NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA



dokumen-dokumen yang mirip
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bagian Kedua Penyidikan

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

RAHASIA UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

PEMECATAN PRAJURIT TNI

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di muka maka penulis

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No perkembangan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dibesarkan, dan berkembang bersama-sama rakyat Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703)

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

P U T U S A N NOMOR : PUT / 45-K / PM.II-10 / AD / VI / 2009


BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

P U T U S A N NOMOR: PUT / 61-K / PM.II-10 / AD / IX / 2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Indonesia yang

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

PERATURAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA NOMOR : 04/PU/REK/BAAK/XI/2004 TENTANG

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

P U T U S A N Nomor : 16 - K / PMI-07 / AD / IV / 2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

Transkripsi:

NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA Disusun oleh: ADAM PRASTISTO JATI NPM : 07 05 09661 Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA Fakultas Hukum 2014

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA Adam Prastisto Jati G. Aryadi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta ABSTRAK Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang berarti setiap penduduk, pejabat, penguasa, aparatur Negara termasuk anggota TNI tunduk dan taat pada hukum yang berlaku sehari-hari baik di dalam maupun diluar. TNI merupakan suatu sistem pertahanan Negara dan merupakan alat Negara yang mempunyai tugas mempertahankan, melindungi, dan maupun memelihara keutuhan serta kedaulatan Negara serta TNI dapat memberikan pengayoman terhadap masyarakat dan memberikan contoh untuk tidak melakukan tindak pidana narkotika, dalam hal ini ketersediaan dan penyalahgunaan obat telah diatur dalam Undang-Undang Repoblik Indonesia nomer 35 tahun 2009 tentang narkotika. Di Indonesia khususnya di dalam tubuh TNI masih saja ada tindak pidana yang seharusnya tidak perlu terjadi apabila seorang anggota TNI benar-benar menghayati akan tugas dan tanggungjawab yang di bebankan oleh Negara kepadanya sesuai dengan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, anggota TNI yang melukan tindak pidana militer dengan melakukan tindak pidana narkotika karena kurang memahami Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Bentuk penyalahgunaan narkoba banyak dilakukan atau terjadi didalam tubuh militer adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota militer sebagai pengguna atau korban pengedar, mereka hanya menggunakan sebagai konsumsi pribadi dan narkotika yang banyak digunakan atau di konsumsi adalah sabu-sabu

atau methamphetamiae. Sanksi yang harus dijatuhkan oleh pengadilan Militer bagi anggota yang terbukti menyalahgunakan narkoba adalah sanksi pidana, mengingat militer adalah benteng pertahanan keamanan sehingga citra TNI tidak terancam dan bertentangan dengan Satma Marga dan Sumpah Prajurit sehingga dapat sebagai panutan yang baik serta menunjukan sikap sebagai seorang prajurit. Kata kunci : militer, narkotika, sabu-sabu, proses hukum. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, yang berarti setiap penduduk, pejabat, penguasa, aparatur negara termasuk anggota TNI tunduk dan taat pada hukum yang berlaku sehari-hari baik di dalam maupun di luar dinas. Undang-undang dasar 1945 bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur baik secara materiil maupun spiritual, agar terciptanya rasa aman dalam masyarakat untuk membangun suatu negara dan terwujudnya pembangunan nasional disegala bidang, seiring dengan perjalanan pembangunan nasional banyak gejala-gejala yang muncul yang menyebabkan penyalahgunaan obat untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini penyalahgunaan obat sering terjadi di dalam masyarakat termasuk dalam kalangan TNI. Bahwa kenyataannya banyak anggota TNI yang melakukan suatu tindak pidana, salah satunya adalah penyalahgunaan Narkotika. Hukum Indonesia mengatur banhwa tidak ada seorang warga negara yang kebal terhadap hukum,meskipun tindak pidana tersebut dilakukan oleh warga sipil maupun anggota Tentara Nasional Indonesia.

Apabila Anggota Tentara Nasional Indonesia melakukan suatu Tindak Pidana, maka akan tetap dipidana tanpa ada keistimewaan apapun, mulai proses pemeriksaan,penyidikan dan penuntutan sampai peradilan akan mengikuti hukum acara peradilan militer sebagai mana diatur dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. TNI merupakan suatu sistem pertahanan negara dan merupakan alat negara yang mempunyai tugas mempertahankan, melindungi, dan mampu memelihra keutuhan serta kedaulatan negara serta TNI dapat memberikan pengayoman terhadap masyarakat dan memberikan contoh untuk tidak melakukan tindak pidana narkotika, dalam hal ini ketersediaan dan penyalahgunaan obat telah diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomer 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Penelitian membuktikan bahwa penyalahgunaan zat tersebut menimbulkan dampak antara lain merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan bekerjanya, ketidak mampuan membedakan baik dan buruk perubahan perilaku menjadi anti sosial, menurunkan produktifitas kerja, gangguan kesehatan, gangguan kriminalitas dan tindak kekerasan lainnya baik kuantitatif maupun kualitatif yang pada hakekatnya mengganggu ketahanan nasional oleh karena sifat sifat yang merugikan tersebut maka Narkotika dan Psikotropika diawasi baik secara nasional maupun internasional. 1 Setiap perbuatan atau tindakan TNI melanggar hukum, disiplin, tata tertib yang dapat menurunkan martabat dan kewibawaan serta dapat pula menimbulkan keresahan dalam masyarakat perlu dengan cepat diambil tindakan hukum. Perkara tindak pidana apabila tidak segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, akan sangat merugikan korban, pelaku ( dalam hal ini prajurit itu sendiri ) maupun satuan secara 1 Hm Raul, 2002, Dampak Penyalahgunaan Narkotika Terhadap Remaja dan Kamtibnas, Bp Dharma Bakti, hlm 55

umum dalam upaya pembinaan personel, oleh sebab itu suatu perkara pidana harus segera diselesaikan. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur : 2 1. Perbuatan (Manusia) 2. Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (merupakan syarat formil) 3. Bersifat melawan hukum. Selama ini apabila ada Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik tindak pidana umum maupun tindak pidana militer sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), diadili oleh Peradilan Militer. Dalam ruang lingkup militer, perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit militer telah diatur dalam peraturan per undangundangan yaitu : 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) 3. Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM) Di Indonesia khususnya di dalam tubuh TNI masih saja ada tindak pidana yang seharusnya tidak perlu terjadi apabila seorang anggota TNI benar benar menghayati akan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan oleh negara kepadanya sesuai dengan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, anggota TNI yang melakukan tindak pidana militer dengan melakukan tindak pidana narkotika karena kurang memahami Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. 2 Sianturi, S.R., 1989, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem Petehaem, Jakarta, Hlm. 55

2. Rumusan Masalah a. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana Narkotika? b. Kendala apa saja yang terjadi dalam penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana Narkotika? B. Metode Penelitian Jenis penelitian dalam usulan penelitian Hukum ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu mengkaji aturan aturan hukum yang berlaku, untuk mengetahui penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana narkotika di wilayah hukum pengadilan militer II 11 Yogyakarta. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum keustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder. Penelitian ini bersifat mengkaji isi. Terkait dengan usaha penelitian hukum ini, norma norma hukum yang menjadi bahan kajian adalah Peraturan Perundang Undangan serta literatur literatur yang berkaitan dengan materi yang diteliti. C. Hasil Penelitian Secara umum sanksi dalam hukum pidana dapat dibagi menjadi sanksi pidana dan sanksi tindakan. Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar : mengapa diadakan pemidanaan, sedangkan sanksi tindakan bertolak pad aide dasar untuk apa diadakan pemidanaan itu. 3 Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Di dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tidak membedakan pengertian penyelidik, penyelidikan, penyidik dan penyidikan, karena telah diatur dalam hukum acara pidana umum. Dalam pemeriksaan perkara pidana militer, penyelidikan dilakukan oleh Atasan Yang 3 Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 17.

Berhak Menghukum (ANKUM) melalui bagian I (intel) tiap-tiap kesatuan dan Polisi Militer. Kekuasaan Komandan meliputi dua hal/macam wewenang, yaitu wewenang lazimnya disebut hak komando dan wewenang hak menghukum. Hak komando ini meliputi tiga hal yaitu : 1. Mengarahkan (directing); 2. Mengkoordinir (coordinating); 3. Mengendalikan (control) Hak Komando daripada Komandan diperolehnya dari delegasi yang berasal dari pucuk pimpinan Angkatan Bersenjata, sedangkan hak untuk menghukum anak buahnya diatur dalam undang-undang. Komandan harus dapat mengarahkan, mengkoordinir, dan mengendalikan tugasnya dengan sempurna, karena apabila salah satu wewenang tersebut tidak ada maka ketentraman ketertiban pasukan akan kacau, karena berarti salah satu wewenang itu berada dipihak lain dengan kata lain adanya turut campur pihak luar terhadap keutuhan suatu pasukan. Oleh karena itu wewenang itu tidak boleh lepas dari wewenang seorang komandan, agar dapat memelihara disiplin pasukannya dan untuk dapat melaksanakan tugas pokoknya dengan baik. Seorang komandan guna kepentingan taktik dan strategi militer, maka ia bebas mengambil tindakan berdasarkan keadaan medan, alat peralatan (logistik) kekuatan sasaran, dan sebagainya. Dugaan tentang adanya suatu peristiwa pidana diperoleh : 1. Laporan yaitu pemberitahuan tentang peristiwa terjadinya suatu kejahatan, laporan tersebut dilakukan oleh setiap orang. 2. Pengaduan yaitu permintaan dari seseorang yang berhak mengadu supaya perbuatan itu diperiksa, dan diadili. Penangkapan dan Penahanan: a. Penangkapan oleh penyidik yang berwenang : 1. Penangkapan tersangka diluar daerah hukum Ankumnya dapat dilakukan oleh penyidik setempat di tempat tersangka dilaporkan berdasarkan permintaan penyidik yang perkaranya dengan surat perintah.

2. Perintah penangkapan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 3. Pelaku tidak dapat ditangkap kecuali apabila sudah dipanggil 2 kali secara sah tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah. 4. Penangkapan dilakukan paling lama 1 hari. 5. Pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh penyidik, atau POM atau anggota ankum yang bersangkutan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat perkara, dan tempat ia diperiksa. 6. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan tanpa surat perintah, dengan keentuan harus segera menyerahkan tersangka dan bukti kepada penyidik. 7. Tembusan surat perintah diberikan keluarganya dan penyidik segera melaporkan hal itu kepada ankumnya. b. Penahanan 1. Ankum berwenang menahan tersangka paling lama 220 hari dengan surat keputusan. 2. Apabila diperlukan untuk kepentingan penyidikkan papera berwenang memperpanjang penahanan untuk setiap kali paling lama 30 hari dengan surat keputusan paling lama 180 hari. 3. Tidak menutup kemungkinan melepas tersangka sebelum masa penahanan tersebut habis, namun setelah 200 hari tersangka harus dibebaskan demi hukum. Pelaksanaan Penyidikan: 1. Setelah penyidik POM atau oditur menerima laporan atau pengaduan, tentang terjadinya tindak pidana, ia wajib melakukan penyidikan, dalam hal yang menerima laporan ankum, ia segera menyerahkan penyidikan kepada penyidik POM atau Oditur selanjutnya melakukan penyidikan dan melaporkannya kepada Ankum.

2. Setiap orang yang menjadi korban atau yang mengalami, menyaksikan, atau mendengar terjadinya tindak pidana ia berhak mengajukan laporam dan setelah menerima laporan, penyidik membuat tanda terima laporan. 3. Penyidik sesudah selesai melakukan penyidikan wajib menyerahkan berkas perkara kepada Ankum, Papera, dan aslinya kepada oditur. 4. Papera dapat menghentikan penyidikan dengan surat keputusan berdasarkan pendapat hukum oditur. 5. Dalam hal tertangkap tangan, setiap orang berhak menangkap, sedangkan bagi yang berwenang dalam tugas ketentraman, ketertiban, dan keamanan masyarakat wajib menangkap tersangka dan menyerahkan kepada penyidik. 6. Sesudah menerima laporan, penyidik melakukan pemeriksaan dan tindakan lain yang diperlukan: datang ketempat kejadian, dan melarang orang meninggalkan tempat selama pemeriksaan memanggil tersangka dan saksi. 7. Panggilan tersangka atau saksi prajurit melalui komandan atau kepala kesatuan orang yang dipanggil wajib memenuhi, dan apabila panggilan kedua juga tidak diindahkan dapat dipanggil secara paksa komandan atau kepala yang bersangkutan wajib memerintahkan anggotanya untuk memenuhi panggilan. 8. Penyidik wajib memberi tahu hak tersangka untuk di dampingi penasihat hukum. Dalam penyidikan, penasihat hukum dapat melihat dan mendengar jalannya pemeriksaan, tetapi dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, penasihat hukum dapat melihat, tetapi tidak mendengar. 9. Apabila diperkirakan dalam sidang saksi tidak hadir maka dalam pemeriksaan saksi disumpah. 10. Saksi diperiksa sendiri-sendiri, tetapi boleh dipertemukan. 11. Tersangka dapat mengajukan saksi yang meringankan. 12. Tersangka dan saksi tidak boleh ditekan dan semua keterangannya dicatat dalam berita acara yang diperiksa. Apabila yang diperiksa tidak mau menandatangani, harus dicatat dalam berita acara.

13. Pemeriksaan tersangka dan saksi yang berdiam diluar daerah hukum penyidik, dapat membebankan kepada penyidik setempat. 14. Penyidik dapat meminta pendapat seorang ahli. 15. Penyidik wajib membuat berita acara yang memuat tanggal, tindak pidana yang dilakukan dengan menyebut tanggal dan tempat keadaan. 16. Apabila tersangka ditahan, dalam waktu satu hari sejak ia ditahan harus sudah mulai diperiksa. 17. Penyidik dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan harus membuat berita acara yang salinannya diberikan kepada orang dari mana benda itu disita. 18. Dalam hal penyidik menangani korban dari tindak pidana, baik luka, keracunan atau mati, berwenang minta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya secara tertulis. Dalam hal sangat diperlukan dapat dimintakan bedah mayat untuk kepentingan atau penggalian mayat. Dalam peradilian Militer, sesuai Pasal 9 Undang Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dikaitkan dengan Pasal 1 dan 2 Kitab Undang undang Hukum Pidana Militer ( KUHP ), maka peradilan Militer mengadili tindak pidana didasarkan pada subyeknya, yaitu prajurit ( militer ), seperti desersi, insubordinasi, dan lain lain juga tindak pidana umum, seperti perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, atau pencurian, dan lain lain maupun tindak pidana khusus, seperti penyalahgunaan psikotropika, narkotika, korupsi, dan lain lain diadili di peradilan militer. Pengaturan hukum bagi pengguna narkotika golongan I, sesuai Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang- undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Setiap penyalahguna Narkotika golongan I bagi diri sendiri diancam dengan hukuman paling lama 4 tahun, maka anggota militer yang terbukti menggunakan Narkotika golongan I diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Terdapat pengecualian karena dalam lingkungan Militer tidak mengenal dan tidak ada pertimbangan dalam pelaksanaan putusan rehabilitasi apapun alasannya, berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam

undang undang yang berlaku umum dimana disebutkan ancaman hukuman paling lama 4 tahun atau menjalani masa perawatan dan / atau pengobatan rehabilitasi yang diperhitungkan sebagai masa menjalani kukuman. Kendala kendala yang dialami oleh pengadilan militer terhadap permasalahan penyalahgunaan narkotika yaitu permasalahan kurangnya alat bukti serta mengenai dakwaan yang terkadang tidak sesuai dengan alat bukti yang ada. Menurut Waka DILMIL II 11 Mayor CHK Warsono, SH Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap tindak pidana Narkotika tidak hanya terbatas pada pasal- pasal yang terdapat didalam Undang-Undang yang mengatur tentang tindak pidana Narkotika,tetapi juga berdasarkan sesuai fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, antara lain penjatuhan pidana pokok, penjara, denda dan penambahan pidana (pemecatan). Tindak pidana penyalahgunaan Narkotika adalah suatu tinakan yang melanggar hukum berupa tinakan perbuatan yang di atur dalam pasal 112 Undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang ketentuan pidana dimana perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang tanpa hak untuk melakukannya. Dalam hal ini terdakwa melakukan perbuatan membawa narkotika seperti yang diatur dalam pasal tersebut dengan tanpa disertai surat ijin dari pihak yang berwenang untuk membawa narkotika. Berarti terdakwa adalah orang yang tidak memiliki hak untuk melakukan perbuatan tersebut. Berdasarkan pasal 2 sampai dengan pasal 5, pasal 7, dan pasal 8 KUHP, yang dimaksud barang siapa adalah setiap orang yang tunduk dan dapat dipertanggungjawabkan artinya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya secara hukum. Subjek hukum tersebut meliputi semua orang WNI, termasuk yang bersetatus prajurit TNI yang pada waktu melakukan tindak pidana masih aktif dalam kedinasan. Bentuk sanksi yang dijatuhkan terhadap anggota milter yang menggunakan narkotika berupa penjatuahan pidana penjara seperti penundaan jabatan bagi anggota militer yang terbukti menyalahgunaan narkotika serta

bentuk penegakan terhadap anggota militer yang melakukan tindak penyalahgunaan narkotika dapat dilakukan dengan pertimbangan antara lain : 1) Perbuatan terdakwa bertentangan dengan sapta marga dan sumpah prajurit. 2) Perbuatan terdakwa merusak citra TNI dimata masyarakat, terdakwa sebagai prajurit seharusnya menjadi contok yang baik dalam pemberantasan psikotropika atau narkotika yang mengancam kehidupan warga Negara Indonesia secara menyeluruh. 3) Perbuatan terdakwa tersebut adalah bertentangan dengan keharusan dan kelayakn sikap sebagai prajurit terlebih lagi perbuatan terdakwa tersebut harus nyata nyata tidak mendukung program pemerintah dan masyarakat dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, hal ini jelas bertentangan dengan sikap yang layak sebagai prajurit TNI. D. Kesimpulan 1. Proses penegakan hukum terhadap anggota yang militer yang diduga menggunakan narkotika harus dilakukan penyelidikan oleh atasan yang berhak menghukum (ANKUM) melalui intel polisi militer kemudian dilakukan pencarian bukti sehingga dapat dilakukan persidangan dan penjatuhan saksi. 2. Kendala yang sering dialami oleh pengadilan militer dalam melakukan penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana narkotika adalah kurangnya alat bukti serta dakwaan yang kadang tidak sesuai dengan alat bukti yang ada. E. Saran 1. Pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota militer yang sedang menjalankan tugas Negara harus segera

ditarik dari kesatuannya untuk menyelesaikan perkaranya terlebih dahulu dan proses penyelesain perkaranya hingga selesai. 2. Hukum yang harus dijatuhkan kepada anggota TNI yang melanggar atau melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika harus lebih berat karena TNI merupakan Institusi yang mengutamakan kedisiplinan serta sebagai pelindung suatu pertahanan Negara agar menjadi contoh dalam masyarakat. Selain itu citra TNI dapat terjaga secara baik serta sebagai panutan di mata masyarakat, pelaku penyalahgunaan Narkotika di lingkungan TNI sudah semestinya diberikan atau dijatuhkan hukuman yang semaksimal mungkin.

DAFTAR PUSTAKA Hm Raul, 2002, Dampak Penyalahgunaan Narkotika Terhadap Remaja dan Kamtibnas, Bp Dharma Bakti, hlm 55 Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 17. Sianturi, S.R., 1989, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem Petehaem, Jakarta, Hlm. 55