Ubah Ingsut Dalam Arsitektur Jawa: Kasus Kawruh Kalang Soetopoprawiro (Josef Prijotomo)

dokumen-dokumen yang mirip
VERNAKULAR-TA.428-SEMESTER GENAP-2007/2008 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR-S1 FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

NURYANTO PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR-S1 DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Model Proporsi Tipe Bangunan Arsitektur Tradisional Ponorogo

(Analisa Objek Arsitektur Vernakular Jawa: Joglo Lambangsari)

BAB III TINJAUAN BENTUK DALAM ARSTEKTUR DAN ARSITEKTUR TRADISIONAL JAWA

Model Tipe Bangunan Rumah Tradisional Ponorogo

KAJIAN OBJEK ARSITEKTUR JAWA TIMUR

PENGKONSTRUKSIAN SEKTOR GURU DARI GRIYA JAWA: TAFSIR ATAS KAWRUH KALANG

BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIKAL

RUMAH ADAT TULUNGAGUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Rumah Jawa adalah arsitektur tradisional masyarakat Jawa yang berkembang sejak abad ke- 13 terdiri atas 5 tipe dasar (pokok) yaitu:

KONSTRUKSI RANGKA ATAP

Jawa Timur secara umum

BENTUK DAN PERUBAHAN FUNGSI PENDHAPA DALAM BUDAYA MASYARAKAT JAWA

TRANSFORMASI BENTUK ARSITEKTUR JAWA 1

Struktur di Arsitektur Nusantara

Studi Struktur dan Konstruksi Bangunan Tradisional Rumah Pencu di Kudus

STRUKTUR KONSTRUKSI RUMAH JOGLO

SASANA SEWAKA: TINJAUAN SEMANTIK ARSITEKTUR JAWA KRATON KASUNANAN SURAKARTA

TINJAUAN ARSITEKTUR: BAGAIMANA MERANCANG ARSITEKTUR DAN MENKAJI METODE RANCANG ARSITEK NIGEL CROSS

BAB IV TINJAUAN PERENCANAAN DAN PERANCANGAN HOTEL RESOR

JURNAL TESA ARSITEKTUR Vol. XII no. 1 - Juni 2014 ISSN

PUSAT PERBELANJAAN KELUARGA MUSLIM Dl JOGJAKARTA BAB ANALISIS BENTUK TAMANSARI III.1. TAMANSARI. GAMBAR III.1. Umbul Winangun

Sasana Sewaka: Tinjauan Semantik Arsitektur Jawa Kraton Kasunanan Surakarta

Akulturasi Langgam Arsitektur pada Elemen Pintu Gerbang Masjid Agung Yogyakarta

A. GAMBAR ARSITEKTUR.

PUSAT PERAWATAN KULIT DAN SPA TRADISIONAL UNTUK WANITA DI YOGYAKARTA BERDASARKAN ARSITEKTUR TRADISIONAL JAWA

ARSITEKTURAL KALIANDRA (PASURUAN)

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang. Perkembangan pembangunan yang sangat pesat, juga diikuti munculnya

Penerapan Metafora Paramadiwa pada Perancangan Pusat Kesenian Jawa Timur Paramadiwa Surabaya

KONSTRUKSI RUMAH TRADISIONAL KUDUS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tugas I PERANCANGAN ARSITEKTUR V

Konstruksi Rumah Pandhapa di Desa Aeng Tong-Tong Kabupaten Sumenep, Madura

KAJIAN KOMPONEN GANDAMARU SEBAGAI PENGHUBUNG GESER BALOK PENDAPA

TINJAUAN ASPEK BUDAYA PADA PURA MANGKUNEGARAN SURAKARTA DALAM UPAYA MENGGALI IDE KONSEP RUMAH TINGGAL JAWA. Eny Krisnawati.

Penerapan Budaya Sunda dalam Perancangan Pasar Rakyat Kasus: Pasar Sederhana, Bandung

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR GAMBAR...

BERBAGAI KEMUNGKINAN PERUBAHAN BENTUK BANGUNAN JOGLO DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

a ^ lx^-_jx -^-_^t memakal gcganja atap brunjung sehingga kelihatan tinggi Rumah Joglo Kepuhan Lawakan ialah Rumah Joglo tanpa / /

APLIKASI REGIONALISME DALAM DESAIN ARSITEKTUR

Keleluasaan Pengembangan Gandhok dalam Morfologi Rumah Jawa pada Abad 20

TIANG Gambar Balok Lantai Dimasukkan ke dalam Tiang (Sketsa : Ridwan)

MENGKOMUNIKASIKAN GAMBAR DENAH, POTONGAN, TAMPAK DAN DETAIL BANGUNAN

BAB 1 STRUKTUR DAN KONSTRUKSI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

LAPORAN PENELITIAN KAJIAN FUNGSI DAN EFISIENSI KONSTRUKSI BANGUNAN JINENG DALAM DINAMIKA KEHIDUPAN MODERN

Karakteristik Sistem Struktur Ruang Utama Masjid Agung Demak

BAB III ANALISA. ±4000 org b. Debarkasi Penumpang

DAFTAR ISI BAB II TINJAUAN PUSTAKA...5

Tipologi Arsitektur Rumah Ulu di Sumatera Selatan

TIPOLOGI KONSTRUKSI TRADISIONAL PADA CUNGKUP MAKAM PRAPEN ABSTRAK

Analisa Perbandingan Saka pada Bangunan Pendopo Jawa dari Zaman Keraton sampai dengan Vernakular

+ 3,63 + 2,60 ± 0, ,00

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kraton Yogyakarta merupakan kompleks bangunan terdiri dari gugusan

Semiotika Arsistektur Rumah Adat Kudus Joglo Pencu

ORGANISASI RUANG. Berikut ini adalah jenis-jenis organisasi ruang : Organisasi Terpusat

APLIKASI RAGAM HIAS JAWA TRADISONAL PADA RUMAH TINGGAL BARU

BAB XI KUDA-KUDA DAN ATAP

Penggunaan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) pada Makalah Mahasiswa Non-PBSI 1 Nuryani 2

Fungsi Daftar Pustaka

BAB 3 METODE ANALISIS

BAB III ELABORASI TEMA

RUMAH TRADISIONAL PONOROGO

BAB VI HASIL PERANCANGAN. Hasil Perancangan Galeri Seni Dwi Matra di Batu merupakan aplikasi dari

Sirkulasi Bangunan Rumah Tinggal Kampung Kauman Kota Malang

PEMBOROSAN BIAYA PEMBANGUNAN AK1BAT PENULANGAN YANG TIDAK SESUAI ATURAN TEKNIK. Tri Hartanto. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN FAJRI BERRINOVIAN 12032

GEDUNG KEDUTAAN BERPALING DARI JALAN UTAMA. Tidak lazim bagi bangunan di koridor Thamrin, Jakarta, memalingkan wajahnya dari jalan.

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

STRUKTUR PERMUKAAN BIDANG

PUSAT PENELITIAN GULA DI KABUPATEN BANTUL

KAJIAN STRUKTUR PENDOPO AKIBAT PENAMBAHAN BEBAN PENUTUP ATAP STUDI KASUS BANGSAL KEPATIHAN YOGYAKARTA ABSTRACT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB 5 HASIL RANCANGAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN. Studi Tipologi Bangunan Pabrik Gula Krebet. Kawasan Pabrik gula yang berasal dari buku, data arsitek dan sumber-sumber lain

Identifikasi Geometri sebagai Dasar Bentuk pada Arsitektur Tradisional Nusa Tenggara Barat

PUSAT INFORMASI PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR MODERN

Masjid Tua Ternate, Warisan Berharga Sultan yang perlu dilestarikan

Meng- abadi -kan Arsitektur dalam Rancangan Gedung Konser Musik Klasik Surabaya

BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proyek

UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN SEMESTER I Anggota Kelompok

1 MERANCANG TAMPAK DAN POTONGAN

LAPORAN TUGAS AKHIR ENSIKLOPEDIA RUMAH ADAT JAWA TENGAH

EFISIENSI PEMANFAATAN MATERIAL BAMBU PADA PERANCANGAN BANGUNAN DI KAWASAN EKOWISATA MANGROVE WONOREJO DENGAN PENDEKATAN GEOMETRI

pada bangunan yang berkembang pada masa Mesir kuno, Yunani dan awal abad

Prinsip Desain Arsitektur. Keterkaitan Gubahan Massa dan Pembentukan Ruang Dalam Pada Rumah Segitiga di Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia terletak pada 6 o LU 11 o LS dan 95 o BT

BAB V KAJIAN TEORI. Kawasan Wisata Goa Kreo. Tanggap Lingkungan. Asitektur Tradisional Jawa. Asitektur Regionalisme

Pokok Bahasan Rincian Pokok Bahasan Waktu

1.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG SIMBOL DAN LABEL LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

BAB II LANDASAN TEORI

SPA V ARSITEKTUR JAWA TIMUR (TULUNGAGUNG) DOSEN : HERU SUBIANTORO, ST.,MT. Disusun oleh CHRIS ANDISTYA ( )

PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG KULIAH 4 LANTAI DENGAN SISTEM DAKTAIL TERBATAS

BAB 1 PENDAHULUAN. bangunan masjid. Masjid merupakan bangunan yang penting dan tidak dapat

BAGIAN 3 HASIL RANCANGAN DAN PEMBUKTIANNYA

Transkripsi:

UBAH INGSUT DALAM ARSITEKTUR JAWA KASUS KAWRUH KALANG SOETOPRAWIRO Josef Prijotomo Dosen Jurusan Arsitekur Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya ABSTRACT Transformation in the Traditional Architecture of Indonesia always a challenge to students, instructors and practitioners. This task is more confronting and problematic once the design calls for a combination of that indigenous with that of the contemporaries. One source for the problem seemingly because the understanding upon traditional architecture is dominated by the generalization of form and appearance. Hence, traditional architecture is one kind of architecture that is singular in form and appearance across space and time. This paper tries to demonstrate that transformation has been experienced by Nusantara Architecture. Interpretation upon one of the early 20 th century corpus on Javanese architecture, known as Kawruh Kalang, is performed to acknowledge the transformation within the Javanese architecture. Here, a set of formal variations within each of four basic form of Javanese architecture is simply an outcome of constructional works. This means that for every constructional variation, a transformation of form may take place, an a distinctive name is given for it. The case of Kawruh Kalang supposedly suggest that the understanding of Nusantara Architecture should not be limited to just generalization of form and appearance. A. PEMBUKA Sekurangnya, sudah semenjak awal 1970-an sekolah-sekolah arsitektur mengajarkan bahwa dalam arsitektur Jawa itu terdapat lima bangun dasar bentukan yakni masing-masing bentuk Tajug, Joglo, Limasan, Kampung dan bentuk Panggang-pe. Melalui pemeriksaan dari buku karangan drs. Hamzuri (tt) yang berjudul Rumah Tradisional Jawa kita bisa mengetahui bahwa sumber pengetahuan yang diajarkan di sekolah arsitektur itu adalah tulisan dari Hamzuri tersebut. Gambaran atas jumlah bangun dasar itu akan berubah bila kita memperhatikan naskah tentang arsitektur Jawa yang ditulis di sekitar 1

NALARs Volume 3 Nomor 1 Januari 2004: 1-15 permulaan abad 20, dan lazim dikenal dengan sebutan Kawruh Kalang. Meskipun sampai dengan saat ini belum ada penerbitan atas naskah itu, di berbagai perpustakaan dan museum masih bisa ditemui naskah tersebut, baik yang masih menggunakan aksara Jawa dan berbahasa Jawa, yang beraksara latin dengan tetap berbahasa Jawa, serta yang sudah merupakan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Salah satu naskah yang sudah diterjemahkan itu adalah Kawruh Kalang yang ditulis oleh Soetoprawiro di sekitar 1910. Terjemahan yang dilakukan di tahun 1969 itu sebenarnya memberi kesempatan yang luas bagi kita untuk mendapatkan pengetahuan tentang arsitektur Jawa dari masa yang telah silam, misalnya pengetahuan tentang bangun dasar bangunan Jawa serta kesempatan yang ada dalam bangunan Jawa untuk mengalami ubah-ingsut. Dengan memanfaatkan bagian kecil dari naskah terjemahan itu, di sini akan dicoba disampaikan bagaimanakah bangunan Jawa itu mengalami ubah-ingsut, sedemikian rupa sehingga kita bisa mengetahui bahwa arsitektur Jawa pada khususnya, dan arsitektur nusantara pada umumnya, adalah arsitektur yang selalu memperkaya diri dengan menghadirkan ragam-ragam bentukan melalui ubah-ingsutan. B. UBAH-INGSUT 1 Duapuluh mahasiswa arsitektur diberi satu soal yang sama: merancang obyek arsitektur di tempat yang sama, dengan jumlah daya tampung yang sama dan dengan semua keperluan merancang yang sama. Tanpa harus ada peraturan yang tertulis, dapatlah dipastikan bahwa soal itu tidak akan digarap oleh mahasiswa arsitektur seperti kalau harus berhadapan dengan soal dua ditambah dua adalah 4. Naluri mahasiswa arsitektur seakan menjadi aturan permainan dalam menggarap soal tadi yakni: mengharamkan rancangan yang sama; memunculkan yang berbeda. Naluri arsitektur dalam menghadirkan diri adalah naluri untuk tidak sama seperti yang sudah ada, untuk berbeda. Dengan demikian, membuat yang tidak sama bukanlah persoalan, melainkan adalah tantangan. 1 Merupakan petikan dari makalah berjudul Ubah-ingsut di Arsitektur Nusantara: Kewajaran Naluri arsitektur, bukan Masalah yang disampaikan dalam Lokakarya Transformasi Arsitektur Karo dari Lingga sampai Medan, diselenggarakan oleh Fak.Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Medan, pada tanggal 13 Desember 2003 di Berastagi. 2

Tidak sama menjadi sebuah skala yang menentukan apakah sesuatu yang dihasilkan menunjukkan kesamaan ataukah kebedaan. Di sinilah kepekaan untuk menangkap selisih ke-tidak-sama-an menjadi mengedepan. Di sini pulalah transformasi menempatkan dirinya sebagai pengetahuan arsitektur, baik dalam pengertiannya sebagai trans-formation maupun sebagai transform-ation. Transformasi sebagai sebuah tindakan dan sebagai keadaan menempatkan tidak sama sebagai kata kuncinya, dan lebih lanjut lagi, transformasi berkecenderungan untuk memusatkan perhatiannya pada kebeda-an. Ini berbeda dari ihwal yang dikenal dengan sebutan modifikasi, karena untuk yang satu ini pusat perhatiannya adalah pada ke-sama-annya. Sebagai pernyataan arsitektural, transformasi mengukur dirinya dari seberapa dekat telah berbeda dari presedennya/ acuannya (atau seberapa jauh masih menampakkan kesamaannya). Sebaliknya, modifikasi mengukur dirinya dari seberapa dekat dirinya masih menyamai presedennya/ acuannya (atau seberapa jauh dia dari kebedaannya). Jadi, kalau untuk transformasi kebedaan menjadi tantangannya; dalam modifikasi adalah kemiripan yang menjadi tantangannya. Bahasa Indonesia mempunyai sebutan yang demikian dekat dengan konsep transformasi dan modifikasi itu yakni kata ubah- dan kata ingsut-. Transformasi memusatkan perhatian pada perubahan sedangkan modifikasi memusatkan per-hatian pada peringsutan. Dengan demikian, merancang menjadi sebuah tantangan untuk mendatangkan perubahan ataukah mendatangkan peringsutan, itu saja. Memang, walaupun ubah-ingsut itu memiliki cakupan yang ragawiah maupun yang tan-ragawiah, namun kecenderungannya menunjukkan bahwa ubahingsut ini lebih banyak tertuju pada cakupan yang ragawiah saja. Diletakkan dalam kegiatan merancang, tantangan untuk mengubah dan untuk mengingsut adalah tantangan yang sama derajadnya, dan karena itu sebaiknya tidak disikapi bahwa mengingsut itu lebih mudah daripada mengubah; mengingsut itu lebih rendah mutunya daripada mengubah. Kesetaraan dan kesejajaran ini disebabkan karena isi tantangannya yang berbeda. Dalam mengubah tantangannya adalah seberapa sedikit kesamaan itu masih disertakan sehingga dalam perubahan yang terjadi masih dapat dikenali kesamaannya. Sebaliknya, dalam mengingsut tantangannya adalah 3

NALARs Volume 3 Nomor 1 Januari 2004: 1-15 seberapa sedikit perubahan itu dilakukan sehingga dalam kemiripan itu masih bisa dikenali kebedaannya. Ubah: dari persegi menjadi melingkar Ingsut: dari lingkaran menjadi melingkar Gambar 1. Ubah dan Ingsut sesuatu wujud C. BANGUN DASAR BANGUNAN JAWA Salah satu kekhasan tampilan arsitektur Jawa adalah pada tampak sampingnya. Meskipun dalam arsitektur Jawa terdapat berbagai kemungkinan tampang bangunan, namun keragaman itu praktis hanya dapat dinikmati dari arah depan dan arah belakang saja. Dari arah samping, semua bentukan yang muncul memperlihatkan satu tampang saja. Bila bangunan ini hadir dengan selengkapnya, maka secara skematik, tampilan bangunan dari arah samping adalah seperti yang tersaji di gambar 2. 2 Guru, Pananggap dan Paningrat dalam gambar itu menunjuk pada sektor-sektor ruangan/ bangunan yang terjadi, ditandai oleh lereng atap yang semakin menjauh dari tengah menjadi semakin landai. Ketiga sektor itu hanya dapat terjadi bila sektor Guru sudah mantap ukuran dan keletakannya, karena sektor Pananggap dan sektor Paningrat itu merupakan pemekaran dari sektor Guru. Sektor Guru, yang menjadi pusat dan inti dari bangunan Jawa, menjadi bagian bangunan yang paling diperhatikan dengan seksama dalam Kawruh Kalang. Dalam Kawruh Kalang Soetoprawiro, perhatian utama memang tidak 2 Skema tampilan dari samping ini dibuat dengan mengikuti petunjuk yang tersaji di naskah Kawruh Kalang Sasrawiryatma, yang ditulis di tahun 1926. 4

dengan langsung dikatakan, akan tetapi dalam Kawruh Kalang Sasrawiryatma (ditulis tahun 1926), sektor ini dengan terang-terangan dikatakan sebagai guru yakni sebagai pedoman, yang dijadikan panutan dan patokan, yang dijadikan guru. Yang lebih penting lagi, dalam semua Kawruh Kalang dan Kawruh Griya, penyebutan tentang adanya empat bentuk dasar bangunan Jawa hanya dibatasi dan ditujukan terhadap bentukan yang terjadi di sektor guru ini. Keempat bangun dasar yang sekaligus menjadi bentuk bangunan itu masing-masing dinamakan bentuk Tajug, bentuk Joglo, bentuk Limasan dan bentuk Kampung. 3 Dalam tampak samping, keempat bentuk itu memiliki tampak yang sama yakni seperti yang terlihat di gambar 2. Dengan demikian, hanyalah dari arah depan dan belakang saja pengenalan atas bentuk demi bentuk itu dapat dilakukan. guru pananggap paningrat Gambar 2: Sosok tampilan samping dari bangunan Jawa 3 Dalam buku Hamzuri, bentuk ini bertambah dengan satu bentuk lagi yakni bentuk Panggang-pe. 5

NALARs Volume 3 Nomor 1 Januari 2004: 1-15 Dengan demikian, setiap bentukan bangunan Jawa yang terjadi, pengenalan dan penamaannya selalu berpatok pada salah satu dari bentuk bangunan yang tersebutkan tadi, tidak peduli apakah bangunan itu memiliki sektor pananggap, sektor paningrat ataukah kedua-duanya. Sebagaimana posisi dan statusnya yang merupakan perluasan dari sektor guru, tentulah sektor-sektor ini boleh saja muncul di bangunan Jawa, dan boleh pula tidak dimunculkan. Dalam hal kedua buah sektor itu tidak dimunculkan, maka yang tersisa hanyalah sektor guru. 4. D. UBAH INGSUT DALAM KAWRUH KALANG Kawruh Kalang adalah naskah tentang bangunan yang ditulis di sekitar pergantian abad 19 ke 20. Sebagian banyak memang ditulis di awal abad 20. Meskipun pada masa itu sudah ada mesin cetak buku, baik buku yang beraksara latin maupun buku yang beraksara Jawa, namun tidak satupun naskah Kawruh Kalang yang terbit sebagai cetakan. Naskah yang beraksara Jawa semuanya menggunakan tulisan tangan; sedangkan yang sudah dilatinkan hadir sebagai hasil ketikan. Sebagaimana judulnya yang menyebutkan Kalang kelompok ahli dan tukang bangunan--, maka dapat diduga bahwa naskah ini ditujukan bagi para tukang atau/ dan pelaku pengkonstruksian bangunan Jawa. Dengan demikian, pengamatan mengenai terjadinya peristiwa ubah-ingsut di bangunan Jawa dilakukan dari sisi tinjau peristiwa konstruksi bangunan. Seperti akan terlihat, perubahan dan perlakuan yang berkenaan dengan ubah-ingsut semata-mata disampaikan sebagai perlakuan terhadap konstruksi dan pengkonstruksian bangunan Jawa. Dari halaman 11 sampai dengan 15 Kawruh Kalang Soetoprawiro disampaikan keragaman bentukan yang terdapat di dalam masing-masing bentuk Tajug, bentuk Joglo, bentuk Limasan dan bentuk Kampung. Dalam bentuk Tajug, hanya terdapat dua buah ragam bentukan; di bentuk Joglo terdapat tujuh ragam bentukan; dalam bentuk Limasan terdapat duabelas ragam bentukan; dan dalam bentuk Kampung tersajikan sembilan ragam bentukan. Untuk mengamati lebih cermat tentang ubah-ingsut itu, 4 Uraian lebih rinci tentang sektor-sektor ini dapat dilihat dalam Josef Prijotomo (1996): Petungan: Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa; Gadjah Mada University Press; Yogyakarta. 6

berikut ini disampaikan keragaman yang terjadi dalam bentuk Joglo, yang dalam naskah Kawruh Kalang Soetoprawiro termuat di halaman 11-12. DJOGLO 1. Djoglo Tjeblokan ( = ditanam): djika tanpa sunduk (= kaju jang ada dibawah blandar dan pengerat sebagai peneguh tiang utama), dan tiang itu ditanam begitu sadja didalam tanah (lantai). 2. Djoglo Kepuhan: jaitu jang tidak menggunakan gandja (= kaju jang lurus melintang dipuntjak antara dua buah tiang. Dan gandjanja diganti dengan kepuh (sepotong balok jang dipasang / ditempelkan pada bagian depan tiang, sehingga menjerupai kepuh dalam artinja jang asli, jaitu bagian dari kain wiruan jang dilipat djika kain itu dipakai. 3. Djoglo Tradjumas, jaitu: djika menggunakan tiga buah pengerat dan enam buah tiang dengan atap bagian bawah lengkap berkeliling disegala pendjurunja. 4. Djoglo Tawon Boni. Ukurannja persegi, tetapi ditambah dengan serambi depan. Tidak menggunakan ander (= kaju penopang jang terletak diatas pengerat), dan sebagai penggantinja digunakan tumpang (= balok-balok diatas pengerat) sebanjak lima buah. Djuga diberi singup (= plafon jang dipasang diantara tiang-tiang utama), lumadjang (= lis diantara persambungan balok dengan balok) serta memakai gandja. 5. Djoglo Semar Tinandhu, jaitu djika pangeratnja hanja dua buah. Tiangnja djuga hanja dua dan dipasang diantara dua pengerat. 6. Djoglo Wantah (= biasa), djuga menggunakan tumpang lima buah, plafon dan gandja serta lumadjang 7. Djoglo Pangrawit (= salah satu matjam bangsal), dimana seolah-olah ada jang tergantung. Hal ini disebabkan karena atap bubungan terpisah dengan atap serambi dan atap serambi djuga kelihatan terpisah dengan atap teritis. Disetiap sudutnja dipasang tiang benthung jang bentuknja menjerupai gada. Udjung tiang benthung dimasukkan kedalam kerangka berbentuk siku-siku jang merupakan penopang teritis rumah. Bagian-bagian jang tampaknja dipisahkan itu ditutup dengan papan. Djuga menggunakan tumpang lima buah singup (= plafon) dan gandja. Naskah asli berbahasa Jawa yang dibuat tahun 1910 di atas, telah di- Indonesiakan oleh seseorang di tahun 1969. Oleh karena itu, dapatlah 7

NALARs Volume 3 Nomor 1 Januari 2004: 1-15 dimaklumi bila ejaan yang digunakan masih menggunakan ejaan lama. 5 Tujuh ragam yang dimiliki oleh bentuk Joglo di atas menunjukkan tujuh kemungkinan ubah-ingsut yang dapat dilakukan terhadap bentuk Joglo itu sendiri. Tentu saja, yang dimaksud dengan bentuk Joglo di sini adalah bentukan yang ditemui atau dimiliki oleh sektor guru dari keseluruhan bentukan bangunan Jawa. Terhadap masing-masing ragam tadi, keterangan dan penafsirannya adalah sebagai berikut ini. Djoglo Tjeblokan ( = ditanam): djika tanpa sunduk (= kaju jang ada dibawah blandar dan pengerat sebagai peneguh tiang utama), dan tiang itu ditanam begitu sadja didalam tanah (lantai). Ubah-ingsut yang terjadi sehingga menghasilkan ragam Joglo Ceblokan adalah pertama, salah satu unsur konstruksi yang bernama sunduk ditiadakan; dan yang kedua, bagian bangunan yang dikenal dengan nama umpak juga dihilangkan. Sebagai ganti dari umpak, tiang utama bangunan ditanam langsung ke dalam tanah. Sudah barang tentu, peniadaan unsur konstruksi ini dengan langsung memberi dampak pada kelakuan konstruksi dari keseluruhan sektor guru dari bangun Joglo. Djoglo Kepuhan : jaitu jang tidak menggunakan gandja (= kaju jang lurus melintang dipuntjak antara dua buah tiang. Dan gandjanja diganti dengan kepuh (sepotong balok jang dipasang/ditempelkan pada bagian depan tiang, sehingga menjerupai kepuh dalam artinja jang asli, jaitu bagian dari kain wiruan jang dilipat djika kain itu dipakai. Meskipun dalam frasa awal dikatakan bahwa Joglo Kepuhan in terjadi karena penghilangan unsur konstruksi gandja, namun dalam frasa berikutnya dikatakan bahwa kepuh merupakan pengganti (substitute) dari gandja itu. Tentu, penggantian ini juga mendatangkan perubahan perwajahan karena gandja adalah unsur konstruksi yang menempati ujung tiang, sedangkan kepuh merupakan perwujudan yang merangkai dua tiang. Ini berarti bahwa penggantian ini sekaligus mengingsutkan perwajahan bagian atas dari 5 Meskipun sudah diindonesiakan di tahun 1969, nampaknya para pengkaji arsitektur Jawa masih belum tertarik untuk menjadikan naskah itu sebagai bahan pengkajian dan penelitiannya. Mungkin hal ini disebabkan karena naskah yang telah diindonesiakan ini masih tersimpan di perpustakaan Mangkunegaran Surakarta dalam keadaan sebagai naskah ketikan. 8

konstruksi Joglo. Secara keseluruhan bentuk, penggantian ini tidak cukup dominan untuk mendatangkan wajah yang berubah. Djoglo Tradjumas, jaitu : djika menggunakan tiga buah pengerat dan enam buah tiang dengan atap bagian bawah lengkap berkeliling disegala pendjurunja. Joglo Trajumas menjadi salah satu ragam dari bangun Joglo yang secara signifikan mendatangkan perubahan wajah bentuk joglo. Pengubahan dari empat tiang utama menjadi enam tiang utama dengan sertamerta akan mengakibatkan pertambahan pada panjang bentang dari sektor guru; dan akhirnya, menjadikan wajah frontal dari bentuk joglo akan berubah. Tanpa harus menyebut adanya perubahan wajah itu, dengan pemahaman proporsi tentulah kita mengetahui bahwa bila bentang semakin membesar, maka ketinggian akan ikut berubah. Dengan pengubahan pada bentang dan ketinggian itu, proporsi bangunan akan tetap dijaga. Hal lain yang cukup menarik dari penjelasan atas Joglo Trajumas adalah disebutnya jumlah pangerat yang tiga buah itu mendahului jumlah tiang yang enam buah. Penyebutan dengan urutan seperti ini memang mesti dilakukan karena yang menadi pedoman dan bakuan dari bangunan Jawa adalah balandar/ blandar (lengkapnya, blandar- atau balandar-pamanjang dan balandar pangeret/ pangerat). Dengan berpatokan pada ukuran dari blandar dan pangerat itulah ukuran dari tiang dan semua bagian bangunan Jawa ditentukan. Dengan demiian, bangunan Jawa tidak mengawali pengukurannya dengan menentukan panjang dan lebarnya lantai ruangan, melainkan balokbalok utama yang ditopang oleh tiang utama (= sakaguru). Djoglo Tawon Boni. Ukurannja persegi, tetapi ditambah dengan serambi depan. Tidak menggunakan ander (= kaju penopang jang terletak diatas pengerat), dan sebagai penggantinja digunakan tumpang (= balok-balok diatas pengerat) sebanjak lima buah. Djuga diberi singup (= plafon jang dipasang diantara tiang-tiang utama), lumadjang (= lis diantara persambungan balok dengan balok) serta memakai gandja. Kata persegi pada petikan tadi tidak tepat, bahkan keliru. Dalam bahasa Jawa, kata pasagi atau pesagi itu bukan berarti persegi, melainkan bujur 9

NALARs Volume 3 Nomor 1 Januari 2004: 1-15 sangkar. Jadi, dalam ragam Joglo Tawon Boni ini, blandar dan pangeratnya memiliki panjang yang sama sehingga konfigurasinya membentuk geometri yang bujursangkar. Konfigurasi seperti ini juga tidak berbeda dari konfigurasi dari bentuk Tajug. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila bentukan ini juga tidak memiliki ander. Kombinasi dari beringsutnya persegi panjang menjadi bujursangkar dan peniadaan ander menjadikan Joglo Tawon Boni ini dilengkapi dengan sejumlah unsur konstruksi yang tentunya ditujukan agar kekokohan dan stabilisatas struktur bangunan dapat dipertahankan. Djoglo Semar Tinandhu, jaitu djika pangeratnja hanja dua buah. Tiangnja djuga hanja dua dan dipasang diantara dua pengerat. Penyebutan pangerat yang mendahului penyebutan tiang memperkuat konsistensi keberadaan pembentukan bangunan Jawa yang berpedoman pada blandar dan pangerat. Di sini, jumlah yang dua buah dari pangerat tidak memperlihatkan perubahan yang besar terhadap wajah bentuk Joglo, mengingat selazimnya jumlah pangerat ini memang hanya dua atau tiga buah saja. Yang menjadikan berubah adalah jumlah tiang utama yang hanya sebanyak dua buah.dengan perubahan jumlah tiang utama ini, tampak samping dari sektor guru pada Joglo Semar Tinandhu ini hanyalah sebatang tiang yang menyangga sebuah bentukan atap. Pengubahan jumlah tiang utama ini dengan langsung memberi akibat pada kelakuan konstruksi dari bentuk Joglo. Djoglo Wantah (= biasa), djuga menggunakan tumpang lima buah, plafon dan gandja serta lumadjang Ragam Joglo Wantah ini menghadirkan diri dengan membubuhkan pada bentuk Jogolo sejumlah unsur konstruksi yang membuat bangunan menjadi lebih tinggi/menjulang. Unsru konstruksi tumpang di sini dalam kelaziman masa kini disebut tumpang-sari. Djoglo Pangrawit (= salah satu matjam bangsal), dimana seolah-olah ada jang tergantung. Hal ini disebabkan karena atap bubungan terpisah dengan (hal 12) atap serambi dan atap serambi djuga kelihatan terpisah dengan atap teritis. Disetiap sudutnja dipasang tiang benthung jang bentuknja 10

menjerupai gada. Udjung tiang benthung dimasukkan kedalam kerangka berbentuk siku-siku jang merupakan penopang teritis rumah. Bagian-bagian jang tampaknja dipisahkan itu ditutup dengan papan. Djuga menggunakan tumpang lima buah singup (= plafon) dan gandja. Dari semua ragam bentuk Joglo, hanya Joglo Pangrawit saja yang melibatkan sektor pananggap dan sektor paningrat. Di sini, setiap atap dari setiap sektor diperlihatkan sebagai saling terpisahkan satu dari yang lain. Perlakuan yang memisahkan atap sektor yang satu dari sektor yang lain juga mengindikasikan bahwa dalam keadaan yang biasa, atap dari masing-masing sektor itu perletakannya adalah saling berhimpitan. Dengan memisahkan atap dari setiap sektor, menjadi konsekuensi logis bagi sektor guru dari bangun Joglo ini untuk menjadi lebih tinggi/ menjulang daripada ketinggian umum bangun Joglo. Dan, oleh karena itulah lalu di sini disebut adanya tambahan unsur konstruksi yang mendukung tujuan hadirnya bentukan yang lebih tinggi/ menjulang, yakni seperti yang telah dilakukan pula pada ragam Joglo Wantah. Dengan memperhatikan ketujuh buah ragam dari bentuk Joglo di atas, terlihat bahwa ubah-ingsut yang dapat dilakukan terhadap bentuk Joglo juga dapat dilakukan terhadap bangun dasarnya (lihat Joglo Semar Tinandhu). Penambahan, penghapusan, penggantian unsur-unsur konstruksi memang nampak mencolok sebagai penyebab bagi hadirnya sesuatu ragam bentukan. Dengan memberikan perlakuan terhadap unsur konstruksi bangunan, tentu saja pertimbangan konstruksi dan sistem struktur yang mensyaratkan kekokohan, kekuatan, kestabilan dan yang lainnya masih tetap dijaga dengan seksama (lihatlah Joglo Ceblokan). Dan yang tidak kalah pentingnya, perubahan dan peringsutan terhadap unsur konstruksi juga memberi dampak langsung pada perwajahan, di mana dalam perubahan yang paling ekstrim dapat diwakili oleh Joglo Pangrawit. Hal lain yang dapat dicatat dari ragam bangun Joglo ini adalah tidak disertakannya guna atau peruntukan dari bangunan itu di dalam pemberian identitas masing-masing ragam. Apakah pada awal abad 20 itu arsitektur Jawa masih belum mengenal pencirian bangunan melalui peruntukan atau guna bangunan? Tentu saja tidak 11

NALARs Volume 3 Nomor 1 Januari 2004: 1-15 demikian halnya. Dalam bagian lain dari naskah Kawruh Kalang dapat ditemukan adanya petunjuk nyata di mana arsitektur Jawa telah mengenal peruntukan atau guna bangunan beserta pengaruhnya pada bangunan. Sekurangnya dua petunjuk tentang kebenaran itu dapat disampaikan di sini yakni yang pertama, penghitungan jumlah usuk bangunan dilakukan dengan menggunakan peruntukan bangunan sebagai pertimbangan utamanya (misalnya, untuk membuat pandhapa, jumlah usuknya harus jatuh pada hitungan Kitri). Petunjuk kedua adalah disebut-sebutnya berbagai sebutan yang dengan langsung menunjuk pada peruntukan atau guna dari bangunan, seperti masjid, kandang, regol (gerbang masuk), pandhapa atau lumbung. Dengan demikian, pertanyaannya sekarang adalah apakah antara peruntukan atau guna bangunan dengan bentuk dan ragam bangunan ada pertalian yang menunjuk pada bentuk ditentukan oleh peruntukan? Jawabnya adalah, tidak ada pertalian seperti itu. Dikatakan: Adapun rumah Djawa lainnja, selain jang sudah diterapkan diatas, misalnja: lumbung, kandang binatang ternak, kandang kuda, gandhok (= rumah samping), dapur, peringgitan (= rumah jang terdapat diantara rumah besar dan pendapa), topengan (= aling-aling jang dipasang diudjung pendapa), serambi, bangsal dsb itu hanja merupakan sebutan-sebutan atau nama jang disesuaikan dengan penggunaannja. Pengambilan tjoraknja tetap menurut pedoman-pedoman jang sudah disebutkan dimuka. (hal. 14) Jadi, di sini penanganan bentuk bangunan dilakukan dengan mengikuti karakter arsitektural yang dimiliki oleh masing-masing bentuk Tajug, Joglo, Limasan dan Kampung. Kemampuan ubah-ingsut dari arsitektur Jawa ternyata tidak berhenti hanya sampai dengan masa di mana Kawruh Kalang Soetoprawiro itu menghadirkan diri. Dengan memperhatikan hasil pengkajian yang dilakukan oleh drs. Hamzuri (tt) yang dipublikasikannya dengan judul Rumah Tradisional Jawa, kita menyaksikan bahwa jumlah ragam dari bentuk Joglo itu telah bertambah sehingga menjadi 12 ragam. Ragam-ragam itu adalah: Joglo Jompongan, Joglo Kepuhan Lawakan, Joglo Ceblokan, Joglo Kepuhan Limolasan, Joglo Sinom Apitan, Joglo Pangrawit, Joglo Kepuhan Apitan, Joglo Semar Tinandhu, Joglo Lambangsari, Joglo Wantah Apitan, Joglo Hageng, Joglo Mangkurat, (hal. 16-23) Dengan melihat namanya, sedikit saja yang masih sama dengan 12

yang ada dalam Soetoprawiro. Dengan mencermati keterangan yang disertakan oleh Hamzuri terhadap masing-masing ragam bentuk Joglo, dapatlah dilakukan penyetaraan dengan ragam yang ada dalam Soetoprawiro seperti terlihat pada tabel 1. Di situ hanyalah Joglo Lambangsari dari kajian Hamzuri yang tidak mendapatkan padanannya dengan Soetoprawiro. Keterangan Hamzuri yang berbunyi: bentuk ini terdapat pada Bangsal Taman Sari Yogyakarta (hal. 21) kemungkinan besar dapat menjadi petunjuk bagi penjelasannya. Seperti diketahui, Kawruh Kalang Soetoprawiro itu sebenarnya merupakan naskah tentang arsitektur Jawa yang dikenal dan di praktekkan di kawasan Surakarta. Dan hal 14 dari Soetoprawiro mengindikasikan kuat kebenaran hal ini 6 ). Dengan demikian tidaklah mengherankan bila ragam yang ada di kawasan Yogyakarta tidak disebut oleh Kawruh Kalang Soetoprawiro. Tabel 1. Sandingan Ragam Joglo versi Soetoprawiro dengan versi Hamzuri Soetoprawiro Djoglo Tjeblokan Djoglo Kepuhan Djoglo Tradjumas Djoglo Tawon Boni Djoglo Semar Tinandhu Djoglo Wantah Djoglo Pangrawit. Hamzuri Joglo Ceblokan Joglo Kepuhan Lawakan, Joglo Kepuhan Limolasan, Joglo Kepuhan Apitan Joglo Sinom Apitan Joglo Jompongan Joglo Semar Tinandhu Joglo Wantah Apitan Joglo Pangrawit, Joglo Hageng, Joglo Mangkurat Ubah-ingsut yang terjadi antara awal abad 20 dengan tahun 1970-an (diasumsikan kajian Hamzuri dilakukan di tahun itu) memang tidak terlalu spektakular kalau hanya dibatasi pada bentuk Joglo. Kita akan menjadi 6 Halaman 3 menyebutkan: Di Surakarta, jang dianggap paling baik ialah djati keluaran daerah Keduwang, karena tanahnja rata-rata berwarna merah. Sedangkan pohon djati jang tumbuh dipegunungan Kendeng dianggap rendah mutunja, karena tanahnja rata-rata berwarna hitam.. Sedangkan halaman 14 menyebutkan: Adapun larangan jang demikian itu belum dapat ditemukan di dalam surat resmi, tetapi didaerah keradjaan Surakarta sudah dimufakati bahwa hal itu terlarang. 13

NALARs Volume 3 Nomor 1 Januari 2004: 1-15 tercengang bila menyaksikan bahwa dalam Hamzuri telah muncul satu bentukan yang merupakan bangun dasar yakni betuk Panggang-pe. Tidak itu saja, bentuk Tajug yang dalam Soetoprawiro hanya memiliki dua ragam, dalam Hamzuri telah menjadi 14 ragam; bentuk Limasan, dari 11 ragam menjadi 21 ragam; dan bentuk Kampung, dari 9 ragam menjadi 11 ragam. E. CATATAN PENUTUP Bahkan dengan mengesampingkan peruntukan atau guna bangunan, kesempatan untuk menyaksikan kemampuan arsitektur melakukan ubahingsut telah dapat ditunjukkan dengan kasus Kawruh Kalang di atas. Memang, yang dilakukan dalam menyaksikan ubah-ingsut itu bukanlah kerampatan (generalization) dari sesuatu bentukan, melainkan adalah kekhasan dan pengkhasan (particularization) yang terjadi antara bentukan yang satu dengan bentukan yang lain dari sebuah rumpun bentuk yang sama. Memang, nampaknya justru dalam pencermatan atas pengkhasan inilah kajian terhadap arsitektur tradisional itu tidak memberikan perhatiannya. Dan, pada gilirannya, muncullah masalah yang menghadang kegiatan yang harus dilakukan untuk melakukan ubah-ingsut dengan arsitektur tradisional itu. Pusat perhatian dari arsitektur nusantara yang mempelajari kearsitekturan bangunan nusantara menuntut untuk tidak hanya mempedulikan perampatan namun juga memberi perhatian yang seimbang pada pengkhasan. BIBLIOGRAPHY Hamzuri, drs. (tt): Rumah Tradisional Jawa; Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta; Jakarta. Poerwadarminta, WJS (1938): Baoesastra Djawi; J.B.Wolters; Batavia Prijotomo, Josef (1996): Petungan: Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa; Gadjah Mada University Press ----- (2003): Arsitektur yang mem-bhinneka: telusuran dalam jalur Postmodern; kertas kerja untuk Seminar Arsitektur Gereja di Minahasa yang diselenggarakan oleh Universitas Kristen Tomohon (UKIT) di Manado pada 25-26 Juli 2003. (tak dipublikasikan) 14

Sasrawiryatma (1926): Kawruh Griyanipun Tiyang Jawi; naskah tulisan tangan; museum Sanabudaya; Yogyakarta (tak dipublikasikan) Soetoprawiro (1910): Kawruh Kalang; terjemahan bahasa Indonesia oleh nn. 1969; Perpustakaan Kraton Mangkunegaran (tak dipublikasikan) GLOSARIUM (dipetik dari naskah Kawruh Kalang Soetoprawiro, terjemahan indonesia) Ander = penopang molo. Pada rumah Djoglo andernja terletak diatas dan diamasukkan kedalam dhadha manuk (= balok penghubung antara dua tiang utama). Pada Limasan dan Kampung, dipasang diatas balok pengerat. Blandar = kaju pandjang jang dipasang pada tiang-tiang rumah. Ganja = tambahan jang diletakkan diatas sunduk mendjadi tempat bertumpunja guru atau pamindhangan. Kepuh = sepotong balok jang dipasang/ditempelkan pada bagian depan tiang, sehingga menjerupai kepuh dalam artinja jang asli, jaitu bagian dari kain wiruan jang dilipat djika kain itu dipakai. Lumajang= papan jang dimasuki udjung usuk serambi, usuk teritis. Bedanja dengan takir gamblok ialah letaknja jang terlentang dibawah takirnja. Panitih = tumpang jang terletak paling atas. Paningrat = teritis terakhir. Pengeret = (= pengeret), kerangka rumah bagian atas jang terletak melintang menurut lebarnja rumah dan ditautkan dengan blandar. Sunduk = balok jang dipasang blandar, terletak miring dan masuk kadalam tiang menurut pandjangnja pamindhangan. Singup = plafon. Saka benthung (tiang benthung) = tiang jang udjungnja seperti gada. Tumpang = blandar pengerat jang terletak diatas pamindhangan. 15