BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

BAB I PENDAHULUAN. putra-putri terbaik untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan pejabatpejabat

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Budiardjo dalam Dewi (2014: 1) menyatakan bahwa :

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015

BAB I PENDAHULUAN. dengan seluruh rakyatnya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Seluruh rakyat berperan

MENCERMATI PENERBITAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah suatu sarana demokrasi yang digunakan untuk memilih

Asesmen Gender Indonesia

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa idealnya mempunyai peran

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

BAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT

PEREMPUAN &PEMBANGUNAN DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA

SINERGI ANGGOTA PARLEMEN, MEDIA DAN OMS UNTUK MENDORONG KEBIJAKAN YANG BERFIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN

BAB I PENDAHULUAN. feminisme yang berkembang mulai abad ke-18 telah menjadi salah satu penanda

PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

Kesimpulan K E S I M P U L A N. DALAM TAHUN 1965, JUMLAH TOTAL PEREMPUAN YANG MENJABAT sebagai anggota

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan

BAB V PENUTUP. dipilih melalui pemilihan umum. DPR memegang kekuasaan membentuk. undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan

BAB I PENDAHULUAN. politik yang secara legal masuk dalam Undang-undang partai politik merupakan

KEYNOTE SPEECH PADA FORUM DISKUSI EVALUASI PILKADA SERENTAK 2015 Jakarta, 4 Mei 2016

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

PASANGAN CALON TUNGGAL DALAM PILKADA, PERLUKAH DIATUR DALAM PERPPU? Oleh: Zaqiu Rahman *

BAB I PENDAHULUAN. mengurus rumah dan selalu berada di rumah, sedangkan laki-laki adalah makhluk

BAB V Kesimpulan dan Saran

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. karena keberhasilan suatu perusahaan atau organisasi terletak pada kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

PERILAKU MEMILIH MASYARAKAT KOTA PADANG PADA PEMILU KEPALA DAERAH SUMATERA BARAT TAHUN 2010 SKRIPSI

BAB II ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30% BAGI PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN MAHKAMAH

SAMBUTAN KETUA DPR RI PADA ACARA PELANTIKAN PENGURUS KAUKUS PEREMPUAN PARLEMEN REPUBLIK INDONESIA (KPP-RI) Periode

SEKILAS PEMILU PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei

Strategi Gerakan untuk Kepentingan Perempuan Surya Tjandra Unika Atma Jaya Jakarta, 10 Maret 2016

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014

PENTINGNYA KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di

BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

Lembaga Akademik dan Advokasi Kebijakan dalam Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender Margaretha Hanita

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Presiden dan kepala daerah Pilihan Rakyat. Pilihan ini diambil sebagai. menunjukkan eksistensi sebagai individu yang merdeka.

BAB II LANDASAN TEORI

Pembaruan Parpol Lewat UU

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sebuah organisasi yang tidak berpenghasilan tetapi justru mengeluarkan

BAB IV TINJAUAN FIQH SIYASAH DAN UU NO. 8 TAHUN 2012 MENGENAI IMPLEMENTASI KUOTA 30% KETERWAKILAN CALON LEGISLATIF PEREMPUAN DI DAPIL 4 GRESIK

ABSTRAK (RINGKASAN PENELITIAN)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu Negara yang menjalankan sistem demokrasi,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik

BAB I PENDAHULUAN. sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu

I. PENDAHULUAN. demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

P E N G A N T A R. Pengantar J U L I E B A L L I N G T O N

PANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PARTAI POLITIK DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN. PG Tetap PDIP PPP PD PAN PKB PKS BPD PBR PDS

KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERDASARKAN FUNGSI DPRD DI KOTA SEMARANG PERIODE Oleh: Hikmia Rahadini Pradipta

BAB II. Konteks Historis Penetapan 30% Kuota Calon Legislatif Perempuan. A. Proses Keluarnya Penetapan 30% Kuota Perempuan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Begitu banyak permasalahan yang dialami oleh masyarakat Indonesia khususnya yang menimpa kaum perempuan seperti kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pelecehan seksual, perdagangan manusia, eksploitasi, hingga kurangnya perlindungan hukum bagi perempuan hanyalah segelintir permasalahan yang ada. Menurut Catatan Akhir Tahun 2014 terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2014. Sebanyak 68 persen dari kasus tersebut adalah kekerasan domestik dan rumah tangga (KDRT) dengan mayoritas korban ibu rumah tangga dan pelajar. bentuk-bentuk kekerasan meliputi penelantaran tanggung jawab, penganiayaan jasmani dan psikis, serta pernikahan paksa ataupun pernikahan dini (Kompas, 27 April 2015). Data Kepolisian Negara Republik Indonesia tahun 2011-2013 menunjukkan, ada total 509 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Mayoritas, 213 kasus adalah eksploitasi ketenagakerjaan, 205 adalah eksploitasi seksual, 31 kasus bekerja tidak sesuai dengan perjanjian, dan 5 kasus bayi yang diperjualbelikan. Data menyebutkan korban terbanyak adalah perempuan dewasa berjumlah 418 orang, disusul dengan 218 orang anak perempuan. Para perempuan umumnya mengalami eksploitasi ketenagakerjaan serta eksploitasi seksual (Kompas, 24 Agustus 2015). Permasalahan ini menandakan bahwa perlu ada perhatian lebih untuk memperjuangkan ataupun melindungi hak-hak perempuan. Ironis memang disaat para perempuan mengharapkan perwakilan mereka di DPR untuk mendengarkan aspirasi mereka, justru kaum perempuan yang duduk di parlemen masih tergolong minim. Tidak dipungkiri hingga saat ini, lembaga legislatif di Indonesia (tingkat Provinsi, maupun Kabupaten/Kota) masih didominasi kaum pria. Lebih dari sepuluh tahun setelah reformasi 1998, Indonesia banyak mengalami perubahan dalam berbagai bidang, sosial-politik maupun ekonomi-budaya. Masalah perubahan tersebut, apakah bergerak kearah yang lebih baik bagi masyarakat, atau sebaliknya adalah perdebatan yang hampir setiap hari 1

2 kita dengar, baca, dan lihat. Tapi satu hal yang pasti, dalam dunia sosialpolitik, isu perempuan dalam kaitannya dengan peran dan posisi mereka dalam politik, sangat mengemuka. Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi keterwakilan perempuan baik di tataran eksekutif, yudikatif maupun legislatif sebagai badan yang memegang peran kunci menetapkan kebijakan publik, pengambil keputusan, dan menyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih jauh tertinggal disbanding laki-laki. Sepanjang dekade 1990an salah satu isu strategis yang diperjuangkan gerakan perempuan adalah situasi minimnya representasi perempuan dan dominasi laki-laki di arena poltik formal. Sementara Undang-undang RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 46 menyebutkan sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Kendati berbagai perangkat hukum telah menlegitimasi partisipasi politik bagi perempuan sampai saat ini antara perempuan dengan dunia politik masih merupakan dua hal yang tidak mudah dipertautkan satu dengan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di panggung politik dan lembaga-lembaga politik formal jumlahnya masih sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki. Di lembaga legislatif misalnya jumlah perempuan pada tahun 1999 menurun menjadi 9% dibandingkan dengan tahun 1997 sebanyak 12% dari jumlah anggota legislatif yang ada, dan kembali meningkat di tahun 2004 menjadi 12%, dan tahun 2009 kembali meningkat menjadi 18%. Seiring dengan berjalannya waktu, nilai dan norma sosial terus berubah, perempuan juga mengalami berbagai kemajuan dan menunjukkan peningkatan dari segi kualitas dan kuantitas di bidang pendidikan, sosial, dan ketenagakerjaan meski belum secara signifikan. Pada tanggal 18 Februari 2003, kuota perempuan disahkan. Permasalahan kuota terdapat dalam batang tubuh UU Pemilu pasal 65 ayat 1 yang berbunyi : Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30% (JurnalPerempuan: 61).

3 1 Dengan disepakatinya kuota 30% bagi perempuan untuk duduk di parlemen di satu sisi merupakan agenda besar bagi perempuan untuk memantapkan langkahnya berpartisipasi dan turut serta dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik, dan menyuarakan aspirasi perempuan yang selama ini terpinggirkan, dan juga mengubah kondisi masyarakat kearah yang lebih baik dan demokratis. Berdasarkan dari sensus data, Badan Pusat Statistik (BPS) 2014 dan 2015 merilis kalau jumlah penduduk Indonesia adalah sebesar 254,9 juta jiwa. Dari data tersebut, rinciannya adalah penduduk laki-laki berjumlah 128,1 juta jiwa dan perempuan berjumlah 126,8 juta jiwa (news.fimadani.com). Berdasarkan data ini menegaskan bahwa sebenarnya penduduk laki-laki dan perempuan di Indonesia hampir seimbang. Tentu saja sebenarnya peluang legislatif perempuan di parlemen periode 2014-2019 sangat tinggi bahkan mampu menembus angka 30 persen seperti yang termuat dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Tantangan berat selama ini adalah masih adanya keraguan di kalangan masyarakat tertentu apakah perempuan siap dan mampu menjalankan fungsi dan peran di kancah politik karena kalangan tertentu beranggapan bahwa dunia politik merupakan milik laki-laki. Sesungguhnya keragu-raguan itu sangat tidak beralasan sebagaimana dijelaskan Saparinah Sadli bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai potensi kecerdasan yang sama. Hal tersebut telah dibuktikan dalam sejumlah studi psikologi tentang taraf intelegensi perempuan dan laki-laki. Dalam realitas sehari-hari perempuan Indonesia sejak masih di dunia pendidikan maupun dalam menerapkan keahliannya tidak kalah dengan laki-laki bahkan kerap kali jauhl ebih baik (Kompas, 18 November 2002). Persoalan yang dihadapi perempuan lebih disebabkan kendala nilai sosial budaya yang tidak memberi akses dan kesempatan menduduki posisi sentral di lembaga-lembaga elite tersebut kendati dari aspek kemampuan intelegensia, manajerial, dan kepemimpinan, perempuan memiliki kualitas yang memadai, namun sering tidak dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi dan jabatanjabatan strategis lainnya.

4 4 Tidak sedikit pula perempuan yang bekerja di ranah publik harus membawa urusan kerumahtanggaan ke tempat bekerja. Misalnya membawa anak ke tempat kerja, datang terlambat karena harus memasak dan mengantar anak ke sekolah, serta sederet pekerjaan rumah yang dibawa dalam dunia kerja. Beban, tanggung jawab akan pendidikan dan kehidupan anak sering kali dibebankan kepada perempuan, sehingga ketika tiba di tempat kerja, perempuan tidak dapat bekerja dengan baik. Tanggung jawab yang lebih berat, rutinitas dan mobilitas jabatan publik membuat banyak perempuan akhirnya memilih tidak ingin bersaing dengan kaum laki-laki dalam perebutan jabatan politik. Banyak yang membuat keterlibatan perempuan di jabatan strategis belum diprioritaskan. Suka tidak suka harus diakui bahwa di lingkungan kita, laki-laki pasti dianggap pemimpin dan ditasbihkan layak menjadi pemimpin. Kelayakan tersebut biasanya ditunggangi oleh kondisi budaya patriarki yang secara masif memposisikan laki-laki sebagai kaum kelas satu. Mitos-mitos seperti seringkali membuat perempuan belum memiliki tempat yang sejajar dalam tatanan strategis. Sesuai dengan pendapat (Fakih, 2001 dalam Jurnal Perempuan:69): marginalisasi terhadap kaum perempuan terjadi secara multidimensioanl yang disebabkan oleh banyak hal, bisa berupa kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi da kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Indonesia yang selama ini diyakini menganut sistem pemerintahan terpusat dan ditandai dengan gaya represif, kurang memberi peluang berjalannya proses demokratisasi dan yang paling tidak diuntungkan adalah perempuan. Oleh sebab itu, memasuki era reformasi sekarang ini sudah waktunya perempuan mengoptimalkan peranannya di badan politik formal guna mengubah kebijakan yang masih didominasi kepentingan laki-laki. Perempuan harus mengejar ketertinggalannya selama ini dengan bekerja ekstra. Memberdayakan para kandidat yang akan duduk di lembaga politik formal dengan membekali diri baik pendidikan, kemampuan kepemimpinan, dan civic education, guna mendukung kinerjanya sebagai tokoh politik. Perjuangan kedepan adalah bagaimana strategi yang harus ditempuh agar keterwakilan perempuan di parlemen sebanyak 30% menjadi kenyataan. Untuk itu, perlu mendorong parpolparpol yang ada untuk menominasikan 30% calon legislatif perempuan.

5 Partai politik merupakan jalur paling efektif yang dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan secara signifikan karena partai politik merupakan satu-satunya organisasi politik yang secara sah dapat ikut dalam pemilihan umum,selain itu adalah jalur non partai politik atau independen yang dapat mengikuti pemilihan umum. Selain itu, penting meningkatkan pendidikan politik bagi perempuan pemilih sehingga mereka secara cerdas menyuarakan aspirasi mereka. Duduknya perempuan sebagai pejabat publik tentu saja bukan tanpa rekomendasi dan keahlian khusus, beberapa tahun setelah reformasi di Indonesia bergulir, semakin berkurang pemanfaatan dinasti politik, pengkultusan serta popularitas yang membawa perempuan menjadi pejabat negara. Banyak diantara mereka (kecuali dalam banyak kasus di beberapa pemilihan kepala daerah dan rekrutmen dalam partai politik) yang dipilh karena keahlian dan pengalaman bidangnya. Secara kauntitatif, perempuan yang duduk sebagai pejabat publik semakin meningkat dari tahun ke tahun. Terlihat pada hasil pemilu periode 2009-2014, dimana perempuan yang menjadi anggota DPR sebanyak 100 orang dari 560 anggota DPR (sekitar 18,2%). Namun berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dan organisasi perempuan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, belum mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Proporsi anggota legislatif perempuan yang terpilih gagal mencapai affirmative action 30 persen pada Pemilu 2014. Justru proporsi tersebut mengalami penurunan dari 18,2% persen pada tahun 2009, menjadi 17,3 persen di tahun 2014. Padahal kandidat perempuan yang mencalonkan diri dan masuk dalam daftar pemilih dari partai politik mengalami peningkatan dari 33,6 persen pada tahun 2009 menjadi 37 persen pada tahun 2014. Pada Pemilu Legislatif tahun 2014, ternyata hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan di legislatif sebanyak 97 kursi (sekitar 17,32%) di DPR (berita satu, 16 September 2014). Perempuan telah berhasil mewarnai sektor publik dan masih dalam proses untuk kita melihat hasil-hasil kerja mereka, sebagaimana harapan kita terhadap hasil-hasil pejabat publik laki-laki. Masuknya perempuan dalam sektor publik inilah kita akan segera melihat sejauh mana kesetaraan gender akan menjadi

6 harapan tentang keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (Mariana Amiruddin dalam Jurnal Perempuan hal 91). Kendati demikian perbedaan perempuan dan laki-laki juga didapati ketika mereka berbicara atau berkomunikasi. Berbicara adalah berkata, bercakap, berbahasa, mengutarakan isi pikiran, melisankan sesuatu yang dimaksudkan (KBBI, 2005:165). Pada dasarnya cara berbicara antara wanita dan pria berbeda, Kramer (1977) dan Tannen (1990) dalam (Frances Elaine Donelson, 1999) menyatakan stereotip bahwa wanita terus menerus berbicara, namun pada kenyataannya pria lebih banyak berbicara daripada wanita secara natural, dan bahkan ketika berbicara di sebuah alat perekam. Secara umum, pria menunjukkan dominansi dan statusnya dengan mengontrol setiap percakapan. Dalam kualitas suara jika disadari lebih dalam, saat berbicara pria bernada lebih rendah dari wanita. Perbedaan anatomi tubuh pada pria dan wanita bukan hal yang membedakan secara utuh tentang perbedaan nada bicara tersebut, ketika memasuki masa puber suara yang dikeluarkan pria dan wanita juga akan berbeda. Bahkan, mereka juga harus belajar mengeluarkan suara sewajarnya yang disesuiakan dengan jenis kelaminnya. Dalam suatu percakapan di telinga pria, suara orang-orang biasanya hanya terdiri dari tiga macam: rendah, sedang, dan tinggi. Namun, wanita mendengarkan suara dengan lebih rinci: air keran menetes, tangis bayi, anak kucing mengeong, dll (Kompasiana, 10 Oktober 2011). Intonasi juga sangat berpengaruh dalam menyampaikan suatu informasi, sebuah kalimat biasa akan berbeda arti jika diucapkan dengan intonasi yang berbeda. Wanita lebih banyak menggunakan intonasi suara saat berbicara, sedangkan pria menggunakan intonasi yang konstan, McConnel-Ginet (1978) dalam Matlin (1987) menyatakan bahwa kepastian intonasi terlihat pada wanita, seperti sopan dan terlihat gembira. Selain itu, terdapat sejumlah perbedaan bentuk komunikasi nonverbal antara perempuan dan laki-laki, dan bentuk-bentuk itu meliputi wajah terutama yang menyangkut mata, tubuh, sentuhan, suara, ruang, waktu, daya tarik fisik, pakaian, dan lingkungan. Semua hal ini tidak luput dari perhatian perempuan, terlebih perempuan yang memiliki jabatan sebagai anggota dewan perwakilan rakyat yang lingkungannya didominasi oleh kaum laki-laki,

7 dan tentunya mereka tidak dapat begitu saja mengabaikan komunikasi verbal dan non verbal. Oleh karena pentingnya komunikasi baik verbal dan non verbal, tidak hanya kesuksesan karirnya di dalam politik, tapi juga berdampak bagi dunia politik. Saat melakukan sebuah tugas politik yang melibatkan masyarakat misalnya, para anggota dewan perempuan akan lebih mudah untuk berbaur dengan orang-orang dari beragam latar belakang, sehingga memudahkan pemerintah untuk mengetahui aspirasi, keluhan serta kebutuhan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti gaya komunikasi verbal dan nonverbal anggota DPRD perempuan di Provinsi Sumatera Utara dalam lingkungan organisasinya yang didominasi oleh kaum laki-laki. 1.2 Fokus Masalah Berdasarkan konteks masalah yang telah duraikan di atas, maka dapat dirumuskan fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana gaya komunikasi verbal dan nonverbal anggota DPRD perempuan di Provinsi Sumatera Utara. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui gaya komunikasi verbal anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) perempuan di Sumatera Utara dalam melakukan interaksi dalam organisasinya (public sphere). 2. Untuk mengetahui gaya komunikasi nonverbal anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) perempuan di Sumatera Utara dalam melakukan interaksi dalam organisasinya (public sphere). 1.4 Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam memperkaya wawasan Ilmu Komunikasi khususnya komunikasi verbal dan non verbal.

8 2. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk menguji pengalaman teoritis penulis selama mengikuti studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, terutama pada Departemen Ilmu Komunikasi. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan informasi kepada mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU terkait gaya komunikasi verbal dan nonverbal anggota DPRD perempuan di kota Medan.