BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Debu Batu Kapur dan Penyakit Pernapasan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITAS PARU PETERNAK AYAM. Putri Rahayu H. Umar. Nim ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. membentuk suatu asam yang harus dibuang dari tubuh (Corwin, 2001). duktus alveolaris dan alveoli (Plopper, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menyebabkan penyakit paru (Suma mur, 2011). Penurunan fungsi paru

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Uji Fungsi (lung function test) Peak flow meter

Sistem Pernapasan - 2

BAB I PENDAHULUAN. prevalensi perokok dewasa per hari. Menurut data Global Adult Tobacco Survey

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Paru. Paru adalah satu-satunya organ tubuh yang berhubungan dengan

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan pekerja dan akhirnya menurunkan produktivitas. tempat kerja harus dikendalikan sehingga memenuhi batas standard aman,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN ANTARA POSISI TUBUH TERHADAP VOLUME STATIS PARU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bahaya tersebut diantaranya bahaya faktor kimia (debu, uap logam, uap),

BAB V PEMBAHASAN. kelamin pria dipilih karena mayoritas populasi sampel di BBKPM adalah pria dan

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable

BAB 1. Pendahuluan. Faktor perinatal menjadi faktor risiko gangguan respiratorik kronis masa

BAB I PENDAHULUAN. manusia dapat lebih mudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. ISPA adalah suatu infeksi pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh. yang berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2010).

I. PENDAHULUAN. Rokok adalah gulungan tembakau yang dibalut dengan kertas atau daun. nipah. Menurut Purnama (1998) dalam Alamsyah (2009), rokok

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dari tahun ke tahun. Peningkatan dan perkembangan ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penyakit saluran nafas banyak ditemukan secara luas dan berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. ATP (Adenosin Tri Phospat) dan karbon dioksida (CO 2 ) sebagai zat sisa hasil

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya

I. PENDAHULUAN. dan menghadapi hal-hal darurat tak terduga (McGowan, 2001). Lutan. tahan dan fleksibilitas, berbagai unsur kebugaran jasmani saling

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perokok pasif atau second hand smoke (SHS) istilah pada orang lain bukan

SUMMARY GAMBARAN KAPASITAS PARU PADA REMAJA PEROKOK DI DESA TULADENGGI KECAMATAN TELAGA BIRU. Dwi Purnamasari Zees

RESPIRASI MELIBATKAN EMPAT PROSES: VENTILASI (PERGERAKAN UDARA. ANATOMI SISTEM RESPIRASI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perubahan yang sangat cepat, baik dalam bidang ekonomi, dan motorisasi (Dharmawan, 2004).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) di Indonesia tahun mendapatkan hasil prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Proses penuaan merupakan tantangan yang harus ditanggulangi karena diartikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SPIROMETRI. Deddy Herman. Bagian Pulmonologi & Kedokteran Respirasi FK UNAND

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 18. SISTEM PERNAPASANLATIHAN SOAL BAB 18

Respirasi melibatkan empat proses: ventilasi (pergerakan udara. Anatomi Sistem Respirasi

HUBUNGAN ANTARA OBESITAS DENGAN VOLUME PARU PADA ANAK USIA 9-11 TAHUN SKRIPSI

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA. A. Organ-Organ Pernapasan

Perbandingan Nilai Arus Puncak Ekspirasi Antara Perokok dan Bukan Perokok

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).

BAB VII SISTEM PERNAPASAN

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Silika adalah senyawa kimia silikon dioksida (SiO2) yang merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas sehingga jumlah tenaga kerja yang berkiprah disektor

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

ALAT DAN BAHAN 1. Satu set spirometer 2. Manometer tabung U 3. Respivol 4. Corong 5. Zat Cair 6. Mistar

Kurnia Eka Wijayanti

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun

FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU PADA TENAGA KERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI DAERAH CARGO PERMAI, KABUPATEN BADUNG, BALI

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Tes fungsi paru dilakukan untuk menilai kondisi paru seseorang. Tes fungsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB 1 PENDAHULUAN. udara termasuk oksigen. Secara alamiah paru-paru orang yang tinggal di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Task Reading: ASBES TOSIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Batik merupakan kain tradisional dari Indonesia yang telah diakui oleh

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. peternakan (melakukan pemeliharaan ternak) dengan tujuan sebagian atau seluruh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula pada kesehatan.

INSUFISIENSI PERNAFASAN. Ikbal Gentar Alam ( )

BAB I PENDAHULUAN. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

BAB 1 PENDAHULUAN. angka kesakitan dan angka kematian yang tinggi. 1. mematikan namun dapat dihindari. Berdasarkan laporan World Health

BAB I PENDAHULUAN. mengimpor dari luar negeri. Hal ini berujung pada upaya-upaya peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab IV ini membahas hasil penelitian yaitu analisa univariat. dan bivariat serta diakhiri dengan pembahasan.

HUBUNGAN PAPARAN DEBU DENGAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA PENYAPU PASAR JOHAR KOTA SEMARANG. Audia Candra Meita

EFEK PENUAAN TERHADAP FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI

BAB 1 PENDAHULUAN. 10 juta jiwa, dan 70% berasal dari negara berkembang, salah satunya Indonesia

BAB 1 : PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

REFERAT WSD. Oleh : Ayu Witia Ningrum Pembimbing : Dr. Fachry, Sp.P

BAB I PENDAHULUAN. Laennec di tahun 1819, kemudian diperinci oleh Sir William Osler pada

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN PADA MANUSIA. Laporan. Disusun untuk memenuhi tugas. Mata kuliah Anatomi Fisiologi Manusia.

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Debu Batu Kapur dan Penyakit Pernapasan Mineral kalsit dan aragonite memiliki kandungan yang sama yaitu kalsium karbonat (CaCO 3 ) dan mineral dolomite (CaMg(CO 3 ) 2 ) adalah komponen utama pembentuk batu kapur, unsur-unsur ini membentuk warna putih dan bertekstur lembut. Proses terbentuknya batu kapur terjadi selama berjuta juta tahun silam. Batu kapur terbentuk dari unsur karbonat, merupakan penyusun utama kulit kerang dan tiram. Pada saat organisme ini mati, mikroorganisme mikroskopik seperti foraminifera akan mendegradasi kulit kerang dan tulang yang tertinggal menjadi unsur yang lebih kecil lagi. Hasil degradasi ini akan terbentuk pasir karbonat atau lumpur karbonat. Pengendapan ini terjadi terus - menerus dalam waktu yang lama dan didukung dengan adanya proses alam, maka endapan pasir dan lumpur karbonat menjadi keras sehingga akan membentuk pegunungan batu kapur. Oleh sebab itu hampir sebagian besar pegunungan batu kapur berada dekat dengan laut (Kristanto, 2001). Penggunaan batu kapur sebagai batu bata, mortar, dan bahan konstruksi bangunan lainya, didasarkan pada sifat batu kapur tersebut yang tidak berbau dan tidak mudah terbakar ataupun meledak, batu kapur memiliki beberapa jenis warna yaitu putih, abu-abu dan coklat. Karena batu kapur merupakan batuan sedimen jenis khusus yang terbentuk oleh fosil-fosil hewan laut yang terdegradasi, kandungan utama dari batu kapur adalah CaCO 3 sebanyak 95% dan MgCO 3 11

12 sebanyak 11%. Jika terpapar dalam jumlah sedikit dengan waktu yang singkat tidak akan menimbulkan bahaya terhadap tubuh. Namun karena pada debu batu kapur mengandung kristal silika sebanyak 1-20% maka akan sangat berbahaya bagi tubuh jika terhirup dalam jumlah besar dan dengan waktu pajanan yang relatife lebih lama (Neil, 2000; Anonimus, 2011). Akibat adanya proses penambangan, karena adanya kekuatan mekanis terbentuklah debu kapur yang merupakan salah satu partikel padat. Berdasarkan komposisinya debu kapur berasal dari golongan anorganik dan jika dilihat dari sifatnya debu kapur termasuk profilferate dust, dimana di dalam paru golongan debu ini akan membentuk jaringan parut (fibrosis), yang dapat menyebabkan pengerasan pada jaringan alveoli, sehingga mengakibatkan gangguan kapasitas paru (Yulaekah, 2007). Penyakit seperti penurunan fungsi paru, bronkitis kronis dan emfisima yang termasuk dalam penyakit paru obstruktif akut merupakan efek yang timbul akibat adanya kadar debu silika dalam waktu yang lama. Hal ini sering disebut sebagai salah satu penyakit akibat kerja (OHSA, 2010). Paparan debu yang terjadi secara terus menerus dalam waktu yang lama akan mengakibatkan timbulnya Cronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) yang sering disebut dengan Penyakit paru obstruktif kronis. Penyebab utama timbulnya COPD umumnya adalah akibat asap rokok, dan asap juga debu sebagai faktor lingkungan dimana genetika dapat mempengaruhi terjadinya COPD. Paparan berat oleh debu di tempat kerja berkontribusi menyebabkan terjadinya PPOK pada pekerja (Lareau et al., 2013).

13 Paru dan saluran napas adalah organ tubuh yang sering terpapar oleh bahan-bahan berbahaya seperti debu di tempat kerja. Efek debu terhadap paru dipengaruhi oleh tingkat pajanan debu. Kadar debu rata-rata di udara dan waktu pajanan terhadap debu menentukan tingkat pajanan (Susanto, 2011). Ukuran debu yang dapat berdifusi dengan gerakan Brown untuk keluar masuk alveoli yaitu 0,1 0,5 mikron, namun bila debu membentur alveoli, maka akan terjadi penimbunan debu di situ (WHO, 2007). 2.2 Penambangan Batu Kapur Batu kapur merupakan salah satu jenis hasil galian golongan C yaitu bahan galian yang tidak termasuk golongan strategik dan vital, yang tercantum dalam Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Pertambangan. Kegiatan pertambangan batu kapur dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pertambangan skala besar dan pertambangan skala kecil. Jenis pertambangan skala kecil sering disebut pertambangan rakyat. Hal ini dikarenakan kegiatan pertambangan dilakukan oleh masyarakat setempat secara bersama-sama dengan menggunakan alat sederhana, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Pertambangan batu kapur biasanya dilakukan oleh perseorangan atau oleh warga masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan, namun ada juga penambangan yang dilakukan oleh pengusaha kecil maupun besar (Arvina, 2009).

14 2.2.1 Sistem penambangan batu kapur (Risyanto et al., 2001) Sistem penambangan batu kapur yang sering dilakukan oleh pertambangan rakyat dibagi menjadi dua jenis yaitu : 1. Sistem penambangan terbuka Sistem penambangan terbuka/open pit mining menghasilkan bahan tambang dolomit berupa hancuran atau batuan pecah, dan batuan ini masih harus diproses lebih lanjut untuk keperluan tertentu. Sistem penambangan seperti ini memiliki prosedur yaitu langsung memotong lereng/tebing bukit kapur hingga menghasilkan depresi luas dinding berlereng. Dapat mencapai 90º. Sistem penambangan seperti ini merupakan sistem penambangan yang banyak digunakan oleh masyarakat. Dengan menggunakan peralatan tradisional maupun peralatan mekanik. 2. Sistem penambangan tertutup Sistem penambangan tertutup merupakan sistem yang pelaksanaannya dengan cara membuat gua-gua tambang dengan tiang penyangga dari gua tambang itu adalah dolomit itu sendiri, peralatan yang digunakan pada sistem penambangan ini adalah peralatan tradisional antara lain bethel, bodem, linggis dan lain-lain. Sistem seperti ini adalah sistem yang paling sering ditemukan pada pertambangan rakyat. 2.2.2 Kegiatan penambangan batu kapur Proses penambangan batu kapur sendiri tediri dari beberapa tahapan proses yang diawali dengan proses peledakan (Blasting) yang bertujuan untuk membongkar atau melepaskan batuan (losses) dari batuan induknya,

15 dilanjutkan dengan pemecahan bongkahan batu kapur menjadi diameter yang lebih kecil (Breaking), kemudian pengambilan material (Loading), dilanjutkan dengan pemuatan material (Hauling) dan tahapan terakhir adalah pembuangan material (Dumping) ke dalam crusher (Frakhruzy, 2009). 2.3 Tumor Necrosis Factor Alpha (TNFα) Tumor Necrosis Factor (TNF)-α pertama kali diidentifikasi sebagai sitokin proinflamasi multifungsi dengan efek pada metabolisme lemak, resistensi insulin, fungsi endothelial dan koagulasi pada tahun 1975. Beberapa dekade lalu TNF telah dikenal sebagai agen anti kanker, yang merupakan anggota dari TNF Receptor (TNFR) superfamily dimana dapat mengirimkan sinyal survival atau pun sinyal kematian sel. TNFα merupakan protein yang terdapat dalam dua bentuk yaitu terlarut (157 asam amino) dan transmembran (233 asam amino). Kelompok TNF berperan penting dalam berbagai proses patologis dan filosofis yaitu ploriferasi sel, diferensiasi, apoptosis, indeks inflamasi dan modulasi sistem imun (Aggarwal, 2009). Sitokin utama pada respon inflamasi akut terhadap bakteri gram negatif dan mikroba lainnya adalan TNF. Produksi TNF dalam jumlah besar dipicu oleh adanya infeksi yang besar sehingga menimbulkan reaksi sistemik. TNFα disebut TNFα atas dasar historis dan di gunakan untuk membedakannya dari TNFβ atau limfotoksin. Fagosit molekulear, sel T yang diaktifkan antigen, sel NK dan sel mast merupakan sumber utama TNFα (Baratawidjaja, 2012).

16 Pada awalnya TNFα ditemukan pada tumor tertentu yang mengalami perdarahan, ternyata yang menyebabkan perdarahan tersebut adalah nekrosis jaringan. Sel-sel penghasil TNF adalah sel makrofag dan sel-sel jenis lain dengan aktifitas biologik yang berbeda pada sel-sel sasaran yang termasuk dalam sistem imun atau pun tidak. Sejumlah jenis sel yang baru akan menghasilkan TNF apabila mendapatkan rangsangan yang cocok, misalnya pada limfosit dan sel NK (Subowo, 2009). Tumor Necrosis Factor (TNF) bekerja terhadap leukosit dan endotel pada kadar rendah yang menginduksi inflamasi akut. Pada kadar sedang, TNF berperan penting dalam inflamasi sistemik. Sedangkan pada keadaan tinggi, TNF dapat menimbulkan kelainan patologik syok septic (Baratawidjaja, 2012). Tumor Necrosis Factor (TNF)-α merupakan sitokin pada imunitas nonspesifik dengan sumber utama adalah makrofag dan sel T, dimana sasaran utama dan efek biologik yang di timbulkan yaitu pada sel endotel terjadi aktivasi (inflamasi, koagulasi), neotrofil terjadi aktivasi, hipotalamus terjadinya panas, hati terjadinya efek sintesis APP, pada otak dan lemak terjadi katabolisme (kaheksia) (Baratawidjaja, 2012).

17 Gambar 2.1 Efek Biologik TNF (Sumber : Baratawidjaja, 2012). Sintesis TNFα terkontrol secara ketat untuk memastikan produksi masih kecil dalam sel normal pada kondisi normal. Adanya stimulasi dari berbagai stimuli, maka kemungkinan melepaskan TNFα dalam jumlah yang besar karena adanya proses transkripsi dan translasi gen TNFα yang mengalami peningkatan secara cepat. Terdapat banyak faktor pada multilevel dan sel teraktifitasi yang mengendalikan ragulasi ekpresi TNF dengan meningkatnya serum TNF dalam waktu 90 menit setelah adanya proses stimulasi dan kemudian diikuti dengan menurunnya kadar TNFα pada kadar normal dalam waktu 4 jam (Aggarwal, 2009).

18 2.4 Faal Paru Respirasi yang berarti bernafas kembali atau yang disebut juga sistem pernafasan. Sistem ini berperan menyediakan oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari dalam tubuh menuju ke udara bebas. Peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh (inspirasi) serta mengeluarkan udara yang mengandung karbon dioksida sisa oksidasi ke luar tubuh (ekspirasi) adalah pernafasan (Muttaqin, 2008). Menurut Siregar (2004), Proses pernafasan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu : 1. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara, serta distribusi udara pada trakeobronkial sehingga terjadi pertukaran gas di dalam alveoli. 2. Difusi adalah merupakan proses perpindahan udara dari alveoli ke dalam darah, serta proses keluarnya karbondioksida dari darah menuju alveoli. Terjadi proses perpindahan molekul dari tempat yang konsentrasi tinggi ke tempat dengan konsentrasi rendah. 3. Perfusi adalah distribusi darah di dalam paru yang telah teroksigenasi untuk dialirkan ke seluruh tubuh. Aktifitas ventilasi meningkat apabila seseorang beraktifitas dan disesuaikan dengan beratnya aktifitas yang dilakukan. Beberapa hal yang mempengaruhi volume paru nomal yaitu ukuran sistem pernafasan tergantung bentuk dan ukuran tubuh, jenis kelamin dan usia. Kapasitas vital rata-rata 4,6 liter adalah untuk usia dewasa muda dan 3, 1 liter untuk wanita dewasa muda. Volume

19 dan kapasitas paru juga dipengaruhi oleh postur tubuh, biasanya akan meningkat ketika berdiri dan menurun ketika berbaring (Francis, 2006). Pengukuran volume paru dapat diukur secara langsung dengan menggunakan spirometer, namun tidak untuk volume residu. Keadaan fungsi paru yang diketahui berdasarkan hasil pengukuran atau uji fungsi paru dengan menggunakan alat spirometer adalah untuk mengetahui status fungsi paru. Parameter yang digunakan dalam pengukuran faal paru adalah Vital Capacity (VC), Forced Vital Capacity (FVC), dan Forced Expiratory Volume (FEV). Parameter yang digunakan untuk mengukur volume maksimum udara yang dapat di ekspirasikan oleh seseorang dengan rentang waktu tertentu adalah volume ekspirasi paksa (VEP/FEV), yang perlu di evaluasi adalah volume udara pada satu titik pertama ekspirasi (FEV 1 ) (Depnakertrans, 2005). 2.4.1 Volume dan kapasitas standar paru Menurut Levitzky (2007), ada empat volume standard paru dan empat kapasitas paru standard yaitu terdiri dari dua atau lebih kombinasi volume paru standard. Guyton dan Hall (2008) menjabarkan empat volume standard paru sebagai berikut : 1. Volume tidal (tidal volume), yaitu jumlah udara yang dihirup dan dihembuskan pada setiap kali pernafasan normal. Volume udara waktu istirahat lebih kecil dari pada waktu kerja. Besarnya 0,5 L pada rata - rata orang dewasa.

20 2. Volume cadangan inspirasi (Inpiratory Reserve Volume), yaitu jumlah maksimal udara yang dihirup sesudah setelah volume tidal. Biasanya mencapai 2,5 L. 3. Volume cadangan ekspirasi (Ekspiratory Reserve Volume), yaitu jumlah maksimal udara yang masih dapat dihembuskan sesudah akhir ekspirasi normal. Volume udara yang masih tetap dalam paru setelah ekspirasi yang paling kuat, dalam keadaan normal jumlahnya 1,5 L. 4. Volume residu (Residual Volume) yaitu jumlah udara yang masih ada di dalam paru sesudah melakukan ekspirasi yang paling kuat, volume tersebut ± 1,5 L. Gambar 2.2 Volume Paru dan Kapasitas Standard (Sumber : Levitzky, 2007)

21 Kapasitas paru adalah kombinasi nilai kapasitas ini mencakup dua atau lebih nilai volume paru, dalam siklus paru (Guyton, 1995) seperti : 1. Kapasitas Paru Total (KPT) adalah jumlah maksimal udara yang dapat ditampung oleh paru pada akhir inspirasi maksimal dengan cara inspirasi paksa kira-kira sebesar 6000 ml. 2. Kapasitas Vital (KV) adalah jumlah maksimal udara yang dikeluarkan seseorang dari paru dengan sekuat-kuatnya setelah mengisi paru secara maksimal terlebih dulu dan kemudian mengeluarkan dengan maksimal kirakira sebesar 4.500 ml. 3. Kapasitas Inspirasi, adalah jumlah maksimal udara yang dihirup oleh seseorang kira-kira sebesar 3.000 ml setelah posisi istirahat (akhir ekspirasi normal) sampai jumlah maksimal. 4. Kapasitas Residu Fungsional (KRF) adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru pada posisi istirahat dan atau akhir respirasi normal kira-kira sebesar 3000 ml. Untuk wanita semua volume dan kapsitas paru kira-kira 20 25% dibawah pria dan lebih besar pada orang yang memiliki ukuran tubuh besar dan altet jika dibandingkan dengan orang bertubuh kecil dan astenik. 2.4.2 Alat uji faal paru Spirometer merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk pemeriksaan faal paru. Menurut Fishman et al., 2008 menyebutkan bahwa jenis Spirometer yaitu :

22 1. Spirometer basah (Water filled) 2. Spirometer kering (Waterless) Pemeriksaan fungsi paru dengan menggunakan spirometer bertujuan agar dapat sedini mungkin mengetahui adanya gangguan fungsi paru. Hasil pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui atau menilai seberapa beratkah obstruksi yang telah terjadi meskipun secara pemeriksaan klinik maupun radiologi pada penderita belum tentu dapat diketahui. Pada pemeriksaan fungsi paru ini juga memiliki kekurangan yaitu hasil normal yang diperoleh hanya untuk tujuan evaluasi personal bukan kelompok, dan pada saat pengukuran harus dilakukan dengan maksimal karena hasilnya sangat dipengaruhi oleh kerja sama dengan orang yang diperiksa. 2.4.3 Nilai normal, restriktif, dan obstruktif pada faal paru Hasil pemeriksaan faal paru yang diperoleh harus diinterpretasikan dengan cara dibandingkan dengan nilai standard, berikut ini interpretasi pemeriksaan faal paru dengan menggunakan nilai prediksi atau perbandingan (Ikawati, 2011). 1. Normal, jika FEV 1 /FVC 75% dan FVC 80% 2. Gangguan Obstruktif, jika FEV 1 /FVC < 75%, FVC 80%, dibagi menjadi: a) FEV 1 /FVC : 60-75 % : Ringan b) FEV 1 /FVC : 40-59 % : Sedang c) FEV 1 /FVC : < 40 % : Berat 3. Gangguan Restriksi, jika FEV 1 /FVC 75 % dan FVC < 80 % 4. Gangguan campuran (obstruktif dan restriksi), jika FEV 1 /FVC < 75 % dan FVC < 80 %

23 Hasil pengukuran dengan menggunakan spirometer masih harus disesuaikan lagi dengan umur, tinggi badan, dan kemungkinan etnik yang merupakan nilai sebenarnya dari pemeriksaan fungsi paru. 2.5 Karakteristik Penambang Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gangguan paru pada penambang, diantaranya : 1. Umur Elastisitas paru sebagaimana jaringan lain dalam tubuh juga dipengaruhi oleh umur seseorang. Faktor umur menjadi salah satu variabel penting dalam terjadinya gangguan fungsi paru, semakin tua umur seseorang maka semakin besar kemungkinan untuk mengalami penurunan fungsi paru. Kejadian ini akan semakin buruk jika disertai dengan buruknya kondisi lingkungan dan adanya faktor lain yang semakin mempengaruhi fungsi paru (Budiono, 2007). Menurut Rosbinawati (2002) dari hasil penelitiannya diketahui bahwa ada hubungan bermakna secara statistika antara umur dengan gejala gangguan pernapasan. Hal ini menggambarkan adanya hubungan antara umur dengan potensi kemungkinan terpapar terhadap agen infeksi, kekebalan tubuh dan aktifitas fisiologis berbagai jaringan yang berpengaruh terhadap perjalanan penyakit pada seseorang. Setelah pada usia 30 tahun dapat terjadi penurunan KVP, tetapi penurunan KVP akan lebih cepat lagi pada usia 40 tahun. Sejak usia anak-anak faal paru akan bertambah volumenya, pada usia 19 tahun sampai 21 tahun akan mencapai nilai

24 maksimum. Namun setelah usia tersebut seiring dengan bertambahnya usia maka faal paru akan mulai menurun (Budiono, 2007). 2. Masa kerja Suatu masa berlangsungnya kegiatan seseorang dalam waktu tertentu disebut dengan masa kerja. Seseorang yang bekerja pada lingkungan kerja yang menghasilkan debu maka akan memiliki risiko gangguan kesehatan akibat kadar debu tersebut. Makin lama seseorang bekerja atau terpapar dengan debu di lingkungan kerjanya maka semakin besar pula risiko terkena gangguan pernapasan. 3. Kebiasaan merokok Debu yang tertimbun di dalam paru akan menyebabkan terjadinya fibrosis (pengerasan jaringan paru), apabila kondisi lingkungan kerja seseorang yang merokok memiliki tingkat konsentrasi debu yang tinggi maka dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi paru yang ditandai dengan penurunan fungsi paru (VC, FCV dan FEV 1 ) yang berdampak pada penurunan KVP. Kebiasaan seseorang merokok dapat mempercepat terjadinya penurunan fungsi paru, untuk non perokok penurunan volume ekspirasi paksa pertahun yaitu 28,7 ml, sedangkan untuk bekas perokok yaitu 38,4 ml dan untuk perokok aktif adalah 41,7 ml (Anshar, 2005). Gold et al (2005) menyatakan bahwa kebiasaan merokok pada pekerja yang terpapar oleh debu memperbesar kemungkinan terjadinya gangguan fungsi

25 paru. Untuk mengukur derajat berat merokok dilakukan dengan menghitung indeks Brinkman yang merupakan hasil perkalian antara jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap setiap hari dengan lama merokok dalam tahun. Nilai yang diperoleh dari hasil perhitungan kemudian dimasukkan kedalam tiga kategori yaitu ringan: 0 200, sedang: 201 600 dan berat: > 600. 4. Riwayat Penyakit Saluran Pernapasan KVP seseorang dipengaruhi oleh kondisi kesehatan saluran pernapasan, ketika seseorang sakit maka kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang (Ganong, 2002). Secara otomatis nilai kapasitas paru akan berkurang pada penyakit paru, penyakit jantung (yang menimbulakan kongesti paru) dan terjadi juga pada kelemahan otot pernapasan. Selain itu juga pada pekerja yang menghadapi debu dalam melaksanakan pekerjaannya akan mengakibatkan pneumunokiosis. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melindungi pekerja dari kadar debu adalah dengan menggunakan respirator saat bekerja.