Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah M. Roikhan Harowi, Soepomo Soekardono, Bambang Udji Djoko R, Anton Christanto Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia ABSTRAK Rinosinusitis kronik (RSK) adalah peradangan mukosa hidung dan mukosa sinus paranasalis yang berlangsung selama 1 minggu. RSK secara nyata menurunkan kualitas hidup akibat obstruksi hidung dan iritasi, gangguan penghidu, gangguan tidur dan gejala pilek yang persisten. Meskipun terapi bedah dapat mengurangi kejadian rekurensi infeksi, namun efeknya pada kualitas hidup penderita sedikit diketahui. Perbaikan RSK setelah bedah sinus endoskopi (BSE) dilaporkan sangat baik hingga mencapai %. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan kualitas hidup penderita RSK yang menjalani bedah konvensional dengan yang menjalani bedah sinus endoskopi. Penelitian menggunakan desain analisis cross sectional pada pasien RSK yang telah menjalani terapi bedah. Penderita dibedakan menjadi kelompok bedah konvensional dan kelompok bedah sinus endoskopi. Masing-masing kelompok berjumlah 1 orang. Kualitas hidup dibandingkan pada minimal bulan pasca-bedah menggunakan Sinonasal Outcome Test 0. Data dianalisis menggunakan uji X dan uji X Mantel Haenzel. Tidak ada perbedaan karakteristik subyek menurut kelompok terapi (p>0,0). Ada perbedaan bermakna kualitas hidup menurut riwayat alergi (p=0,001). Tidak ada perbedaan rerata skor masing-masing item SNOT 0 menurut kelompok terapi (p>0,0). Hasil analisis regresi logistik menunjukkan ada perbedaan kualitas hidup menurut umur (p=0,0 % CI 1,1-,) dan menurut riwayat alergi (p=0,0 % CI 1,1-,0). Tidak ada perbedaan kualitas hidup penderita RSK yang menjalani bedah konvensional dengan BSE (p=0,0 % CI 0,-,0) Simpulan : Tidak ada perbedaan kualitas hidup berdasarkan SNOT 0 penderita RSK yang menjalani bedah sinus endoskopi dibandingkan bedah konvensional. Kata kunci : rinosinusitis kronik, kualitas hidup, SNOT 0, terapi bedah sinus Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik didefinisikan sebagai gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus paranasalis dan pada mukosa hidung yang telah mengalami perubahan reversibel maupun irreversible dengan berbagai etiologi dan faktor predisposisi dan 1,, berlangsung lebih dari 1 minggu RSK masih merupakan tantangan dan masalah dalam praktek umum maupun spesialis mengingat anatomi, etiologi serta penanganannya yang kompleks. Kekerapan rinosinusitis bervariasi. Di Eropa, RSK diperkirakan terjadi pada %-0% populasi. Di Amerika tahun 1, RSK diperkirakan terjadi pada % populasi dewasa. Di RSCM (1), RSK merupakan,% dari seluruh kunjungan poliklinik ; di RS Dr Karyadi Semarang, sebesar,%. Di RS Dr Sardjito Yogyakarta selama tahun 000-00 frekuensi penderita RSK,%-,%. Garis besar penatalaksanaan RSK terbagi dua : konservatif dan operatif. Penatalaksanaan operatif RSK meliputi bedah konvensional, bedah sinus endoskopi, bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Penatalaksanaan bedah konvensional seperti antrostomi, Caldwell-Luc, etmoidektomi intranasal kadang-kadang menimbulkan jaringan parut di bekas lubang yang dibuat selain di lubang fungsional sehingga akan mengakibatkan fokus infeksi baru pada sinus. Seluruh mukosa sinus dapat ikut terangkat saat operasi sehingga seluruh silia akan terbuang. Hal ini menimbulkan masalah baru berupa hilangnya fungsi drainase akibat hilangnya silia. Teknik operasi sinus terus dikembangkan terutama bedah sinus endoskopi (BSE) maupun bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Pada bedah sinus menggunakan endoskopi, lapangan pandang operasi dan pengontrolan tindakan bedah dapat lebih baik dan pembuangan berlebihan jaringan dapat dihindari. Keuntungan bedah endoskopi adalah tidak ada luka kulit dan tulang, trauma intranasal dan intrasinus kecil, trauma daerah resesus frontalis dapat dicegah, anatomi daerah hidung dapat terlihat jelas serta mencegah kerusakan membran mukosa sehingga mucociliary clearance normal. Rinosinusitis kronis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup akibat gejala lokal seperti nyeri kepala, sekresi hidung dan sumbatan hidung, gangguan penghidu, kesulitan tidur dan juga akibat kelemahan umum RSK akan menurunkan produktivitas dan kehilangan juta hari kerja atau 1 sekitar % hari kerja penduduk produktif. RSK dengan polip nasi secara signifikan akan menurunkan kualitas hidup akibat obstruksi dan iritasi hidung, gangguan penghidu, kesulitan tidur dan gejala pilek persisten. Di Amerika (), pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan rinosinusitis memerlukan biaya, milyar dollar;,% (sekitar, milyar dollar) berkaitan dengan RSK. Penilaian penatalaksanaan RSK menyangkut kualitas hidup sangat penting dan terus dikembangkan, ditandai dengan banyaknya alat ukur yang telah divalidasi, antara lain kuesioner kualitas hidup rinokonjungtivitis, rhinosinusitis outcome measure, sinonasal outcome test 0 (SNOT 0), chronic rhinosinusitis survey (CRS) dan rhinosinusitis 1 disability index (RSDI). SNOT (Sinonasal Outcome Test) 0 sebagai alat ukur kualitas hidup pada RSK telah luas digunakan, dikembangkan dari RSOM 1 untuk kemudahan penggunaan dan penilaian. SNOT 0 berisi 0 pertanyaan menyangkut gejala dan dampak sosial CDK 1 / vol. no. / Agustus - September 0
emosional rinosinusitis. SNOT 0 memiliki konsistensi internal baik (Cronbach alpha = 0,0), tes re-tes reliabilitas menunjukkan tingkat korelasi tinggi antara dan minggu dengan p< 0,0001, dan responsivitas 1 moderat (0,). Keunggulan lain SNOT 0 yaitu waktu pengisian singkat sekitar - 1 menit dan format ringkas. Deal et al.(00) secara retrospektif meneliti 01 penderita RSK dengan polip nasi maupun tanpa polip nasi yang menjalani tindakan bedah. Hasil skor subyektif SNOT 0 serta gambaran CT scan dibandingkan menggunakan sistem skor Lund Mackay sebelum dan sesudah pembedahan. Pada kelompok tanpa polip nasi rerata skor SNOT 0, sebelum operasi dengan perbaikan,1 pada bulan pasca-operasi dan,0 pada 1 bulan pasca-operasi (perbaikan %). Pada kelompok dengan polip nasi rerata skor SNOT 0, sebelum operasi dengan perbaikan, pada bulan pasca-operasi dan,1 pada 1 bulan pasca-operasi (perbaikan 1% p = 0,00). mem- punyai pengaruh negatif pada pasien RSK. Salhab et al.(00) di Saudi Arabia, dengan desain potonglintang meneliti penderita RSK polip nasi maupun tanpa polip nasi yang telah menjalani bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Pengukuran kualitas hidup menggunakan Glasgow Benefit Inventory (GBI) meliputi subskala skor umum (General Subscale Score), subskala skor sosial (Social Subsacle Score), dan skor kesehatan fisik (Physical Health Score). Perbandingan total skor GBI dan subskala skor umum, mengindikasikan keuntungan lebih besar pada RSK dengan polip nasi (p = 0,0 dan p 1 = 0,0). Browne et al. (00) di Inggris, dengan desain potonglintang membandingkan kualitas hidup pasien RSK yang menjalani simple polipektomi dengan yang menjalani polipektomi dan pembedahan tambahan (additional surgery). Kualitas hidup pasien diukur 1 bulan dan bulan sesudah pembedahan. Perbedaan skor SNOT 0 adalah 0, ; %CI :-,1 - +1, p = 0,. Pada bulan setelah pembedahan perbedaan skor SNOT 0 adalah -,1 ; %CI :-, - +0, p = 0,0. Rudnick et al.(00) dengan desain kohort prospektif membandingkan kualitas hidup 1 penderita RSK anak yang menjalani adenoidektomi dan bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Kualitas hidup diukur dengan SN- yang berisi domain infeksi sinus, sumbatan hidung, gejala alergi, gangguan emosional dan pembatasan aktivitas, sebelum pembedahan dan bulan sesudah pembedahan. Rerata skor SN- sebelum pembedahan, dan sesudah pembedahan 1,0 (p > 0,001), perubahan skor, (%CI :, 1,1) dan rerata respon standar (SRM) 1,. Ada perbedaan bermakna antara masing-masing gejala sebelum dan sesudah pembedahan. Dari penelitian ini disimpulkan adenoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional memperbaiki kualitas hidup anak dengan 1 RSK. Penelitian penulis berbeda dari penelitianpenelitian di atas, karena meneliti perbedaan kualitas hidup penderita RSK yang menjalani terapi bedah sinus endoskopi dibanding dengan yang menjalani bedah konvensional menggunakan alat ukur Sinonasal Outcome Test (SNOT)0. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan analytic cross sectional untuk menentukan perbedaan kualitas hidup penderita rinosinusitis kronik yang menjalani bedah sinus endoskopi dibandingkan dengan yang menjalani bedah konvensional. Populasi target penelitian ini adalah penderita rinosinusitis kronik. Populasi terjangkau adalah penderita rinosinusitis kronik yang sembuh setelah menjalani terapi bedah sinus endoskopi maupun bedah konvensional. Kriteria inklusi : penderita rinosinusitis kronik dengan maupun tanpa polip nasi yang telah menjalani terapi bedah satu kali, minimal bulan, klinis sudah dinyatakan sembuh, bersedia mengikuti penelitian dengan menjawab kuesioner SNOT 0. Kriteria eksklusi jika terdiagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasalis, status rekam medis tidak lengkap. Besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis beda mean satu sisi karena dianggap terapi bedah konvensional mempunyai skor SNOT 0 lebih tinggi 1 dibanding terapi bedah sinus endoskopi dengan = 0,0, dan =0,0 (Lemeshow et al. ), didapatkan hasil 0,. Dibutuhkan 1 sampel untuk masing-masing kelompok. Variabel bebas penelitian ini adalah tindakan bedah yang dibedakan menjadi (a) bedah konvensional yang meliputi antrostomi, polipektomi, Caldwell Luc, etmoidektomi intranasal (b) Bedah sinus endoskopi. Variabel tergantung adalah kualitas hidup. Kualitas hidup diukur menggunakan SNOT 0 yang dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, berupa skor kualitas hidup dengan skala Likert yang ditansformasi ke skala kontinu. Skor tertinggi adalah 0 dan skor terendah 0. Ditentukan rerata skor SNOT 0. Variabel yang dapat mempengaruhi variabel tergantung dalam penelitian ini antara lain jenis kelamin, umur, ada tidaknya polip nasi, jenis polip nasi, derajat polip nasi, luas penyakit, riwayat alergi. Jenis kelamin terdiri 1) pria, ) wanita. Umur dibedakan menjadi : 1) kurang dari 1 tahun, ) - tahun, ) - tahun, ) - tahun, ) - tahun, ) di atas tahun. Ada tidaknya polip nasi dibedakan 1) RSK dengan polip nasi/polip nasi (+), ) RSK tanpa polip nasi/polip nasi (-). Derajat polip nasi dibedakan 1) Tanpa polip nasi, apabila tidak terdapat polip nasi, ) apabila ditemukan polip nasi terbatas pada meatus media, ) Derajat apabila ditemukan polip nasi sudah keluar dari meatus media tetapi belum menyebabkan obstruksi kavum nasi, ) apabila ditemukan polip nasi sudah keluar dari meatus media dan menyebabkan obstruksi kavum nasi. Luas penyakit didasarkan pada hasil CT scan sinus paranasalis menurut Glicklich (1) dibagi menjadi tingkat, 1) Derajat 0 apabila terdapat penebalan mukosa kurang dari mm di sebarang sinus, ) apabila ditemukan kelainan unilateral, ) Derajat apabila terdapat kelainan bilateral pada sinus ethmoidalis atau sinus maksilaris saja, ) apabila kelainan pada sinus ethmoidalis dan sinus maksilaris dan salah satu antara sinus sphenoidalis atau sinus frontalis, ) Derajat apabila di semua sinus paranasalis terdapat 0 kelainan. alergi dibedakan 1) alergi positif/(+) yang berarti subyek menderita rinitis alergi, ) alergi negatif/(-) yang berarti subyek tidak menderita rinitis alergi. Analisis cdigunakan untuk menghitung perbedaan proporsi variabel (skala nominal yaitu jenis kelamin, ada tidaknya polip nasi, jenis polip nasi, ada tidaknya riwayat alergi) 0 CDK 1 / vol. no. / Agustus - September 0
menurut kelompok terapi. Uji cmantel- Haenszel digunakan untuk menganalisis variabel (skala ordinal umur, derajat polip nasi, luasnya penyakit) menurut kelompok terapi. Uji t tidak berpasangan untuk menguji perbedaan rerata skor kualitas hidup antara kelompok bedah konvensional dengan kelompok bedah sinus endoskop. Selanjutnya dilakukan analisis variabel yang mempengaruhi kualitas hidup menggunakan analisis regresi logistik. Hasil Dan Pembahasan Penelitian dilakukan mulai Maret 00 sampai dengan Maret 00. Subyek terdiri dari laki-laki, perempuan dengan umur tertua 1 tahun, termuda tahun dengan rerata umur,0±1,0 (tabel 1). Tidak terdapat perbedaan karakteristik yang bermakna pada kedua kelompok terapi (p>0.0). Pengukuran kualitas hidup dilakukan minimum enam bulan pasca-bedah menggunakan SNOT 0. Hasilnya dapat dilihat pada tabel. Kelompok konvensional secara keseluruhan mempunyai rerata skor kualitas hidup lebih rendah (1,1 ±,) dibandingkan rerata skor kelompok BSE (1,±,), tetapi perbedaannya tidak bermakna (p>0,0) untuk seluruh item (tabel ). Pada item tentang tidur tidak nyenyak terdapat perbedaan bermakna (p=0,0) antara kelompok konvensional (rerata skor 0,1 ± 0,0) dan kelompok BSE (rerata skor 1,0 ± 0,). Skor SNOT 0 paling kecil adalah,0 dan paling besar,0 dengan rerata 1, ±,1. Jika diasumsikan rerata skor 1 sebagai batas perhitungan untuk menentukan kualitas hidup maka kualitas hidup baik jika rerata skor SNOT 0 <1 dan kualitas hidup jelek jika rerata skor SNOT 0 ³1. Kualitas hidup menurut jenis variabel dapat dilihat pada tabel. Tabel 1. Karakteristik subyek menurut kelompok terapi Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur (tahun) 1 - - - - > Ada tidaknya (+) (-) Jenis Unilateral Bilateral Derajat Tanpa polip Derajat Luas Penyakit Derajat 0 Derajat Derajat Alergi R. alergi (+) R. alergi (-) ** Uji cmantel-haenzel 1........... 1.. 1. 1.. 1. 1. 1. 0. Usaha mengeluarkan ingus Bersin-bersin Ingus encer di hidung Batuk-batuk Lendir di tenggorokan Ingus kental di hidung Telinga tersumbat Pusing, nggliyer Nyeri daerah telinga Nyeri daerah wajah Susah tidur Terbangun malam hari Tidur tidak nyenyak Lelah saat bangun tidur Badan terasa lelah Tidak bisa bekerja Tidak bisa memusatkan perhatian Perasaan putus asa Perasaan sedih,susah Perasaan malu,rendah diri *Uji t tidak berpasangan. Konvensional N % 1 1, 1, 1 1 0 1 1 1 1,,,1 1, 1,,1 1,0,0,,,0,, 1, 0,0,,,, 1,, BSE Nilai p N % N % 1,1, 1, 0, 0,*,,1,,, 1,, 1, 0,**, 1, 1,0 1, 1,, 1,,1 0,1*, 1,, 1, 0,* 1,,1 0 0,0 1 1,, 1 0, 0,* 1, 1 0, 0 0,0 0 0,0 1,, 1, 1,0 0,**,, 0 0,0 1 1, 1, 0,,, 0,* Tabel. Perbandingan rerata skor masing-masing item SNOT 0 menurut kelompok terapi. SNOT 0 (rerata ± SD) 1, ± 0, 0, ± 0, 1,1 ± 0, 0,1 ± 0, 1,1 ± 0, 1, ± 0, 0,1 ± 0, 0, ± 1.0 0,1 ± 0,0 1,1 ± 1,0 0,1 ± 0, 0, ± 0, 0,1 ± 0,0 0, ± 0, 1,00 ± 0, 0,1 ± 0, 0,0 ± 0, 0,1 ± 0, 0,1 ± 0, 0, ± 0, BSE (rerata ± SD) 1,0 ± 0,0 1, ± 0, 1, ± 0,0 1, ± 0, 1, ± 0, 1,0 ± 0, 0, ± 0, 1,0 ± 1,0 0,1 ± 0, 0,0 ± 0, 0,0 ± 0, 0, ± 0, 1,0 ± 0, 1, ± 0, 1, ± 0, 0, ± 0, 0,1 ± 0, 0, ± 0,0 0,1 ± 0, 0, ± 0, Perbedaan rerata 0,1 0,1 0,0 0, 0, 0, 0, 0,0 0,00 0, 0,1 0, 0, 0, 0,0 0,0 0,0 0,0 0,00 0, p* 0, 0,0 0, 0,1 0, 0, 0, 0, 1,000 0, 0, 0, 0,0 0,00 0, 0,0 0, 0, 1,000 0, CDK 1 / vol. no. / Agustus - September 0 1
Tabel. Kualitas hidup menurut jenis variabel Jenis kelamin Umur (tahun) Ada tidaknya Jenis Derajat Luas Penyakit Alergi Kel Terapi Variabel Laki-laki Perempuan 1 - - - - > (+) (-) Unilateral Bilateral Tanpa polip Derajat Derajat 0 Derajat Derajat R. alergi (+) R. alergi (-) Konvensional BSE ** Uji cmantel-haenzel N % N % N % 1 1, 1,, 1,,,, 0,,1,0,,,,0 0,,,1 0, 0,0, 1, 1, 1,0 1,, 1,, 1,,,1 1,, 1, 1,, 1, 1,,,0 0 0,0 1, 1 1, 1,, 1 0, 1,, 1 0, 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1,,,, 0, 1,0,0,, 0 0,0 1, 1 1,,, 0, 0,,, 0,, 1 0,0, 1, 1 0,0 Nilai p 0,00* 0,0** 0,0* 0,* 0,** 0,** 0,001* 0,0* Kelompok konvensional dengan riwayat alergi (+) dengan rasio prevalensi 1, (%KI 1, - tak terhingga) lebih berisiko mendapatkan kualitas hidup jelek dibandingkan kelompok BSE dengan riwayat alergi (+) dengan rasio prevalensi, (%KI 1,1-,) (tabel dan ). Hal ini mungkin karena pada bedah konvensional risiko kerusakan jaringan dan pembuangan jaringan sehat lebih besar, timbulnya jaringan parut lebih besar, pemulihan mucociliary clearance lebih sedikit sehingga fungsi drainase lebih jelek. Subanalisis kualitas hidup pada masingmasing kelompok : c). Kualitas hidup pada riwayat alergi (+) pada masing-masing kelompok terapi Pada sampel dengan riwayat alergi (+), kualitas hidup kelompok BSE dan konvensional tidak berbeda bermakna (p=0,1) dengan rasio prevalensi 1,1 (% KI 0,0-1,) (tabel ). Tabel. Kualitas hidup pada riwayat alergi (+) alergi (+) Kel BSE (,) (,) (0) (,) (,) (0) 0,1 Tidak ada perbedaan bermakna kualitas hidup menurut jenis kelamin (p= 0,00), umur (p= 0,0), ada tidaknya polip nasi (p=0,0), jenis polip nasi (p=0,), derajat polip nasi (p=0,) dan menurut luas penyakit (p=0,) dan jenis terapi (p=0,0). Ada perbedaan bermakna kualitas hidup penderita RSK pasca terapi bedah menurut riwayat alergi (p= 0,001). a). Kualitas hidup kelompok BSE menurut riwayat alergi Rasio prevalensi riwayat alergi terhadap kualitas hidup pada kelompok BSE adalah, (% KI 1,1-,). Terdapat perbedaan bermakna kualitas hidup antara penderita dengan riwayat alergi dibanding tanpa alergi pada kelompok BSE (p=0,0). Dapat disimpulkan pada kelompok BSE, riwayat alergi (+) merupakan faktor risiko untuk kualitas hidup jelek (tabel ). Tabel. Kualitas hidup kelompok terapi BSE menurut riwayat alergi alergi R. Alergi (+) R. Alergi (-) (,) (,) 1(0) (,) (,) (0) 0,0 b). Kualitas hidup kelompok konvensional menurut riwayat alergi Rasio prevalensi riwayat alergi terhadap kualitas hidup pada kelompok konvensional adalah 1, (% KI 1, tak terhingga). Terdapat perbedaan bermakna kualitas hidup antara penderita dengan riwayat alergi dibanding tanpa alergi pada kelompok konvensional p=0,00. Pada kelompok konvensional, riwayat alergi (+) merupakan faktor risiko untuk kualitas hidup jelek (tabel ). Tabel. Kualitas hidup kelompok terapi konvensional menurut riwayat alergi alergi R. Alergi (+) R. Alergi (-),(,) 0,(,) (0),(,),(,) 0(0) 0,00 d). Kualitas hidup pada riwayat alergi (-) pada masing-masing kelompok terapi Pada sampel tanpa riwayat alergi, kualitas hidup kelompok BSE dan konvensional juga tidak berbeda bermakna (p=0,) dengan rasio prevalensi, (% KI 0, - tak terhingga) (tabel ). Tabel. alergi (-) alergi (-) Kel BSE Kualitas hidup pada riwayat,(,) 0,(,) (0),(,),(,) 0(0) 0, Analisis variabel yang mempengaruhi kualitas hidup dilakukan dengan regresi logistik (tabel ). Variabel yang berpengaruh bermakna terhadap kualitas hidup adalah riwayat alergi (p=0,0, adjor,; % KI 1,1-,0) dan umur (p=0,0. adjor,00; % KI 1,1-,). Tidak ada perbedaan bermakna kualitas hidup berdasarkan CDK 1 / vol. no. / Agustus - September 0
SNOT 0 di antara yang menjalani terapi bedah sinus endoskopi dibandingkan dengan yang menjalani bedah konvensional. Tabel. Hasil analisis regresi logistik pengaruh variabel terhadap kualitas hidup alergi Umur Jenis kelamin Ada tidaknya polip nasi Jenis polip nasi Derajat polip nasi Luas penyakit Jenis terapi Variabel Hasil ini mungkin karena antara lain, metode pengukuran kualitas hidup sebagai variabel tergantung hanya dilaksanakan sekali sesudah terapi bedah, sehingga perubahan kualitas hidup masing-masing kelompok tidak dapat diketahui. Hasilnya mungkin berbeda jika pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah terapi bedah, sehingga perubahan kualitas hidup dapat diketahui, baik di kelompok konvensional maupun kelompok BSE. Guyat dan Jaeschke () menyarankan pengukuran kualitas hidup dilakukan sebelum terapi, saat dilakukan program terapi, akhir program terapi atau titik waktu 1 tertentu seperti 1,,,1, bulan. Pada penelitian ini pemberian obat-obatan sebelum maupun sesudah terapi bedah tidak bisa dikendalikan. Obat-obatan merupakan variabel luar yang dapat mempengaruhi kualitas hidup subyek; dapat meliputi antibiotika, steroid lokal maupun sistemik, (ß) Nilai p AdjOR % CI,,0,0 1, -,0 1, -, 0,0 0,0 0,01 0,1 0,0 0,1 0, 0,0,,00 0, 0, 0,1,01 0,, 1,1-,0 1,1-, 0,1-, 0,-,0 0,0-, 0,-, 0,0-1, 0,-,0 dekongestan, anti-histamin maupun obatobatan lain yang diminum oleh subyek. Variasi operator pada penelitian ini juga tidak bisa dikendalikan. Variasi operator merupakan variabel luar yang dapat mempengaruhi variabel bebas (bedah sinus endoskopi, bedah konvensional). Variasi operator meliputi operatornya sendiri yang terdiri dari ahli THT (spesialis THT) dan residen THT, ketrampilan dan pengalaman operator. Ketidaktaatan pasien dan tidak seragamnya saat kontrol menyulitkan evaluasi hasil pengobatan; sebagian besar pasien tidak kontrol jika keluhan berkurang atau tidak ada keluhan serta alasan ekonomi. Evaluasi dan follow up pasca-terapi bedah pada penderita RSK sangat diperlukan untuk menentukan saat keberhasilan terapi dan kemungkinan komplikasi yang terjadi. Penanganan faktor risiko seperti rinitis alergi pada penderita rinosinusitis kronik pasca terapi bedah sangat perlu untuk mendukung keberhasilan terapi bedah. Belum optimalnya penanganan alergi pasca-terapi bedah menyebabkan penderita RSK dengan rinitis alergi mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibandingkan penderita RSK tanpa rinitis alergi. Simpulan & Saran Tidak ada perbedaan kualitas hidup berdasarkan SNOT 0 pada penderita rinosinusitis kronik yang menjalani terapi bedah sinus endoskopi dibandingkan dengan yang menjalani bedah konvensional. Perlu penanganan faktor alergi secara holistik pada penderita RSK pasca-terapi bedah dan penelitian longitudinal (cohort prospective) dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien RSK pasca-terapi bedah, seperti penggunaan obat-obatan, saat follow up, variasi operator dan faktor risiko. DAFTAR PUSTAKA 1. Hilger PA. Penyakit sinus paranasalis. Dalam : Boies Buku Ajar penyakit THT; Effendi H ed. th ed. Jakarta. EGC: 1.. Benninger MS, Poole M, Ponikau J. Adult chronic rhinosinusitis: definitions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head Neck Surg 00;1S(suppl): S1-.. Lanza DC. Diagnosis of chronic rhinosinusitis. Ann. Otorhinolaryngol. 00; 1: -.. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis : diagnosis and management. Am. Fam. Physician 001;1-.. Anand VK, Epidemiologic and economic impact of rhinosinusitis. (Ann Otol Rhinol Laryngol Suppl. 00; : -.. Sucipto D.. Temuan sinuskopi pada pasien sinusitis maksilaris kronis. Kongres Nasional Perhati XI. Jogjakarta;1 :1-.. Suyitno S. Sinusitis maksila pada anak di RSUP DR. Kariadi Semarang. Kumpulan makalah Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) PERHATI-KL. Malang.;-.. RSUP Dr. Sardjito. Data rekam medis RSUP Dr Sardjito Jogjakarta. 00.. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam Soepardi EA dan Iskandar NI (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala dan Leher. th ed FKUI, Jakarta. 001:-.. Lanza DC, Kennedy DW. Adult rhinosinusitis defined. Report of the rhinosinusitis task force committee meeting. Otolaryngol Head Neck Surg (suppl). 1;:-.. Browne JP, Hopkins C, Slack R,Topham J, Reeves B. Health related quality of life after polypectomy with and without additional surgery. Laryngoscope 00;: 0. 1. Cauwenberge PV, Watelet JB. Epidemiology of chronic rhinosinusitis. Thorax 000; (Suppl ): S0 1.. Campbell GD. Pathophysiology of rhinosinusitis. In : Adult chronic sinusitis and its complication. Pulmonary and Critical Update (PCCU) 00;:0-. 1. Leopold D,Ferguson BJ, Piccirillo JF. Outcomes assessment.otolaryngol Head Neck Surg. 1; : S-. 1. Piccirillo JF, Merritt MG, Richards ML.Psychometric and clinimetric validity of the 0 item sinonasal outcome test (SNOT-0). Otolaryngol Head Neck Surg.00;:1-.. Deal RT, Stilianos E, Kountakis SE. Significance of nasal polyps in chronic rhinosinusitis: Symptoms and surgical outcomes. Laryngoscope. 00; (): -. 1. Salhab M, Matai V, Salam MA. The Impact of functional endoscopic sinus surgery on health status. Rhinology. 00;():-. 1. Rudnick EF, Mitchell RB. Improvement in quality of life in children after surgical therapy for sinonasal disease.otolaryngol Head Neck Surg.00;:-0. 1. Lameshow S, Hosmer Jr, DW, Klar J, Lwanga SK. Besar sampel dalam penelitian kesehatan (terj). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.. 0. Gliklich R, Metson R. A comparison of sinus computed tomography (CT) staging systems for outcomes research. Am J Rhinol.1;:1. 1. Guyatt GH, Jaeschke R. Measurement in clinical trials: choosing the appropriate approach. In: Spilker (ed) Quality of life assessment in clinical trials. Raven Press, Ltd. New York... CDK 1 / vol. no. / Agustus - September 0