Dampak Diterapkannya Aturan Suara Terbanyak terhadap Keterwakilan Perempuan dan Gerakan Perempuan Oleh: Ani Soetjipto Akademisi Universitas Indonesia I. Hilangnya koherensi hulu-hilir tindakan affirmative dalam UU 10/ 2008 Implikasi Keputusan MK terhadap Koherensi Tindakan Afirmatif dalam UU No.10/2008 Pencalonan perempuan minimal 30% (pasal 53) Penempatan calon: setiap 3 bakal calon, minimal terdapat satu bakal calon perempuan (pasal 55 ayat 2) Penentuan calon terpilih: 30% BPP dan nomor urut (pasal 214) DOMAIN PARTAI POLITIK DOMAIN PEMILIH Tidak ada koherensi hulu ke hilir, penempatan calon (pasal 55) menjadi tidak bermakna 2. Data dan fakta keterwakilan perempuan yang masih minim di tingkat nasional dan lokal.
Tabel 2: Keterwakilan Perempuan di DPR RI Masa Kerja DPR Perempuan Laki-laki Keterangan 1950 1955 9 (3,8%) 236 (96,2%) (DPR Sementara) 1955 1960 17 (6,3%) 272 (93,7%) Konstituante (1956-1959) 25 (5,1%) 488 (94,9%) 1971 1977 36 (7,8%) 460 (92,2%) 1977 1982 29 (6,3%) 460 (93,7%) 1982 1987 39 (8,5%) 460 (91,5%) 1987 1992 65 (13%) 435 (87%) 1992 1997 62 (12,5%) 438 (87,5%) 1997 1999 54 (10,8%) 446 (89,2%) 1999 2004 46 (9%) 454 (91%) Tidak ada kebijakan afirmatif dalam UU politik, khususnya UU Pemilu, padahal sistem pemilu proporsional tertutup dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah perempuan di legislatif. 2004 2009 65 (11,6%) 435 (87%) Baru ada tindakan afirmatif dalam pencalonan minimal 30% perempuan dan keterpilihan dengan nomor urut. Kondisi keterwakilan di DPRD provinsi dan kabupaten/kota rata-rata juga masih memprihatinkan. Jumlahnya masih sangat rendah, rata-rata hanya 5%. Simak tabel berikut ini: Tabel 3: Keterwakilan Perempuan di DPRD Provinsi Hasil Pemilu 2004 No Provinsi Perempuan Laki-laki Jumlah 1 Nanggroe Aceh Darussalam 4 (5%) 65 (95%) 69 2 Sumatera Barat 5 (9%) 50 (91%) 55 3 Sumatera Selatan 10 (15%) 55 (85%) 65 4 Jambi 6 (13%) 39 (87%) 45 5 Lampung 10 (15%) 55 (85%) 65 6 Sumatera Utara 5 (6%) 80 (94%) 85 7 Riau 3 (5%) 52 (95%) 55 8 Kepulauan Riau 2 (5%) 33 (95%) 35 9 Bangka Belitung 2 (5%) 33 (95%) 35 10 Bengkulu 6 (13%) 39 (87%) 45 11 Jawa Timur 16 (16%) 84 (84%) 100 12 Jawa Tengah 15 (15%) 85 (85%) 100 13 DKI Jakarta 11 (14%) 64 (86%) 75 14 Banten 4 (5%) 71 (95%) 75 15 Jawa Barat 9 (%) 91 (91%) 100 16 D.I. Yogyakarta 5 (9%) 50 (91%) 55 17 Bali 4 (7%) 51 (93%) 55 18 Nusa Tenggara Barat 4 (7%) 51 (93%) 55 19 Nusa Tenggara Timur 5 (9%) 50 (91%) 55 20 Kalimantan Barat 3 (5%) 52 (95%) 55 21 Kalimantan Timur 7 (15%) 38 (75%) 45 22 Kalimantan Tengah 7 (15%) 38 (85%) 45 23 Kalimantan Selatan 2 (3%) 53 (97%) 55 24 Maluku 2 (4%) 43 (96%) 45
No Provinsi Perempuan Laki-laki Jumlah 25 Maluku Utara 0 35 (100%) 35 26 Sulawesi Utara 8 (17%) 37 (83%) 45 27 Sulawesi Selatan 5 (7%) 70 (93%) 75 28 Gorontalo 5 (14%) 30 (86%) 35 29 Sulawesi Tengah 8 (17%) 37 (83%) 45 30 Sulawesi Tenggara 3 (6%) 42 (94%) 45 31 Papua 8 (14%) 48 (86%) 56 32 Irian Jaya Barat 3 (6%) 41 (94%) 44 Angka keterwakilan yang rendah ini dicoba di rekayasa untuk di dongkrak dengan zipper system 3:!, didalam sistim pemilu proporsional semi terbuka dengan penentuan calon terpilih lewat mekanisme no. urut dan 30% BPP (pasal 214 yang dibatalkan oleh mahkamah konstitusi). Logikanya jika caleg perempuan ditempatkan pada 3 urutan teratas dan yang bersangkutan bisa memenuhi 30% BPP, dan diletakkan dalam di daerah basis partai, maka peluang keterpilihan besar. Tabel 4: Penempatan Calon Laki-laki dan Perempuan dalam Daftar Calon 38 Partai Politik Peserta Pemilu Nomor Urut Jumlah Caleg Jumlah Caleg Perempuan Calon Legislatif (Caleg) Laki-laki Caleg no. urut 1 2,259 (81.7) 505 (18.3) Caleg no. urut 2 1,460 (65.3) 775 (34.7) Caleg no. urut 3 674 (39.0) 1,052 (61.0) Caleg no. urut 4 944 (73.6) 338 (26.4) Caleg no. urut 5 637 (64.9) 345 (35.1) Caleg no. urut 6 339 (45.7) 402 (54.3) Caleg no. urut 7 398 (72.9) 148 (27.1) Caleg no. urut 8 233 (61.6) 145 (38.4) Caleg no. urut 9 137 (54.2) 116 (45.8) Caleg no. urut 10 154 (85.1) 27 (14.9) Caleg no. urut 11 57 (68.7) 26 (31.3) Caleg no. urut 12 31 (66.0) 16 (34.0) Jumlah 7,323 (65.3) 3,895 (34.7) Sumber: Data KPU, diolah oleh www.pemilu.asia, 2008 Dengan gambaran penempatan yang seperti ini, maka prediksi keterpilihan perempuan menjadi semakin sulit dengan sistem suara terbanyak. Persaingan di urutan atas tidak berimbang, apalagi jika dilihat pada penempatan dapil yang belum tentu basis partai atau daerah asal calon. Bagaimanapun dalam konteks waktu yang sangat terbatas ini, berada di urutan atas masih menjadi modal untuk memenangkan kursi. 3. Implikasi penerapan suara terbanyak bagi peningkatan keterwakilan perempuan Tabel berikut ini menunjukkan bagaimana kinerja perolehan caleg perempuan untuk DPR hasil Pemilu 2004 yang relatif masih rendah dibanding caleg laki-laki.
Tabel 5: Perolehan Suara Caleg Dalam Pemilu 2004 Untuk Pemilihan Anggota DPR Persentase Laki-laki Perempuan Total Jumlah % Jumlah % Jumlah % calon calon calon 0 - <10% 3.568 84,97% 1,721 93,28% 5,289 87,51% 10 - <20% 429 10,22% 93 5,04% 522 8,64% 20 - <30% 98 2,33% 19 1,03% 117 1,94% 30 - <40% 55 1,31% 6 0,33% 61 1,01% 40 - <50% 28 0,67% 3 0,16% 31 0,51% >50% 21 0,50% 3 0,16% 24 0,40% 4.199 69,47% 1.845 30,53% 6.044 100.0 Sumber: KPU, diolah oleh CETRO Mayoritas caleg perempuan (93.28%) perolehan suaranya berada pada kisaran di bawah 10% dari BPP. Sementara caleg laki-laki secara umum cenderung dapat melewati 10% dari BPP daripada caleg perempuan (10% berbanding 5%). Artinya caleg perempuan yang dapat melewati 10% BPP hanyalah separo dari caleg laki-laki. Semakin tinggi persentase perolehan suara dari BPP (diatas 20%), semakin sedikit caleg perempuan yang dapat memenuhinya. Kenyataan ini menunjukkan masih banyaknya kendala bagi caleg perempuan untuk bersaing secara seimbang dengan caleg laki-laki. Selain jumlahnya tidak sama (70% berbanding 30%), faktor pendukung lainnya juga kurang dimiliki oleh caleg perempuan. Maka jika penentuan calon terpilih dilakukan secara suara terbanyak murni, dapat dipastikan jumlah perempuan yang terpilih akan sangat berkurang. Apalagi dengan banyaknya partai politik peserta pemilu, persaingan mendapatkan kursi lebih dari satu di tiap dapil, sangatlah sulit. 4. Berbagai strategi yang harus dilakukan: a. Intervensi dalam tataran kebijakan. Mengintegrasikan rekomendasi gerakan perempuan affirmative dengan mekanisme suara terbanyak lewat beragam cara (SK KPU, PERPU, internal settlement di partai politik) yang masing-masingnya mempunyai kesulitan yang tidak sedikit. Rekomendasi affirmative yang ditawarkan: Usulan afirmatif suara terbanyak 3:1 a. Penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. b. Penghitungan suara terbanyak dilakukan terpisah berdasarkan jenis kelamin. c. Pada setiap tiga calon terpilih dengan suara terbanyak, satu diantaranya dari jenis kelamin yang berbeda. Berikut adalah simulasi penerapan afirmatif suara terbanyak 3:1.
Contoh: Perolehan Suara Partai Awan di Dapil X No Urut Nama Caleg Jenis Kelamin Suara 1 Rudy Ardiansyah L 75,142 2 H. Maruli Nasution L 14,724 3 Tuti Herawati P 13,303 4 Muhammad Fajar L 22,077 5 Carolina Sutanto P 6,485 6 Ahmad Heryawan L 2,217 7 Azis Muridhan L 2,620 8 Kiara Anggun Pribadi P 1,457 9 Totok Sidarta L 833 10 Budi Ariawan L 2,626 11 Ikhsan Darmawan L 2,030 12 Sabri L 2,831 Keterangan Calon Terpilih Jika 1 kursi: terpilih no urut 1 (terbanyak laki-laki) Jika 2 kursi: terpilih no urut 1 dan no urut 4 (terbanyak kedua laki-laki) Jika 3 kursi: terpilih no urut 1, no urut 4, dan no urut 3 (terbanyak pertama perempuan) Keterangan: - Jika partai memperoleh satu kursi, calon terpilih adalah Rudy Ardiansyah yang memperoleh suara paling banyak. - Jika partai memperoleh dua kursi, calon terpilih adalah terbanyak pertama dan kedua dalam daftar calon, yaitu Rudy Ardiansyah (no urut 1, terbanyak pertama, laki-laki) dan Muhammad Fajar (no urut 4, terbanyak kedua, laki-laki). - Jika partai memperoleh tiga kursi, calon terpilih adalah Rudy Ardiansyah (no. urut 1, terbanyak pertama, laki-laki), Muhammad Fajar (no. urut 4, terbanyak kedua, lakilaki), dan kursi ketiga untuk perempuan karena kursi pertama dan kedua telah diisi oleh jenis kelamin yang sama (laki-laki). Kursi ketiga untuk Tuti Herawati (no. urut 3, terbanyak pertama, perempuan). b. Bekerja di lapangan: memenangkan caleg perempuan yang berpeluang bisa memenangkan pemilu dengan suara terbanyak (Mapping dapil, analisa potensi caleg yang diusung dan data potensi suara yang bisa di dapat) serta melakukan sinergi vertikal dan horizontal antar beragam stakeholder untuk memenangkan caleg tsb.