MEMBACA POSISI WANITA MELALUI BAHASA: DERETAN TEMUAN PENELITIAN TANPA IMPLIKASI TEORETIS

dokumen-dokumen yang mirip
JENIS TINDAK TUTUR GURU DAN RESPON SISWA DALAM KBM DI SMPN SURAKARTA. Woro Retnaningsih IAIN Surakarta

12 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.2 Tujuan. Tujuan pembuatan makalah ini salah satunya adalah untuk memenuhi tugas bahasa Indonesia dan bertujuan untuk :

Tabel 1 Tindak Tutur Mengkritik dalam Acara Sentilan Sentilun di Metro TV

BAB I PENDAHULUAN. dengan usia pada tiap-tiap tingkatnya. Siswa usia TK diajarkan mengenal

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahasa dapat menjalin hubungan yang baik, dan dapat pula

Lersianna Saragih *)

KESANTUNAN IMPERATIF BUKU TEKS BAHASA INDONESIA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA KELAS VII

BAHASA DAN JENDER. Oleh: Sudjianto

BAB I PENDAHULUAN. dalam pikiran kita. Dengan demikian bahasa yang kita sampaikan harus jelas dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahasa merupakan alat pertukaran informasi. Namun, kadang-kadang

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu

AKSEN FEMINITAS MASYARAKAT NELAYAN JAWA DI PESISIR REMBANG:

BAB I PENDAHULUAN. Alih kode..., Dewi Nuryanti, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi keinginannya sebagai mahluk sosial yang saling berhubungan untuk

Angga Aminullah Mansur STIBA INVADA Cirebon

POLITENESS STRATEGIES USED BY THE MAIN CHARACTER OF SHERLOCK HOLMES A GAME OF SHADOW MOVIE THESIS BY MELISA DYAH PARASAYU NIM

STUDI BAHASA DAN JENDER: SEJARAH SINGKAT, ANCANGAN, DAN MODEL ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan sebuah sarana yang digunakan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. diperhatikan oleh para pengguna bahasa itu sendiri. saling memahami apa yang mereka bicarakan. Fenomena ini terjadi di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dalam berkomunikasi menjadi sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa menunjukkan cermin pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi

STRATEGI KESANTUNAN PADA PESAN SINGKAT (SMS) MAHASISWA KE DOSEN

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilakukan secara lisan maupun tertulis. Melalui bahasa, manusia berinteraksi

UPAYA PENINGKATAN KESADARAN PEDAGANG KAKI LIMA DI SEPANJANG PANTAI PADANG DALAM HAL KESANTUNAN BERBAHASA UNTUK KEMAJUAN PARAWISATA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

PRINSIP KERJA SAMA, IMPLIKATUR PERCAKAPAN, DAN KESANTUNAN ANTARA GURU DAN SISWA DALAM KEGIATAN BELAJAR-MENGAJAR DI SEKOLAH MASTER ABSTRAK

TINDAK PERINTAH DALAM WACANA KELAS:

KRITIK DALAM MASYARAKAT JAWA: SEBUAH KAJIAN PEMBERDAYAAN FUNGSI BAHASA SEBAGAI SARANA KONTROL SOSIAL

PRINSIP KESANTUNAN DAN KEBERHASILAN KETERAMPILAN BERBICARA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu

BAB I PENDAHULUAN. pengalihasandian. Keberlangsungan ini pada akhirnya akan membentuk suatu pola

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR

BAB I PENDAHULUAN. masalah dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian ini

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN KERANGKA TEORI

KONSEP DAN ANALISIS JENDER. Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd

DAFTAR PUSTAKA. Alba-Juez, Laura Perspective on Discourse Analysis: Theory and Practice. UK: Cambridge Scholars Publishing.

2016 RAGAM BAHASA KRITIK PAD A TULISAN SISWA D AN PEMANFAATANNYA D ALAM PEMBELAJARAN TEKS RESENSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi bisa terjadi apabila ada korelasi yang baik antara penutur dan

PRAGMATIK. Disarikan dari buku:

Turnomo Rahardjo Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam berbagai

GENDER AND POLITENESS: A COMPARISON BETWEEN HILLARY CLINTON S AND BARRACK OBAMA S SPEECHES IN UNITED STATES

DAFTAR PUSTAKA. Arends, Richard I, Learning To Teach Belajar untuk Mengajar.

METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur. Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut

KISI-KISI UJI KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN PROFESIONAL PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU BAHASA INGGRIS

BAB I PENDAHULUAN. Levinson (1987: 60) disebut dengan FTA (Face Threatening Act). Menurut Yule

ABSTRAK KARAKTERISTIK BAHASA TOKOH PEREMPUAN DALAM NOVEL TEMPURUNG KARYA OKA RUSMINI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Media massa bukanlah saluran yang bebas dan netral, demikian pandangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. belakang masalah penelitian berisi alasan dilaksanakannya penelitian sehingga memunculkan

STRATEGI KESANTUNAN TUTURAN GURU DALAM INTERAKSI PEMBELAJARAN DI SMA NEGERI 4 KOTA MALANG : DENGAN SUDUT PANDANG TEORI KESANTUNAN BROWN DAN LEVINSON

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kesantunan antara lain adalah deiksis sosial.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi atau berinteraksi.

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat agar terjalin suatu kehidupan yang nyaman. komunitas selalu terlibat dalam pemakaian bahasa, baik dia bertindak

BAB I PENDAHULUAN. interaksi sosial antara orang satu dengan yang lainnya. Dalam. komunikasi dibutuhkan alat komunikasi agar hubungan antarmanusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dwi Wahyuni, 2013

BAB I PENDAHULUAN. terbentuknya pembagian bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang

BAB I PENDAHULUAN. Berbahasa adalah kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. antara satu orang dengan orang lainnya (KBBI, 2014:268). Menyatakan cinta berarti

BAB I PENDAHULUAN. kedua deiksis ini saling melengkapi fungsinya masing-masing saat dipergunakan

FACE THREATENING ACTS USED BY THE MAIN CHARACTER OF SHERLOCK HOLMES: A GAME OF SHADOWS MOVIE THESIS BY ARISTYA PRADHANI PUTERI

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat untuk menyampaikan pesan, ungkapan perasaan, dan emosi

BAB I PENDAHULUAN. berbagai segi kehidupan. Kenyataan menunjukkan bahwa pemakaian bahasa. dalam suatu pembelajaran di lembaga pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB I PENDAHULUAN. bersosialisasi mereka membentuk sebuah komunikasi yang bertujuan untuk

SILABI. I. Identitas Mata Kuliah

BAB II KURIKULUM, PRAGMATIK, DAN APLIKASINYA

KESANTUNAN BERBAHASA DALAM PERSPEKTIF PEMBELAJARAN BAHASA

07Ilmu. Komunikasi Antar Budaya. Relasi Budaya dan Budaya. Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si. Komunikasi. Modul ke: Fakultas

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa, seperti dikemukakan oleh para ahli, memiliki bermacam fungsi

BAB I PENDAHULUAN. orang lain, manusia akan melakukan sebuah komunikasi. Saat berkomunikasi

Jurnal Sasindo Unpam, Volume 3, Nomor 3, Desember 2015 PELANGGARAN PRINSIP-PRINSIP KESOPANAN PADA MEMO DINAS DI SALAH SATU PERGURUAN TINGGI DI BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi atau alat interaksi yang digunakan oleh manusia

I. PENDAHULUAN. universal. Anderson dalam Tarigan (1972:35) juga mengemukakan bahwa salah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Frinawaty Lestarina Barus, 2014 Realisasi kesantunan berbahasa politisi dalam indonesia lawyers club

ETNOGRAFI KOMUNIKASI. Sangra Juliano P, M.I.Kom

DIRECTIVE SPEECH ACT OF POLITENESS STRATEGY OF PARTICIPANS ON THE MEETHING OF BEM FKIP RIAU UNIVERSITY

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Pada Bab 5 ini akan disajikan simpulan dan saran berdasarkan hasil temuan

BAB I PENDAHULUAN. pertimbangan akal budi, tidak berdasarkan insting. dan sopan-santun non verbal. Sopan-santun verbal adalah sopan santun

ANALISIS TINDAK TUTUR PADA WACANA STIKER PLESETAN

BAB III METODE PENELITIAN. mengadakan akumulasi data dasar. Metode penelitian deskriptif kualitatif

Rancangan Silabus BAHASA INDONESIA SEBAGAI MATAKULIAH UMUM Suatu Tinjauan Pendekatan Pragmatik Oleh : Yuniseffendri. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.

I. PENDAHULUAN. Suatu kenyataan bahwa manusia mempergunakan bahasa sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ade Nur Eva, 2014 Wujud prinsip kerja sama wacana humor Pada buku watir (kajian pragmatik)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. tata kalimat, dan tata makna. Ciri-ciri merupakan hakikat bahasa, antara lain:

Transkripsi:

MEMBACA POSISI WANITA MELALUI BAHASA: DERETAN TEMUAN PENELITIAN TANPA IMPLIKASI TEORETIS Katubi 1 Judul Buku : Gender, Bahasa, dan Kekuasaan Penulis : Esther Kuntjara Penerbit : Gunung Mulia. 2003 Tebal : ix + 117 halaman Pembicaraan posisi dan peran wanita dalam kehidupan sosial budaya amat banyak ditemukan dalam berbagai buku dari berbagai ragam perspektif. Namun, pembicaraan relasional pria-wanita dalam masyarakat melalui bahasa masih langka ditemukan dalam kepustakaan berbahasa Indonesia, kecuali dalam bentuk makalah dan artikel dalam jurnal. Mengapa demikian? Telaah bahasa dan jender dianggap suatu hal yang mengada-ada. Penyebabnya ialah bahasa merupakan suatu hal yang sangat biasa kita lakukan, seperti halnya makan, minum, berjalan, dan sebagainya sehingga orang lupa bahwa dalam bahasa terkandung banyak hal yang bisa diungkap jika kita mampu menelaahnya. Setidaknya, buku tulisan Esther Kuntjara ini dapat menjawab pertanyaan mengenai relasi jender dalam masyarakat melalui bahasa. Meskipun begitu, buku ini memang tidak sefenomenal tulisan Robin Lakoff (1975) Language and Woman s Place, yang kemudian menjadi best seller pada zamannya dan menjadi tonggak penelitian bahasa dan jender di Barat. Buku tulisan Esther Kuntjara ini memang juga tidak sefenomenal tulisan Deborah Tannen (1990), You Just Don t Understand, yang dengan gaya pengutaraannya yang populer dan ringan menjadi best seller di Amerika pada era sembilan puluhan. Esther Kuntjara dalam bukunya tersebut memaparkan tiga hal utama, yaitu asumsi tentang pria-wanita dan refleksinya dalam bahasa, jender dan kesantunan berbahasa, serta studi jender dalam bahasa. Asumsi tentang pria dan wanita dalam bahasa dikemas dalam beberapa topik kecil, misalnya stereotipe lelaki lebih banyak diam dan wanita banyak bicara, pria agresif dalam percakapan dan wanita berusaha menggalang rasa solidaritas, pria bersuara keras dan wanita bersuara lembut, serta penggunaan bentuk standar pada kelompok wanita. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa lelakilah yang banyak bicara, terutama dalam percakapan formal. Jika wanita sedikit bicara dalam percakapan formal, hal itu dinilai bahwa wanita tidak bisa berpendapat dan pasif. Namun, jika wanita banyak bicara dalam situasi 1 Peneliti pada Puslit. Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No. 2 Tahun 2005 131

informal, hal itu akan dianggap sebagai sebuah kecerewetan. Jadi, sebenarnya apa kriteria yang digunakan? Banyaknya pembicaraan atau siapa pembicaranya? Dalam banyak kebudayaan di dunia, wanita memang lebih sering menjadi objek. Karena itulah, kosakata untuk menggambarkan wanita pun lebih banyak ragamnya dibanding kosakata yang mendeskripsikan pria. Pada tataran leksikal, hal itu bisa mengarah pada seksisme kata, yaitu upaya mensubordinasi wanita melalui pemaknaan kata atau pembentukan kata sehingga wanita menjadi invisible atau bisa jadi menimbulkan pemaknaan berkonotasi negatif pada diri wanita. Stereotip yang muncul selama ini ialah pria cenderung berpikir rasional dan memakai logika dalam berbicara, sedangkan perempuan lebih banyak menggunakan perasaan yang kadang tidak logis sehingga banyak orang menganggap pembicaraan wanita tidak bermutu. Hasil penelitian Holmes (1995) menunjukkan bahwa isi pembicaraan pria dan wanita memang berbeda dan jenis informasinya pun berbeda. Pria lebih melihat pada fakta, sedangkan wanita menekankan perasaannya. Perbedaan suara yang terdengar pada laki-laki dan perempuan ternyata memang tidak sekadar berbeda dalam hal bunyi, tetapi oleh banyak orang suara bisa diartikan sebagai sifat agresivitas dan dominan yang dimiliki pria atau tunduk dan kurang percaya diri yang biasanya dimiliki wanita. Selain itu, dalam hal penggunaan bahasa, wanita cenderung menggunakan bentuk standar untuk menunjukkan status yang lebih tinggi. Hal itu dapat dianggap sebagai upaya wanita menyejajarkan statusnya dengan pria. Siapa yang lebih santun dalam percakapan? Pria atau wanita? Hal inilah yang dibahas penulis buku ini pada bab 3: Jender dan Sopan Santun Berbahasa. Dalam uraiannya, penulis buku ini memulai dengan membahas teori kesantunan Brown dan Levinson. Akan tetapi, tampaknya penulis buku ini salah menginterpretasikan beberapa konsep Brown dan Levinson. Pertama, penulis buku ini menyatakan bahwa Brown dan levinson mendefinisikan kesantunan sebagai redressive action taken to counter balance the disruptive effect of face threatening acts (35). Padahal, Brown dan Levinson tidak pernah mendefinisikan pengertian kesantunan dalam bukunya yang setebal 345 halaman. Justru hal itulah yang menimbulkan kritik bagi para pengamat pragmatik seperti diungkapkan Meier (1997: 22) the first problem with Brown and Levinson s framework concerns the definition of politeness, namely, it is not actually defined (Watts et al. 1992). Kedua, penulis buku ini beranggapan bahwa kesantunan dilakukan untuk melindungi muka positif dan muka negatif seseorang. Padahal, kalau dibaca dengan teliti tulisan Brown dan Levinson, terutama halaman 67, tindak pengancam muka (Face Threatening Act) yang dilakukan penutur dalam percakapan itu tidak hanya mengancam muka petutur, tetapi juga penutur. Artinya, strategi berbahasa demi kesantunan dilakukan 132 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No. 2 Tahun 2005

penutur tidak hanya untuk melindungi muka petutur, tetapi juga muka petutur sendiri. Sayangnya, pembahasan teori kesantunan dalam buku ini hanya sekilas saja. Padahal, kalau mau membahas kesantunan, hampir ada sembilan teori kesantunan inti dan beberapa lagi merupakan modifikasi teori kesantunan sebelumnya. Karena itu, buku ini tidak bisa menunjukkan dengan jelas apa kesantunan dan ketidaksantunan itu dalam tataran pragmatik. Karena itu, pembaca bisa merujuk pada tulisan Sara Mills (2003), Gender and Politeness. Pada buku itu, Sara Mills membahas teori kesantunan dengan rinci kemudian menerapkan konsep itu untuk menganalisis berbagai tindak tutur (speech acts). Hasilnya digunakan untuk menjelaskan fenomena jender dari aspek kebahasaan. Berkaitan dengan bahasan jender dan sopan santun berbahasa, penulis membahas jender dalam sapaan, jender dalam interupsi, jender dalam pujian, jender dalam permohonan, dan jender dalam permintaan maaf. Yang pasti, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita dan pria memiliki perbedaan dalam melakukan berbagai tindak tutur di atas. Jika ditelaah pada bagian ini, tampaknya memang menjadi semacam tulisan lepas-lepas karena dari berbagai tindak tutur yang dibahas itu, pada akhir bahasan tidak ada jalinan pemaknaan. Padahal, penulis sebenarnya bisa menjelaskan keterhubungan antartopik bahasan dalam tataran pragmatik dengan memberikan penjelasan melalui model struktur dan agensi atau model determinisme linguistik atau menempatkan diri pada posisi dialektis, yaitu sebuah model linguistik wacana. Bab terakhir buku ini membahas persoalan melakukan studi jender dalam bahasa. Penulis cenderung membahas pentingnya penelitian berperspektif feminis dan cara mengumpulkan data melalui wawancara. Akan tetapi, penulis tidak memaparkan persoalan ancangan (approach) dan model analisis yang bisa dipilih peneliti bahasa dan jender dalam penelitiannya. Padahal, setidaknya ada tiga ancangan yang bisa dibahas, yaitu ancangan biologis, ancangan dua budaya, dan ancangan dominasi dan kekuasaan. Sementara itu, berkaitan dengan model analisis, Kramarae (1981) pernah mengajukan empat model analisis yang bisa digunakan dalam analisis bahasa dan jender. Dua model pertama ialah model kelompok bisu dan model psikoanalisis yang berkaitan dengan (1) organisasi umum kebudayaan dan pikiran, (2) hubungan struktur bahasa dan konsepsi diri pria dan wanita, dan (3) artikulasi mereka tentang pengalamannya. Pusat perhatian model teoretis ini terletak pada struktur abstrak kepercayaan dan bahasa dan bukan pada hal yang rinci dalam interaksi sosial. Sementara itu, dua model lainnya ialah model gaya tutur dan model strategi yang menekankan pemakaian bahasa dalam kehidupan sosial, misalnya bagaimana wanita dan pria berbicara. Kedua model terakhir ini memusatkan perhatian keterjalinan antara peran sosial masyarakat dan situasi Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No. 2 Tahun 2005 133

tertentu, yaitu hubungan penutur-petutur, dan konteks, baik konteks situasi maupun konteks kebudayaan. Setelah membaca secara keseluruhan buku ini, memang tidak ditemukan implikasi teoretis dari berbagai temuan yang dipaparkan penulis. Misalnya, bagaimana hubungan antara jender dan kekuasaan? Bukankah perlu dibahas, apakah kekuasaan itu? Dari mana hal itu berasal? Bagaimana itu digunakan? Apakah kekuasaan itu hanya diciptakan dalam tataran wacana? Dan mungkin sederet pertanyaan lain yang bisa memperjelas konsep kekuasaan sehingga bisa menjelaskan mengapa wanita dan pria berbeda dalam menggunakan bahasa. Sebetulnya, mungkin akan menjadi lebih jelas jika hubungan bahasa, jender, dan kekuasaan itu dijelaskan pada tataran teoretis, misalnya dengan menggunakan cara kerja Bourdieu dengan kekuasaan simboliknya. Pria memiliki kekuasaan barang kali karena mereka menguasai modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial. Semua modal itu diakumulasikan menjadi modal simbolik demi kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang dapat dikenali dari tujuannya untuk mendapatkan pengakuan. Modal simbolis dalam berbagai bentuknya yang berbeda dapat dipersepsikan dan diakui sebagai legitimate, yang memiliki legitimasi, mendapat pengakuan dan diterima publik secara luas. Karena pria memiliki modal simbolis, mereka pun dapat menciptakan kebudayaan dominan setelah melalui proses legitimasi yang panjang. Kekhasan dari kekuasaan simbolik bukanlah pada kepatuhan fisik. Yang terpenting ialah kepatuhan dalam arti pengetahuan (ilmu, kebudayaan, dan kesadaran). Untuk menyembunyikan motivasi yang sebenarnya, yaitu dominasi, kekuasaan simbolik memanfaatkan bentuk-bentuk lain yang halus sehingga tidak mudah dikenali. Pada bagian ini, bahasa dapat dimanfaatkan untuk hal tersebut sehingga terjadi kekerasan simbolik, yang dalam analisis bahasa dan jender, kekerasan simbolik itu bisa tampak pada tataran leksikal, sintaksis, pragmatik, dan wacana, bahkan pada etika berbahasa. Kekerasan simbolik itu bekerja melalui proses sosialisasi agar pelaku sosial (dalam hal ini masyarakat tutur) yang dilengkapi skema persepsi dan apresiasi yang memungkinkan mereka mampu menerima pemaknaan dan aturan main dalam berbahasa. Proses sosialisasi itu bisa terjadi melalui dunia pendidikan, baik formal maupun informal. Dengan begitu, jika dunia pendidikan kita juga bias jender, kekerasan simbolik melalui bahasa itu akan terus berlanjut karena para pelaku sosial akan menerima hal itu sebagai sesuatu yang wajar saja. Di sinilah letak hubungan bahasa dan kekuasaan, yang selanjutnya bisa dihubungkan dengan jender. Ketimpangan kekuasaan antara pria dan wanita bisa terefleksi dalam penggunaan bahasa, termasuk melalui permainan wacana, yang kadang seakan berada di luar kesadaran. Jika memang pria menggenggam modal simbolik sehingga bisa memiliki kekuasaan simbolik dan selanjutnya melakukan kekerasan simbolik, masih perlukah dipertanyakan pernyataan Spender (1985) Prialah yang membuat bahasa dan menentukan maknanya. 134 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No. 2 Tahun 2005

Buku ini sangat bagus dibaca tidak hanya oleh orang yang berminat dalam bidang kebahasaan, tetapi juga para pemerhati masalah jender. Mereka harus mengetahui bahwa subordinasi wanita dalam masyarakat dapat terefleksi dalam bahasa dan dapat pula dibentuk dan transformasikan melalui bahasa dari satu generasi ke generasi berikutnya. Gaya penulisannya yang ringan sangat memungkinkan para pemerhati masalah jender akan dengan mudah memahami isi buku ini meskipun mereka bukan dari kalangan pemerhati masalah kebahasaan. Daftar Pustaka Brown, Penelope and Stephen C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press. Cameron, Deborah. 1992. Feminism & Linguistic Theory. London: MacMillan. Graddol, David & Joan Swann. 1989. Gender Voices. Oxford: Basil Blackwell. Harker, Richard (ed.). 1990. An Introduction to The Work of Pierre Bourdieu. London: macmillan Press. Holmes, Janet. 1995. Sociolinguistics. London: Penguin. Kramarae, Cheris. 1981. Woman and Men Speaking: Framework for Analysis. London: Newbury. Meier, Ardith J. 1997. Teaching the universals of politeness in ELT Journal Vol. 51/1 January. Mills, Sara. 2003. Gender and Politeness. Cambridge: Cambridge University Press. Spender, Dale. 1985. Man Made Language. London: Routledge. Tannen, Deborah. 1991. You Just Don t Understand: Women and Men in Conversation. New York: Balantine Books. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No. 2 Tahun 2005 135