Rasionalitas Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Ulkus Diabetika (Rationality Use Antibiotics In Patients Diabetes Mellitus Type 2 with Diabetic Ulcer Complications) Septi Muharni 1* ; Nofri Hendri Sandi 1 ; Lestary Susanto 1 1Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau *Corresponding email: septi_muharni@yahoo.com ABSTRAK Pemilihan dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional akan menentukan keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya resistensi. Penelitian telah dilakukan mengenai rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika di salah satu rumah sakit di Pekanbaru. Jenis penelitian yang dilakukan adalah studi deskriptif analitik menggunakan data retrospektif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien DM tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika. Data yang digunakan berasal dari data rekam medis pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika. Penelitian rasionalitas ini dikaji berdasarkan tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat regimen (dosis, frekuensi, lama penggunaan, rute penggunaan), dan waspada efek samping obat. Hasil penelitian dari 27 kasus menunjukkan tepat indikasi sebesar 100%, tepat obat sebesar 92,6%, tepat pasien sebesar 95,4%, tepat dosis sebesar 83,1%, tepat frekuensi sebesar 83,1%, tepat rute pemberian sebesar 70,8%, waspada efek samping sebesar 100%. Kata Kunci: Rasionalitas, Antibiotik, Diabetes Mellitus, Ulkus Diabetik PENDAHULUAN Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah disertai gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi berbagai komplikasi akut maupun kronik (Maulana, 2009). Menurut survey yang dilakukan WHO (World Health Organization), Indonesia menempati urutan ke- 4 dengan jumlah penderita diabetes terbesar di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. WHO memprediksi kenaikan prevalensi diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta orang pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Anonim, 2009). Diabetes mellitus sering disebut the great imitator karena dapat menimbulkan berbagai komplikasi akut maupun kronik. Salah satu komplikasi kronik diabetes mellitus adalah ulkus diabetika. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insufisiensi dan neuropati, serta dapat berkembang menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis 28
untuk pertumbuhan kuman. Ulkus diabetika yang tidak segera mendapatkan pengobatan dan perawatan, maka akan mudah terjadi infeksi yang semakin meluas dan dalam keadaan lebih lanjut memerlukan tindakan amputasi (Waspadji, 2006). Prevalensi penderita ulkus diabetika di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi 30%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetika merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk diabetes mellitus. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2003 angka kematian dan angka amputasi masih tinggi, masing-masing 16% dan 25%. Nasib penyandang diabetes mellitus pasca amputasi pun masih sangat buruk. Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi dan 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi (Waspadji, 2006). Rumah Sakit Islam (RSI) Ibnu Sina Pekanbaru adalah rumah sakit swasta kelas B yang juga menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten. Di RSI Ibnu Sina penyakit diabetes mellitus tipe 2 merupakan 10 penyakit terbanyak, sedangkan untuk komplikasi ulkus diabetika merupakan komplikasi diabetes mellitus terbanyak ke-2. Berdasarkan data rekam medis RSI Ibnu Sina Pekanbaru pada tahun 2012 penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika sebesar 28% dan pada tahun 2013 sebesar 32%, hal ini menunjukkan adanya peningkatan penderita ulkus diabetika dari tahun ke tahun. Untuk mengatasi masalah infeksi diperlukan pengobatan yang tepat, salah satunya menggunakan antibiotika. Antibiotika merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri (Tjay dan Rahardja, 2007). Di negara berkembang 30-80% penderita yang dirawat dirumah sakit mendapat terapi antibiotika. Dari persentase tersebut 20-65% penggunaannya dianggap tidak tepat (Lestari et al, 2011). Selain itu berdasarkan hasil penelitian rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien infeksi di instalasi rawat inap RSUD Undata Palu tahun 2012 didapatkan data rasionalitas tepat indikasi 96,5%, tepat obat 66,7%, tepat dosis 53%, tepat frekuensi pemberian antibiotika 53%, dan tepat durasi penggunaan antibiotika 49,4%, dari data tersebut penggunaan antibiotika pada pasien infeksi di instalasi rawat inap RSUD Undata Palu tahun 2012 belum dapat dikatakan rasional (Febrianto et al, 2013). Penggunaan antibiotika yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai permasalahan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotika, sehingga perlu diperhatikan penggunaan obat yang rasional. Penggunaan obat yang rasional meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat regimen (dosis, frekuensi, lama pemberian dan rute pemberian) dan waspada efek samping (Anonim, 2008). Berdasarkan masalah di atas, penggunaan antibiotika pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika sangat perlu diperhatikan. Maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika di Instalasi Rawat Inap RSI Ibnu Sina Pekanbaru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotika meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat regimen (tepat dosis, frekuensi, lama pemberian dan rute pemberian) dan waspada efek samping pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika di Instalasi Rawat Inap RSI Ibnu Sina Pekanbaru selama 29
bulan Januari hingga Desember 2013. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi rumah sakit terutama Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) dalam meningkatkan terapi antibiotika pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan jenis studi deskriptif analitik menggunakan data retrospektif. Data dikumpulkan dari rekam medis pasien yang mendapat terapi antibiotika pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika di RSI Ibnu Sina Pekanbaru. Populasi yang diambil adalah 68 data rekam medik pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika. Sampel yang diambil adalah 27 data rekam yang memenuhi kriteria inklusi. HASIL DAN DISKUSI Hasil penelitian rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Islam (RSI) Ibnu Sina Pekanbaru tahun 2013, didapatkan hasil analisis data secara kuantitatif dan secara kualitatif. 1. Pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika berdasarkan derajat infeksi Analisa kuantitatif berdasarkan derajat ulkus diabetika adalah derajat sedang sebesar 15% dan derajat berat sebesar 85%. Dari data hasil penelitian derajat berat ulkus diabetika lebih banyak dibandingkan derajat sedang ulkus diabetika. Derajat infeksi ulkus diabetika menurut IDSA dibagi menjadi derajat infeksi ulkus ringan, sedang dan berat. Infeksi ulkus derajat ringan dilihat dari infeksi lokal hanya melibatkan kulit dan jaringan subkutan. Untuk infeksi ulkus diabetika derajat sedang dapat dilihat dari infeksi yang sudah melibatkan jaringan yang lebih dalam dari kulit dan jaringan subkutan (seperti selulitis, abses), sedangkan untuk infeksi ulkus diabetika derajat berat dilihat dari infeksi lokal dari derajat sedang yang disertai dengan suhu pasien yang >380C dan <360C, nadinya >90 kali/menit, pernapasan> 20 kali/menit dan sel darah putih >12.000 atau <4000 sel/ui (Lipsky et al, 2012). Berdasarkan hasil penelitian banyaknya pasien infeksi ulkus diabetika derajat berat dibandingkan infeksi ulkus derajat sedang dikarenakan pasien yang dirawat di rumah sakit merupakan pasien rujukan dari Tabel 1. Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Ulkus Diabetika Berdasarkan Derajat Infeksi Ulkus Diabetika No Derajat Infeksi Ulkus Diabetika Jumlah 1 2 Sedang Berat 4 23 Total 27 100 Persentase (%) n=27 14,8 85,2 30
puskesmas yang keadaannya tidak membaik bahkan semakin memburuk, sehingga diperlukannya penanganan yang intensif dan tepat. 2. Rasionalitas Penggunaan Antibiotika Pada Pasien DM Tipe 2 dengan Komplikasi Ulkus Diabetik Tabel 2. Hasil Rasionalitas Penggunaan Antibiotika Pada Pasien DM Tipe 2 dengan Komplikasi Ulkus Diabetik Persentase (%) No Ketepatan Indikasi Jumlah n=27 Tepat Indikasi 27 100 1 Tidak Tepat Indikasi 0 0 2 Tepat Obat Tidak Tepat Obat 25 2 92,6 7,4 3 Tepat Pasien Tidak Tepat Pasien 62 3 95,4 4,6 4 Tepat Dosis Tidak Tepat Dosis 53 12 83,1 16,9 5 Tepat Frekuensi Tidak Tepat Frekuensi 53 12 83,1 16,9 6 Tepat Rute Pemberian Tidak Tepat Rute Pemberian 46 19 70,8 29,2 7 Waspada Efek Samping Tidak Waspada Efek Samping 27 0 100 0 Total 27 100 Penggunaan obat yang rasional adalah dimana pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan individu mereka sendiri, untuk suatu periode waktu yang adekuat. Kriteria rasionalitas meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat regimen (dosis, frekuensi, lama pemberian, rute pemberian), dan waspada efek samping. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional dapat menyebabkan masalah terutama resistensi terhadap antibiotika (Anonim b, 2008). Pada penelitian ini akan dinilai dan dibahas tentang rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika sebanyak 27 pasien. 1. Tepat Indikasi Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2008, tepat indikasi berarti obat yang diberikan sesuai dengan indikasi atau sesuai dengan gejala yang dialami pasien. Indikasi pemakaian obat secara khusus adalah indikasi medis bahwa intervensi dengan obat memang diperlukan dan telah diketahui memberikan manfaat terapeutik (Anonim, 2008). IDSA mengeluarkan pedoman tentang antibiotika 31
untuk ulkus diabetika, dimana IDSA memberikan antibiotika berdasarkan derajat infeksi ulkus diabetika. Derajat infeksi ulkus diabetika dibagi menjadi infeksi derajat ringan, derajat sedang dan derajat berat. Derajat infeksi ulkus diabetika baik derajat ringan, sedang dan berat harus mendapatkan terapi antibiotika (Lipsky et al, 2012). Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit yang mudah berkembang menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis untuk pertumbuhan kuman. Ulkus diabetika kalau tidak segera mendapatkan pengobatan dan perawatan, maka akan mudah terjadi infeksi yang segera meluas dan dalam keadaan lebih lanjut memerlukan tindakan amputasi. Sehingga untuk mengatasai masalah tersebut diperlukannya pengobatan dengan antibiotika (Waspadji, 2006). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tepat indikasi sebesar 100% yang artinya 27 pasien tersebut dikatakan tepat indikasi. Pasien ini dikatakan tepat indikasi dilihat dari pemeriksaan fisik seperti suhu, pernapasan, dan nadinya serta dilihat dari pemeriksaan laboratorium yaitu leukosit pasien. Dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium menunjukkan bahwa semua pasien memerlukan terapi antibiotika. Dilihat dari data pasien semuanya mendapatkan antibiotika, sehingga semua pasien dikatakan tepat indikasi. 2. Tepat Obat Tepat obat (antibiotika) adalah dimana antibiotika yang digunakan efektif artinya dapat memberikan perbaikan keadaan pasien (yang dievaluasi pada 48-72 jam untuk melihat apakah bakteri penyebab infeksi sensitif atau tidak terhadap antibiotika), kemudian antibiotika yang digunakan harus lebih besar manfaat dari pada resiko seperti efek samping atau pun toksisitasnya, sesuai dengan terapi empiris dan sesuai berdasarkan standar IDSA (Anonim, 2008). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tepat obat sebesar 92,6% dan tidak tepat obat sebesar 7,4%. Pasien ini dikatakan tepat obat karena antibiotika yang digunakan memberikan perbaikan keadaan pasien (yang dievaluasi pada 48-72 jam untuk melihat apakah bakteri penyebab infeksi sensitif atau tidak terhadap antibiotika) hal ini dilihat dari data pemeriksaan fisik dan laboratorium. Kemudian antibiotika yang digunakan manfaatnya lebih besar daripada resikonya yang dilihat dan ini dapat dilihat dari efektifitas antibiotika yang memberikan perbaikan keadaan pasien, dimana ini merupakan bentuk manfaat dari penggunaan antibiotika tersebut, kemudian sesuai terapi empiris dan sesuai dengan standar IDSA. Kemudian tidak tepat obat sebesar 7,4%, pasien mendapatkan antibiotika metronidazol dan levofloksasin dengan sefotaksim. Kedua antibiotika ini dianggap tidak tepat karena antibiotika ini tidak memberikan perbaikan keadaan pasien dilihat dari fase evaluasi 48-72 jam, kemudian antibiotika ini tidak memberikan manfaat yang lebih besar dilihat dari tidak terjadinya perubahan klinis dan laboratorium dari data pasien, dan antibiotika ini juga tidak sesuai dengan standar IDSA sehingga pada pasien ini dianggap tidak tepat obat. 3. Tepat Pasien Tepat pasien artinya antibiotika yang diberikan tidak kontraindikasi terhadap pasien dan ada atau tidak adanya kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis (Anonim b, 2008). Ketepatan pasien dapat dilihat dan dinilai dari riwayat penyakit terdahulu (RPD) 32
yang pernah dialami pasien dan dilihat dari kontraindikasi antibiotika yang digunakan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tepat pasien sebesar 95,4% dengan jumlah 62 antibiotika yang digunakan tidak kontraindikasi terhadap pasien. Sedangkan tidak tepat pasien didapatkan 4,6% dengan jumlah 3 antibiotika. Ketiga antibiotika ini tidak dapat dilakukan penilaian karena pada pasien yang mendapatkan antibiotika ini yaitu pasien no 11 dan 26 sudah dikatakan tidak tepat obat, sehingga tidak bisa lagi untuk menilai tepat pasien. 4. Tepat Regimen ( Dosis, Frekuensi, Lama Pemberian, Rute Pemberian) a) Tepat dosis Tepat dosis adalah dimana pemberian besar dosis dilihat berdasarkan usia, fungsi hepar atau ginjal yang memerlukan penyesuaian dosis (Anonim, 2008). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tepat dosis sebesar 83,1% dengan jumlah 53 antibiotika. Antibiotika yang digunakan tersebut dikatakan tepat karena sudah sesuai dengan standar dosis yang digunakan yaitu DIH. Sedangkan tidak tepat dosis didapat sebesar 16,9% dengan jumlah 12 antibiotika. Antibiotika ini dikatakan tidak tepat dosis dikarenakan levofloksasin yang diberikan pada pasien 1000 mg/hari sedangkan berdasarkan DIH dosis levofloksasin adalah 250-750 mg/hari. Penggunaan dosis berlebih ini akan mengakibatkan resiko efek samping yang tidak diinginkan pada pasien. b) Tepat Frekuensi Tepat frekuensi tergantung pada waktu paruh antibiotika yang digunakan (Anonim b, 2008). Pemberian antibiotika yang tidak tepat frekuensi baik yang kurang ataupun lebih akan menimbulkan efek merugikan bagi pasien. Pemberian antibiotika dengan frekuensi yang kurang dapat menyebabkan resistensi bakteri karena ketidakmampuan antibiotika mencapai kadar hambat minimum bakteri dalam darah. Sedangkan jika pemberian melebihi frekuensi akan meningkatkan resiko efek samping yang tidak diinginkan (Anonim, 2011). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tepat frekuensi sebesar 83,1% dengan jumlah 53 antibiotika. Antibiotika yang digunakan frekuensinya sudah sesuai dengan standar DIH. Sedangkan untuk tidak tepat frekuensi didapatkan sebesar 16,9% dengan jumlah 12 antibiotika. Antibiotika ini tidak dapat dilakukan penilaian karena pada pasien yang mendapatkan antibiotika ini sebelumnya sudah dikatakan tidak tepat obat, sehingga tidak bisa lagi untuk menilai tepat pasien. c) Tepat Lama Pemberian Lama pemberian antibiotika sangat penting dikarenakan jika suatu antibiotika tidak bekerja sesuai dengan lama penggunaannya akan mengakibatkan toleransi pada mikroorganisme yang belum tuntas dimusnahkan sehingga menjadi bakteri resisten (Mutschler, 1991; Setiabudy, 2012). Menurut pedoman yang dikeluarkan IDSA tahun 2012 tentang tatalaksana antibiotika pada infeksi ulkus diabetika, lama pemberian atau penggunaan antibiotika dibagi berdasarkan derajat infeksi ulkus diabetika yaitu untuk derajat ringan lama penggunaannya 1-2 minggu, untuk ulkus derajat sedang selama 1-3 minggu, dan untuk ulkus derajat berat selama 2-4 minggu (Lipsky et al, 2012). Berdasarkan hasil penelitian ini penilaian untuk lama pemberian antibiotika tidak dapat dilakukan, hal ini karena keterbatasan penelitian ini. Dimana dilihat dari lama rawat inap pasien rata rata tidak sampai 2 minggu, sedangkan sebagian besar pasien 33
dengan infeksi ulkus diabetika derajat berat yang lama pemberian antibiotika selama 2 4 minggu dan antibiotika yang dibawa pulang oleh pasien tidak diketahui. Sehingga untuk lama pemberian antibiotika pada penelitian ini tidak dapat dilakukan penilaian. d) Tepat Rute Pemberian Rute pemberian antibiotika tergantung beratnya gejala klinis pasien dan kemampuan pasien untuk meminum obat secara oral (Anonim, 2011). Rute pemberian yang didapatkan dari data penelitian ini adalah rute oral dan rute parenteral. keuntungan rute parenteral adalah mempunyai efek yang cepat, menghindari ketidakpatuhan saat penggunaan antibiotika karena sediaan parenteral selalu diberikan oleh perawat, dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar, muntah-muntah, tidak kooperatif, dan sangat berguna untuk keadaan darurat. Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan IDSA tahun 2012 tentang tatalaksana antibiotika pada infeksi ulkus diabetika, rute pemberian antibiotika dibagi berdasarkan derajat infeksi ulkus diabetika yaitu untuk derajat ringan dan sedang adalah secara oral, sedangkan untuk ulkus derajat berat adalah secara parenteral (Lipsky et al, 2012). Dari hasil penelitian didapatkan tepat rute pemberian sebesar 70,8% dengan jumlah 46 antibiotika. Antibiotika ini dikatakan tepat rute pemberian karena berdasarkan derajat infeksi ulkus diabetika, pasien mendapatkan rute pemberian yang sesuai dengan standar IDSA. Sedangkan tidak tepat rute pemberian didapat sebesar 29,2% dengan jumlah 19 antibiotika. Antibiotika ini dikatakan tidak tepat rute pemberian karena berdasarkan standar IDSA pasien dengan derajat sedang harusnya diberikan secara oral tetapi diberikan secara parenteral, dan pasien dengan derajat berat berdasarkan IDSA diberikan secara parenteral tetapi pada pasien diberikan secara oral. Sehingga penggunaannya menjadi tidak tepat rute pemberian. 5. Waspada efek samping Waspada efek samping artinya waspada terhadap ada tidaknya faktor konstitusi terjadinya efek samping (Anonim, 2008). Waspada efek samping ini dilihat dari data riwayat alergi pasien. Berdasarkan antibiotika yang digunakan semua memiliki efek samping hipersensitivitas. Pada data rekam medis pasien terdapat kolom riwayat alergi. Jika pasien memiliki riwayat alergi, maka dokter akan menuliskan alergi pasien pada kolom tersebut dan jika pasien tidak memiliki riwayat alergi kolom tersebut diberi tanda minus (-). Adanya data riwayat alergi pada pasien sudah menunjukkan waspada efek samping. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan waspada efek samping sebesar 100%, karena pasien ini tidak memiliki riwayat alergi karena pada data pasien kolom riwayat alergi diberi tanda minus (-), sehingga ini dikatatakan waspada efek samping. KESIMPULAN Dari hasil penelitian rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Pekanbaru tahun 2013 didapatkan tepat indikasi 100%, tepat obat 92,6%, tepat pasien 95,4%, tepat dosis 83,1%, tepat frekuensi 83,1%, tepat rute pemberian 70,8%, dan waspada efek samping 100%, dan dari data tersebut penggunaan antibiotika pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetika di Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Pekanbaru belum dapat dikatakan rasional. 34
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2008, Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat Bagi Kader, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Anonim, 2009, Synopsis of Diabetes Mellitus, World Health Organization, Departement of Medicine, Geneva. Anonim, 2011, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 2406/MENKES/PER/XII/2011 Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Febrianto, A.W., Mukaddas A., Faustine I., 2013, Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Infeksi Saluran Kemih (ISK) di Instalasi Rawat Inap RSUD Undata Palu Tahun 2012, Online Jurnal of Natural science Vo.2(3):20-29. Lestari W., Almahdy A., Zubir N., Darwin D., 2011, Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Sistem ATC/DDD dan Kriteria Gyysens di Bangsal Penyakit Dalam RSUP DR.M.Djamil Padang, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. VI, No. 2, Agustus 2011, 75 87. Lipsky, B.A., Berendt, A.R., Cornia, P.B., Pile, J.C., Peters, E.J.G., Armstrong, D.G., Deery, H.G., Embil, J.M., Joseph, W.S., Karchmer, A.W., Pinzur, M.S.,Senneville, E., 2012, Infectious Diseases Society of America Clinical Practice Guideline for the Diagnosis and Treatment of Diabetic Foot Infections, IDSA Guidelines, Amerika Serikat. Maulana, M., 2009, Mengenal Diabetes Mellitus Panduan Praktis Menangani Penyakit Kencing Manis, Penerbit Kata Hati, Yogyakarta. Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat (Edisi:5), Penerbit ITB, Bandung. Setiabudy, R., 2012, Farmakologi dan Terapi (Edisi:5), Departemen Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. Tjay, T. H., dan Rahardja K., 2007, Obat-Obat Penting Edisi VI, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Gramedia, Jakarta. Waspadji, S., 2006, Kaki Diabetes, Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV, Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. 35