TINJAUAN ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG DIPOTONG DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN KOTAMADYA BANDA ACEH

dokumen-dokumen yang mirip
MENERAPKAN PRINSIP KESEJAHTERAAN HEWAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENERAPAN KESEJAHTERAAN HEWAN DI RUMAH POTONG HEWAN Oleh. drh. Aryani Widyawati

BAB I PENDAHULUAN. mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja

JIMVET. 01(2): (2017) ISSN : PENILAIAN PENERAPAN ANIMAL WELFARE PADA USAHA PEMOTONGAN UNGGAS DI KABUPATEN ACEH BESAR

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN HEWAN DAN PENANGANAN DAGING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Mambal Kabupaten Badung

Tempat Penampungan Sementara Hewan Kurban

BAB I PENDAHULUAN. ke tahun. Berdasarkan data yang didapat dari Badan Pusat Statistik D.I

Prosedur standar operasional untuk kesejahteraan ternak

Gambaran Pelaksanaan Rumah Pemotongan Hewan Babi (Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang)

TEMPAT PENJUALAN HEWAN

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

MENETAPKAN KESIAPAN HEWAN UNTUK DISEMBELIH

STUDI KASUS RANTAI PASOK SAPI POTONG DI INDONESIA

PEMERINTAH KOTA MAGELANG

Modul 15. Transport Ternak Dan Pasar-pasar

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

EVALUASI PELAKSANAAN GOOD SLAUGHTERING PRACTICES DAN STANDARD SANITATION OPERATING PROCEDURE DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN KELAS C SKRIPSI DIANASTHA

IMPLEMENTASI ANIMAL WELFARE PADA PROSES PEMOTONGAN SAPI DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN PESANGGARAN SKRIPSI

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

REGULASI PEMERINTAH TERHADAP RANTAI PASOK DAGING SAPI BEKU

PENILAIAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEJAHTERAAN HEWAN PETUGAS DAN PELAKSANA PEMOTONGAN DI RUMAH POTONG HEWAN KOTA SALATIGA RIAN ADHIWIARTA

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENERAPAN KESEJAHTERAAN HEWAN PADA TEMPAT PENJUALAN UNGGAS HIDUP DI KOTA BOGOR BAMA OKTIONUS ISLAHUDDIN

WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH TINGKAT II YOGYAKARTA

Analisa Mikroorganisme

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masing-masing berlokasi di Denpasar dan Tabanan, Tempat Pemotongan Ayam

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi

DESKRIPSI HARGA JUAL DAN VOLUME PENJUALAN PEDAGANG PENGUMPUL AYAM POTONG DI KOTA MAKASSAR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

Penilaian Penerapan Animal Welfare pada Proses Pemotongan Sapi di Rumah Pemotongan Hewan Mambal Kabupaten Badung

C I N I A. Analisis Perbandingan antar Moda Distribusi Sapi : Studi Kasus Nusa Tenggara Timur - Jakarta

DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

BAB III HANDLING TERNAK RIMINANSIA

Seleksi dan Penyembelihan Hewan Qurban yang Halal dan Baik. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKABUMI,

Klik Dibatalkan dan Ditindaklanjuti dgn Instruksi Bupati No 8 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG

(THE IMPLEMENTATION OF ANIMAL WELFARE BALI CATTLE SLAUGHTERING PROCESS IN PESANGGARAN SLAUGHTER HOUSE, DENPASAR BALI)

Panduan pengobatan sapi feedlot

PENDAHULUAN. Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN,

Jumlah Ternak yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) menurut Provinsi dan Jenis Ternak (ekor),

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan peternakan di Indonesia lebih ditujukan guna

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI DAGING AYAM (Studi Kasus: Pasar Sei Kambing, Medan)

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih maju, kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin meningkat,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

WALIKOTA SINGKAWANG. PROVINSI KALIMANTAN BARAT.

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kondisi Tempat Pemotongan Hewan Bandar Buat Sebagai Penyangga Rumah Pemotongan Hewan (Rph) Kota Padang

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 141 TAHUN 2009 TENTANG


Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

ANALISIS DATA TENTANG ASPEK SANITASI PENYEMBELIHAN SAPI KURBAN DI KOTA BANDA ACEH TAHUN 2015

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

LEMBARAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II SURAKARTA NOMOR : 10 TAHUN : 1996 SERI : D NO : 10 PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II SURAKARTA

Pengaruh Harga Jual dan Volume Penjualan Terhadap Pendapatan Pedagang Pengumpul Ayam Potong

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL

Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Kelurahan Kambiolangi

RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR : 7 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Uji Segitiga. Uji Hedonik

Muhamad Fatah Wiyatna Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Metode

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

RETRIBUSI PENGELOLAAN PASAR HEWAN

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H

Implikasi Pengetahuan Ayat Tentang Pemotongan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Terhadap Sapi Bali

Bab 4 P E T E R N A K A N

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK TAHUN 2001 NOMOR 37 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

KAJIAN PENAMBAHAN TETES SEBAGAI ADITIF TERHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN NUTRISI SILASE KULIT PISANG

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK TAHUN 2001 NOMOR 37 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 5 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN (DICABUT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghasilkan bibit induk atau bibit sebar. Ayam yang akan digunakan sebagai

Transkripsi:

ISSN : 0853-1943 TINJAUAN ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG DIPOTONG DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN KOTAMADYA BANDA ACEH Study of the Animal Welfare Aspect on Cattle Slaughtered in Slaughter house in Banda Aceh Yudha Bhaskara 1, Mulyadi Adam 2, Idawati Nasution 3, Triva Murtina Lubis 2, T. Armansyah 4, dan M. Hasan 5 1 Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2 Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 3 Laboratorium Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 4 Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 5 Laboratorium Klinik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh E-mail: yudha.bhaskara009@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui kesejahteraan hewan pada sapi yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kotamadya Banda Aceh. Parameter kesejahteraan hewan yang diamati meliputi tiga aspek yaitu aspek pengangkutan, aspek penampungan dan aspek penyembelihan. Ketiga aspek dibandingkan dengan rekomendasi Meat Livestock Australia (MLA) dan Standar Nasional Indonesia 02-4509- 1998. Metode yang digunakan adalah skoring. Berdasarkan hasil penelitian terhadap aspek pengangkutan didapatkan skor 20 dengan persentase 50% dikategorikan cukup. Aspek penampungan didapatkan skor 33 dengan persentase 82,5% dikategorikan baik, dan aspek penyembelihan didapatkan skor 32 dengan persentase 80% dikategorikan baik. Berdasarkan skoring aspek penampungan dan aspek penyembelihan, kesejahteraan hewan pada sapi yang dipotong di RPH Kotamadya Banda Aceh dinilai baik dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan, sedangkan pada aspek pengangkutan dinilai cukup dalam memenuhi kesejahteraan hewan terhadap sapi yang dipotong di RPH. Kata kunci: kesejateraan hewan, sapi, rumah potong hewan ABSTRACT This study was conducted to obtain the information about animal welfare on cattle slaughtered in Slaughterhouse in Banda Aceh. The animal welfare parameter was observed related to the transport aspect, shelter aspect, and slaughter aspect. The three aspects compared to the recommendation of Meat Livestock Australia (MLA) and Indonesian National Standard 02-4509-1998. Method used to determine the animal welfare was scoring evaluation. The result of study showed that transport aspect get 20 score with a percentage of 50% which categorized as sufficient. Shelter aspect get 33 score with percentage of 82,5% which categorized as good, and slaughter aspect get 32 score with percentage of 80% which categorized as good. Based on scoring evaluation of shelter aspect and slaughter aspect, the animal welfare of cattle slaughtered in Slaughter house in Banda Aceh is considered good, meanwhile the transport aspect is considered sufficient. Key words: animal welfare, cattle, slaughterhouse PENDAHULUAN Laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin meningkat menyebabkan permintaan produkproduk peternakan meningkat pula. Menurut Sahardi et al. (2005), salah satu produk peternakan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah daging, terutama daging sapi. Hal ini dikarenakan daging sapi mempunyai nilai gizi yang tinggi. Suharno (2007), menambahkan bahwa permintaan konsumen terhadap daging yang terus meningkat, khususnya daging sapi, menyebabkan intensitas pemotongan juga meningkat. Oleh karena itu keberadaan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sangat diperlukan, yang dalam pelaksanaannya harus dapat menjaga kualitas, baik dari tingkat kebersihan dan kesehatan daging untuk dikomsumsi. Rumah Pemotongan Hewan Kotamadya Banda Aceh termasuk kategori RPH kelas D. Hal ini didasarkan luasan peredaran daging dan izin usaha (Keputusan Menteri Pertanian, 1986). Rumah Pemotongan Hewan Kotamadya Banda Aceh merupakan penyedia daging untuk kebutuhan di dalam Kotamadya Banda Aceh dan memiliki izin usaha dari Walikota Banda Aceh. Pemotongan sapi di RPH Kotamadya Banda Aceh pada tahun 2012 berjumlah 3.266 ekor (BPS, 2013), meningkat dari tahun sebelumnya dimana pada tahun 2011 pemotongan sapi di RPH Kotamadya Banda Aceh berjumlah 2.888 ekor (BPS, 2012). Menurut Putri (2011), kesejahteraan hewan pada RPH masih kurang diperhatikan, terutama saat proses hewan ternak diangkut. Pengangkutan hewan ternak sering kali memakan waktu lama sehingga ternak mengalami stres di dalam perjalanan. Kapal laut, truk maupun kereta api pengangkut ternak tidak dirancang baik dan pemuatannya melebihi kapasitas tampung. Penyediaan pakan dan minuman sepanjang pengangkutan juga tidak memadai. Perlakuan para pekerja di RPH juga tidak mengindahkan standar kesejahteraan hewan seperti adanya kekerasan terhadap hewan ternak sebelum disembelih menjadi salah satu masalah pada RPH (Kusumawardhani, 2011). Menurut Nasution (2003), hal ini mungkin disebabkan kurangnya pengetahuan tentang kesejahteraan hewan maupun kurangnya pengawasan. Selanjutnya Putri (2011) menambahkan bahwa peralatan bongkar muat dan penanganan ternak 149

Vol. 9 No. 2, Agustus 2015 juga kurang memadai dalam upaya menghindari kemungkinan ternak terluka, memar, atau mengalami kecelakaan yang menyebabkan patah tulang atau kehilangan tanduk. Kesejahteraan hewan pada sapi yang akan disembelih harus mendapat perhatian agar menghasilkan daging yang aman, berkualitas, dan layak dikonsumsi manusia (Lukman, 2012). Menurut Arief et al. (2006), apabila hewan tidak sejahtera maka daging yang dihasilkan akan berwarna gelap, memiliki nilai ph yang tinggi dan bertekstur keras. Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan aspek kesejahteraan hewan pada sapi yang dipotong di RPH Kotamadya Banda Aceh. Penelitian ini bertujuan mengetahui pelaksanaan aspek kesejahteraan hewan pada sapi yang dipotong di RPH Kotamadya Banda Aceh. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pelaksanaan aspek kesejahteraan hewan pada sapi yang dipotong di RPH Kotamadya Banda Aceh. MATERI DAN METODE Data diperoleh dengan cara pengamatan langsung di RPH dengan menggunakan skoring. Penilaian aspek kesejahteraan hewan dilakukan berdasarkan acuan Standar Operasional Prosedur (SOP) kesejahteraan ternak yang dikeluarkan oleh Meat Livestock Austaralia (MLA) (2012) dan SNI 02-4509-1998 tentang Angkutan Ternak Sapi dan Kerbau yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) (1998). Penilaian skoring terdiri dari tiga pilihan jawaban, masing-masing jawaban memiliki bobot nilai yang berbeda yaitu a (bobot nilai tertinggi) dengan nilai 2, b (bobot nilai cukup) dengan nilai 1 dan c (bobot nilai terendah) dengan nilai 0 (Bandu, 2013). Penelitian dilakukan dengan metode observasi langsung dengan menggunakan skoring, dilakukan terhadap 20 kali pengangkutan sapi, 2 kandang penampungan sapi dan 20 penyembelihan sapi di RPH Kotamadya Banda Aceh selama 20 hari. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif menggunakan skoring dengan skala Likert sebagai acuan kategori. Penentuan kategori dilakukan berdasarkan skala Likert (Bandu, 2013; Nababan, 2008). Penentuan kategori adalah dengan menentukan nilai terendah dan tertinggi, persen terendah dan tertinggi serta penentuan jarak interval. Nilai terendah dalam hal ini adalah jumlah responden (hari) dikalikan bobot nilai terendah, sedangkan nilai tertinggi adalah jumlah responden (hari) dikalikan dengan bobot nilai tertinggi. Persen terendah dalam hal ini adalah nilai terendah dikalikan dengan 100% dibagi dengan nilai tertinggi, sedangkan persen tertinggi adalah nilai tertinggi dikalikan dengan 100% dibagi dengan nilai tertinggi. Dikarenakan alternatif jawaban ada tiga pilihan (sesuai dengan skala Likert), maka perlu ditentukan jarak interval dari persen terendah sampai persen tertinggi hingga didapat tiga kategori yaitu baik, cukup dan buruk. Penentuan jarak interval dapat dilakukan dengan perhitungan persen tertinggi dikurangkan dengan persen terendah dibagi dengan jumlah kategori (Bandu, 2013). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengangkutan dari 20 kali pengangkutan sapi selama 20 hari (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa pengangkutan sapi yang tiba di RPH Kotamadya Banda Aceh dinilai cukup dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan. Hal ini berdasarkan terhadap enam kriteria yang dimulai dari pengangkutan sapi yang tiba di RPH hingga proses penggiringan sapi dari atas kendaraan pengangkut menuju kandang penampungan. Dari keenam kriteria pengangkutan sapi yang diamati terdapat dua kriteria yang masih dinilai buruk dalam pemenuhan kesejahteraan hewan. Kedua aspek tersebut adalah ketersediaan atap pada kendaraan pengangkut dan penggunaan tangga penurun pada saat penurunan sapi dari atas kendaraan pengangkut. Ketersediaan atap pada kendaraan pengangkut dinilai buruk dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan, dimana hanya 12,5% dari 20 pengangkutan sapi yang tiba di RPH yang memiliki ketersediaan atap pada kendaraan yang digunakan untuk mengangkut sapi. Ini Tabel 1. Hasil skoring penerapan aspek kesejahteraan hewan pada sapi yang dipotong di RPH Kotamadya Banda Aceh dilihat dari pengangkutan sapi Aspek pengangkutan Skor Persentase Ketersediaan ruang untuk sapi dapat berbaring dan berdiri normal di atas kendaraan pengangkut 33 82,5% Baik Ketersediaan atap pada kendaraan pengangkut 5 12,5% Buruk Kebersihan dari kendaraan pengangkut 27 67,5% Baik Penggunaan tangga penurun pada saat penurunan sapi dari atas kendaraan pengangkut 7 17,5% Buruk Ketersedian air dan pakan selama pengangkutan 30 75% Baik Proses penggiringan sapi dari atas kendaraan pengangkut menuju kandang penampungan 17 42,5% Cukup Nilai total aspek pengangkutan 119 Nilai rata rata aspek pengangkutan 20 50% Cukup 150

mungkin disebabkan kurangnya pengetahuan dari pemilik sapi atau petugas yang mengangkut sapi dari daerah asal menuju RPH tentang pentingnya atap pada kendaraan yang digunakan untuk mengangkut sapi. Selain itu buruknya ketersediaan atap juga dipengaruhi jenis kendaraan yang digunakan untuk mengangkut sapi. Pada umumnya pengangkutan sapi menuju RPH menggunakan kendaraan yang dimodifikasi dari angkutan barang sehingga masih kurang memperhatikan pentingnya ketersediaan atap pada kendaraan yang digunakan untuk mengangkut sapi. Ketersediaan atap pada kendaraan pengangkut sangat penting untuk mencegah hewan mengalami stres akibat cuaca yang panas atau hujan. Menurut SNI 02-4509-1998, harus tersedia atap pada kendaraan yang digunakan untuk pengangkutan sapi (BSN, 1998). Menurut Week et al. (1997), atap berfungsi untuk melindungi hewan dari panas dan hujan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 95 tahun 2012 pasal 89 ayat 2 dimana pengangkutan harus dapat melindungi hewan dari panas dan hujan (Peraturan Pemerintah, 2012). Penggunaan tangga penurun pada saat penurunan sapi dari atas kendaraan pengangkut juga dikategorikan buruk dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan. Hanya 17,5% dari 20 pengangkutan sapi yang diamati yang menggunakan tangga penurun pada saat proses penurunan sapi dari atas kendaraan pengangkut. Sebagian besar proses penurunan sapi dari kendaraan pengangkut dilakukan tanpa menggunakan tangga penurun, dimana sapi ditarik dan melompat dari atas kendaraan pengangkut. Hal ini dapat menyebabkan hewan tergelincir atau terjatuh yang mengakibatkan hewan mengalami cedera. Penurunan sapi dari atas pengangkutan seharusnya menggunakan tangga penurun dengan landasan miring untuk mencegah hewan terjatuh dan mengalami cedera (MLA, 2012). Berbeda dengan penurunan sapi, proses penggiringan sapi dari atas kendaraan pengangkut menuju kandang penampungan, dinilai cukup dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 42,5% dari 20 pengangkutan yang tiba di RPH Kotamadya Banda Aceh, proses penggiringan sapi umumnya dilakukan dengan menarik sapi dengan menggunakan tali agar masuk ke dalam kandang penampungan. Hal ini menunjukkan bahwa RPH Kotamadya Banda Aceh dinilai telah cukup memenuhi standar kesejahteraan hewan, namun sebaiknya proses penggiringan sapi dari atas kendaraan pengangkut dilakukan dengan membiarkan sapi berjalan dengan sendirinya turun dan masuk ke kandang penampungan (MLA, 2012). Pada kriteria ketersediaan ruang bagi sapi agar dapat berbaring dan berdiri normal di atas kendaraan pengangkut, kebersihan dari kendaraan pengangkut serta ketersedian air dan pakan selama pengangkutan, RPH Kotamadya Banda Aceh dinilai baik dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan. Penilaian terhadap 20 pengangkutan sapi yang tiba di RPH, menunjukkan bahwa 82,5% dari kendaraan pengangkut memiliki ketersediaan ruang untuk sapi sehingga dapat berbaring dan berdiri normal selama di atas kendaraan pengangkut, 67,5% dari kendaraan pengangkut dalam keadaan bersih serta 75% dari kendaraan pengangkut memiliki ketersedian air dan pakan yang mencukupi selama pengangkutan sapi menuju RPH. Pengangkutan ternak menuju RPH harus memiliki ruang yang cukup untuk mengambil posisi yang seimbang pada saat hewan berdiri dan ketika hewan berbaring, mereka harus dapat mengambil posisi berbaring yang normal, tidak saling menindih satu sama lain serta harus dalam keadaan bersih (MLA, 2012). Menurut Islahuddin (2009), yang dikategorikan bersih adalah tidak adanya kotoran-kotoran yang kasat mata. Sementara itu dalam SNI 02-4509-1998 dijelaskan bahwa selama pengangkutan harus tersedia air dan pakan, jumlah air minimum 10% dari total berat badan dan jumlah pakan minimum 3% dari total berat badan (BSN, 1998). Penampungan dari 2 kandang penampungan sapi selama 20 hari (Tabel 2). Aspek penampungan sapi di RPH Kotamadya Banda Aceh dinilai baik (82,5%) dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan. Hal ini berdasarkan hasil terhadap lima kriteria yang diamati dari sapi mulai masuk di kandang penampungan hingga sebelum sapi digiring untuk penyembelihan. Dari kelima kriteria tersebut hanya satu kriteria yang dinilai cukup dalam memenuhi aspek kesejahteraan yaitu pemeriksaan antemortem di kandang penampungan, sedangkan keempat kriteria lainnya sudah dinilai baik dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan (Tabel 2). Pemeriksaan antemortem di kandang penampungan dinilai cukup dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan (Tabel 2). Hal ini berdasarkan selama Tabel 2. Hasil skoring penerapan aspek kesejahteraan hewan pada sapi yang dipotong di RPH Kotamadya Banda Aceh dilihat dari penampungan sapi Aspek penampungan Skor Persentase Ketersediaan ruang untuk sapi berdiri dan berbaring normal selama di kandang penampungan 38 95% Baik Kebersihan lantai dan atap kandang penampungan 36 90% Baik Pemeriksaan antemortem sapi saat di kandang penampungan 18 45% Cukup Ketersediaan air minum dan pakan dikandang penampungan 36 90% Baik Pengikatan selama sapi di dalam kandang penampungan 35 87,5% Baik Nilai total aspek penampungan 163 Nilai rata rata aspek penampungan 33 82,5% Baik 151

Vol. 9 No. 2, Agustus 2015 20 hari terhadap dua kandang penampungan sapi di RPH, dimana persentase menunjukkan angka 45%. Berdasarkan hasil pengamatan, pemeriksaan antemortem di RPH Kotamadya Banda Aceh hanya dilakukan secara kasat mata dengan mengamati perilaku sapi selama di kandang penampungan. Hal ini mungkin dikarenakan petugas yang berwenang belum sepenuhnya menjalankan SOP kesejahteraan ternak, sehingga pemeriksaan antemortem hanya dilakukan secara kasat mata tanpa dilakukannya inspeksi lanjutan. Pemeriksaan antemortem seharusnya meliputi pemeriksaan terhadap perilaku dan penampilan sapi selama sapi berada di kandang penampungan, serta perlu dilakukan pencatatan secara rutin tentang kesehatan sapi sehingga apabila terdapat sapi yang memiliki tanda-tanda terserang suatu penyakit maka dapat diambil keputusan apakah sapi tersebut boleh disembelih atau tidak. Selain itu, perlu dilakukan inspeksi lanjutan seperti penampilan kotoran segar. Dalam SOP kesejahteraan ternak, pemeriksaan antemortem harus meliputi pengamatan perilaku hewan dan penampilan umum, lingkungan dan indikator lain dari kesehatan hewan seperti penampilan kotoran segar dan asupan pakan atau air (MLA, 2012). Empat kriteria penampungan sapi lainnya di RPH Kotamadya dinilai baik dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan. Berdasarkan pengamatan langsung menunjukkan bahwa 95% kandang penampungan sapi di RPH memiliki ketersediaan ruang untuk sapi berdiri dan berbaring normal selama di kandang penampungan. Hal ini sesuai dengan SOP kesejahteraan ternak, penampungan ternak di RPH ketika hewan berdiri, harus memiliki ruang yang cukup untuk mengambil posisi yang seimbang. Ketika hewan berbaring, hewan harus dapat mengambil posisi berbaring yang normal, tidak saling menindih satu sama lain (MLA, 2012). Kebersihan lantai dan atap kandang penampungan serta ketersediaan air minum dan pakan di kandang penampungan menunjukkan 90% lantai dan atap dari 2 kandang penampungan sapi di RPH dalam keadaan bersih serta memiliki ketersediaan air minum dan pakan yang mencukupi di setiap kandang penampungan. Hal ini sesuai dengan SOP kesejahteraan ternak dimana kandang penampungan harus dalam keadaan bersih karena kebersihan kandang berguna untuk mencegah infeksi kuku, kaki dan kulit serta harus tersedia air dan pakan di kandang penampungan, dan seluruh ternak yang berada di kandang penampungan harus dapat mengakses air dan pakan (MLA, 2012). Selama di dalam kandang penampungan menunjukkan 87,5% sapi tidak diikat sehingga sapi dapat bebas untuk bergerak. Hal ini sesuai dengan SOP kesejahteraan ternak, bahwa ternak sebaiknya tidak diikat di dalam kandang penampungan hal ini bertujuan memberikan hewan kesempatan untuk dapat bergerak, berdiri, dan berbaring normal (MLA, 2012). Penyembelihan dari 20 penyembelihan selama 20 hari. Penilaian dilakukan terhadap penyembelihan satu ekor sapi setiap hari, penyembelihan di RPH Kotamadya Banda Aceh berjumlah 2-4 ekor sapi setiap harinya (Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa dari aspek penyembelihan sapi RPH Kotamadya Banda Aceh dinilai baik dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan. Berdasarkan hasil terhadap lima kriteria yang diamati mulai dari proses penggiringan sapi dari kandang penampungan hingga proses penyembelihan sapi. Hal ini sesuai dengan pasal 66 ayat 2(f) Undang-Undang No.18 tahun 2009, dimana dijelaskan bahwa penyembelihan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiayaan, dan penyalahgunaan (Undang-Undang Republik Indonesia, 2009). Dari lima kriteria penyembelihan yang diamati terdapat satu kriteria yang dinilai cukup dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan yaitu proses penggiringan sapi dari kandang penampungan menuju tempat penyembelihan. Hal ini didasarkan pada pengamatan langsung di RPH dimana proses penggiringan sapi dari kandang penampungan memiliki persentase 52,5%. Petugas yang bertugas melakukan penggiringan masih sering menggunakan alat kejut listrik untuk menggiring sapi dari kandang penampungan menuju tempat penyembelihan. Hal ini mungkin disebabkan masih kurangnya pengetahuan petugas penggiring akan dampak yang disebabkan alat kejut lisrik. Menurut MLA (2012), penggunaan alat kejut listrik diperbolehkan jika petugas dalam keadaan bahaya. Penggunaan alat kejut listrik yang berlebihan dapat mengurangi kualitas daging yang dihasilkan dan dapat menyebabkan sapi mengalami stres sebelum penyembelihan. Sesuai dengan pasal 95 ayat 2 Tabel 3. Penilaian skoring penerapan aspek kesejahteraan hewan pada sapi yang dipotong di RPH Kotamadya Banda Aceh dilihat dari penyembelihan sapi Aspek penyembelihan Skor Persentase Keadaan lantai jalan penggiringan dari kandang penampungan menuju tempat penyembelihan 34 85% Baik Kebersihan lantai tempat penyembelihan 40 100% Baik Proses penggiringan sapi dari kandang penampungan menuju tempat penyembelihan 21 52,5% Cukup Metode restrain yang digunakan untuk penyembelihan 28 70% Baik Proses penyembelihan sapi 37 92,5% Baik Nilai total aspek penyembelihan 160 Nilai rata rata aspek penyembelihan 32 80% Baik 152

Peraturan Pemerintah nomor 95 tahun 2012, dimana pada saat penanganan hewan sebelum disembelih harus dilakukan dengan cara yang tidak menyakiti, menakuti serta menyebabkan hewan mengalami stres (Peraturan Pemerintah, 2012). Proses penggiringan sebaiknya dilakukan dengan membiarkan sapi berjalan dengan sendirinya dari kandang penampungan menuju tempat penyembelihan. Hal ini sesuai dengan SOP kesejahteraan ternak, bahwa proses penggiringan dari kandang penampungan yang baik adalah ternak dibiarkan berjalan sendiri ke tempat penyembelihan, penggunaan alat kejut listrik dan memukul ternak dapat menyebabkan ternak mengalami ketakutan dan stres (MLA, 2012). Pada empat kriteria penyembelihan sapi lainnya RPH Kotamadya dinilai baik dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan. Berdasarkan terhadap 20 sapi yang akan disembelih selama 20 hari pengamatan, menunjukkan 85% keadaan lantai jalan penggiringan dari kandang penampungan menuju tempat penyembelihan dalam keadaan kering dan tidak licin. Karena apabila jalan penggiringan dalam keadaan basah atau licin dapat menyebabkan hewan jatuh dan tergelincir sehingga menyebabkan hewan mengalami cedera sebelum disembelih. Menurut SOP kesejahteraan ternak, lantai jalan penggiringan yang baik adalah tidak dalam keadaan basah dan licin, bertujuan untuk mencegah hewan tergelincir (MLA, 2012). Untuk kebersihan lantai tempat penyembelihan, RPH Kotamadya Banda Aceh dinilai baik, 20 penyembelihan sapi selama 20 hari menunjukkan 100% keadaan lantai tempat penyembelihan dalam keadaan bersih. Sesuai dengan SOP kesejahteraan ternak, dimana lantai tempat penyembelihan harus dalam keadaan bersih (MLA, 2012). Menurut Islahuddin (2009), yang dikategorikan bersih adalah tidak adanya kotoran-kotoran yang kasat mata. Metode restraint yang digunakan untuk penyembelihan, dari 20 penyembelihan sapi selama 20 hari menunjukkan 70% penyembelihan sapi pada umumnya menggunakan restraining box otomatis untuk melakukan restraint sapi yang akan disembelih, namun terkadang RPH Kotamadya Banda Aceh juga menggunakan restraining box manual untuk melakukan restraint sapi yang akan disembelih. Penggunaan restraining box bertujuan untuk meminimalisir rasa sakit sebelum hewan disembelih. Menurut SOP kesejahteraan ternak, penggunaan restraining box otomatis sangat dianjurkan dalam proses pengekangan sapi yang akan disembelih, hal ini untuk meminimalisir rasa sakit dan stres pada ternak yang akan disembelih (MLA, 2012). Untuk kriteria proses penyembelihan sapi, 92,5% penyembelihan sapi dilakukan dengan baik, sapi disembelih dengan sekali sayatan. Sesuai dengan SOP kesejahteraan ternak, bahwa penyembelihan harus dilakukan dengan sekali penyayatan, namun apabila perdarahan kurang maksimal dapat diambil dengan melakukan penyayatan kedua dengan menggunakan pisau yang berbeda (MLA, 2012). KESIMPULAN Berdasarkan peninjauan kesejahteraan hewan terhadap sapi yang dipotong di RPH Kotamadya Banda Aceh menunjukkan RPH Kotamadya Banda Aceh dinilai baik dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan dilihat dari aspek penampungan sapi dan penyembelihan sapi. Aspek pengangkutan sapi yang tiba di RPH, RPH Kotamadya Banda Aceh dinilai cukup dalam memenuhi aspek kesejahteraan hewan. DAFTAR PUSTAKA Arief, I.I., T. Suryati, dan R.R.A. Maheswari. 2006. Sifat Fisik Daging Sapi Dark Firm Dry (DFD) Hasil Fermentasi Bakteri Asam Laktat Lactobacillus plantarum. Media Peternakan. 29:76-82. BPS. Badan Pusat Statistika. 2012. Banda Aceh dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistika. Banda Aceh. BPS. Badan Pusat Statistika. 2013. Banda Aceh dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistika. Banda Aceh. BSN. Badan Standarisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia (SNI) 02-4509-1998, tentang Angkutan Ternak Sapi dan Kerbau. Badan Satandarisasi Nasional. Jakarta. Bandu, M.Y. 2013. Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Pelanggan pada PT. PLN (Persero) Rayon Makassar Barat. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Hasanuddin. Makassar. Islahuddin, B.O. 2009. Penerapan Kesejahteraan Hewan pada Tempat Penjualan Unggas Hidup di Kota Bogor. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Keputusan Menteri Pertanian. 1986. Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan. Jakarta. Kusumawardhani, D. 2011. Dilema Menuju Swasembada Daging. Harian Media Indonesia. Jakarta. Lukman, D.W. 2012. Penyakit dan Penerapan Kesejahteraan Hewan pada Sapi Bali, dan Pengaruhnya terhadap Keamanan dan Kualitas Dagingnya. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. MLA. Meat and Livestock Australia. 2012. Prosedur Standar Operasional untuk Kesejahteraan Ternak. Meat and Livestock Australia. Sydney. Nababan, D.S. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelanggan Melakukan Pemesanan pada Catering Cinta Kasih di Jalan Medan Tenggara. Skripsi. Fakultas Ekonomi. Universitas Sumatera Utara. Medan. Nasution, D. A. 2003. Hubungan Perilaku Pekerja terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Timbulnya Dermatomikosis di PD. Rumah Potong Hewan Kota Medan Tahun 2003. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. Medan. Peraturan Menteri Pertanian. 2010. Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 10. Jakarta. Peraturan Pemerintah. 2012. Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 5356. Jakarta. Putri, T.S. 2011. Kekerasan pada Ternak. Harian Kompas. Jakarta. Sahardi, M., Sariubang, A. Rahayu, dan P. Daniel. 2005. Keamanan Pangan Asal Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan. Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. Makassar. Suharno. 2007. Relokasi Rumah Pemotongan Hewan di Surakarta. Tesis. Jurusan Arsitektur. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro. Semarang. Undang-Undang Republik Indonesia. 2009. Peternakan dan Kesehatan Hewan. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015. Jakarta. Week, C.A., A.J.F. Webster, and H.M. Wyld. 1997. Vehicle Design and thermal comfort of poultry in transit. British Poultry Science. 38:464-474. 153