATIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR MELALUI METODE KONTEKSTUAL

BAB I PENDAHULUAN. Hani Handayani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keluaran ( Output ) dengan kompetensi tertentu. Proses belajar dan pembelajaran

PEMBELAJARAN MENULIS BERBASIS PENDEKATAN KONTEKSTUAL. Oleh: Ary Kristiyani. Proses belajar-mengajar merupakan kegiatan utama sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan kontekstual bukan merupakan suatu konsep baru. Penerapan pendekatan

BAB V. Pembahasan Penelitian. PGRI 3 Tulungagung sebelum melakukan pembelajaran Contextual Teaching

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMATIK MODE PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING SISWA KELAS II SD NEGERI TEBING TINGGI

Penerapan Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Volume Kubus dan Balok di Kelas IV SDN 1 Balukang

BAB 1I KAJIAN PUSTAKA Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)

Model Pembelajaran Konstekstual dalam Bidang Studi Ekonomi Pendahuluan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan oleh siswa kelas VII SMPN 1 Bandar Lampung. Berdasarkan hasil

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENERAPAN PENDEKATAN KONSTEKTUAL PADA MATERI PEMBELAJARAN ATURAN SINUS DALAM UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DI MAN TASIKMALAYA

BAB II LANDASAN TEORI. konsep baru. Penerapan pendekatan kontekstual di kelas-kelas yang diselenggarakan

dapat dialami langsung oleh siswa, hal ini dapat mengatasi kebosanan siswa dan perhatiannya akan lebih baik sehingga prestasi siswa dapat meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. matematika kurang disukai oleh kebanyakan siswa. Menurut Wahyudin (1999),

BAB I PENDAHULUAN. sehingga manusia itu tumbuh sebagai pribadi yang utuh. Pendidikan adalah proses

PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI ENERGI PANAS

BAB I PEDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bertanah air. Selain itu, pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pembelajaran merupakan salah satu pilar upaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Guna memahami apa itu kemampuan pemecahan masalah matematis dan pembelajaran

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan seseorang. Semakin baik pembinaan pendidikan di keluarga, maka

BAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdahulu yang relevan dengan variabel-variabel yang diteliti sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab 1 ini tentang pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub bab,

PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKS (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)

Transkripsi:

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL BERBASIS KONTEKSTUAL DI SEKOLAH DASAR 1 Badarudin 2 PGSD FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto Abstrak Matematika merupakan mata pelajaran pokok yang diajarkan di jenjang Sekolah Dasar. Pembelajaran matematika akan bermakna apabila pembelajaran yang dirancang dapat membuat siswa merasa senang untuk belajar, memfasilitasi untuk terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran, dan membiasakan untuk menerapkan konsep-konsep dasar matematika dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan siswa secara nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari yaitu pembelajaran berbasis kontekstual. Kata Kunci: Pembelajaran matematika, Model Berbasis Kontekstual 1 Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional Menjadi Guru Inspirator Kenali dan Kembangkan Kemampuan Intelegensi Emas untuk Indonesia Emas di Prodi PGSD FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto Tanggal 30 April 2016. 2 Koresponden mengenai isi makalah ini dapat dilakukan melalui: badarudin@ump.ac.id 131

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika deskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Matematika sebagai suatu mata pelajaran yang diajarkan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan merupakan mata pelajaran pokok. Pelaksanaan pembelajaran matematika memungkinkan guru harus menguasai berbagai konsep yang akan dipelajari, mulai dari hal-hal yang sifatnya sederhana sampai hal yang sifatnya lebih kompleks. Selain itu guru harus memperhatikan berbagai karakteristik siswa. Hal ini disebabkan karena karakteristik yang dimiliki oleh siswa yang satu dengan yang lain berbeda. Motivasi belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Apabila siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi, maka hasil belajar siswapun dapat ditingkatkan. Hasil pembelajaran matematika dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal, maupun eksternal. Salah satu faktor eksternalnya adalah metode yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Banyak metode yang dapat digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa secara efektif dan efisien. Melihat kenyataan di lapangan dan dari hasil pengamatan selama proses pembelajaran matematika di kelas IV suatu SD di Kecamatan Arcamanik Kota Bandung, ditemukan bahwa pada umumnya saat pembelajaran matematika berlangsung, khususnya pada materi sifat-sifat dan jaring-jaring bangun ruang, sitauasi aktivitas pembelajaran di kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi pembelajaran. Sehingga siswa kurang termotivasi dalam mengikuti pembelajaran matematika. Selain itu aktivitas siswa pun kurang terlihat yang berdampak pada penurunan hasil pembelajaran matematika. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan perubahan paradigma dalam hal pembelajaran matematika di SD. Salah satu perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih berpusat pada aktivitas siswa (student active centred), metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori, dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan. Satu inovasi yang menarik mengiringi perubahan paradigma tersebut adalah ditemukan dan diterapkannya strategi pembelajaran yang 132

mampu mengembangkan dan menggali pengetahuan peserta didik secara konkret dan mandiri. Inovasi ini bermula dan diadopsi dari metode kerja para ilmuwan dalam menentukan suatu pengetahuan baru. Persoalan sekarang adalah bagaimana menemukan cara yang terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan sehingga siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Bagaimana guru dapat berkomunikasi baik dengan siswanya. Bagaimana guru dapat membuka wawasan berfikir yang beragam dari seluruh siswa, sehingga dapat mempelajari berbagai konsep dan cara mengaitkannya dalam kehidupan nyata. Untuk membantu siswa memahami konsep-konsep dan memudahkan guru dalam mengajarkan konsep tersebut diperlukan suatu inovasi pembelajaran yang langsung mengaitkan materi konteks pelajaran dengan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Inovasi pembelajaran tersebut adalah penerapan pembelajaran kontekstual pada mata pelajaran matematika SD. PEMBAHASAN A. Pembelajaran Matematika di SD Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar, merupakan mata pelajaran yang tidak dapat dipisahkan dari mata pelajaran lainnya sesuai dengan pendapat Kline (Suwangsih, 2006, hlm. 4) bahwa Matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam. Selain dari itu dalam mewujudkan sumber daya manusia yang memiliki keterampian intelektual tingkat tinggi, melibatkan kemampuan penalaran logis, sistematis, kritis, cermat, dan kreatif dalam mengkomunikasikan gagasan atau dalam memecahkan masalah. Kemampuan tersebut dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Hal ini merupakan ciri bahwa pentingnya pembelajaran matematika di berikan di sekolah pada jenjang pendidikan dasar. Tujuan pembelajaran matematika menurut kurikulum yang berlaku sekarang yaitu KTSP adalah mengembangkan kemahiran atau kecakapan matematika yang diharapkan dicapai seperti berikut: 1. Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah 2. Memiliki kemampuan mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah 3. Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika 133

4. Menunjukkan kemampuan strategik dalam membuat (merumuskan), menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki: a. Rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika b. Sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (DEPDIKNAS: 2006) Berdasarkan tujuan di atas, pembelajaran matematika yang diberikan di SD tidak cukup dengan menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum. Tetapi dibarengi juga dengan pembelajaran matematika yang dapat membuat siswa merasa senang untuk belajar, memfasilitasi siswa untuk terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran, dan membiasakan siswa untuk menerapkan konsep-konsep dasar matematika dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. B. Pembelajaran Berbasis Kontekstual Pembelajaran kontekstual lahir dari permasalahan pendidikan di Amerika Serikat yang medesak para pendidik menggantikan metode yang sudah biasa mereka terapkan dengan tujuan dan strategi yang baru, dari pendidikan tradisional yang bertolak pada penguasaan akademik dan manipulasi isi yaitu siswa menghafalkan fakta, angka, nama, tanggal, dan kejadian; mempelajari mata pelajaran secara terpisah satu sama lain; dan berlatih dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar menulis dan berhitung, menjadi siswa menemukan makna dengan aktif memilih, menyusun, mengatur, menyentuh, merencanakan, menyelidiki, mempertanyakan, dan membuat keputusan, serta mengaitkan isi dengan konteks adalam situasi kehidupan (Johnson, 2009, hlm. 32-35). Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan siswa secara nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari (Mulyasa, 2006, hlm.102). Menurut Sanjaya (2006, hlm. 109) mengemukakan bahwa CTL adalah suatu konsep pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata. Johnson (2009, hlm. 67) merumuskan CTL adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna/arti di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadi, sosial, dan budayanya. 134

Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran kontekstual memungkinkan proses belajar mengajar yang bermakna dan menyenangkan, karena pembelajarannya dilakukan secara alamiah, sehingga memungkinkan siswa dapat bekerja dan mengalami secara langsung materi yang dipelajarinya, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Komponen pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut: 1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful conections), adalah membuat hubungan antara subyek dengan pengalaman yang bermakna dan makna ini akan memberi alasan apa yang dipelajari. Menghubungkan antara pembelajaran dengan kehidupan nyata siswa sehingga hasilnya akan bermakna (berarti). Ini akan membuat siswa merasakan bahwa belajar penting untuk masa depannya (Johnson, 2009, hlm. 147-148). 2. Melakukan pekerjaan atau kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work), adalah dapat melakukan pekerjaan atau tugas yang sesuai. Pekerjaan yang memiliki suatu tujuan, memiliki kepedulian terhadap orang lain, ikut serta dalam menentukan pilihan, dan menghasilkan produk. 3. Belajar yang diatur sendiri (self regulated learning), adalah membangun minat individual siswa untuk bekerja sendiri ataupun kelompok dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna dengan mengaitkan antara materi ajar dan konteks kehidupan sehari-hari (Johnson, 2009, hlm. 149). 4. Bekerja sama (collaborating), adalah proses pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kelompok, membantu siswa untuk mengerti bagaimana berkomunikasi atau berinteraksi dengan yang lain dan dampak apa yang ditimbulkannya. 5. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan kreatifnya dalam pengumpulan, analisis dan sintesis data, memahami suatu isu atau fakta dan pemecahan masalah (Johnson, 2009, hlm. 182-183). 6. Memelihara atau membina pribadi (nurturing the individual), adalah menjaga atau mempertahankan kemajuan individu. Hal ini menyangkut pembelajaran yang dapat memotivasi, mendukung, menyemangati, dan memunculkan gairah belajar siswa. Guru harus memberi stimuli yang baik terhadap motivasi belajar siswa dalam lingkungan sekolah. Guru diharap mampu memberi pengaruh baik terhadap lingkungan belajar siswa. Antara guru dan orang tua mempunyai peran yang sama dalam mempengaruhi kemampuan siswa. Pencapaian perkembangan siswa tergantung pada lingkungan sekolah juga pada kepedulian perhatian 135

yang diterima siswa terhadap pembelajaran (termasuk orang tua). Hubungan ini penting dan memberi makna pada pengalaman siswa nantinya didalam kelompok dan dunia kerja (Johnson, 2009, hlm. 235-236). 7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards), adalah menyiapkan anak agar dapat hidup mandiri, produktif, bertanggung jawab, cepat merespon atau mengikuti perkembangan teknologi dan jaman. Dengan demikian dibutuhkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan sebagai wujud jaminan untuk menjadi orang yang bertanggung jawab, pengambil keputusan yang bijaksana dan karyawan yang memuaskan (Johnson, 2009, hlm. 260-261). 8. Penilaian yang sesungguhnya (authentic assesment), ditujukan pada motivasi siswa untuk menjadi unggul di era teknologi, penilaian sesungguhnya ini berpusat pada tujuan, melibatkan keterampilan tangan, penerapan, dan kerja sama serta pemikiran tingkat tinggi yang berulangulang. Penilaian itu bertujuan agar para siswa dapat menunjukkan penguasaan dan keahlian yang sesungguhnya dan kedalaman berpikir dari pengertian, pemahaman, akal budi, kebijaksanaan dan kesepakatan (Johnson, 2009, hlm. 288). Sesuai dengan karakteristiknya, pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen utama pembelajaran, yaitu konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik. Pembelajara kontekstual memiliki komponen utama yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran, yaitu: 1. Konstruktivisme (Constructivism) Komponen ini merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong (Nurhadi: 2003: 34). Pembelajaran konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. Dalam pandangan konstruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan: a. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, b. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, c. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. (Trianto, 2008, hlm. 29). 2. Inkuiri (Menemukan) 136

Menurut Nurhadi (2003, hlm. 43), inkuiri adalah suatu ide yang kompleks, yang berati banyak hal bagi banyak orang. Inkuiri menurut Sanjaya (2006, hlm. 119) mempunyai artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Komponen ini merupakan kegiatan inti CTL. Diawali dari pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Dengan demikian pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya. Langkah-langkah kegiatan inquiry, Nurhadi (2003, hlm. 43): merumuskan masalah; mengumpulkan data melalui observasi; menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain; mengkomunikasikan dan menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, audiens yang lain. 3. Bertanya (Questioning) Menurut Nurhadi (2003, hlm. 45), pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Guru menggunakan pertanyaanpertanyaan untuk menuntun siswa berpikir dan untuk membuat penilaian secara kontinyu terhadap pemahaman siswa. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Siswa belajar mengajukan pertanyaan tentang gejala-gejala yang ada, belajar bagaimana merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diuji, belajar saling bertanya tentang bukti, interprestasi, dan penjelasan-penjelasan yang ada. Pertanyaan dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan, berbagai macam bentuk, dan berbagai macam jawaban yang ditimbulkannya. Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk: a. Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis, b. Mengecek pemahaman siswa, c. Membangkitkan respon kepada siswa, d. Mengetahui sejauhmana keingintahuan siswa, e. Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, f. Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, g. Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, h. Menyegarkan kembali pengetahuan siswa (Trianto, 2008, hlm. 31) 4. Masyarakat Belajar ( Learning Community) Komponen ini menyarankan bahwa prestasi belajar sebaiknya diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Prestasi belajar bisa diperoleh dengan sharing antar teman, kelompok, dan antara yang tahu kepada yang tidak tahu, baik di dalam maupun di luar kelas. Komponen ini terjadi 137

apabila ada proses komunkasi dua arah. Karena pembelajaran yang dikemas dalam diskusi kelompok dengan anggota heterogen dan jumlah yang bervariasi sangat mendukung komponen ini. Anggota kelompok yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran dapat saling belajar. Prinsipprinsip yang bisa diperhatikan guru ketika menerapkan pembelajaran yang berkonsentrasi pada komponen learning community adalah sebagai berikut: a. Pada dasarnya prestasi belajar diperoleh dari kerjasama atau sharing dengan pihak lain. b. Sharing terjadi apabila ada pihak yang saling memberi dan saling menerima informasi. c.sharing terjadi apabila ada komunikasi dua atau multiarah. d. Masyarakat belajar terjadi apabila masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya sadar bahwa pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimilikinya bermanfaat bagi yang lain. e. Siswa yang terlibat dalam masyarakat belajar pada dasarnya bisa menjadi sumber belajar. (Sanjaya, 2006, hlm.120) 5. Pemodelan (Modeling) Modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa (Sanjaya, 2006, hlm. 121). Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme. Menurut Nurhadi (2003, hlm. 49) pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Contoh itu bukan untuk ditiru persis, tapi menjadi acuan pencapaian kompetensi siswa. Dalam kontekstual, guru bukan satu-satunya model, tapi model itu dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Model juga dapat didatangkan dari luar. 6. Refleksi (Reflection) Refleksi menurut Nurhadi (2003, hlm. 51) adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita laukan di masa yang baru saja kita terima. Releksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan terhadap apa yang baru diterima. Guru membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa baru dipelajarinya. 138

Guru perlu melaksanakan refleksi pada akhir program pembelajaran. Guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Releksi dapat berupa: a. Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari b. Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok c. Menelaah dan merespon terhadap kejadian, aktivitas dan pengalaman d. Mencatat apa yang telah kita pelajari, bagaimana kita merasakan, ideide baru e. Pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, f. Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, 7. Penilaian Nyata (Authentic Assesment) Menurut Nurhadi (2003, hlm. 52) pada hakikatnya, penilaian yang benar adalah menilai apa yang seharusnya dinilai. Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa (Sanjaya, 2006, hlm. 122). Prinsip yang dipakai dalam penilaian serta ciri-ciri penilaian autentik adalah: a. Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja, dan produk. b. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung. c. Menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber. d. Tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian. e. Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagianbagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari. f. Penilaian harus menekankan kedalam pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasanya (kuantitas). (Nurhadi, 2003, hlm. 52) C. Implementasi Pembelajaran Kontekstual Sesuai dengan faktor kebutuhan individual siswa, maka untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran dan pengajaran kontekstual guru seharusnya dalam pembelajarannya mengaitkan antara materi yang akan diajarkannya dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan cara sebagai berikut: 1. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan perkembangan mental siswa (developmentally appropriate). 2. Membentuk group belajar yang saling tergantung (interdependent learning groups). 3. Mempertimbangan keragaman siswa (disversity of students). 139

4. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (selfregulated learning) dengan 3 karakteristik umumnya (kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan). 5. Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelli-gences) siswa. Selain lima cara di atas, guru juga mengimplementasikan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual yakni sebagai berikut: 1. Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna jika ia diberi kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru (constructivism). 2. Membentuk group belajar yang saling tergantung (interdependent learning groups) yaitu agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain, maka pembelajaran hendaknya selalu dilaksanakan dalam kelompok-kelompok belajar atau proses pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kelompok. 3. Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry), yaitu agar siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui penemuannya sendiri (bukan hasil mengingat sejumlah fakta). 4. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pengajuan pertanyaan (questioning). Bertanya dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan memahami kemampuan berpikir siswa, sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya untuk menggali informasi mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan menunjukkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang baru yang didatangkan di kelas. 5. Pemodelan (modeling), maksudnya dalam sebuah pembelajaran selalu ada model yang bisa ditiru. Guru memberi model tentang bagaimana cara belajar, namun demikian guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa atau dapat juga mendatangkan dari luar. 6. Refleksi (reflection), adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa yang lalu kuncinya adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. 7. Penilaian sesungguhnya (authentic assesment), adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi diakhir periode pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu hasil, dan dengan 140

berbagai cara. Tes hanya salah satunya itulah hakekat penilaian yang sebenarnya (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003, hlm. 10-20). Sedangkan berkaitan dengan faktor peran guru, agar proses pengajaran kontekstual dapat lebih efektif, maka guru seharusnya; 1. Mengkaji konsep atau teori (materi ajar) yang akan dipelajari oleh siswa. 2. Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama. 3. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengkaitkannya dengan konsep atau teori yang akan dibahas. 4. Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman siswa dan lingkungan kehidupannya. 5. Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk mengkaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman sebelumnya dan fenomena kehidupan sehari-hari, serta mendorong siswa untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa terhadap konsep atau teori yang sedang dipelajarinya. 6. Melakukan penilaian autentik (authentic assessment) yang memungkinkan siswa untuk menunjukkan penguasaan tujuan dan pemahaman yang mendalam terhadap pembelajarannya, sekaligus pada saat yang bersamaan dapat meningkatkan dan menemukan cara untuk peningkatan pengetahuannya. D. Pelaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Model Berbasis Kontekstual Pelaksanaan pembelajaran matematika dengan model berbasis kontekstual pada materi sifat-sifat bangun ruang di kelas IV SD, pada setiap pelaksanaannya mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: 1. Kegiatan diawali dengan guru membuka pembelajaran dan mengkondisikan kelas serta siswa pada situasi belajar yang kondusif, kemudian guru mengadakan apersepsi sebagai penggalian pengetahuan awal siswa terhadap materi yang akan diajarkan. Setelah pengetahuan awal siswa tergali selanjutnya guru menyampaikan tujuan pelajaran yang hendak dicapai dalam pembelajaran. Langkah selanjutnya siswa dibagi menjadi lima kelompok dengan dua kelompok terdiri dari lima orang dan tiga kelompok terdiri dari empat orang, kemudian guru membagikan model bangun ruang dan lembar kerja siswa (LKS) kepada setiap kelompok. 2. Memasuki kegiatan inti dimulai dari tahap konstruktivisme, inkuiri dan pemodelan. Pada tahap ini siswa mengamati gambar dan memanipulasi model bangun ruang serta berdiskusi dalam mengidentifikasi sifat-sifat 141

bangun ruang sesuai dengan petunjuk yang ada dalam LKS. Hasil dari diskusi tersebut dibuat laporannnya secara tertulis. 3. Pada tahap masyarakat belajar, salah seorang perwakilan kelompok maju ke depan kelas untuk melaporkan hasil diskusi, sementara kelompok yang tidak ke depan menanggapi dengan cara mengajukan pertanyaan dan memberikan komentar atas hasil diskusi tersebut. 4. Tahap selanjutnya tahap bertanya dimana beberapa siswa mengajukan pertanyaan seputar hasil diskusi dan selama proses pembelajaran. 5. Pada tahap pemodelan guru memberikan peragaan cara yang benar mengamati dan memanipulasi model bangun ruang dalam mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang. 6. Pada tahap refleksi pembelajaran diarahkan pada siswa untuk mengaitkan pembelajaran ke dalam kehidupan sehari-hari dengan cara menyebutkan sifat-sifat bangun ruang dan menunjukkannya pada benda-benda yang ada disekitar kelas yang termasuk bangun ruang tertentu. 7. Kegiatan diakhiri dengan guru melakukan penilain dan bersama siswa membahas kesimpulan hasil pembelajaran. Untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang telah diajarkan, guru memberikan tes akhir lalu menutup pembelajaran. Pembelajaran ke-1 dilaksanakan pada hari Kamis, 9 April 2015, pukul 10.00-11.10 WIB, dengan jumlah siswa sebanyak 26 orang, siswa yang hadir yaitu 25 orang dan yang tidak hadir 1 orang. Materi pembelajaran hari ke-1 mengenai sifat-sifat kubus. Prestasi belajar siswa dari hasil pelaksanaan pembelajaran pada hari ke-1 saat mengerjakan soal secara individu yaitu, 4 orang memperoleh nilai 40; 2 orang memperoleh nilai 60; 1 orang memperoleh nilai 70; 4 orang memperoleh nilai 80; 2 orang memperoleh nilai 85, 6 orang memperoleh nilai 90; 4 orang memperoleh nilai 95; dan 2 orang memperoleh nilai 100. Dengan nilai terendah 40 dan nilai tertinggi 100, sehingga diperoleh rata-rata kelas sebesar 78,40. Pembelajaran ke-2 dilaksanakan pada hari Kamis, 16 April 2015, pukul 10.00-11.10 WIB, dengan jumlah siswa sebanyak 26 orang, siswa yang hadir yaitu 25 orang dan yang tidak hadir 1 orang. Materi pembelajaran hari ke-2 mengenai sifat-sifat balok. Prestasi belajar siswa dari hasil pelaksanaan pembelajaran pada hari ke-2 saat mengerjakan soal secara individu yaitu 2 orang siswa memperoleh nilai 90; 5 orang siswa memperoleh nilai 95; dan 18 orang siswa memperoleh nilai 100. Semua siswa mendapat nilai di atas 60, dengan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah 90. Sehingga diperoleh rata-rata kelas 98,20. Pembelajaran ke-3 dilaksanakan pada hari Kamis, 23 April 2015, pukul 10.00-11.10 WIB, dengan jumlah siswa sebanyak 26 orang, siswa yang hadir yaitu 22 orang dan yang tidak hadir 4 orang. Materi pembelajaran hari ke-3 mengenai sifat-sifat prisma tegak segitiga. Prestasi belajar siswa dari 142

hasil pelaksanaan pembelajaran pada hari ke-3 saat mengerjakan soal secara individu yaitu 2 orang memperoleh nilai 80; 4 orang memperoleh nilai 90; dan 16 orang memperoleh nilai 100. Semua siswa mendapat nilai diatas 60 dengan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah 80. Sehingga diperoleh rata-rata kelas 96,36. Pembelajaran ke-4 dilaksanakan pada hari Kamis, 30 April 2015, pukul 10.00-11.10 WIB, dengan jumlah siswa sebanyak 26 orang, siswa yang hadir yaitu 24 orang dan yang tidak hadir 2 orang. Materi pembelajaran hari ke-4 mengenai sifat-sifat limas segiempat. Prestasi belajar siswa dari hasil pelaksanaan pembelajaran pada hari ke-4 saat mengerjakan soal secara individu yaitu 2 orang memperoleh nilai 80 dan 22 orang memperoleh nilai 100. Semua siswa mendapat nilai diatas 60 dengan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah 80. Sehingga diperoleh rata-rata kelas 98,33 Perkembangan prestasi belajar siswa pada setiap pembelajaran dapat dilihat dari gambar diagram di bawah ini:. Gambar D.1 Diagram Nilai Rata-rata Pembelajaran Matematika dengan Model Berbasis Kontekstual pada Materi Sifat-Sifat Bangun Ruang di Kelas IV SD. Dari Gambar D.1 dapat dijelaskan nilai rata-rata pada hari ke-1 dari 78,40 naik menjadi 98,20 pada hari ke-2 dan menurun menjadi 96,36 pada hari ke-3, kemudian naik lagi menjadi 98,33 pada hari ke-4 dan rata-rata keseluruhan adalah 92,82. PENUTUP A. Kesimpulan Pembelajaran matematika di SD tidak cukup dengan menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum. Tetapi dibarengi juga dengan pembelajaran yang dapat membuat siswa merasa senang untuk belajar, memfasilitasi siswa untuk terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran, 143

dan membiasakan siswa untuk menerapkan konsep-konsep dasar matematika dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan siswa secara nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari yaitu pembelajaran berbasis kontekstual. Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Komponen pembelajaran kontekstual yaitu membuat hubungan yang bermakna (making meaningful connections), melakukan pekerjaan yang siginifikan (doing significant work), pembelajaran mandiri (self-regulated learning), bekerjasama (collaborating), berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thingking), pendewasaan individu (nurturing individual), pencapaian standar yang tinggi (reaching high standards), menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment). Langkah pembelajaran kontekstual yaitu kebermaknaan (konstruktivisme), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), reflekasi (reflection), penilaian sebenarnya (authentic assessment). Hasil pelaksananan pembelajaran matematika dengan model berbasis kontekstual pada materi sifat-sifat bangun ruang di kelas IV SD, diperoleh nilai rata-rata pada hari ke-1 dari 78,40 naik menjadi 98,20 pada hari ke-2 dan menurun menjadi 96,36 pada hari ke-3, kemudian naik lagi menjadi 98,33 pada hari ke-4 dan rata-rata keseluruhan adalah 92,82. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. (2006). Pengembangan Model Pembelajaran yang efektif. Jakarta: Depdiknas. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. (2003). Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching and Learning (CTL). Jakarta: Depdiknas. Johnson, E. B. (2009). Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: MLC. Kaifa Mulyasa, E. (2006). Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif, dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosda karya. Nurhadi, dkk. (2003). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Sanjaya, W. (2006). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana. Suwangsih, E. dan Tiurlina. (2006). Model Pembelajaran Matemátika. Bandung: UPI PRESS. Trianto. (2008). Mendesain Pembelajaran Kontekstual di Kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher 144