Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB 4 METODE PENELITIAN

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang keilmuan penelitian ini adalah ilmu anestesiologi dan terapi intensif.

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bells Palsy adalah kelumpuhan atau kerusakan pada nervus facialis

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

Adaptasi Budaya, Alih Bahasa Indonesia, dan Validasi Sino-Nasal Outcome Test (SNOT)-22

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Saraf. Penelitian dilakukan di Bangsal Rawat Inap Penyakit Saraf RS Dr.

BAB 4 METODE PENELITIAN. Semarang, dimulai pada bulan Mei 2014 sampai dengan Juni 2014.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. belah lintang (cross sectional) untuk mengetahui korelasi antara faktor-faktor

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

BAB IV METODE PENELITIAN. Dalam, Sub Bagian Gastroenterohepatologi.

IZRY NAOMI A. L. TOBING NIM

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan profil kesehatan provinsi Daerah Istimewa. Yogyakarta tahun 2012, penyakit infeksi masih menduduki 10

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama penyebab

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di RSUP Dr. Kariadi Semarang bagian saraf dan rehabilitasi medik

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

BAB IV METODE PENELITIAN

GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Bedah Kepala dan Leher subbagian Neuro-otologi. Perawatan Bayi Resiko Tinggi (PBRT) dan Neonatal Intensive Care Unit (NICU)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Penyakit Saraf.

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

BAB I PENDAHULUAN. sekitar 8,2 juta orang. Berdasarkan Data GLOBOCAN, International Agency

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah ilmu penyakit saraf dan radiologi.

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dari penelitian adalah mencakup bidang Ilmu

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 3 METODE PENELITIAN. Desain penelitian : prospektif dengan pembanding internal. U1n. U2n

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering dari semua

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam. Semarang Jawa Tengah. Data diambil dari hasil rekam medik dan waktu

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. : Ilmu penyakit kulit dan kelamin. : Bagian rekam medik Poliklinik kulit dan kelamin RSUP Dr.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr.Kariadi Semarang setelah ethical

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian ini dilakukan adalah RSUP Dr. Kariadi Semarang.

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1. Diajukan Oleh : RIA RIKI WULANDARI J

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. global yang harus segera ditangani, karena mengabaikan masalah mata dan

BAB IV METODE PENELITIAN. khususnya sub bidang geriatri dan ilmu manajemen rumah sakit. Kariadi Semarang, Jawa Tengah. sampai jumlah sampel terpenuhi.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dijumpai di tempat

Studi Perilaku Kontrol Asma pada Pasien yang tidak teratur di Rumah Sakit Persahabatan

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

: PPDS THT FK-USU (Asisten Ahli) : Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan. A. Nama : dr. Siti Nursiah, Sp. THT-KL NIP :

Transkripsi:

Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah M. Roikhan Harowi, Soepomo Soekardono, Bambang Udji Djoko R, Anton Christanto Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia ABSTRAK Rinosinusitis kronik (RSK) adalah peradangan mukosa hidung dan mukosa sinus paranasalis yang berlangsung selama 1 minggu. RSK secara nyata menurunkan kualitas hidup akibat obstruksi hidung dan iritasi, gangguan penghidu, gangguan tidur dan gejala pilek yang persisten. Meskipun terapi bedah dapat mengurangi kejadian rekurensi infeksi, namun efeknya pada kualitas hidup penderita sedikit diketahui. Perbaikan RSK setelah bedah sinus endoskopi (BSE) dilaporkan sangat baik hingga mencapai %. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan kualitas hidup penderita RSK yang menjalani bedah konvensional dengan yang menjalani bedah sinus endoskopi. Penelitian menggunakan desain analisis cross sectional pada pasien RSK yang telah menjalani terapi bedah. Penderita dibedakan menjadi kelompok bedah konvensional dan kelompok bedah sinus endoskopi. Masing-masing kelompok berjumlah 1 orang. Kualitas hidup dibandingkan pada minimal bulan pasca-bedah menggunakan Sinonasal Outcome Test 0. Data dianalisis menggunakan uji X dan uji X Mantel Haenzel. Tidak ada perbedaan karakteristik subyek menurut kelompok terapi (p>0,0). Ada perbedaan bermakna kualitas hidup menurut riwayat alergi (p=0,001). Tidak ada perbedaan rerata skor masing-masing item SNOT 0 menurut kelompok terapi (p>0,0). Hasil analisis regresi logistik menunjukkan ada perbedaan kualitas hidup menurut umur (p=0,0 % CI 1,1-,) dan menurut riwayat alergi (p=0,0 % CI 1,1-,0). Tidak ada perbedaan kualitas hidup penderita RSK yang menjalani bedah konvensional dengan BSE (p=0,0 % CI 0,-,0) Simpulan : Tidak ada perbedaan kualitas hidup berdasarkan SNOT 0 penderita RSK yang menjalani bedah sinus endoskopi dibandingkan bedah konvensional. Kata kunci : rinosinusitis kronik, kualitas hidup, SNOT 0, terapi bedah sinus Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik didefinisikan sebagai gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus paranasalis dan pada mukosa hidung yang telah mengalami perubahan reversibel maupun irreversible dengan berbagai etiologi dan faktor predisposisi dan 1,, berlangsung lebih dari 1 minggu RSK masih merupakan tantangan dan masalah dalam praktek umum maupun spesialis mengingat anatomi, etiologi serta penanganannya yang kompleks. Kekerapan rinosinusitis bervariasi. Di Eropa, RSK diperkirakan terjadi pada %-0% populasi. Di Amerika tahun 1, RSK diperkirakan terjadi pada % populasi dewasa. Di RSCM (1), RSK merupakan,% dari seluruh kunjungan poliklinik ; di RS Dr Karyadi Semarang, sebesar,%. Di RS Dr Sardjito Yogyakarta selama tahun 000-00 frekuensi penderita RSK,%-,%. Garis besar penatalaksanaan RSK terbagi dua : konservatif dan operatif. Penatalaksanaan operatif RSK meliputi bedah konvensional, bedah sinus endoskopi, bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Penatalaksanaan bedah konvensional seperti antrostomi, Caldwell-Luc, etmoidektomi intranasal kadang-kadang menimbulkan jaringan parut di bekas lubang yang dibuat selain di lubang fungsional sehingga akan mengakibatkan fokus infeksi baru pada sinus. Seluruh mukosa sinus dapat ikut terangkat saat operasi sehingga seluruh silia akan terbuang. Hal ini menimbulkan masalah baru berupa hilangnya fungsi drainase akibat hilangnya silia. Teknik operasi sinus terus dikembangkan terutama bedah sinus endoskopi (BSE) maupun bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Pada bedah sinus menggunakan endoskopi, lapangan pandang operasi dan pengontrolan tindakan bedah dapat lebih baik dan pembuangan berlebihan jaringan dapat dihindari. Keuntungan bedah endoskopi adalah tidak ada luka kulit dan tulang, trauma intranasal dan intrasinus kecil, trauma daerah resesus frontalis dapat dicegah, anatomi daerah hidung dapat terlihat jelas serta mencegah kerusakan membran mukosa sehingga mucociliary clearance normal. Rinosinusitis kronis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup akibat gejala lokal seperti nyeri kepala, sekresi hidung dan sumbatan hidung, gangguan penghidu, kesulitan tidur dan juga akibat kelemahan umum RSK akan menurunkan produktivitas dan kehilangan juta hari kerja atau 1 sekitar % hari kerja penduduk produktif. RSK dengan polip nasi secara signifikan akan menurunkan kualitas hidup akibat obstruksi dan iritasi hidung, gangguan penghidu, kesulitan tidur dan gejala pilek persisten. Di Amerika (), pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan rinosinusitis memerlukan biaya, milyar dollar;,% (sekitar, milyar dollar) berkaitan dengan RSK. Penilaian penatalaksanaan RSK menyangkut kualitas hidup sangat penting dan terus dikembangkan, ditandai dengan banyaknya alat ukur yang telah divalidasi, antara lain kuesioner kualitas hidup rinokonjungtivitis, rhinosinusitis outcome measure, sinonasal outcome test 0 (SNOT 0), chronic rhinosinusitis survey (CRS) dan rhinosinusitis 1 disability index (RSDI). SNOT (Sinonasal Outcome Test) 0 sebagai alat ukur kualitas hidup pada RSK telah luas digunakan, dikembangkan dari RSOM 1 untuk kemudahan penggunaan dan penilaian. SNOT 0 berisi 0 pertanyaan menyangkut gejala dan dampak sosial CDK 1 / vol. no. / Agustus - September 0

emosional rinosinusitis. SNOT 0 memiliki konsistensi internal baik (Cronbach alpha = 0,0), tes re-tes reliabilitas menunjukkan tingkat korelasi tinggi antara dan minggu dengan p< 0,0001, dan responsivitas 1 moderat (0,). Keunggulan lain SNOT 0 yaitu waktu pengisian singkat sekitar - 1 menit dan format ringkas. Deal et al.(00) secara retrospektif meneliti 01 penderita RSK dengan polip nasi maupun tanpa polip nasi yang menjalani tindakan bedah. Hasil skor subyektif SNOT 0 serta gambaran CT scan dibandingkan menggunakan sistem skor Lund Mackay sebelum dan sesudah pembedahan. Pada kelompok tanpa polip nasi rerata skor SNOT 0, sebelum operasi dengan perbaikan,1 pada bulan pasca-operasi dan,0 pada 1 bulan pasca-operasi (perbaikan %). Pada kelompok dengan polip nasi rerata skor SNOT 0, sebelum operasi dengan perbaikan, pada bulan pasca-operasi dan,1 pada 1 bulan pasca-operasi (perbaikan 1% p = 0,00). mem- punyai pengaruh negatif pada pasien RSK. Salhab et al.(00) di Saudi Arabia, dengan desain potonglintang meneliti penderita RSK polip nasi maupun tanpa polip nasi yang telah menjalani bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Pengukuran kualitas hidup menggunakan Glasgow Benefit Inventory (GBI) meliputi subskala skor umum (General Subscale Score), subskala skor sosial (Social Subsacle Score), dan skor kesehatan fisik (Physical Health Score). Perbandingan total skor GBI dan subskala skor umum, mengindikasikan keuntungan lebih besar pada RSK dengan polip nasi (p = 0,0 dan p 1 = 0,0). Browne et al. (00) di Inggris, dengan desain potonglintang membandingkan kualitas hidup pasien RSK yang menjalani simple polipektomi dengan yang menjalani polipektomi dan pembedahan tambahan (additional surgery). Kualitas hidup pasien diukur 1 bulan dan bulan sesudah pembedahan. Perbedaan skor SNOT 0 adalah 0, ; %CI :-,1 - +1, p = 0,. Pada bulan setelah pembedahan perbedaan skor SNOT 0 adalah -,1 ; %CI :-, - +0, p = 0,0. Rudnick et al.(00) dengan desain kohort prospektif membandingkan kualitas hidup 1 penderita RSK anak yang menjalani adenoidektomi dan bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Kualitas hidup diukur dengan SN- yang berisi domain infeksi sinus, sumbatan hidung, gejala alergi, gangguan emosional dan pembatasan aktivitas, sebelum pembedahan dan bulan sesudah pembedahan. Rerata skor SN- sebelum pembedahan, dan sesudah pembedahan 1,0 (p > 0,001), perubahan skor, (%CI :, 1,1) dan rerata respon standar (SRM) 1,. Ada perbedaan bermakna antara masing-masing gejala sebelum dan sesudah pembedahan. Dari penelitian ini disimpulkan adenoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional memperbaiki kualitas hidup anak dengan 1 RSK. Penelitian penulis berbeda dari penelitianpenelitian di atas, karena meneliti perbedaan kualitas hidup penderita RSK yang menjalani terapi bedah sinus endoskopi dibanding dengan yang menjalani bedah konvensional menggunakan alat ukur Sinonasal Outcome Test (SNOT)0. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan analytic cross sectional untuk menentukan perbedaan kualitas hidup penderita rinosinusitis kronik yang menjalani bedah sinus endoskopi dibandingkan dengan yang menjalani bedah konvensional. Populasi target penelitian ini adalah penderita rinosinusitis kronik. Populasi terjangkau adalah penderita rinosinusitis kronik yang sembuh setelah menjalani terapi bedah sinus endoskopi maupun bedah konvensional. Kriteria inklusi : penderita rinosinusitis kronik dengan maupun tanpa polip nasi yang telah menjalani terapi bedah satu kali, minimal bulan, klinis sudah dinyatakan sembuh, bersedia mengikuti penelitian dengan menjawab kuesioner SNOT 0. Kriteria eksklusi jika terdiagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasalis, status rekam medis tidak lengkap. Besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis beda mean satu sisi karena dianggap terapi bedah konvensional mempunyai skor SNOT 0 lebih tinggi 1 dibanding terapi bedah sinus endoskopi dengan = 0,0, dan =0,0 (Lemeshow et al. ), didapatkan hasil 0,. Dibutuhkan 1 sampel untuk masing-masing kelompok. Variabel bebas penelitian ini adalah tindakan bedah yang dibedakan menjadi (a) bedah konvensional yang meliputi antrostomi, polipektomi, Caldwell Luc, etmoidektomi intranasal (b) Bedah sinus endoskopi. Variabel tergantung adalah kualitas hidup. Kualitas hidup diukur menggunakan SNOT 0 yang dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, berupa skor kualitas hidup dengan skala Likert yang ditansformasi ke skala kontinu. Skor tertinggi adalah 0 dan skor terendah 0. Ditentukan rerata skor SNOT 0. Variabel yang dapat mempengaruhi variabel tergantung dalam penelitian ini antara lain jenis kelamin, umur, ada tidaknya polip nasi, jenis polip nasi, derajat polip nasi, luas penyakit, riwayat alergi. Jenis kelamin terdiri 1) pria, ) wanita. Umur dibedakan menjadi : 1) kurang dari 1 tahun, ) - tahun, ) - tahun, ) - tahun, ) - tahun, ) di atas tahun. Ada tidaknya polip nasi dibedakan 1) RSK dengan polip nasi/polip nasi (+), ) RSK tanpa polip nasi/polip nasi (-). Derajat polip nasi dibedakan 1) Tanpa polip nasi, apabila tidak terdapat polip nasi, ) apabila ditemukan polip nasi terbatas pada meatus media, ) Derajat apabila ditemukan polip nasi sudah keluar dari meatus media tetapi belum menyebabkan obstruksi kavum nasi, ) apabila ditemukan polip nasi sudah keluar dari meatus media dan menyebabkan obstruksi kavum nasi. Luas penyakit didasarkan pada hasil CT scan sinus paranasalis menurut Glicklich (1) dibagi menjadi tingkat, 1) Derajat 0 apabila terdapat penebalan mukosa kurang dari mm di sebarang sinus, ) apabila ditemukan kelainan unilateral, ) Derajat apabila terdapat kelainan bilateral pada sinus ethmoidalis atau sinus maksilaris saja, ) apabila kelainan pada sinus ethmoidalis dan sinus maksilaris dan salah satu antara sinus sphenoidalis atau sinus frontalis, ) Derajat apabila di semua sinus paranasalis terdapat 0 kelainan. alergi dibedakan 1) alergi positif/(+) yang berarti subyek menderita rinitis alergi, ) alergi negatif/(-) yang berarti subyek tidak menderita rinitis alergi. Analisis cdigunakan untuk menghitung perbedaan proporsi variabel (skala nominal yaitu jenis kelamin, ada tidaknya polip nasi, jenis polip nasi, ada tidaknya riwayat alergi) 0 CDK 1 / vol. no. / Agustus - September 0

menurut kelompok terapi. Uji cmantel- Haenszel digunakan untuk menganalisis variabel (skala ordinal umur, derajat polip nasi, luasnya penyakit) menurut kelompok terapi. Uji t tidak berpasangan untuk menguji perbedaan rerata skor kualitas hidup antara kelompok bedah konvensional dengan kelompok bedah sinus endoskop. Selanjutnya dilakukan analisis variabel yang mempengaruhi kualitas hidup menggunakan analisis regresi logistik. Hasil Dan Pembahasan Penelitian dilakukan mulai Maret 00 sampai dengan Maret 00. Subyek terdiri dari laki-laki, perempuan dengan umur tertua 1 tahun, termuda tahun dengan rerata umur,0±1,0 (tabel 1). Tidak terdapat perbedaan karakteristik yang bermakna pada kedua kelompok terapi (p>0.0). Pengukuran kualitas hidup dilakukan minimum enam bulan pasca-bedah menggunakan SNOT 0. Hasilnya dapat dilihat pada tabel. Kelompok konvensional secara keseluruhan mempunyai rerata skor kualitas hidup lebih rendah (1,1 ±,) dibandingkan rerata skor kelompok BSE (1,±,), tetapi perbedaannya tidak bermakna (p>0,0) untuk seluruh item (tabel ). Pada item tentang tidur tidak nyenyak terdapat perbedaan bermakna (p=0,0) antara kelompok konvensional (rerata skor 0,1 ± 0,0) dan kelompok BSE (rerata skor 1,0 ± 0,). Skor SNOT 0 paling kecil adalah,0 dan paling besar,0 dengan rerata 1, ±,1. Jika diasumsikan rerata skor 1 sebagai batas perhitungan untuk menentukan kualitas hidup maka kualitas hidup baik jika rerata skor SNOT 0 <1 dan kualitas hidup jelek jika rerata skor SNOT 0 ³1. Kualitas hidup menurut jenis variabel dapat dilihat pada tabel. Tabel 1. Karakteristik subyek menurut kelompok terapi Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur (tahun) 1 - - - - > Ada tidaknya (+) (-) Jenis Unilateral Bilateral Derajat Tanpa polip Derajat Luas Penyakit Derajat 0 Derajat Derajat Alergi R. alergi (+) R. alergi (-) ** Uji cmantel-haenzel 1........... 1.. 1. 1.. 1. 1. 1. 0. Usaha mengeluarkan ingus Bersin-bersin Ingus encer di hidung Batuk-batuk Lendir di tenggorokan Ingus kental di hidung Telinga tersumbat Pusing, nggliyer Nyeri daerah telinga Nyeri daerah wajah Susah tidur Terbangun malam hari Tidur tidak nyenyak Lelah saat bangun tidur Badan terasa lelah Tidak bisa bekerja Tidak bisa memusatkan perhatian Perasaan putus asa Perasaan sedih,susah Perasaan malu,rendah diri *Uji t tidak berpasangan. Konvensional N % 1 1, 1, 1 1 0 1 1 1 1,,,1 1, 1,,1 1,0,0,,,0,, 1, 0,0,,,, 1,, BSE Nilai p N % N % 1,1, 1, 0, 0,*,,1,,, 1,, 1, 0,**, 1, 1,0 1, 1,, 1,,1 0,1*, 1,, 1, 0,* 1,,1 0 0,0 1 1,, 1 0, 0,* 1, 1 0, 0 0,0 0 0,0 1,, 1, 1,0 0,**,, 0 0,0 1 1, 1, 0,,, 0,* Tabel. Perbandingan rerata skor masing-masing item SNOT 0 menurut kelompok terapi. SNOT 0 (rerata ± SD) 1, ± 0, 0, ± 0, 1,1 ± 0, 0,1 ± 0, 1,1 ± 0, 1, ± 0, 0,1 ± 0, 0, ± 1.0 0,1 ± 0,0 1,1 ± 1,0 0,1 ± 0, 0, ± 0, 0,1 ± 0,0 0, ± 0, 1,00 ± 0, 0,1 ± 0, 0,0 ± 0, 0,1 ± 0, 0,1 ± 0, 0, ± 0, BSE (rerata ± SD) 1,0 ± 0,0 1, ± 0, 1, ± 0,0 1, ± 0, 1, ± 0, 1,0 ± 0, 0, ± 0, 1,0 ± 1,0 0,1 ± 0, 0,0 ± 0, 0,0 ± 0, 0, ± 0, 1,0 ± 0, 1, ± 0, 1, ± 0, 0, ± 0, 0,1 ± 0, 0, ± 0,0 0,1 ± 0, 0, ± 0, Perbedaan rerata 0,1 0,1 0,0 0, 0, 0, 0, 0,0 0,00 0, 0,1 0, 0, 0, 0,0 0,0 0,0 0,0 0,00 0, p* 0, 0,0 0, 0,1 0, 0, 0, 0, 1,000 0, 0, 0, 0,0 0,00 0, 0,0 0, 0, 1,000 0, CDK 1 / vol. no. / Agustus - September 0 1

Tabel. Kualitas hidup menurut jenis variabel Jenis kelamin Umur (tahun) Ada tidaknya Jenis Derajat Luas Penyakit Alergi Kel Terapi Variabel Laki-laki Perempuan 1 - - - - > (+) (-) Unilateral Bilateral Tanpa polip Derajat Derajat 0 Derajat Derajat R. alergi (+) R. alergi (-) Konvensional BSE ** Uji cmantel-haenzel N % N % N % 1 1, 1,, 1,,,, 0,,1,0,,,,0 0,,,1 0, 0,0, 1, 1, 1,0 1,, 1,, 1,,,1 1,, 1, 1,, 1, 1,,,0 0 0,0 1, 1 1, 1,, 1 0, 1,, 1 0, 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1,,,, 0, 1,0,0,, 0 0,0 1, 1 1,,, 0, 0,,, 0,, 1 0,0, 1, 1 0,0 Nilai p 0,00* 0,0** 0,0* 0,* 0,** 0,** 0,001* 0,0* Kelompok konvensional dengan riwayat alergi (+) dengan rasio prevalensi 1, (%KI 1, - tak terhingga) lebih berisiko mendapatkan kualitas hidup jelek dibandingkan kelompok BSE dengan riwayat alergi (+) dengan rasio prevalensi, (%KI 1,1-,) (tabel dan ). Hal ini mungkin karena pada bedah konvensional risiko kerusakan jaringan dan pembuangan jaringan sehat lebih besar, timbulnya jaringan parut lebih besar, pemulihan mucociliary clearance lebih sedikit sehingga fungsi drainase lebih jelek. Subanalisis kualitas hidup pada masingmasing kelompok : c). Kualitas hidup pada riwayat alergi (+) pada masing-masing kelompok terapi Pada sampel dengan riwayat alergi (+), kualitas hidup kelompok BSE dan konvensional tidak berbeda bermakna (p=0,1) dengan rasio prevalensi 1,1 (% KI 0,0-1,) (tabel ). Tabel. Kualitas hidup pada riwayat alergi (+) alergi (+) Kel BSE (,) (,) (0) (,) (,) (0) 0,1 Tidak ada perbedaan bermakna kualitas hidup menurut jenis kelamin (p= 0,00), umur (p= 0,0), ada tidaknya polip nasi (p=0,0), jenis polip nasi (p=0,), derajat polip nasi (p=0,) dan menurut luas penyakit (p=0,) dan jenis terapi (p=0,0). Ada perbedaan bermakna kualitas hidup penderita RSK pasca terapi bedah menurut riwayat alergi (p= 0,001). a). Kualitas hidup kelompok BSE menurut riwayat alergi Rasio prevalensi riwayat alergi terhadap kualitas hidup pada kelompok BSE adalah, (% KI 1,1-,). Terdapat perbedaan bermakna kualitas hidup antara penderita dengan riwayat alergi dibanding tanpa alergi pada kelompok BSE (p=0,0). Dapat disimpulkan pada kelompok BSE, riwayat alergi (+) merupakan faktor risiko untuk kualitas hidup jelek (tabel ). Tabel. Kualitas hidup kelompok terapi BSE menurut riwayat alergi alergi R. Alergi (+) R. Alergi (-) (,) (,) 1(0) (,) (,) (0) 0,0 b). Kualitas hidup kelompok konvensional menurut riwayat alergi Rasio prevalensi riwayat alergi terhadap kualitas hidup pada kelompok konvensional adalah 1, (% KI 1, tak terhingga). Terdapat perbedaan bermakna kualitas hidup antara penderita dengan riwayat alergi dibanding tanpa alergi pada kelompok konvensional p=0,00. Pada kelompok konvensional, riwayat alergi (+) merupakan faktor risiko untuk kualitas hidup jelek (tabel ). Tabel. Kualitas hidup kelompok terapi konvensional menurut riwayat alergi alergi R. Alergi (+) R. Alergi (-),(,) 0,(,) (0),(,),(,) 0(0) 0,00 d). Kualitas hidup pada riwayat alergi (-) pada masing-masing kelompok terapi Pada sampel tanpa riwayat alergi, kualitas hidup kelompok BSE dan konvensional juga tidak berbeda bermakna (p=0,) dengan rasio prevalensi, (% KI 0, - tak terhingga) (tabel ). Tabel. alergi (-) alergi (-) Kel BSE Kualitas hidup pada riwayat,(,) 0,(,) (0),(,),(,) 0(0) 0, Analisis variabel yang mempengaruhi kualitas hidup dilakukan dengan regresi logistik (tabel ). Variabel yang berpengaruh bermakna terhadap kualitas hidup adalah riwayat alergi (p=0,0, adjor,; % KI 1,1-,0) dan umur (p=0,0. adjor,00; % KI 1,1-,). Tidak ada perbedaan bermakna kualitas hidup berdasarkan CDK 1 / vol. no. / Agustus - September 0

SNOT 0 di antara yang menjalani terapi bedah sinus endoskopi dibandingkan dengan yang menjalani bedah konvensional. Tabel. Hasil analisis regresi logistik pengaruh variabel terhadap kualitas hidup alergi Umur Jenis kelamin Ada tidaknya polip nasi Jenis polip nasi Derajat polip nasi Luas penyakit Jenis terapi Variabel Hasil ini mungkin karena antara lain, metode pengukuran kualitas hidup sebagai variabel tergantung hanya dilaksanakan sekali sesudah terapi bedah, sehingga perubahan kualitas hidup masing-masing kelompok tidak dapat diketahui. Hasilnya mungkin berbeda jika pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah terapi bedah, sehingga perubahan kualitas hidup dapat diketahui, baik di kelompok konvensional maupun kelompok BSE. Guyat dan Jaeschke () menyarankan pengukuran kualitas hidup dilakukan sebelum terapi, saat dilakukan program terapi, akhir program terapi atau titik waktu 1 tertentu seperti 1,,,1, bulan. Pada penelitian ini pemberian obat-obatan sebelum maupun sesudah terapi bedah tidak bisa dikendalikan. Obat-obatan merupakan variabel luar yang dapat mempengaruhi kualitas hidup subyek; dapat meliputi antibiotika, steroid lokal maupun sistemik, (ß) Nilai p AdjOR % CI,,0,0 1, -,0 1, -, 0,0 0,0 0,01 0,1 0,0 0,1 0, 0,0,,00 0, 0, 0,1,01 0,, 1,1-,0 1,1-, 0,1-, 0,-,0 0,0-, 0,-, 0,0-1, 0,-,0 dekongestan, anti-histamin maupun obatobatan lain yang diminum oleh subyek. Variasi operator pada penelitian ini juga tidak bisa dikendalikan. Variasi operator merupakan variabel luar yang dapat mempengaruhi variabel bebas (bedah sinus endoskopi, bedah konvensional). Variasi operator meliputi operatornya sendiri yang terdiri dari ahli THT (spesialis THT) dan residen THT, ketrampilan dan pengalaman operator. Ketidaktaatan pasien dan tidak seragamnya saat kontrol menyulitkan evaluasi hasil pengobatan; sebagian besar pasien tidak kontrol jika keluhan berkurang atau tidak ada keluhan serta alasan ekonomi. Evaluasi dan follow up pasca-terapi bedah pada penderita RSK sangat diperlukan untuk menentukan saat keberhasilan terapi dan kemungkinan komplikasi yang terjadi. Penanganan faktor risiko seperti rinitis alergi pada penderita rinosinusitis kronik pasca terapi bedah sangat perlu untuk mendukung keberhasilan terapi bedah. Belum optimalnya penanganan alergi pasca-terapi bedah menyebabkan penderita RSK dengan rinitis alergi mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibandingkan penderita RSK tanpa rinitis alergi. Simpulan & Saran Tidak ada perbedaan kualitas hidup berdasarkan SNOT 0 pada penderita rinosinusitis kronik yang menjalani terapi bedah sinus endoskopi dibandingkan dengan yang menjalani bedah konvensional. Perlu penanganan faktor alergi secara holistik pada penderita RSK pasca-terapi bedah dan penelitian longitudinal (cohort prospective) dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien RSK pasca-terapi bedah, seperti penggunaan obat-obatan, saat follow up, variasi operator dan faktor risiko. DAFTAR PUSTAKA 1. Hilger PA. Penyakit sinus paranasalis. Dalam : Boies Buku Ajar penyakit THT; Effendi H ed. th ed. Jakarta. EGC: 1.. Benninger MS, Poole M, Ponikau J. Adult chronic rhinosinusitis: definitions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head Neck Surg 00;1S(suppl): S1-.. Lanza DC. Diagnosis of chronic rhinosinusitis. Ann. Otorhinolaryngol. 00; 1: -.. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis : diagnosis and management. Am. Fam. Physician 001;1-.. Anand VK, Epidemiologic and economic impact of rhinosinusitis. (Ann Otol Rhinol Laryngol Suppl. 00; : -.. Sucipto D.. Temuan sinuskopi pada pasien sinusitis maksilaris kronis. Kongres Nasional Perhati XI. Jogjakarta;1 :1-.. Suyitno S. Sinusitis maksila pada anak di RSUP DR. Kariadi Semarang. Kumpulan makalah Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) PERHATI-KL. Malang.;-.. RSUP Dr. Sardjito. Data rekam medis RSUP Dr Sardjito Jogjakarta. 00.. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam Soepardi EA dan Iskandar NI (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala dan Leher. th ed FKUI, Jakarta. 001:-.. Lanza DC, Kennedy DW. Adult rhinosinusitis defined. Report of the rhinosinusitis task force committee meeting. Otolaryngol Head Neck Surg (suppl). 1;:-.. Browne JP, Hopkins C, Slack R,Topham J, Reeves B. Health related quality of life after polypectomy with and without additional surgery. Laryngoscope 00;: 0. 1. Cauwenberge PV, Watelet JB. Epidemiology of chronic rhinosinusitis. Thorax 000; (Suppl ): S0 1.. Campbell GD. Pathophysiology of rhinosinusitis. In : Adult chronic sinusitis and its complication. Pulmonary and Critical Update (PCCU) 00;:0-. 1. Leopold D,Ferguson BJ, Piccirillo JF. Outcomes assessment.otolaryngol Head Neck Surg. 1; : S-. 1. Piccirillo JF, Merritt MG, Richards ML.Psychometric and clinimetric validity of the 0 item sinonasal outcome test (SNOT-0). Otolaryngol Head Neck Surg.00;:1-.. Deal RT, Stilianos E, Kountakis SE. Significance of nasal polyps in chronic rhinosinusitis: Symptoms and surgical outcomes. Laryngoscope. 00; (): -. 1. Salhab M, Matai V, Salam MA. The Impact of functional endoscopic sinus surgery on health status. Rhinology. 00;():-. 1. Rudnick EF, Mitchell RB. Improvement in quality of life in children after surgical therapy for sinonasal disease.otolaryngol Head Neck Surg.00;:-0. 1. Lameshow S, Hosmer Jr, DW, Klar J, Lwanga SK. Besar sampel dalam penelitian kesehatan (terj). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.. 0. Gliklich R, Metson R. A comparison of sinus computed tomography (CT) staging systems for outcomes research. Am J Rhinol.1;:1. 1. Guyatt GH, Jaeschke R. Measurement in clinical trials: choosing the appropriate approach. In: Spilker (ed) Quality of life assessment in clinical trials. Raven Press, Ltd. New York... CDK 1 / vol. no. / Agustus - September 0