BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
KEBUTUHAN ENERGI DAN PROTEIN UNTUK HIDUP POKOK DAN PERTUMBUHAN PADA AYAM KAMPUNG UMUR MINGGU

Peubah yang diamati meliputi berat badan awal, berat badan akhir, pertambahan berat badan, konsumsi pakan, feed convertion ratio (FCR), kecernaan

PENGARUH LEVEL ENERGI DAN PROTEIN RANSUM TERHADAP PENAMPILAN AYAM KAMPUNG UMUR 0-10 MINGGU

Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam lokal persilangan merupakan ayam lokal yang telah mengalami

BAB III MATERI DAN METODE. Februari 2017 di kandang, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan sekitarnya, sehingga lebih tahan terhadap penyakit dan cuaca. dibandingkan dengan ayam ras (Sarwono, 1991).

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Penggunaan Tepung Daun Mengkudu (Morinda

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2013 di

BAB III MATERI DAN METODE. Pertanian, Universitas Diponegoro pada tanggal 22 Oktober 31 Desember 2013.

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

BAB III MATERI DAN METODE. periode starter terhadap performans pada Ayam Kedu Hitam umur 0-10 Minggu.

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

BAB III METODE PENELITIAN. energi metabolis dilakukan pada bulan Juli Agustus 2012 di Laboratorium Ilmu

BAB III MATERI DAN METODE. protein berbeda pada ayam lokal persilangan selama 2 10 minggu dilaksanakan

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian adalah ayam kampung jenis sentul

III. KEBUTUHAN ZAT-ZAT GIZI AYAM KUB. A. Zat-zat gizi dalam bahan pakan dan ransum

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sudah melekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pemanfaatan tepung olahan biji alpukat sebagai

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas ayam buras salah satunya dapat dilakukan melalui perbaikan

MATERI DAN METODE. Materi

KOMBINASI AZOLLA MICROPHYLLA DENGAN DEDAK PADI SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL AYAM PEDAGING

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

OPTIMALISASI TEKNOLOGI BUDIDAYA TERNAK AYAM LOKAL PENGHASIL DAGING DAN TELUR

BAB III MATERI DAN METODE. Laut (Gracilaria verrucosa) terhadapproduksi Karkas Puyuh (Cotunix cotunix

BAB III MATERI DAN METODE. 10 minggu dilaksanakan pada bulan November 2016 Januari 2017 di kandang

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau.

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N.

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh penggunaan tepung daun katuk (Sauropus

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial.

Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower

PEMAKAIAN ONGGOK FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA AYAM BURAS PERIODE PERTUMBUHAN

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak cukup tinggi, nutrisi yang terkandung dalam lim

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

MATERI. Lokasi dan Waktu

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kampung. Ayam kampung merupakan ayam lokal Indonesia yang berasal dari ayam

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yaitu tipe pedaging, tipe petelur dan tipe dwiguna. Ayam lokal yang tidak

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

Peternakan Tropika Journal of Tropical Animal Science

MATERI DAN METODE. Materi

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ayam petelur yang digunakan adalah ayam petelur yang berumur 27

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Limbah Ikan Bandeng (Chanos

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2016 dengan tiga

BAB III MATERI DAN METODE. Kampung Super dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2016 dikandang

BAB III MATERI DAN METODE. hijau terhadap bobot relatif dan panjang organ pencernaan itik Magelang jantan

VI. TEKNIK FORMULASI RANSUM

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

BAB III METODE PENELITIAN. yang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan selama 1 bulan, pada Agustus 2012 hingga September

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

MATERI DAN METODE. Materi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher)

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. kelompok perlakuan dan setiap kelompok diulang sebanyak 5 kali sehingga setiap

PEMANFAATAN LIMBAH RESTORAN UNTUK RANSUM AYAM BURAS

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

PENGARUH PENGGUNAAN LEVEL ENERGI PROTEIN RANSUM TERHADAP PRODUKSI AYAM KAMPUNG

MATERI DAN METODE. Materi

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 minggu dari April 2014, di peternakan

PengaruhImbanganEnergidan Protein RansumterhadapKecernaanBahanKeringdan Protein KasarpadaAyam Broiler. Oleh

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kabupaten Bogor. Pada umur 0-14 hari ayam diberi ransum yang sama yaitu

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di

MANFAAT DEDAK PADI YANG DIFERMENTASI OLEH KHAMIR SACCHAROMYCES CEREVISIAE DALAM RANSUM ITIK BALI JANTAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 minggu dari 12 September 2014 sampai

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Standar Performa Mingguan Ayam Broiler CP 707

TINGKAT KEPADATAN GIZI RANSUM TERHADAP KERAGAAN ITIK PETELUR LOKAL

Dulatip Natawihardja Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

Yunilas* *) Staf Pengajar Prog. Studi Peternakan, FP USU.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fungsi, yaitu sebagai ayam petelur dan ayam potong.

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh frekuensi dan periode pemberian pakan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan selama 13 minggu, pada 12 Mei hingga 11 Agustus 2012

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG AMPAS TAHU DI DALAM RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN INCOME OVER FEED COST AYAM SENTUL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping

I. PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan dan kecerdasan bangsa. Permintaan masyarakat akan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Materi

PENDAHULUAN. jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam broiler, tidak

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi

OBJEK DAN METODE PENELITIAN. tradisional Babah Kuya yang terletak di pasar baru. Pasak bumi yang digunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32

III. MATERI DAN METODE

Kombinasi Pemberian Starbio dan EM-4 Melalui Pakan dan Air Minum terhadap Performan Itik Lokal Umur 1-6 Minggu

PENGARUH TINGKAT PROTEIN RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, PERSENTASE KARKAS DAN LEMAK ABDOMINAL PUYUH JANTAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam kampung merupakan ayam lokal di Indonesia yang kehidupannya sudah lekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras (bukan ras), atau ayam sayur. Penampilan ayam kampung sangat beragam, begitu pula sifat genetiknya, penyebarannya sangat luas karena populasi ayam buras dijumpai di kota maupun desa. Potensinya patut dikembangkan untuk meningkatkan gizi masyarakat dan menaikkan pendapatan keluarga. Diakui atau tidak selera konsumen terhadap ayam kampung sangat tinggi. Hal itu terlihat dari pertumbuhan populasi dan permintaan ayam kampung yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (Bakrie et al.,2003). Hal ini terlihat dari peningkatan produksi ayam kampung dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 2001 2005 terjadi peningkatan sebanyak 4,5 % dan pada tahun 2005 2009 konsumsi ayam kampung dari 1,49 juta ton meningkat menjadi 1,52 juta ton (Aman, 2011). Mempertimbangkan potensi itu, perlu diupayakan jalan keluar untuk meningkatkan populasi dan produktivitasnya. Ayam kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan dan perubahan iklim serta cuaca setempat. Ayam kampung memiliki bentuk badan yang kompak dan susunan otot yang baik. Bentuk jari kaki tidak begitu panjang, tetapi kuat dan ramping, kukunya tajam dan sangat kuat mengais tanah. Ayam kampung penyebarannya secara merata dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Kondisi yang ada terkait dengan masalah utama dalam pengembangan ayam kampung adalah rendahnya produktifitas. Salah satu faktor penyebabnya adalah sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, jumlah pakan yang diberikan belum mencukupi dan pemberian pakan yang belum mengacu kepada kaidah ilmu nutrisi (Gunawan, 2002; Zakaria, 2004a), terutama sekali pemberian pakan yang belum memperhitungkan kebutuhan zat-zat makanan untuk berbagai tingkat produksi. Keadaan tersebut disebabkan karena belum cukupnya informasi 1

mengenai kebutuhan nutrisi untuk ayam kampung. Peningkatan populasi, produksi dan efisiensi usaha ayam kampung, perlu ditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis (Zakaria, 2004b). Secara umum, kebutuhan gizi untuk ayam paling tinggi selama minggu awal (0-8 minggu) dari kehidupan, oleh karena itu perlu diberikan ransum yang cukup mengandung energi, protein, mineral dan vitamin dalam jumlah yang seimbang. Faktor lainnya adalah perbaikan genetik dan peningkatan manajemen pemeliharaan ayam kampung harus didukung dengan perbaikan nutrisi pakan (Setioko dan Iskandar, 2005; Sapuri, 2006). Sampai saat ini standar gizi ransum ayam kampung yang dipakai di Indonesia didasarkan rekomendasi Scott et al. (1982) dan NRC (1994). Menurut Scott et al. (1982) kebutuhan energi termetabolis ayam tipe ringan umur 2-8 minggu antara 2600-3100 kkal/kg dan protein pakan antara 18% - 21,4% sedangkan menurut NRC (1994) kebutuhan energi termetabolis dan protein masing - masing 2900 kkal/kg dan 18%. Standar tersebut sebenarnya adalah untuk ayam ras, sedangkan standar kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung yang dipelihara di daerah tropis belum ada. Oleh sebab itu kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung di Indonesia perlu diteliti. Melihat proses metabolisme dan mengadakan pelacakan terhadap nutrien dalam tubuh ternak yang disertai dengan mengukur komposisi tubuh ternak untuk pertumbuhan maupun fungsi-fungsi lain, maka kebutuhan nutrien khususnya energi dan protein pada ayam kampung dapat ditetapkan. Pelacakan terhadap nutrien tubuh ternak yang disertai dengan mengukur komposisi tubuh ternak untuk menentukan kebutuhan nutrien, diharapkan dapat meningkatkan perkembangan serta produktifitas ayam kampung. Berdasarkan kondisi tersebut maka permasalahan yang dihadapi didalam pengembangan ayam kampung adalah : belum adanya data tentang kebutuhan nutrien, khususnya energi dan protein untuk produksi. Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka telah dilakukan penelitian Pengaruh Kandungan Energi dan Protein Ransum Terhadap Penampilan Ayam Kampung Umur 0 10 Minggu. 2

1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penampilan ayam kampung yang diberikan ransum dengan kandungan energi dan protein yang berbeda. 2. Berapakah kebutuhan energi dan protein pakan ayam kampung fase pertumbuhan (0 10 Minggu). 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui penampilan ayam kampung yang diberikan ransum dengan energi dan protein yang berbeda. 2. Menghitung kebutuhan energi dan protein ransum ayam kampung pada fase pertumbuhan (0 10 minggu). 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi khasanah ilmiah maupun penerapannya bagi para petani peternak. Dari aspek ilmiah hasil penelitian ini diharapkan menambah informasi tentang kebutuhan nutrisi ayam kampung, dan tentunya yang akan memberikan pengaruh secara ekonomis terhadap peternak ayam kampung tersebut. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Ayam Kampung Ayam kampung adalah ayam lokal Indonesia yang berasal dari ayam hutan merah yang telah berhasil dijinakkan. Akibat dari proses evolusi dan domestikasi, maka terciptalah ayam kampung yang telah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga lebih tahan terhadap penyakit dan cuaca dibandingkan dengan ayam ras (Sarwono, 1991). Penyebaran ayam kampung hampir merata di seluruh pelosok tanah air. Salah satu ciri ayam kampung adalah sifat genetiknya yang tidak seragam. Warna bulu, ukuran tubuh dan kemampuan produksinya tidak sama merupakan cermin dari keragaman genetiknya. Disamping itu badan ayam kampung kecil, mirip dengan badan ayam ras petelur tipe ringan (Rasyaf, 1998). Candrawati (1999) mendapatkan kebutuhan hidup pokok ayam kampung 0 8 minggu adalah 103.96 kkal/w 0.75 dan kebutuhan protein untuk hidup adalah 4.28 g/w 0.75 / hari. Sutama (1991) menyatakan bahwa ayam kampung pada masa pertumbuhan dapat diberikan pakan yang mengandung energi termetabolis sebanyak 2700 2900 kkal dengan protein lebih besar atau sama dengan 18%. Ayam buras yang dipelihara secara tradisional di pedesaan mencapai dewasa kelamin pada umur 6-7 bulan dengan bobot badan 1.4 1.6 kg ( Supraptini, 1985 ). Ayam buras sebagai ayam potong biasanya dipotong pada umur 4 6 bulan. Margawati (1989) melaporkan bahwa berat badan ayam kampung umur 8 minggu yang dipelihara secara tradisional dan intensif, pada umur yang sama 4

mencapai 1.435,5 g. Aisjah dan Rahmat (1989) menyatakan pertambahan bobot badan anak ayam buras yang dipelihara intensif rata rata 373,4 g/hari dan yang dipelihara secara ekstensif adalah 270,67 g/hari. Rendahnya pertambahan bobot badan pada anak ayam buras yang dipelihara secara ekstensif, karena kurang terpenuhinya kebutuhan gizi sehingga menghambat laju pertumbuhan. 2.2 Kebutuhan Energi dan Protein pada Ayam Kampung Sturkie (1976) menyatakan kebutuhan energi untuk unggas dinyatakan dengan energi termetabolis (ME). Energi termetabolis diperoleh dengan mengurangi energi ransum (GE) dengan energi ekskreta (feses dan urine). Dari sejumlah energi tersebut tidak seluruhnya dapat digunakan langsung tetapi masih ada yang hilang dalam bentuk panas (heat increment) selama proses metabolisme, sehingga yang tinggal yaitu energi netto. Heat increment adalah banyaknya energi yang hilang dalam bentuk panas yang ditimbulkan oleh banyak faktor lain selain faktor makanan seperti panas yang hilang melalui proses fermentasi, pencernaan, penyerapan, pembentukan dan pembuangan energi. Pada saat temperatur lingkungan dingin, panas yang dihasilkan oleh tubuh (heat increment) akan digunakan untuk maintenance. Pengukuran energi termetabolis pada ternak unggas dapat menggunakan metode koleksi total (Sibbald, 1982). Kebutuhan energi termetabolis dipengaruhi oleh genotip, jenis kelamin, umur dan kondisi lingkungan. Energi digunakan oleh ayam untuk kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi. Kebutuhan energi untuk hidup pokok meliputi kebutuhan untuk metabolisme basal, aktivitas, dan pengaturan temperatur/panas tubuh. Kebutuhan 5

energi untuk produksi meliputi untuk pertumbuhan dan produksi telur, bulu, lemak, dan untuk kerja. Pengukuran kebutuhan energi pada unggas dapat dilakukan dengan berbagai metoda, diantaranya : pengukuran gas-gas respirasi, percobaan pakan yang disertai dengan teknik pemotongan untuk pengukuran kandungan nutrien pada awal dan akhir percobaan. Tillman et al., (1996) menyatakan bahwa tubuh ternak dibangun dari zat zat makanan yang diperoleh dari ransum yang dikonsumsi. Komposisi tubuh ternak dipengaruhi oleh umur, jenis ternak dan makanan yang dimakan. Protein merupakan salah satu nutrien yang perlu diperhatikan baik dalam menyusun ransum maupun dalam penilaian kualitas suatu bahan. Protein dibutuhkan oleh ayam yang sedang tumbuh untuk hidup pokok, pertumbuhan bulu dan pertumbuhan jaringan ( Scott et al., 1982 ). Wahyu (1992) menyatakan bahwa karkas ayam biasanya mengandung protein 18 % dalam jaringan tubuhnya dan protein bulu 82 %. Untuk memenuhi kebutuhan protein sesempurna mungkin, maka asam asam amino essensial harus disediakan dalam jumlah yang tepat dalam ransum (Anggorodi, 1985). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat retensi protein adalah konsumsi protein dan energi termetabolis ransum. Konsumsi protein yang tinggi akan diikuti dengan retensi protein yang tinggi serta akan terjadi penambahan bobot badan bila energi dalam ransum cukup, tetapi bila energi ransum rendah tidak selalu diikuti dengan peningkatan bobot badan. Suatu ransum dengan kandungan energi yang kurang walaupun kandungan protein tinggi akan memperlihatkan 6

retensi nitrogen yang menurun (Wahyu, 1992). Nieto et al. (1995) menyatakan besarnya protein yang di retensi tergantung dari banyaknya asam amino yang diberikan dan tergantung pada kualitas dan kuantitas dari protein ransum. 2.2.1 Pengaruh Energi dan Protein Secara Umum Sampai saat ini patokan kebutuhan zat zat nutrisi untuk ayam kampung belum tersedia seperti yang digunakan untuk ayam ras pedaging dan ayam ras petelur. Pemeliharaan ayam kampung secara tradisional erat kaitannya dengan cara dan kebiasaan petani memberikan pakan. Ayam kampung dibebaskan berkeliaran di sekitar rumah untuk mencari makan sendiri. Ternak ayam dikandangkan atau dikurung hanya pada sore dan malam hari. Pemeliharaan secara alamiah tersebut, ayam-ayam akan mencukupi kebutuhan zat-zat nutrisi dari sumber tersedia di lingkungannya. Menurut Wihandoyo dan Mulyadi (1986), kandungan nutrisi pada tembolok ayam kampung yang dipelihara secara traditional disajikan pada Tabel 2.1. Bila Tabel 2.1 tersebut ditelaah lebih jauh dapat diketahui bahwa kandungan zat zat nutrisi yang dimakan dan terdapat didalam tembolok ayam kampung belum memenuhi patokan kebutuhan untuk meningkatkan penampilan produksi daging maupun telur. Tabel 2.1 Komposisi Zat-Zat Nutrisi pada Tembolok Ayam Kampung Pada Umur 6-9 Bulan Zat zat Nutrisi 6 bulan 7 bulan 8 bulan 9 bulan Protein kasar (%) 9.71+1.95 9.31+1.59 9,74+1.35 11.38+1.43 Lemak (%) 2.89+2.15 4.28+2.22 6.51+6.18 8.13+2.06 Serat Kasar (%) 6.56+3.79 9.90+5.59 7.12+4.22 9.74+5.15 Calcium(%) 1.81+0.76 1.32+0.61 1.47+1.15 1.38+0.74 Phospor (%) 0.43+0.07 0.53+0.21 0.48+0.17 0.53+0.18 Sumber :Wihandoyo dan Mulyadi (1986) 7

Pakan yang diberikan peternak ayam kampung bervariasi menurut pengalaman dan kondisi daerah setempat. Beberapa susunan pakan yang biasa digunakan untuk ayam kampung antara lain adalah : (1) pakan terdiri dari campuran dedak halus dengan hijauan dari hasil limbah dapur; (2) campuran 3 bagian konsentrat, 6 bagian bekatul, 4 bagian jagung giling, ditambah grit dan Vit B12; (3) campuran 1 bagian konsentrat, I bagian dedak halus dan 1 bagian jagung; (4) campuran 3 bagian konsentrat, 4 bagian dedak halus dan 3 bagian jagung; (5) campuran 1 bagian konsentrat,4 bagian dedak halus, 3 bagian jagung; dan (6) campuran 0.8 bagian konsentrat, 6 bagian dedak halus dan 2 bagian jagung. Semua susunan pakan tersebut mengandung protein 12,8 16,8% dengan energi metabolis 2614 2750 kkal/kg pakan (Iskandar et al.,1991). 2.2.2 Pemeliharaan Secara Intensif Beberapa hasil penelitian menggambarkan bahwa kebutuhan zat-zat nutrisi untuk ayam kampung lebih rendah dibandingkan dengan ayam ras pedaging maupun ras petelur (Sarwono, 2005). Pemberian ransum komersial ayam ras untuk ayam kampung merupakan pemborosan, ditinjau baik dari segi teknis maupun ekonomis. Resnawati et al. (1998) melaporkan bahwa imbangan protein dan energi dalam pakan ayam kampung yang dibutuhkan selama masa pertumbuhan adalah 14% protein dan 2600 kkal/kg energi termetabolis. Sedangkan ayam kampung pada periode bertelur membutuhkan protein 17% dan energi metabolis 3200 kkal/kg ransum (Nataamidjaja, 1998). Keadaan ini menggambarkan bahwa kebutuhan protein dan energi untuk ayam kampung cenderung lebih rendah dibandingkan dengan untuk ayam ras. Menurut NRC 8

(1984) untuk ayam pedaging dibutuhkan protein 23% pada umur 0 3 minggu, protein 20% pada umur 6-8 minggu dengan 3200 kkal/kg energi metabolis. Sedangkan Iskandar et al. (1991 dan 1998) melaporkan bahwa kebutuhan protein ayam kampung pedaging (ayam sayur) adalah 15 % pada umur 0 6 minggu dan 19% pada umur 6 12 minggu dengan energi metabolis 2900 kkal/kg. Sementara untuk ayam kampung sedang bertelur membutuhkan 15% protein pada umur 0-12 minggu, protein 14% pada umur 12-22 minggu dan protein 15% pada umur > 22 minggu dengan 2600 kkal/kg energi metabolis. Pembatasan pemberian pakan dapat mempengaruhi performans ayam kampung. Husmaini (1994) melaporkan bahwa pertumbuhan ayam kampung dapat ditingkatkan dengan pertumbuhan kompensasi. Pembatasan pakan sebanyak 40% selama satu minggu kepada ayam berumur dua minggu menyebabkan pertumbuhan meningkat dengan tajam pada minggu berikutnya pada saat ransum diberikan secara ad libitum. Bobot akhir pada umur 12 minggu sangat nyata lebih berat dibandingkan dengan bobot ayam kampung tanpa pembatasan pemberian pakan pada umur yang sama. Menurut Plavnik dan Hurtwitz (1989) kemampuan ternak untuk mengejar pertumbuhan yang tertunda (compensatory growth) akibat pembatasan pakan dipengaruhi oleh kualitas ransum yang diberikan pada saat refeeding. Imbangan protein dan energi metabolis ransum pada saat refeeding (pemberian pakan kembali) dapat mempengaruhi performans ayam kampung, seperti dicantumkan pada Tabel 2.2 dari Tabel 2.2 terlihat bahwa pemberian 9

protein 20 % dan energi metabolis 3100 kkal/kg setelah pembatasan pakan dapat meningkatkan performans ayam kampung pada umur 8 minggu (Husmaini, 2000). Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan yang paling berpengaruh adalah pakan. Hafez dan Dryer (1969) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah hereditas, pakan dan kondisi lingkungan. Penurunan bobot badan akan terjadi pada ternak pada fase pertumbuhan bila diberikan pakan dengan kandungan nutrisi yang rendah. Sutardi (1995) menyatakan bahwa ternak ayam kampung akan dapat tumbuh secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya bila mendapat zat zat makanan yang sesuai dengan kebutuhannya. Ayam yang beratnya 40 g memerlukan energi untuk hidup pokok sebesar 8 kkal/ekor/hari, sedangkan energi untuk pertumbuhannya adalah berkisar antara 1,5 3,0 kkal setiap kenaikan 1 g berat badan (Scott et al, 1982). Kebutuhan energi untuk hidup pokok pada ayam kampung umur 0-4 minggu dan 0-8 minggu masing-masing 204,95 kkal/w 0,75 / hari dan 127 kkal/w 0,75 /hari (Asnawi, 1997). Geraert et al. (1987) yang dikutip oleh Leclercq dan Whitehead (1988) menyatakan bahwa ayam galur kurus (lean line) umur 7 minggu, kebutuhan energi untuk hidup pokoknya adalah 153,58 kkal/w 0,75 /hari. Kebutuhan energi hidup pokok pada ayam broiler umur 8 22 hari sebesar 152 kkal/w 0,75 /Hari, sedangkan untuk ayam Leghorn umur 14 28 hari sebesar 200 kkal/w 0,75 /hari dan umur 28 42 sebesar 190 kkal/w 0,75 /hari. 10

Tabel 2.2 Rataan Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Konversi Pakan pada Ayam Kampung Umur 8 Minggu Performans Protein (%) EM (kkal/kg) Konsumsi Bobot Badan Pakan (gram) ( gram) Konversi pakan 17 2900 1234,48 431,60 2,89 3100 1383,08 492,83 2,80 20 2900 1777,44 400,16 3,02 3100 1333,84 520,57 2,60 Sumber : Husmaini (2000) 11

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Ayam kampung mempunyai peran yang sangat penting didalam meningkatkan gizi masyarakat maupun dalam peningkatan pendapatan. Cara pemeliharaannya yang tidak memerlukan persyaratan berat, karena telah beradaptasi dengan lingkungan dan memiliki daya tahan terhadap penyakit yang lebih besar dibandingkan dengan ayam ras. Sebagai sumber protein hewani ayam kampung mempunyai kelebihan seperti dagingnya lebih disukai masyarakat dan harga daging dan telurnya lebih mahal dibanding dengan ayam ras. Rendahnya produktivitas ayam kampung disebabkan pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, jumlah pakan yang diberikan tidak mencukupi dan pemberian pakan yang belum mengacu kepada kaidah ilmu nutrisi, belum memperhitungkan kebutuhan zat zat makanan untuk berbagai tingkat produksi. Penyusunan ransum ayam kampung yang dipakai di Indonesia didasarkan untuk rekomendasi untuk standar ayam ras menurut Scott et al. (1982) dan NRC (1994). Menurut Scott et al. (1982) kebutuhan energi termetabolis ayam tipe ringan umur 2-8 minggu antara 2600 3100 kkal/kg dan protein pakan antara 18% - 24%, sedangkan menurut NRC (1994) kebutuhan energi termetabolis dan protein masing masing 2900 kkal/kg dan 18%. Standar kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung yang dipelihara didaerah tropis belum ada, oleh sebab itu kebutuhan protein dan energi untuk ayam kampung di Indonesia perlu ditetapkan. 12

Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam menentukan energi netto pada unggas diantaranya :1) respiratoy gaseus exchange yaitu selisih antara energi termetabolis yang dikonsumsi dengan total produksi panas. Produksi panas ditentukan dengan mengukur banyaknya oksigen yang dikonsumsi dan karbondioksida yang diproduksi, dan 2) comparative slaughter technique dengan cara pemotongan terhadap ternak pada awal dan akhir penelitian (Sibbald, 1982) dan menurut Iskandar (1982) akan diketahui jumlah energi yang diretensi. Dengan melihat proses metabolisme dan mengadakan pelacakan terhadap nutrien dalam tubuh ternak yang disertai dengan mengukur komposisi tubuh ternak untuk pertumbuhan maupun fungsi-fungsi lain, maka kebutuhan nutrien khususnya energi dan protein pada ayam kampung dapat ditetapkan. Sehubungan dengan permasalahan di atas maka perlu dilakukannya penelitian ayam kampung dari aspek faal metabolik nutrisi terhadap peningkatan produktivitas ayam kampung melalui kebutuhan energi ransum dan protein. 3.2 Hipotesis Penelitian Pemberian ransum dengan kandungan energi termetabolis dan protein kasar yang lebih tinggi akan meningkatkan produktivitas pada ayam kampung umur 0 10 minggu. 13

SKEMA KERANGKA KONSEP PENELITIAN Ayam kampung 0 10 Minggu - Pemeliharaan secara tradisional - Pemberian pakan yang tidak sesuai Kondisi Ayam kampung saat ini : - Produksi rendah - Pertumbuhan lambat - Penyakit timbul jika dipelihara dalam jumlah massal Ransum dengan imbangan energi dan protein - Kebutuhan nutrisi ayam kampung terpenuhi - Standard kebutuhan untuk pakan ayam Penampilan ayam kampung meningkat Memberikan pengaruh ekonomis terhadap masyarakat Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep Penelitian 14

BAB IV MATERI DAN METODA 4.1 Materi 4.1.1 Ternak Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah ternak ayam kampung umur 1 hari, sebanyak 48 ekor dengan rata rata berat badan 54,17 54,25 g/ekor yang diperoleh dari peternak di Desa Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. 4.1.2 Kandang dan Perlengkapan Kandang yang digunakan dalam penelitian ayam kampung ini adalah kandang system batteray terdiri dari 16 petak, yang dindingnya terbuat dari kawat. Sekat sampingnya menggunakan bilah bambu, dan lantai dasarnya terbuat dari bambu untuk meletakkan tempat makan. Tempat minum diletakkan di dalam bilik kandang. Setiap petak berukuran panjang 65 cm, lebar 50 cm dan tinggi 75 cm. Di bagian bawah kandang diletakkan plastik untuk menampung ransum yang jatuh. Di bawah petak kandang dialasi dengan kertas koran untuk menampung kotoran yang jatuh.kandang juga dilengkapi dengan bola lampu untuk pemanas dimalam hari. Gambar 4.1 Kandang System Batteray 15

4.1.3 Ransum dan Air Minum Ransum yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan perhitungan menurut Scott et al. (1982). Ransum ini terdiri dari bahan - bahan sebagai berikut: jagung kuning, kacang kedelai, bungkil kelapa, dedak padi, tepung ikan, minyak kelapa, premix dan garam. Komposisi ransum dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Susunan Ransum Percobaan Komposisi Bahan Perlakuan (%) A B C D Jagung Kuning 48.15 50,70 50,80 54,00 Kacang Kedelai 27,70 20,00 14,00 6,90 Bungkil Kelapa 8,88 12,00 11,90 16,20 Tepung Ikan 7,95 7,40 6,59 5,60 Dedak Padi 6,53 9,05 15,91 16,40 Minyak Kelapa 0,35 0,40 0,30 0,30 Premix 0,25 0,25 0,30 0,40 Garam Dapur 0,20 0,20 0,20 2,20 Komposisi Zat Zat Makanan ME (kkal/kg) 3100 3000 2900 2800 Protein Kasar (%) 22 20 18 16 Serat Kasar (%) 4,73 5,02 5,33 5,63 Kalsium (%) 0,58 0,53 0,47 0,40 Pospor (%) 0,47 0,44 0,40 0,36 Arginin(%) 1,78 1,64 1,50 1,38 Sistin (%) 0,37 0,32 0,30 0,28 Glisin (%) 1,28 0,96 0,87 0,76 Histidin (%) 0,59 0,54 0,49 0,44 Isoleusin (%) 1,25 1,09 0,95 0,78 Leusin (%) 2,05 1,85 1,69 1,49 Lisin (%) 1,52 1,31 1,13 0,90 Metionin (%) 0,44 0,38 0,34 0,30 Perhitungan berdasarkan Standar Scott et al. (1982) 16

Gambar 4.2 Ransum Ayam Kampung Umur 0 10 minggu Air minum diberikan secara ad libitum. Menghindari tercecernya ransum, pada tempat ransum diisi setengah dari kapasitas tampungnya. Penambahan ransum dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi pada pukul 07.00 wita dan sore pukul 16.00 wita. 4.1.4 Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Timbangan merek Nagata- EK-15000 kepekaan 0,05 g dengan kapasitas 0,6 g untuk menimbang ayam, timbangan Soehnle kepekaan 1 g dengan kapasitas 2 kg, untuk menimbang ransum, ember, nampan plastik, tempat ransum, alat-alat tulis dan alat kebersihan. 4.2 Metode 4.2.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Bapak Ir. I Wayan Wijana, MSi. di Desa Peguyangan, Denpasar Timur, Kota Denpasar Bali, selama 10 minggu kalender atau selama 2,5 bulan. 4.2.2 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat (4) perlakuan dan empat (4) ulangan, masing - 17

masing unit percobaan terdiri dari 3 ekor ayam, sehingga jumlah ayam kampung yang dipergunakan adalah 48 ekor (unsex). Perlakuan yang diberikan adalah : Perlakuan A : ransum dengan kandungan energi termetabolis 3100 kkal/kg dan protein kasar 22%, Perlakuan B : ransum dengan kandungan energi termetabolis 3000 kkal/kg dan protein kasar 20%, Perlakuan C : ransum dengan kandungan energi termetabolis 2900 kkal/kg dan protein kasar 18%, Perlakuan D : ransum dengan kandungan energi termetabolis 2800 kkal/kg dan protein kasar 16%. 4.2.3 Variabel yang Diamati Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah penampilan ayam yang meliputi: berat badan awal, berat badan akhir, pertambahan berat badan, konsumsi pakan, Feed Convertion Ratio (FCR), kecernaan pakan, neraca energi, neraca protein, serta kebutuhan protein dan energi untuk hidup pokok dan pertumbuhan. 4.2.3.1 Penampilan Ayam Penampilan ayam meliputi atau terdiri atas : konsumsi ransum, pertambahan berat badan, berat badan akhir dan Feed Convention Ratio (FCR). a. Konsumsi Ransum : konsumsi ransum diukur setiap minggu sekali yaitu, selisih antara jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum b. Berat badan akhir : berat badan ini didapat dari penimbangan berat badan pada akhir penelitian. c. Pertambahan Berat Badan : pertambahan berat badan diperoleh dengan mengurangi berat badan akhir dengan berat badan awal penelitian. d. Feed Convertion Ratio (FCR) merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan. FCR merupakan tolak ukur untuk menilai tingkat efisiensi penggunaan ransum. 18

4.2.3.2 Kecernaan Bahan Kering Pakan dan Kecernaan Protein Kecernaan bahan kering pakan dan kecernaan nutrien dihitung dengan metode Koleksi Total (Tillman et al., 1989). Koleksi Total dilakukan pada ayam yang berumur 10 minggu yang diletakkan pada kandang metabolik yang dilengkapi tempat makan, minum dan penampung kotoran. Ekskreta ditampung dan dijemur dibawah sinar matahari sampai kering udara, kemudian dioven pada suhu 60 0 C selama 24 jam. Kandungan energi ekskreta dapat ditentukan dengan bomb calorimeter dan protein ekskreta ditentukan dengan analisa kjelldhal menurut metoda AOAC (1984). Kecernaan bahan kering dihitung dengan : KCBK Dimana : A B x 100% A KCBK : Kecernaan bahan kering pakan (%) A B : Konsumsi bahan kering pakan (g) : Jumlah bahan kering ekskreta (g) Koefisien cerna protein dihitung dengan : konsumsiprotein protein ekskreta Koefisien cerna protein x 100% konsumsiprotein 4.2.3.3 Neraca Energi Pengamatan terhadap neraca energi meliputi total energi ransum (GE), konsumsi energi bruto, konsumsi energi termetabolis (ME), energi teretensi (RE), produksi Panas (PP) dan efisiensi pemanfaatan energi. Kandungan energi ransum (GE) ditentukan dengan bomb calorimeter dan komposisi zat-zat makanan pada ransum ditentukan dengan analisis proksimat menurut metode AOAC (1984). Banyaknya energi bruto yang dikonsumsi ditentukan dari konsumsi ransum dikalikan dengan kandungan energi bruto dari ransum. Energi ekskreta (FE) ditentukan dengan bomb calorimeter, sedangkan protein ekskreta dengan analisa kjelldhal menurut AOAC (1984). 19

Energi termetabolis dilakukan dengan metode koleksi total yakni dengan menentukan energi total yang terkandung dalam pakan dan ekskreta. Energi termetabolis ditentukan dengan rumus : (Sturkie, 1976) Energi termetabolis = Energi dikonsumsi Energi yang hilang melalui ekskreta Retensi energi ditentukan dengan cara mengurangi kandungan energi tubuh pada akhir penelitian dengan kandungan energi tubuh pada awal penelitian. Produksi panas dihitung dengan cara: PP = ME RE Dimana : PP : Produksi panas (kkal) RE : Retensi Energi (kkal) ME: Energi termetabolis (kkal) Kebutuhan energi untuk hidup pokok adalah kebutuhan energi oleh ayam pada saat ayam tersebut tidak mengalami pertumbuhan (RE = 0). Bila konsumsi energi metabolis (ME) meningkat sebesar ME, maka akan terjadi peningkatan retensi energi (RE) sebesar RE. Perbandingan antara RE/ ME disebut parsial efisiensi yaitu suatu nilai konversi ME menjadi RE di atas kebutuhan hidup pokok. Kebutuhan energi untuk hidup pokok dapat dihitung dengan cara : E Hp = ME RE/Ef Dimana : EHp : Kebutuhan energi untuk hidup pokok (kkal) ME : Energi termetabolis (kkal) RE : Energi teretensi (kkal) Ef : Parsial efisiensi ( RE/ ME) (Mount, 1979) Kebutuhan energi termetabolis untuk tumbuh adalah jumlah energi yang diretensi dalam tubuh yang dikoreksi dengan parsial efisiensi. Total kebutuhan energi oleh ayam tersebut adalah energi untuk hidup pokok ditambah dengan kebutuhan energi untuk tumbuh. 20

4.2.3.4 Neraca Protein Neraca Protein meliputi : konsumsi protein, protein tercerna, retensi protein dan efisiensi pemanfaatan protein. Konsumsi protein dihitung dengan mengalikan banyaknya konsumsi ransum dengan kandungan protein ransum. Protein tercerna dihitung dengan : Protein tercerna = Konsumsi protein protein ekskreta Protein teretensi dihitung dengan : Jumlah protein tubuh akhir penelitian protein tubuh awal penelitian Efisiensi pemanfaatan protein dihitung dari banyaknya protein yang diretensi dikoreksi dengan data - data kecernaan protein, dan nilai biologis protein. Protein untuk hidup pokok dihitung dengan : Banyaknya protein yang dikonsumsi Protein untuk tumbuh Total kebutuhan protein untuk pertumbuhan oleh ayam tersebut adalah protein untuk hidup pokok ditambah dengan kebutuhan protein untuk tumbuh. 4.3 Analisis Statistika Data yang diperoleh dianalisa dengan analisis sidik ragam, apabila diantara perlakuan ada yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel and Torrie, 1980). Dari semua data yang diperoleh kemudian dihitung kebutuhan energi dan protein untuk hidup pokok dan untuk pertumbuhan. 21

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Berat Badan Berat badan ayam pada umur 1 hari untuk semua perlakuan adalah sama yaitu 54,17 54,25 g/ekor, sedangkan berat badan ayam setelah berumur 10 minggu menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan. Berat badan ayam umur 10 minggu pada perlakuan A adalah: 620,75 g/ekor, sedangkan berat badan ayam umur 10 minggu pada perlakuan B, C dan D berturut-turut: 583,33 g; 544,01 g dan 456,59 g nyata lebih rendah dari ayam pada perlakuan A (P <0,05), ini dapat dilihat pada Gambar 5.1. Penurunan berat badan akhir ini disebabkan oleh menurunnya konsumsi nutrien (energi dan protein) pada perlakuan B, C dan D yang diakibatkan oleh menurunnya kandungan energi dan protein ransum. Energi dan protein merupakan nutrien utama yang mempengaruhi pertumbuhan ayam. Penurunan konsumsi nutrien ini akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ayam. Candrawati dan Mahardika (1999) mendapatkan bahwa ayam kampung yang diberikan ransum dengan kandungan energi 3100 Kkal/kg dan protein kasar 22% berat badannya selama 8 minggu adalah 542 g/ekor sedangkan yang mendapat ransum dengan energi 2823 Kkal/kg dan protein kasar 15,33% adalah 391 g/ekor. Berat badan (g) 600 500 400 300 200 100 Perlakuan A Perlakuan C Perlakuan B Perlakuan D 0 0 I II III IV V VI VII VIII IX X Umur (minggu) Gambar 5.1 Grafik Pertumbuhan Ayam Kampung Umur 0 10 Minggu 22

Tabel 5.1 Konsumsi Ransum, Berat Badan, dan Kenaikan Berat Badan dan Konversi Ransum (FCR) Pada Ayam Kampung Umur 0 10 Minggu. Peubah Konsumsi ransum (g/ekor/hari) Berat badan awal (g/ekor) Berat badan akhir (g/ekor) Kenaikan berat badan (g/ekor/hari) Konversi ransum (FCR) Perlakuan 1 A B C D 22,17 a 54,17 a 620,75 a 0,5666 a 2,19 a 21,45 a 54,17 a 583,33 b 0,5292 b 2,27 b 21,43 a 54,17 a 544,01 b 0,4898 b 2,45 b 19,12 a 2 54,25 a 456,59 c 0,4023 c 2,66 c Keterangan: 1. A: Ransum dengan kandungan protein 22% dan 3100 Kkal ME/kg B: Ransum dengan kandungan protein 20% dan 3000 Kkal ME/kg C: Ransum dengan kandungan protein 18% dan 2900 Kkal ME/kg D: Ransum dengan kandungan protein 16% dan 2800 Kkal ME/kg. 2. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 5.2 Konsumsi Ransum Konsumsi ransum oleh ayam kampung yang mendapat ransum yang mengandung 22% protein dan energi 3100 kkal/kg (Perlakuan A) adalah: 1241,41 g/ekor selama 10 minggu atau 22,17 g/ekor/hari, sedangkan ayam yang mendapat ransum yang mengandung 20% protein dan energi 3000 kkal/kg (perlakuan B), ayam yang mendapat ransum yang mengandung protein 18% dan energi 2900 kkal/kg (perlakuan C) dan ayam yang mendapat ransum yang mengandung 16% protein dan 2800 kkal/kg (perlakuan D) berturut-turut: 21,45; 21,43 dan 19,12 g/ekor/hari. (Tabel 5.1). Walaupun terlihat adanya perbedaan konsumsi ransum, tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05). Konsumsi protein ayam pada perlakuan A adalah: 5,11 g/ekor/hari, dan konsumsi protein ayam pada perlakuan B, C dan D berturut-turut: 4,37; 4,11 dan 3,31 g/ekor/hari, sedangkan konsumsi energinya berturut-turut: 117,88; 108,13; 102,88 dan 86,99 kkal/ekor/hari. 23

5.3 Konversi Ransum (FCR) Konversi ransum pada perlakuan A adalah: 2,19, sedangkan pada perlakuan B, C dan D berturut-turut: 2,27; 2,45 dan 2,66. Efisiensi penggunaan ransum semakin rendah dengan menurunnya kandungan energi dan protein ransum. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya secara nyata konversi ransum (FCR) dengan menurunnya kandungan energi dan protein ransum. Menurunnya kandungan energi dan protein akan menyebabkan semakin rendahnya protein yang dapat dicerna dan menurunnya retensi protein sehingga akan menurunkan pertumbuhan. Soeharsono (1976) mendapatkan bahwa ransum dengan energi dan protein yang tinggi cenderung mempercepat pertumbuhan dan memperbaiki konversi ransum. 5.4 Kecernaan Ransum dan Kecernaan Nutrien Kecernaan bahan kering ransum ayam pada perlakuan A adalah: 77,58%, B: 76,93%, C: 75,24% dan D: 74,11% sedangkan kecernaan protein pada perlakuan A adalah 91,94%, B: 91.06%, C: 90,50% dan D: 90,12% (Tabel 5.2). Tabel 5.2 Kecernaan Bahan Kering, Kecernaan Protein dan Jumlah Protein Tercerna Perlakuan 1 Peubah A B C D Kecernaan bahan kering (%) Kecernaan protein (%) Jumlah protein tercerna (g/ekor/hari) 77,58 a 91,94 a 4,69 a 76,93 a 91,06 a 3,98 b 75,24 a 90,50 a 3,73 c 74,11 a2 90,12 a 2,98 d Keterangan: 1. A: Ransum dengan kandungan protein 22% dan 3100 Kkal ME/kg B: Ransum dengan kandungan protein 20% dan 3000 Kkal ME/kg C: Ransum dengan kandungan protein 18% dan 2900 Kkal ME/kg D: Ransum dengan kandungan protein 16% dan 2800 Kkal ME/kg 2. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Menurunnya kandungan energi termetabolis dari 3100 Kkal/kg menjadi 2800 Kkal/kg dan menurunnya kandungan protein ransum dari 22% menjadi 16% tidak berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan protein pakan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Candrawati (1999) yang mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan kecernaan bahan kering dan kecernaan protein akibat penurunan kandungan energi dan protein ransum. Walaupun tidak terjadi perbedaan kecernaan, namun jumlah protein yang tercerna akan meningkat 24

dengan meningkatnya kandungan protein pakan. Jumlah protein tercerna pada perlakuan A adalah: 4,69 g/ekor/hari, sedangkan jumlah protein tercerna pada perlakuan B, C dan D menurun sebesar 3,98; 3,72 dan 2.98. 5.5 Neraca Protein Neraca protein meliputi konsumsi protein, protein yang hilang dalam feses, protein tercerna dan protein yang diretensi dalam tubuh. Meningkatnya kandungan protein ransum menyebabkan meningkatnya jumlah protein yang dikonsumsi oleh ayam. Konsumsi protein pada perlakuan A adalah: 5,11 g/ekor/hari, sedangkan konsumsi protein pada perlakuan B, C dan D berturutturut: 4,37; 4,12 dan 3,31 g/ekor/hari (Tabel 5.3). Meningkatnya retensi protein menyebabkan meningkatnya pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena semakin banyaknya protein yang digunakan untuk menyusun komponen tubuh ayam. Meningkatnya retensi protein juga didukung oleh meningkatnya kandungan energi metabolis ransum. Wahyu (1992) menyatakan bahwa tingkat retensi protein dipengaruhi oleh konsumsi protein dan energi termetabolis ransum. Selanjutnya Lloyd et al. (1978) menyatakan bahwa jumlah protein yang diretensi akan menentukan tinggi rendahnya produksi atau pertumbuhan ayam. Tabel 5.3 Neraca Protein Pada Ayam Kampung Umur 0 10 Minggu Peubah Konsumsi protein (g/ekor/hari) Protein dalam feses (g/ekor/hari) Jumlah protein tercerna (g/ekor/hari) Protein retensi (g/ekor/hari) Perlakuan 1 A B C D 5,11 a 0,52 a 4,69 a 2,54 a 4,37 b 0,44 b 3,93 b 2,33 b 4,12 c 0,41 b 3,71 b 2,01 c Keterangan: 1. A: Ransum dengan kandungan protein 22% dan 3100 Kkal ME/kg B: Ransum dengan kandungan protein 20% dan 3000 Kkal ME/kg C: Ransum dengan kandungan protein 18% dan 2900 Kkal ME/kg D: Ransum dengan kandungan protein 16% dan 2800 Kkal ME/kg. 2. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 3,31 d2 0,33 c 2,98 c 1,75 d 25

Bila dihitung efisiensi penggunaan protein untuk pertumbuhan yang didasarkan pada jumlah protein yang dikonsumsi, maka ayam pada perlakuan A mempunyai efisiensi yang paling baik, yaitu setiap 1 g protein yang dikonsumsi, kenaikan berat badannya adalah 5,1 g, sedangkan pada perlakuan B, C dan D berturut-turut 4,4 g ; 4,1 g dan 3,3 g. Candrawati (1999) mendapatkan bahwa retensi protein pada ayam kampung yang mendapat ransum dengan kadar protein kasar 21,58% dan ME: 3164 kkal/kg adalah 101,90 g/ekor selama 8 minggu, sedangkan menurunnya kandungan protein menjadi 15,33% dan ME: 2823 kkal/kg menyebabkan penurunan retensi protein menjadi 79,24 g/ekor selama 8 minggu. 5.6 Neraca Energi Ayam pada perlakuan A mengkonsumsi energi sebanyak 177,88 kkal/ekor/hari (Tabel 3.4.), sedangkan ayam pada perlakuan B, C dan D konsumsi energinya berturut-turut: 108,13; 102,88 dan 86,99 kkal/ekor/hari (Tabel 5.4). Penurunan kandungan energi ransum menyebabkan menurunnya konsumsi ransum sehingga, konsumsi energi juga mengalami penurunan. Tabel 5.4 Neraca Energi Pada Ayam Kampung Umur 0 10 Minggu Peubah Konsumsi energi (kkal/ekor/hari) Energi feses (FE) (kkal/ekor/hari) Energi termetabolis (ME) (kkal/ekor/hari) Energi retensi retensi(re) (kkal/ekor/hari) Produksi panas (PP) (kkal/ekor/hari) Produksi panas (PP) (kkal/gw 0,75 /hari) Perlakuan 1 A B C D 117,88 a 18,25 a 99,63 a 19,36 a 71,98 a 71,98 a 108,13 b 19,02 a 89,10 b 18,08 bb 63,28 b 63,28 a 102,88 b 18,3 a 84,59 b 16,74 b 60,68 b 60,68 a 86,99 c2 17,39 a 69,60 c 13,75 c 49,96 c 49,96 a Keterangan: 1. A: Ransum dengan kandungan protein 22% dan 3100 Kkal ME/kg B: Ransum dengan kandungan protein 20% dan 3000 Kkal ME/kg C: Ransum dengan kandungan protein 18% dan 2900 Kkal ME/kg D: Ransum dengan kandungan protein 16% dan 2800 Kkal ME/kg. 2. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 26

Energi termetabolis juga mengalami penurunan akibat menurunnya kandungan energi dan protein ransum, sedangkan energi yang hilang melalui feses tidak dipengaruhi oleh penurunan kandungan energi dan protein pakan. Sekitar 76,09 sampai 78,83% dari total energi yang dikonsumsi dapat dimanfaatkan sebagai energi termetabolis, sedangkan yang dieretensi dalam tubuh adalah 24,52 sampai 26,77% dari jumlah energi termetabolis, sedangkan yang hilang sebagai panas adalah: 61,75 sampai 63,12% dari total energi termetabolis. Perbandingan antara konsumsi energi dengan energi feses, energi termetabolis dan energi yang diretensi dapat dilihat pada Gambar 5.2. Konsumsi energi Energi feses Energi termetabolis Energi retensi Produksi panas (K.cal) 120 100 80 60 40 20 0 Perlk A Perlk. B Perlak. C Perlk. D Gambar 5.2 Kurva Perbandingan Antara Konsumsi Energi, Energi Feses, Energi Termetabolis dan Energi Teretensi. Peningkatan jumlah energi dan protein ransum menyebabkan meningkatnya jumlah energi yang diretensi oleh ayam. Hal ini menunjukkan ayam yang mendapatkan pakan dengan kandungan energi dan protein yang lebih tinggi mempunyai pertumbuhan yang lebih baik. Bila dicari hubungan antara retensi energi dengan energi termetabolis, maka diperoleh persamaan: Y = - 3,99 + 0,33 X dimana Y adalah energi yang diretensi dan X adalah jumlah energi termetabolis. Persamaan itu menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 kkal ME maka akan terjadi peningkatan 0,33 kkal energi yang diretensi. Jadi efisiensi penggunaan ME untuk pertumbuhan hanya 33%, sedangkan 67% hilang sebagai panas. 27

5.7 Kebutuhan Energi dan Protein Pada Ayam Kampung Perhitungan kebutuhan nutrien dengan pendekatan metabolisme kuantitatif yang menekankan kepada perhitungan-perhitungan kuantitatif suatu proses produksi, dipercaya dapat memunculkan suatu penemuan tentang mekanisme proses produksi yang terjadi di dalam tubuh ternak. Pendekatan metabolisme kuantitatif meliputi pencernaan, metabolisme dan efisiensi pemanfaatan nutrien untuk proses produksi, pengamatan komposisi tubuh ternak pada berbagai tingkat pertumbuhan untuk mengetahui besarnya simpanan nutrien di dalam tubuh serta pengamatan terhadap efisiensi pengubahan nutrien untuk proses produksi (partial efficiency). Perhitungan-perhitungan tersebut dapat dipakai untuk menghitung kebutuhan nutrien pada berbagai tingkat produksi baik untuk hidup pokok maupun petumbuhan. Data tentang kebutuhan nutrien ini akan dapat dipakai sebagai patokan di dalam menyusun ransum pada berbagai tingkat produksi, baik untuk pertumbuhan, laktasi, produksi telur maupun untuk kerja. Energi untuk hidup pokok dihitung dengan cara mengurangi jumlah energi termetabolis yang dikonsumsi oleh ayam dengan energi yang diretensi yang telah dikoreksi dengan parsial efisiensi. Parsial efisiensi ( RE/ ME) adalah peningkatan jumlah energi yang diretensi dibagi dengan peningkatan jumlah energi termetabolis. Mount (1979) mendapatkan bahwa RE/ ME adalah 0,70 yang artinya hanya 70% dari kenaikan ME (energi termetabolis) di atas kebutuhan hidup pokok akan disimpan sebagai energi yang diretensi (RE), dan sisanya hilang sebagai panas. Hasil perhitungan pada ayam kampung pada penelitian ini mendapatkan bahwa produksi panas yang dihitung dengan formula HP = ME RE/0,70 adalah: 0,53 kkal/gw 0,75 /hari, dimana W adalah berat badan ayam (g). Hal ini berarti bahwa kebutuhan energi untuk hidup pokok pada ayam kampung umur 0 10 minggu adalah: 95,88 W 0,75 kkal/hari (W: berat badan ayam dalam kg). Penelitian Candrawati (1999) mendapatkan bahwa kebutuhan energi untuk hidup pokok pada ayam kampung umur 0 8 minggu adalah: 103,96 kkal ME/W 0,75 /hari, sedangkan Asnawi (1997) mendapatkan 127,75 kkal ME/W 0,75 /hari, pada ayam kampung umur 0 8 minggu. Sementara itu Robbins dan Ballew (1984) mendapatkan bahwa kebutuhan energi untuk hidup pokok pada 28

ayam broiler umur 8 22 hari adalah 152 kkal ME/W 0,75 /hari, sedangkan untuk ayam White Leghorn umur 14 28 hari adalah 200 kkal ME/W 0,75 /hari dan umur 28 24 hari adalah 190 kkal ME/W 0,75 /hari. Hasil ini menunjukkan bahwa kebutuhan energi untuk hidup pokok pada ayam buras lebih rendah dari ayam ras. Sturkie (1976) menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk pokok dipengaruhi oleh: bangsa ayam (varietas) dan lingkungan. Kebutuhan energi untuk pertumbuhan dihitung dengan cara menghitung jumlah energi termetabolis untuk meningkatkan 1 g berat badan. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa ayam kampung memerlukan energi sebesar 3811 kkal ME untuk menaikkan 533 g berat badan. Jadi ayam kampung memerlukan energi 7,15 kkal ME untuk menaikkan 1 g berat badan. Energi ini akan digunakan untuk kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan energi hidup pokok didapatkan 4,42 kkal sehingga kebutuhan energi untuk pertumbuhan atau kenaikan berat badan pada ayam kampung umur 0 10 minggu diperoleh 2,73 kkal/1 g kenaikan berat badan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Scott et al. (1982) yang mendapatkan bahwa kebutuhan energi untuk tumbuh pada ayam 1,5 3,0 kkal ME/1 g pertambahan berat badan, sedangkan penelitian Candrawati mendapatkan 3,26 kkal ME/1 g kenaikan berat badan. Berdasarkan perhitungan di atas dapat dihitung kebutuhan energi pada ayam kampung umur 0 10 minggu. Bila berat badan ayam kampung umur 10 minggu rata-rata 500 g dengan kenaikan berat badan rata-rata 9 g/hari, maka kebutuhan energi untuk hidup pokoknya: 35,95 kkal/hari dan kebutuhan energi untuk tumbuh: 24,57 kkal/hari. Jadi total kebutuhan energinya adalah: 60,52 kkal/hari. Bila dikonversi ke dalam kandungan energi ransum maka ayam tersebut memerlukan ransum yang mengandung energi sebesar : 3026 kkal ME/kg. Protein dibutuhkan oleh ayam untuk kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan untuk pertumbuhan. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa ayam kampung yang dipelihara selama 10 minggu mengkonsumsi rata-rata 236 g protein untuk meningkatkan rata-rata 470 g berat badannya atau 4,22 g protein setiap hari untuk meningkatkan berat badan 8,40 g. Sebanyak 4,22 g protein yang 29

dikonsumsi tersebut, sebanyak 2,04 g disimpan dalam tubuh untuk tumbuh dan sisanya hilang melalui feses dan digunakan/dimetabolis sebagai sumber energi. Berdasarkan data-data perhitungan dalam penelitian ini diperoleh kebutuhan protein untuk pertumbuhan adalah: 0,31 g protein setiap kenaikan 1 g berat badan, sedangkan protein untuk hidup pokok diperoleh 2,91 g/w 0,75 /hari, dimana W adalah berat badan (kg). Hasil penelitian ini lebih rendah dari yang didapat oleh Candrawati (1999) yang mendapatkan 0,44 g protein setiap kenaikan 1 g berat badan, sedangkan Scott et al. (1982) mendapatkan total kebutuhan protein pada ayam White Leghorn adalah 7,1 g/ekor/hari. Kebutuhan protein untuk hidup pokok pada penelitian ini adalah 2,91 g/w 0,75 /hari, sedangkan Candrawati (1999) mendapatkan 3,51 g/w 0,75 /hari. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka ayam kampung yang berumur 8 minggu yang beratnya 500 g dengan kenaikan berat badan 9 g/hari membutuhkan protein untuk hidup pokok 1,79 g dan untuk pertumbuhan 2,79 g, sehingga total kebutuhan proteinnya 4,58 g. Bila dikonversi ke dalam ransum, maka ransum ayam kampung umur 0 10 minggu sebaiknya mengandung 20-22% protein. 30

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Dari hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan : 1. Tidak ada perbedaan konsumsi ransum pada ayam kampung yang diberikan pakan dengan kandungan energi dan protein yang berbeda, sedangkan penampilan ayam kampung yang mendapatkan energi dan protein yang lebih tinggi lebih baik dari ayam kampung yang mendapat ransum dengan energi dan protein yang lebih rendah. 2. Kebutuhan energi untuk hidup pokok pada ayam kampung adalah: 95,88 W 0,75 kkal/hari (W: berat badan ayam dalam kg), sedangkan kebutuhan protein untuk hidup pokok pada penelitian ini adalah 2,91 g/w 0,75 /hari. 3. Kebutuhan energi untuk pertumbuhan atau kenaikan berat badan pada ayam kampung umur 0 10 minggu diperoleh 2,73 kkal/1 g kenaikan berat badan sedangkan kebutuhan protein untuk pertumbuhan adalah: 0,31 g protein setiap kenaikan 1 g berat badan 6.2 Saran 1. Agar dapat tumbuh secara baik maka, ayam kampung umur 0 10 minggu hendaknya diberikan ransum yang mengandung energi sebesar : 3026 kkal ME/kg dan mengandung protein 20-22%. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menghitung kebutuhan energi dan protein pada ayam kampung pada fase pertumbuhan kedua dan phase peneluran. 31

DAFTAR PUSTAKA Aman, Y. 2011. Ayam Kampung Unggul. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta Aisyah,T. dan Rachmat E. 1989. Pengaruh pemberian ransum starter terhadap pertambahan bobot badan anak ayam buras. Prosiding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal. Semarang Asnawi. 1997. Kinerja Pertumbuhan dan Fisiologi Ayam Kampung dan Hasil Persilangannya dengan Ayam Ras Tipe Pedaging (tesis). Bogor : Institut Pertanian Bogor. Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Indonesia. Unggas. Penerbit Universitas Association of Official Analytical Chemist. 1984. Official Methode of Analysis Vol. 2 Ed. 15. Washington. Direktorat Jendral Peternakan, 2010. Pedoman Umum Restrukturisasi Perunggasan Melalui Pengembangan Budidaya Unggas di Pedesaan. Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia. Candrawati, D.P.M.A. 1999. Pendugaan Kebutuhan Energi dan Protein Ayam Kampung Umur 0-8 minggu (tesis). Bogor : Institut Pertanian Bogor. Gunawan. 2002. Evaluasi Model Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras dan Upaya Perbaikannya. (disertasi). Bogor. Institut Pertanian Bogor. Husmaini, 1994. Pengaruh cara pembatasan pemberian ransum pada ayam kampung periode kutuk terhadap penampilan ayam kampung. Prosiding Seminar hasil penelitian Fakultas Peternakan UNAND. Padang. Husmaini, 2000. Pengaruh peningkatan level protein dan energi ransum saat refeeding terhadap performans ayam buras, Jurnal Peternakan dan Lingkungan. Vol.6 (01). Iskandar, S. Dan H. Resnawati.1999. Potensi daging ayam silangan (F1) Pelung x kampung yang diberi ransum berbeda protein pada dua masa starter. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis Universitas Diponegoro, Semarang. Iskandar, S., E, Juarini, D. Zainuddin, H. Resnawati, B. Wibowo dan Sumanto. 1991. Teknologi tepat guna ayam buras. Balai Penelitian Ternak Bogor. Iskandar, S., D. Zainuddin, S. Sastrodihardjo,T. Sartika, P. Stiadi dan T. Sutanti. 1998 Respon pertumbuhan ayam kampung dan ayam silangan pelung terhadap ransum berbeda kandungan protein, JITV,3:1-14. Puslitbang Peternakan Bogor 32

Leclercq, B. And CC. Whitehead. 1988. Genetic, Metabolic and Hormonal Aspec; Leannes in Domestic Birds. Institut National de la Recherche Agronomique. Butterworths London. Lloyd, L.E., B.E. Mc.Donald and E.W. Crampton. 1978. Fundamental of Nutrition. 2 nd Ed. W.H. Freeman and Co., San Fransisco. Margawati, E.T. 1989. Efisiensi penggunaan ransum oleh ayam kampung jantan dan betina pada periode pertumbuhan. Prosiding Seminar Nasional tentang Unggas Lokal. 28 Sept. Fakultas Peternakan UNDIP. Semarang. Hal. 127-132. Mount, L. E. 1979. Adaptation to Thermal Enviromant. Man and His Productive Animals. (Contemporary Biology). Edward Arnold (Publishers) Limited. London. Nataamidjaja, A.G 1998. Produktifitas ayam buras di kandang litter pada berbagai imbangan kalori protein. Prosiding Nasional Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak II. Balai Penelitian Ternak, Bogor. National Research Council. 1984. Nutrients Requairement of Poultry. Eight Revised Ed. National Academy Press, Washington, D.C. Nieto, R.C. Prieto, I Fernandez-Figarez and J.F. Augilera. 1995. Effect of Dietary protein Quality on Energy Metabolism in Growir Chickens. British Journal of Nutritions. Plavnik, I and Hurtwitz., 1989. Effect of dietary protein, energy and feed pelleting on response of chick to early feed restriction. Poultry Science. 08:1118-1125 Rasyaf, M. 1998. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya.Jakarta Resnawati, H., A. Gozali, I Barchia, A. P. Sinurat, T. Antawidjaja. 1998. Penggunaan berbagai tingkat energi dalam ransum ayam buras yang dipelihara secara intensif. Laporan penelitian. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Robbins,K.R., and J.E. Ballew. 1984. Utilization of energy for maintenance and gain in broiler and leghorn at two ages. Poultry Science 63: 1419-1424. Sapuri, A. 2006. Evaluasi Program Intensifikasi Penagkaran Bibit Ternak Ayam Buras di Kabupaten Pandeglang (sekripsi). Bogor : Institut Pertanian Bogor. 33

Sarwono, B. 1991. Beternak Ayam Buras. Cetakan ke 3. Penebar Swadaya, Jakarta Sarwono. B. 2005. Beternak Ayam Buras Pedaging dan Petelur. Edisi Revisi. Jakarta Soeharsono. 1976. Respon Broiler Terhadap Berbagai Kondisi Lingkungan. (Disertasi). Bandung : Universitas Padjajaran Bandung. Scott, M. L., M.C, Nesheim and R.J.Young. 1982. Nutritions of The Chickens. Second Ed. M. L. Scott and Associates Ithaca, New York. Setioko, A.R. dan S. Iskandar. 2005. Review Hasil Hasil Penelitian dan dukungan Teknologi Dalam Pengembangan Ayam Lokal. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Semarang, 25 September 2005. Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal. 10 19. Sibbald, 1982. Metodology, Feed Compositions Dash and Bibliography. Agricultur Canada : Research Branch. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedure of Statistics. McGraw-Hill Book. Co New York. Sturkei, P.D. 1976. Avian Physiology. Third Edition. Heidelberg Berlin. Sutama, S.I.N. 1991. Pengaruh Berbagai Tingkat Energi dan Protein terhadap Performans Ayam kampung. (tesis), Bogor. Instituti Pertanian Bogor Supraptini, M.S. 1985. Pengkajian Sifat-Sifat Produksi Ayam Kampung serta Persilangannya dengan Rhode Island Red (Disertasi) Bogor : Institut Pertanian Bogor. Sutardi,T. 1995. Landasan Ilmu Nutrisi, Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tillman., A.D. H. Hartadi., S Reksohardiprodjo, P. Soeharto dan L. Soekamto. 1996. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Ke 3, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Wihandoyo dan H. Mulyadi. 1986. Ayam buras pada kondisi pedesaan (tradisional) dan pemeliharaan yang memadai. Temu tugas sub-sektor Peternakan di Sub-Balai Penelitian Ternak Klepu, Bekerjasama dengan Balai Informasi Pertanian Ungaran Serat Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah. 34