BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. atas tanah sebagai upacara peniadaan jenazah secara terhormat.

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL RITUAL KEMATIAN DAN PENGUBURAN JENAZAH. keagamaan dan ritual adalah berkenaan dengan ritus; dan hal ihwal ritus.

BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA. IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT. Nusak Dengka, dan makna perayaan Limbe dalam masyarakat tersebut.

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang Masalah. Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya sebab kebudayaan ada

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial pasti membutuhkan orang lain untuk menjalin komunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

I. PENDAHULUAN. Secara umum, kebudayaan memiliki tiga wujud, yakni kebudayaan secara ideal

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. a. Kebudayaan sebagai proses pembangunan

BAB V ANALISIS. Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan. beragama tidak dapat dilepaskan dari bendanya.

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, ini disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki akal dan pikiran yang mampu

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB IV ANALISA DATA. dan biasanya jatuh pada bulan Maret/April. Ritual ini dilakukan dengan

BAB II LANDASAN TEORI. sudah tersebar diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Tembikar atau keramik atau porselen

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai Upacara Tingkapan karena

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Seperti yang telah dipaparkan dalam Bab I, maka dalam Bab IV ini akan dipaparkan

PROSESI ADAT MITONI DI TINJAU DARI ASPEK PENDIDIKAN MORAL

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja

BAB III. Tradisi Penguburan Masyarakat Trunyan Bali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk menunjukkan tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Semakin maju dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) 1, mendapat pengaruh yang cukup besar

RELIGI. Oleh : Firdaus

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN

BAB IV TINJAUAN KRITIS. budaya menjadi identitasnya. Apabila manusia dicabut dari budayanya, ia bukan lagi orang

I. PENDAHULUAN. Budaya pada dasarnya merupakan cara hidup yang berkembang, dimiliki dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

Seri Iman Kristen (4/10)

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN HIEROPHANY DALAM RITUAL PERJAMUAN KUDUS DI GEREJA KRISTEN INDONESIA (GKI) DAN GEREJA HATI KUDUS YESUS DI SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk yang berbudaya, karena kebudayaan merupakan

Ota Rabu Malam. Musik Ritual. Disusun oleh Hanefi

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB V KESIMPULAN. Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini

BAB II KAJIAN TEORI. Kebudayaan berasal dari kata sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. sistem religi/kepercayaan terhadap sesuatu menjadi suatu Kebudayaan. Sistem

BAB I PENDAHULUAN. dengan daerah lain menunjukan ciri khas dari daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masyarakat Karo memiliki berbagai upacara, tradisi, maupun beragam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. memiliki keterkaitan dengan topik dari permasalahan yang akan dikaji.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, ialah

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN. Pdt. Sundoyo GKJ Brayat Kinasih Yogyakarta

Membangkitkan Anak Muda di Nain

BAB VII KEPEMIMPINAN

BAB IV MAKNA SIMBOLIS TRADISI LEMPAR AYAM DALAM PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk berbudaya dan secara biologis mengenal adanya

BAB I PENDAHULUAN. dari beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia. Menurut ilmu. antropologi, (dalam Koentjaraningrat, 2000: 180) kebudayaan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang

BAB IV SAKRAL DAN PROFAN DALAM PEMAHAMAN MASYARAKAT NUFIT HAROA (TUUN EN FIT) TENTANG TABOB

MANUSIA DAN AGAMA KOMPETENSI DASAR

BAB 1 PENDAHULUAN Kematian

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam.

BAB I PENDAHULUAN. masing manusia tersebut mewujudkan kebudayaannya dalam bentuk ide - ide,

2 Kebiasaan (Folksway) Norma yang menunjukan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama

BAB II PANDANGAN TENTANG YANG SKARAL DAN YANG PROFAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman suku bangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman budaya di Indonesia telah melahirkan ragamnya adat istiadat. beragam keyakinan dan kepercayaan yang dianutnya.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Permasalahan. I.1.1. Latar Belakang Masalah

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. nasional di Indonesia, harus didahului dengan pengetahuan tentang latar

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan. 1) Gambaran umum tentang orang Tionghoa yang ada di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dan aturan yang harus di patuhi untuk setiap suami, istri, anak, menantu, cucu,

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam menghadapi keadaan lingkungan ini dan terpaksa menyesuaikan diri

AGAMA: FENOMENA UNIVERSAL

BAB IV ANALISIS DATA. Analisis data merupakan proses mengatur urutan data, dikumpulkan, diklasifikasikan dan dianalisa dengan analisis induktif.

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama rahmatan lil alamin.ajarannya diperuntukkan bagi umat

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu suku bangsa mempunyai berbagai macam kebudayaan, tiap

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH 4.1.Ritual Masyarakat Trunyan Dalam kehidupan suatu masyarakat yang berbudaya menghadirkan suatu tradisi-tradisi yang beraneka ragam, salah satunya adalah tradisi perlakuan terhadap orang meninggal dalam upacara kematian masyarakat Trunyan yang berbeda dengan daerah-daerah yang lain. Disini kita akan melihat pembagian wilayah sakral dan profan dalam suatu tradisi lebih khusus dalam tradisi perlakuan terhadap orang meninggal di Desa Trunyan Bali. Upacara kematian di desa Trunyan merupakan serangkaian upacara yang dilakukan sejak seorang warga Trunyan lahir. Bahkan proses ini sudah dimulai sejak seseorang masih dalam kandungan. Proses ini nampak dari serentetan upacara dan larangan-larangan yang harus dilakukan oleh ibu yang mengandung dan bayinya. Tidak hanya kelahiran proses kehidupan seorang Tarumenyan juga merupakan bagian dalam rangkaian yang sama dengan upacara kematian. Jika selama hidup seorang warga Trunyan memiliki moral yang baik selama hidupnya, maka akan sangat berpengaruh pada bagaimana dia akan diupacarakan pada saat ia meninggal. Hal ini menunjukan bahwa proses kelahiran dan kehidupan tidak kalah penting dengan kematian. Proses yang rumit yang harus dilalui ibu dan bayi sejak mengandung hingga bayi bertumbuh, jika dilihat dari kacamata Turner hal tersebut merupakan upaya untuk menjaga dan mentransformasi kehidupan serta struktur sosial 1. Ritus merupakan cara manusia untuk 1 Turner, ibid., 3. 59

menanggapi masalah-masalah kehidupan maupun kematian 2. Berdasarkan kaca mata ini, cukup jelas bahwa larangan-larangan yang harus dipatuhi sang ibu serta upacara-upacara yang harus dilalui oleh bayi untuk mengatasi permasalahan kehidupan, seperti cacat fisik dan kehidupan yang aman dan sejahtera. Kerumitan proses yang harus dilalui menurut Turner adalah sesuatu yang wajar, karena sudah pada dasarnya manusia adalah makhluk yang kompleks. 3 Bahkan lebih jauh lagi, Dhavamony melihat ritus sebagai suatu usaha untuk membangun hubungan dengan kekuatan Ilahi 4. Bahkan Preusz menegaskan bahwa ritus sama sekali tidak akan berguna jika hanya bergantung pada rasional dan logika 5. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika dalam ritus kelahiran masyarakat Trunyan mereka mempercayai sesuatu yang tidak sesuai dengan logika berpikir modern, seperti ibu hamil yang dilarang mendekat dengan orang cacat, agar anak yang dikandungnya tidak cacat, atau bayi yang dilahirkan dengan empat roh. Terlepas dari apakah tidakan tersebut rasional atau tidak, Geertz berpendapat bahwa tindakan-tindakan tersebut merupakan resitasi sebuah mitos, konsultasi sebuah ramalan, atau dekorasi sebuah makam- suasana-suasana hati atau motifasi-motifasi yang ditimbulkan oleh simbol-simbol sakral dalam diri manusia dan konsep-konsep umum tentang tata eksistensi yang dirumuskan oleh simbol-simbol bagi manusia bertemu dan saling memperkuat satu dengan yang lain 6. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Turner. Lalu bagaimana kesungguhan tiap pemeluk dalam melaksanakan ritual? Menurut Robert Smith, walaupun setiap orang dituntun untuk bersungguh-sungguh, tapi tetap saja ada saja yang tidak bersungguh-sungguh. Menurut Smith mereka melakukan hal tersebut bukan untuk Tuhan 2 Ibid., 4. 3 Ibid., 3. 4 Dhavamony, ibid., 203. 5 Koentjaraninggrat, ibid,. 70. 6 Geertz, ibid., 32-33. 60

atau dewa, melainkan untuk kewajiban sosial 7. Akan tetapi jika melihat pandangan Durkheim, semua tindakan yang bersifat sakral adalah tindakan yang berkaitan dengan tidakan komunal. Jadi, kewajiban sosial pun masih dapat dikatakan sebagai tindakan sakral jika dilihat dari sudut pandang Durkheim. Apalagi jika melihat situasi Desa Trunyan, di mana kewajiban agama menjadi sama dengan kewajiban sosial. 4.2 Ritual Penguburan Masyarakat Trunyan Lebih khusus membahas mengenai upacara kematian, menurut Dhavamony ritus yang menyangkut kematian merupakan ritus peralihan yang terakhir dalam kehidupan manusia 8. Dalam masyarakat Trunyan hal yang sama juga berlaku. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, upacara kematian masyakarat Trunyan berada dalam satu rangkaian dengan upacara kelahiran, dan kehidupan masyarakat Trunyan. Lebih lanjut upacara kematian sebagai suatu proses transisi, maka upacara kematian dimaksudkan agar orang yang meninggal bisa sampai di dunia orang mati. Hal ini membuat ritual pemakaman masyarakat Trunyan menjadi menarik. Bagi masyarakat Trunyan bagaimana mayat diritualkan tergantung bagaimana ia hidup, bahkan bagaimana ia dikandung. Jika mayat yang akan diritualkan adalah orang yang cacat, atau orang hidup dengan tidak benar harus melalui upacara penyucian dosa dan tidak bisa disemayamkan di pemakaman utama. Hal yang berbeda akan dialami oleh orang yang hidup bersih dan tidak bercacat cela. Orang yang tidak bercacat cela akan dimakamkan di Sema Wayah. Sema Wayah menjadi tempat yang menarik karena mayat yang akan disemayamkan pertama-tama tidak dikuburkan melainkan hanya diletakan di atas tanah. Kedua adalah mayat yang disemayamkan di Sema 7 Koentjaraninggrat, ibid., 63 8 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Ibid 178-179 61

Wayah tidak akan berbau busuk. Seandainya mayat yang disemayamkan tersebut mengeluarkan aroma busuk, berarti ia dahulunya tidak hidup dengan benar. Menjadi pertanyaan adalah, apakah timbul perdebatan mengenai keputusan tempat menguburkan mayat? Menurut Geertz, upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian menurutnya, upacara kematian itu harus lepas dari segala perasaan pribadi dari orang yang meninggal tersebut, kepada orang-orang yang terlibat dalam upacara kematian itu, dan harus dipandang dari sudut gagasan kolektif masyarakat tadi. 9 Jika mempertimbangkan pendapat Geertz, maka akan sangat kecil kemungkinan untuk menggugat keputusan mengenai tempat jenazah akan disemayamkan. Bahkan lebih jauh lagi menurut Turner hal tersebut bisa merupakan upaya menjaga struktur sosial suatu masyarakat 10. Jadi, upacara pemakaman ini telah menjadi sebagai suatu tatanan norma yang mengarahkan setiap masyarakat Trunyan untuk bisa hidup bersih. Lain lagi menurut Koentjaraninggrat, upacara kematian merupakan suatu peralihan dari status sosial selama masih hidup, ke status sosial di dunia sana. Tapi menjadi pertanyaan ketika masyarakat Trunyan tidak mengenal status sosial atau kasta. Orang-orang dimakamkan bukan berdasarkan setinggi apa status sosialnya, melainkan seberapa bersih ia hidup di dunia ini. Mungkin upacara kematian ini lebih cocok disebut dengan upacara inisiasi seperti yang dikemukakan oleh Geertz 11. Sementara menurut Turner, suatu upacara simbolis dibutuhkan untuk kepergian yang aman dan kedatangan kembali yang membahagiakan. Menurutnya disinilah ritual memegang peranannya. Ritual berfungsi sebagai pembatas antara ruang dan waktu. 9 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Ibid 69-77. 10 Turner, ibid. 3 11 Koentjaraninggrat, ibid., 62

Tapi jika melihat proses pemakanan masyarakat Trunyan, tidak hanya berfungsi sebagai inisiasi. Pembedaan perlakuan terhadap jenazah juga berfungsi bentuk penyucian. Jenazah dari orang yang selama hidupnya tidak hidup bersih harus melalui proses penyucian terlebih dahulu, sehinga ia menjadi suci kembali. Nampak bahwa pembedaan terhadap jenazah tidak menunjukan suatu bentuk pembedaan secara sosial, melainkan suatu proses agar menjadi setara. Upacara ini juga dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kontrol sosial. Sebagai contoh adalah orang yang tidak hidup bersih dapat disemayamkan tanpa harus melalui proses penyucian. Juga orang yang menikah dengan orang di luar Trunyan tidak berhak mendapatkan upacara pemakanan Trunyan. Tapi diatas semua hal tersebut dasar dari upacara kematian adalah beragamnya misteri setelah kematian. Semua orang menginginkan kehidupan yang baru dan jelas setelah kematian 12. Dalam sebuah upacara kematian terdapat pengharapan suatu masyarakat 13. Dibalik ritual masyarakat Trunyan terdapat pengharapan mereka, yakni jika hidup bersih tanpa cela maka akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah kematian. Bagi masyarakat Trunyan upacara pemakaman merupakan sesuatu yang sakral. Tempat persemayaman jenazah, Sema Wayah pun dianggap sebagai suatu yang sakral. Mungkin benar pendapat Preusz yang mengatakan bahwa kematian merupakan puncak dari religi manusia. Untuk pergi ke Sema Wayah seseorang harus dianggap suci, bahkan segala peralatan dianggap suci. Menurut Eliade, sesuatu menjadi sakral ketika terdapat peristiwa hierofani, yaitu ketika peristiwa sakral memanifestasi dalam suatu tempat. Dalam Sema Wayah terdapat fenomena yang oleh masyarakat Trunyan dianggap sebagai suatu peristiwa hierofani. Mayat yang disemayamkan di Sema Wayah tidak akan mengeluarkan bau busuk walaupun tidak dikuburkan. Hal ini konon 12 Tri Widiarto, ibid., 12-14. 13 Alex Jebadu, ibid, 117-119. 63

disebabkan karena pohon Taru Menyan yang dulu ada di Trunyan. Jika ada pihak yang berniat jahat maka akan tercium bau yang busuk yang menyengat. Tapi jika ada orang yang datang dengan niat baik, maka orang tersebut datang dengan bermaksud baik. Jika mengikuti alur berpikir Eliade Sema Wayah bisa dikatakan sebagai ruang sakral. Sema Wayah menjadi tempat untuk menyegarkan kembali dunia profan dari orang Trunyan. Dengan adanya Sema Wayah masyarakat Trunyan menjadi memiliki kepekaan terhadap kosmik. Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia non religious, jika menggunakan pengelompokan Eliade. Akan tetapi terdapat perbedaan mencolok dengan konsep sakral Eliade. Kesakralan dalam mayarakat Trunyan selalu berkaitan dengan moral. Hal ini nampak dalam pengelompokkan kepada orang yang meninggal. Sedangkan menurut Eliade sakral adalah sakral non moral, yang menguasai segala kenyataan 14. Perbedaan terhadap perlakuan jenazah menunjukan konsep sakral dari masyarakat Trunyan juga hampir sama dengan konsep yang ditawarkan oleh Durkheim. Bagi masyarakat Trunyan kesakralan mereka merupakan refleksi dari kehidupan sehari-hari. Ritus yang dilakukan bertujuan mengatur bagaimana seseorang menempatkan diri dalam masyarakat Trunyan 15. 4.3.Dimensi Sakral dan Profan dalam Upacara Kematian Masyarakat Trunyan Sakral dan Profan bagi Emile Durkheim adalah suatu konstruksi manusia akan sesuatu. Bagi Emile Durkheim dalam mengusung yang sakral dan profan, pemikirannya selalu dalam konteks masyarakat dan kebutuhannya. Durkheim mengatakan: Yang Sakral: masalah sosial yang berkait dengan kepentingan bersama ditengah-tengah masyarakat. Yang Profan: segala 14 Mircea Eliade, The Sacred and the Profane, ibid., 8-11. 15 Durkheim, The Elemtary form of Religius Life,.ibid., 41. 64

sesuatu yang hanya berkait dengan unsur-unsur individu. Ide sebagai yang sakral selain dikaitkan sebagai jiwa kolektif sakral juga merupakan sesuatu yang sama sekali berada di luar masyarakat, misalnya dalam ritual upacara kematian khususnya dalam masyarakat Trunyan. Dalam kehidupan masyarakat Trunyan lebih khusus dalam tradisi upacara kematian ada hal-hal yang disakralkan oleh masyarakat seperti yang telah diuraikan dalam Bab III, dalam tradisi masyarakat Trunyan ada yang dikenal dengan orang suci, pohon yang disakralkan, waktu baik atau waktu suci dan benda-benda suci yang dipergunakan untuk suatu upacara. Sesuatu yang sakral bagi Durkehim adalah masalah sosial yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, begitu juga dengan hal-hal yang disakralkan oleh masyarakat Trunyan. Semua hal-hal yang dinilai sakral oleh masyarakat sehingga mendapatkan perlakuan yang khusus berkaitan dengan kepentingan masyarakat demi terciptanya suatu kehidupan kebersamaan yang selaras. Setiap upacara yang adalah bagian dari tradisi masyarakat Trunyan mempunyai nilai sakral dan profannya. Tiga upacara penting dalam kehidupan masyarakat Trunyan yaitu: upacara kelahiran, upacara perkawinan dan upacara kematian. Upacara kelahiran dan perkawinan menjadi penting dikarenakan untuk menentukan status seseorang dalam kehidupannya ketika orang tersebut meninggal nanti. Dalam mengadakan upacara kematian masyarakat Trunyan, mengatur suatu tatacara khusus untuk mereka yang meninggal dalam status bercacat-cela dan bagi mereka yang meninggal dalam status sebagai orang suci. Kesucian seseorang dinilai dan dilihat dari perjalanan kehidupan orang tersebut dari masa kelahirannya, di mana lahir dengan mengikuti semua tradisi kelahiran masyarakat Trunyan, menikah dengan baik, dan meninggal dalam keadaan yang baik pula. Meninggal dalam keadaaan baik di sini dalam artian kondisi fisik tubuh tidak bercacat, moral hidup baik, dan jiwa yang baik. Semua yang sakral bagi masyarakat Trunyan hadir dari latar belakang suatu kepercayaan yang khusus yaitu Hindu Trunyan, dimana 65

dalam melaksanakan suatu upacara pemakaman masyarakat Trunyan tidak mengenal adanya pembakaran mayat seperti kepercayaan agama Hindu Bali pada umumnya. Untuk itu di Trunyan tidak mengenal adanya Ngaben bakar. Sesuatu itu sacral ditentukan oleh masyarakat demi kepentingan masyarakat. Jadi masyarakatlah yang sacral untuk itu masyarakat menentukan nasib dan perjalanan setiap individu. Perjalanan setiap individu dalam menapaki jalan hidup: kelahiran, perkawinan dan kematian. Dalam suatu kepercayaan masyarakat Hindu Trunyan mereka membedakan wilayah yang sakral dan yang profan, ini merupakan sesuatu hal yang penting karena sesuatu yang sakral bagi kehidupan orang Trunyan memberikan suatu pengaruh yang besar dalam kehidupan mereka. Untuk itu sesuatu yang profan bagi masyarakat Trunyan merupakan hal yang biasa. Contohnya dalam hal perkawinan, dua orang yang saling mencintai diperbolehkan untuk melakukan persetubuhan terlebih dahulu sebelum menikah, hal ini diperbolehkan karena ini merupakan sesuatu kepentingan individu, untuk itu tidak ada larangan bagi mereka. Pembedaan antara yang sakral dan profan dalam tradisi masyarakat Trunyan lebih khusus dalam upacara kematian sangat kelihatan. Dengan adanya pembagian tiga macam kubur di desa tersebut, demikian juga ada pembedaan perlakuan terhadap orang yang sudah meninggal. Orang yang meninggal dalam masyarakat Trunyan dibedakan dalam dua kelompok yaitu orang yang meninggal sebagai orang suci dan mereka tidak suci. Itu semua dilihat dari tiga macam penguburan yang ada di desa tersebut. Selain pembedaan perlakuan sesuai tradisi ada upacara-upacara khusus yang dilakukan bagi mereka yang meninggal tidak sebagai orang suci, itu ditandai dengan adanya upacara penghapusan dosa. 66

Seseorang mendapatkan perlakuan atau pembedaan bukan karena keinginan individual, namun karena kesepakatan dan ketentuan masyarakat. Masyarakat sebagai komunitas sacral sangat berdaulat. Individu tunduk kepada masyarakat sebagai kelompok yang mengatur kehidupan individu secara bersama. Segala yang sakral dibedakan dari yang profan dalam tradisi masyarakat Trunyan bukan semata-mata untuk membedakan yang baik dan yang buruk, tetapi lebih kepada apa yang akan dipersembahkan kepada yang dianggap kudus yang mempunyai kekuatan yang besar yang mampu untuk memberikan hal baik dalam kehidupan bersama para penyembahnya. Sesuatu yang disakralkan oleh masyarakat Trunyan diperuntukkan untuk penyembahan dan untuk itu ada pohon yang disakralkan yaitu Pohon Tarumenyan, yang dipercaya oleh masyarakat Trunyan sebagai sesuatu yang hadir karena kehendak yang mempunyai kekuatan dan kuasa di luar manusia dengan maksud dan tujuan untuk menciptakan suatu keselarasan dalam kehidupan masyarakat atau umat penyembah yang ada, dan sebagai sesuatu yang menyatukan umat dalam hal penyembahan kepada dewa yang dipercaya. Untuk itu sekalipun keberadaan pohon Tarumenyan telah tumbang, sebagaimana yang telah dipaparkan dalam data lapangan Bab III, masyarakat tetap menjaga kesakralan pohon tersebut, dan agar fungsi dari pohon tersebut tetap ada maka ditempat tersebut dibangun Pura sebagai tempat beribadah para umat dan tempat umat berkumpul untuk suatu pemujaan kepada yang Roh-roh dan Dewa-dewa yang dipercayai. Dan untuk itu dalam pemujaan kepada yang dianggap mempunyai kekuatan yang besar masyarakat Trunyan tidak sembarangan dalam menentukan waktu atau hari yang dikenal dengan hari baik. Pemilihan dan penentuan hari baik dlakukan karena pada waktu/hari tersebut masyarakat berkumpul untuk suatu pemujaan kepada dewa, disisi lain dapat dilihat suatu hari yang dikuduskan oleh masyarakat sebagai hari baik mempunyai fungsi untuk 67

mempertemukan dan mempererat tali kebersamaan masyarakat yang ada. Inilah fungsi sakral yang dimaksudkan oleh Durkheim yaitu untuk kepentingan bersama. Semua ketentuan yang ada pada bermacam-macam ritus kematian yang ada di desa Trunyan seperti: pemahaman terhadap pohon Tarumenyan, pembagian tempat penguburan, pembangunan tempat ibadah ditempat pohon Tarumenyan, ada waktu pemakaman yang ditetapkan oleh masyarakat. Ketetapan masyarakat mengatur anggota masyarakat dengan muara kesatuan masyarakat atau lebih tepat keteraturan masyarakat. Masyarakat sebagai komunitas yang sacral begitu berwibawa dihadapan anggota dalam praktek ritual kematian. Inilah yang dimaksudkan oleh Durkehim dalam pemahamannya tentang yang sakral. Menurut Durkheim, seluruh keyakinan keagamaan, baik yang sederhana maupun yang kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan antara yang sakral dan yang profan. Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral, karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Dalam melaksanakan suatu upacara kematian, ada perlakuan yang berbeda bagi setiap orang yang meninggal dibedakan dalam hal orang yang mati dalam keadaan suci dalam arti baik secara jasmani, moral dan jiwa, dan mati dalam keadaan bercacat-cela. Orang yang meninggal dalam keadaan yang suci orang tersebut akan dikuburkan di kuburan utama atau sema wayah. Tempat kuburan sema wayah diyakini oleh masyarakat adalah tempat yang disanalah telah terjadi peristiwa hierophany sebagaimana yang dikatakan oleh Eliade yang diartikan sebagai tempat di mana yang suci itu hadir, dan untuk itu tempat tersebut disakralkan oleh masyarakat 68

setempat sebagai kuburan yang suci. Untuk menentukan seorang itu moral dan jiwanya baik maka masyarakat lewat seorang pemangku yang dipercaya sebagai wakil dari para dewa dan rohroh, serta leluhur yang bersemayam di desa tersebut lewat dialah para dewa, dan leluhur memberitahukan keadaan orang yang meninggal tersebut, dengan demikian peristiwa hierophany yang dimaksudkan oleh Eliade terjadi dalam diri seorang pemangku. Selanjutnya peristiwa yang bisa dikaitkan dengan peristiwa hierophany menurut Eliade dalam Tradisi kematian masyarakat Trunyan adalah dalam hal menentukan hari baik untuk suatu upacara penguburan yaitu Ngaben. Dalam hal menentukan waktu/hari para pemangku harus mengadakan suatu meditasi sebagai jalan untuk bertemu dengan dewa, leluhur yang dipercaya oleh masyarakat. Hal lain lagi peristiwa Hierophany terjadi dalam kehidupan masyarakat Trunyan adalah pemilihan seorang untuk dapat menjadi pemangku adat, diadakan suatu upacara sakral yang mereka yakini akan menghadirkan para dewa-dewa dan leluhur mereka, kehadiran dewa-dewa dan leluhur ditandai dengan bersinarnya seorang dari anggota masyarakat lainnya, dan dari situlah mereka mengetahui bahwa orang tersebut telah menjadi seorang pemangku sebagai perantara antara masyarakat dengan dewa-dewa mereka. Menurut Durkheim segala kegiatan dan segala sesuatu yang bertujuan untuk kepentingan kolektif, semua itu adalah sakral itu berarti semua unsur upacara adalah sakral. Masalahnya secara teoritis upacara atau ritus hanya bisa berjalan bila memiliki sifat sakral. Dan menurut teori Durkheim upacara atau ritus itu tidak akan dijalankan lagi apabila dipandang sudah tidak berfungsi lagi, hal ini disebabkan karena menurut Durkheim bukan binatangnya, bukan orangnya, bukan bendanya yang sakral melainkan prinsip yang ada di dalamnya itulah yang dipandang sakral, dan prinsip inilah yang sebenarnya fungsional di dalam masyarakat. Kalau bertitik tolak dari prinsip itu maka dapat juga dikatakan bahwa berdasarakan teori ini dapatlah 69

dimengerti kalaulah sesuatu yang pada mulanya sakral, kemudian dipandang tidak sakral lagi oleh karena dipandang sudah tidak fungsional lagi. Durkheim juga menunjukkan bahwa yang sakral itu unggul dalam kemuliaan, kekuatan, keluhuran, khususnya dalam kaitan dengan manusia. Sekalipun manusia menghormati dan takut pada yang sakral tetapi itu tidak berat bahwa manusia merasa inferior dihadapannya, melainkan karena ada sesuatu yang dimilikinya dan itu dibutuhkan manusia yaitu yang sakral. Oleh karena itu manusia tidak akan menyembah dan menghormatinya apabila ternyata sudah tidak berfungsi lagi atau sudah tidak sakral lagi. Tapi bagi Eliade yang sacral itu adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Dalam hubungan dengan itu manusia hanya menerima saja apa yang dikehendaki Tuhan untuk dilaksanakan. Memang bisa saja dikatakan bahwa manusia berusaha memenuhi kehendak dan perintah penguasa itu karena manusia menginginkan sesuatu, tetapi keputusan terakhir ditentukan olehnya. Maka sekalipun sulit menemukan alat-alat, bahan-bahan dan tenaga yang dibutuhkan, tetapi manusia akan berusaha untuk memenuhinya. Dengan alat, bahan dan tenaga yang ada dan yang dapat diusahakannya. Kalau hal itu menimbulkan masalah baik dari segi tenaga, waktu, dan financial, maka manusia memilih efesiensi, dengan cara demikian diharapkan nilai sakralnya tetap terpenuhi. Dalam tulisan Durkheim menggunakan istilah quasi divini 16 artinya quasi Ilahi, Karena pada uraian selanjutnya diuraikan bahwa yang Ilahi itu ada dalam agama, tetapi agama berasal dari masyarakat. Jadi yang empiris (masyarakat) yang ditingkatkan menjadi transenden (dalam agama dirumuskan yang Ilahi) bukan dari wahyu (menurut Eliade). Kalau dilihat dari pandangan Eliade, maka seluruh rangkaian upacara dapat dipilah atas pembagian yang sakral dan yang profan. Sakral yaitu yang menyangkut Tuhan, dunia 16 Robert N Bella, (ed), Durkehim, On Morality and Society, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1973), 168. 70

transenden, dunia rohani, dunia dewa-dewa dan dewa-dewa itu sendiri. Maka semua kegiatan yang berhubungan dengan sajian, binatang yang dikorbankan, alat-alat yang dipakai pada saat itu, orang yang melaksanakan upacara, benda-benda pelengkap upacara, dan waktu yang sudah ditentukan untuk melaksanakan upacara adalah sakral. Karena semua itu sudah mengalami inisiasi terlebih dahulu. Semua binatang, alat-alat kegiatan yang lain adalah profan karena semua itu adalah untuk kepentingan hubungan antar individu dan kepentingan hidup individu itu. Kesakralan tidak terletak pada ritual kematian naming pada masyarakat yang menciptakan ritual kematian tersebut. Sampai sekarang ritual kematian itu masih terus dilaksankan karena masyarakat masih membuatnya fungsional, dank arena anggota-anggota melaksanakannya demi keutuhan masyarakat. Jadi ritual kematian sebagai kegiatan religious mengintegrasikan masyarakat. 71