- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG

dokumen-dokumen yang mirip
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BUPATI KARAWANG PERATURAN BUPATI KARAWANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

SURAT EDARAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE.04/MEN/VIII/2013 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

I. FENOMENA IMPLEMENTASI OUTSOURCING TERHADAP KETENAGAKERJAAN INDONESIA

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

1. Pasal 64 s.d Pasal 66 UU No.13 Tahun Permenakertrans RI. No.19 Tahun 2012 tentang Syarat- Syarat Penyerahan Sebagian PeKerjaan Kepada

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2017 TENTANG UPAH MINIMUM PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2018

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.10/MEN/V/2009 TENTANG

2015, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan Peraturan Menteri tentang Tata Car

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 56 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN USAHA RESTORAN

BUPATI KEPULAUAN ANAMBAS

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

Miftakhul Huda, S.H., M.H

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 5 - BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

BAB V PENUTUP DAFTAR PUSTAKA. Buku

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Ketenagaker

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Repub

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA. Nomor : 28 A Tahun 2005 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA WAJIB LAPOR KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN DALAM JARINGAN

2016, No Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintaha

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

: PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : Tahun 2016 TANGGAL : 2016 SOP BIDANG NAKERTRANS

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN SERTA PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 04 TAHUN 2004 T E N T A N G SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN DI KABUPATEN BARITO UTARA

2017, No Tahun 2015 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5747); 3. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2015 tentang Kemen

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 17 TAHUN 2010 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

BERITA KOTA SERI : E NOMOR PERATURAN TENTANG. memperkuat. struktur. Peraturan. No. DAG/PER/9/ Penerbitann Perdagangan. 2. Undang-U. tentang.

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG

KETUA DEWAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM/BINTAN/KARIMUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 45/M-DAG/PER/9/2009 TENTANG ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API)

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PEMBERIAN IZIN LEMBAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG SURAT IJIN USAHA PERDAGANGAN ( SIUP ) WALIKOTA DENPASAR,

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51/M-DAG/PER/7/2017 TENTANG PERUSAHAAN PERANTARA PERDAGANGAN PROPERTI

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.02/MEN/I/2005 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN KETENAGALISTRIKAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TENTANG JASA PENILAI PUBLIK MENTERI KEUANGAN,

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA. No.970, 2012 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI. Penempatan. Perlindungan. TKI. Sanksi Administrasi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERDAGANGAN. Surat Izin Usaha Perdagangan. Perubahan.

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

KEPMEN NO. 228 TH 2003

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG TANDA DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub

BUPATI BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN. Oleh:

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/M-DAG/PER/8/2012 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH POVINSI JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (4), Pasal 21 ayat (4), Pasal 26 ayat (3), Pasal 31 ayat (4), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2013 Nomor 7 Seri D, perlu membentuk Peraturan Gubernur tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Povinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2014 tentang Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Timur (Himpunan Peraturan-Peraturan Negara Tahun 1950) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1950 tentang Perubahan Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Timur (Himpunan Peraturan-Peraturan Negara Tahun 1950); 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 4. Undang-undang

- 2-4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4309); 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan; 9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain; 10.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah; 11.Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu; 12.Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Timur (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 Nomor 2 Seri D); 13. Peraturan

- 3-13.Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2013 Nomor 7 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 31); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Gubernur ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur. 2. Gubernur adalah Gubernur Jawa Timur. 3. Dinas adalah Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur. 4. Dinas Kabupaten/Kota adalah instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. 5. Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Perizinan Terpadu yang selanjutnya disingkat UPT P2T adalah Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Perizinan Terpadu pada Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur 6. Perusahaan adalah : a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 7. Perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. 8. Perusahaan

- 4-8. Perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan. 9. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang selanjutnya disingkat PPJP adalah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang tertentu perusahaan pemberi pekerjaan. 10. Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan lintas kabupaten/kota yang memuat hak dan kewajiban para pihak. 11. Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban para pihak. 12. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 13. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh di perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak. 14. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB II PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN Pasal 2 (1) Suatu perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain. (2) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. perjanjian

- 5 - a. perjanjian pemborongan pekerjaan; dan b. perjanjian Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja. (3) Perjanjian penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada Dinas. BAB III PEMBORONGAN PEKERJAAN Bagian Kesatu Pekerjaan yang dapat diborongkan Pasal 3 (1) Perusahaan pemberi pekerjaan dapat mengalihkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan. (2) Perusahaan penerima pemborongan yang sudah melakukan perjanjian pemborongan pekerjaan dengan perusahaan pemberi pekerjaan dilarang mengalihkan pemborongan pekerjaan kepada pihak lain. (3) Pekerjaan yang dapat dialihkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan merupakan pekerjaan penunjang yang tidak berpotensi menghambat proses produksi secara langsung. (4) Pekerjaan penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memiliki karakteristik sebagai berikut: a. kegiatan yang tidak berhubungan secara langsung dengan kegiatan proses produksi barang atau jasa; b. kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan kerja perusahaan pemberi pekerjaan; dan c. kegiatan tersebut bukan merupakan salah satu siklus/ alur/tahapan atau bagian dalam proses produksi barang/jasa. (5) Kegiatan penunjang yang sebagian pelaksanaannya akan diserahkan kepada perusahaan lain wajib dilaporkan kepada Dinas. Bagian

- 6 - Bagian Kedua Syarat Perusahaan Penerima Pemborongan Pasal 4 Untuk dapat menjadi perusahaan penerima pemborongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), sebuah perusahaan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbentuk badan hukum; b. memiliki Tanda Daftar Perusahaan (TDP); c. memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan; dan d. memiliki Izin Usaha. Pasal 5 Bentuk badan hukum perusahaan penerima pemborongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dapat berbentuk perseroan terbatas, koperasi, dan bentuk badan hukum lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 (1) Tanda Daftar Perusahaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dimohonkan kepada instansi yang membidangi masalah perdagangan di Kabupaten/Kota. (2) Pendaftaran dilakukan dengan cara mengisi formulir pendaftaran dan dilengkapi dengan persyaratan yang telah ditentukan berdasarkan bentuk atau jenis perusahaan yang didaftarkan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 7 (1) Wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c wajib dilakukan pengusaha secara tertulis pada saat mendirikan, menghentikan, menjalankan kembali, memindahkan atau membubarkan perusahaan kepada Dinas Kabupaten/kota. (2) Wajib lapor ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menghentikan, menjalankan kembali, memindahkan atau membubarkan perusahaan. (3) Wajib

- 7 - (3) Wajib lapor ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat keterangan: a. identitas perusahaan; b. hubungan ketenagakerjaan; c. perlindungan tenaga kerja; dan d. kesempatan kerja. Pasal 8 (1) Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d diterbitkan oleh Dinas. (2) Persyaratan untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. surat permohonan izin usaha kepada kepala Dinas; b. fotocopy pengesahan sebagai badan hukum; c. fotocopy akta pendirian/anggaran dasar badan hukum yang didalamnya memuat kegiatan usaha pemborongan pekerjaan; d. fotocopy SIUP; e. fotocopy TDP; f. fotocopy Wajib Lapor Ketenagakerjaan yang masih berlaku; g. Surat Keterangan Domisili badan hukum; h. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); i. fotocopy KTP Direktur/Penanggung Jawab badan hukum; dan j. Pas photo berwarna Direktur/Penanggung Jawab badan hukum dengan ukuran 4x6 sebanyak 3 (tiga) lembar. Bagian Ketiga Hubungan Kerja Pasal 9 (1) Hubungan kerja antara perusahaan penerima pemborongan dengan pekerja/buruh didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). (2) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) apabila ada perjanjian pengalihan pekerja/buruh dalam hal terjadi penggantian perusahaan penerima pemborongan oleh perusahaan pemberi kerja. (3) Perjanjian pengalihan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. menjamin hak dan kewajiban masing-masing pihak; b. menjamin

- 8 - b. menjamin terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh sesuai peraturan perundangundangan; dan c. memiliki tenaga kerja yang mempunyai kompetensi di bidangnya. (4) Dalam hal PKWT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak disertai perjanjian pengalihan pekerja/buruh pada saat terjadi penggantian perusahaan penerima pemborongan pada perusahaan pemberi kerja, maka PKWT tersebut berubah menjadi PKWTT. Pasal 10 Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal: a. perusahaan pemberi pekerjaan tidak memiliki bukti pelaporan jenis pekerjaan penunjang dari Dinas. b. pekerjaan yang diserahkan tidak sesuai dengan jenis pekerjaan yang telah mendapatkan bukti pelaporan. c. perusahaan penerima pemborongan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan d. perjanjian pemborongan pekerjaan tidak didaftarkan pada Dinas. BAB III PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH Bagian Kesatu Jenis pekerjaan yang dapat diserahkan pada PPJP Pasal 11 Pekerjaan yang dapat diserahkan pelaksanaannya kepada PPJP adalah pekerjaan yang merupakan kegiatan penunjang atau yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, yang meliputi: a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service); b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering); c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan); d. usaha jasa penunjang dipertambangan, perminyakan dan kelistrikan; dan e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh. Pasal 12

- 9 - Pasal 12 (1) PPJP sebagaimana diamksud pada dalam Pasal 11 harus berbentuk Perseroan Terbatas. (2) Dalam rangka profesionalitas dalam menjalankan usahanya PPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki kantor tetap dan memiliki tempat latihan kerja atau bekerjasama dengan lembaga pelatihan kerja. Bagian Kedua Hubungan kerja Pasal 13 (1) Hubungan kerja yang terjadi dalam pelaksanaan penyerahan sebagian pekerja dari perusahaan pemberi kerja kepada PPJP, berupa: a. hubungan kerja antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan PPJP; dan b. Hubungan kerja antara PPJP dengan pekerja/buruh. (2) Hubungan kerja antara PPJP dengan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan PKWTT. (3) PKWTT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diganti menjadi PKWT dengan syarat ada perjanjian pengalihan pekerja/buruh dalam hal terjadi penggantian PPJP pada perusahaan pemberi kerja. (4) Selain karena diperjanjikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diganti dengan PKWT apabila jenis, sifat dan/atau kegiatan pekerjaannya selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Pasal 14 Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan PPJP beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal: a. pekerjaan

- 10 - a. pekerjaan yang diserahkan berhubungan langsung dengan proses produksi atau bukan merupakan kegiatan jasa penunjang; b. pekerjaan yang diserahkan tidak sesuai dengan jenis kegiatan jasa penunjang yang tercantum dalam izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; c. perusahaan pemberi pekerjaan melaksanakan perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dengan perusahaan yang tidak memiliki izin operasional; atau d. perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh tidak memiliki bukti pendaftaran dari instansi berwenang. Bagian Ketiga Izin operasional Pasal 15 (1) PPJP yang menerima penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan wajib memiliki izin operasional. (2) Pada saat mengajukan izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PPJP diwajibkan menyerahkan jaminan dalam bentuk deposito sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sebagai jaminan terpenuhinya tanggungawab PPJP terhadap pekerja/buruh. (3) Deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan untuk membiayai penyelesaian apabila timbul perselisihan hubungan industrial. (4) Dalam rangka mempercepat kelancaran pencairannya, deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diatasnamakan PPJP. (5) Untuk kepentingan pengendalian dalam penggunaan deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses pencairan deposito harus seizin dan sepengetahuan Kepala Dinas. Pasal 16 (1) Sebelum mengajukan permohonan izin operasional, PPJP mengajukan permohonan rekomendasi kepada Dinas Kabupaten/Kota. (2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah Dinas kabupaten/kota melaksanakan pemeriksaan terhadap PPJP yang mengajukan permohonan izin operasional. Pasal 17

- 11 - Pasal 17 (1) Berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 PPJP mengajukan permohonan Izin Operasional kepada Gubernur c.q administrator UPT P2T dengan tembusan kepada Kepala Dinas. (2) Permohonan izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengisi formulir yang telah disediakan dengan melampirkan berkas beserta soft copynya, meliputi: a. fotocopy anggaran dasar yang didalamnya memuat kegiatan usaha penyediaan jasa pekerja/buruh; b. fotocopy pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas (PT); c. fotocopy surat izin usaha penyediaan jasa pekerja/buruh; d. fotocopy tanda daftar perusahaan; e. fotocopy bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan; f. surat pernyataan kepemilikan atau domisili kantor dari kelurahan setempat beserta foto bangunan kantor; g. fotocopy sertifikat kepemilikan atau bukti penyewaan kantor yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan; h. fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan; i. surat rekomendasi dari Dinas kabupaten/kota; j. fotocopy identitas direktur; k. fotocopy bukti deposito; l. jumlah nilai investasi dengan formulir yang dapat diunduh dari situs UPT P2T; m. fotocopy surat izin sebagai badan usaha jasa pengamanan dari Kepolisian Republik Indonesia (untuk usaha jasa tenaga pengaman); dan n. fotocopy surat keterangan terdaftar dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau dinas terkait (untuk perusahaan penunjang jasa pertambangan). (3) UPT P2T menerbitkan izin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi persyaratan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima. Pasal 18 (1) Izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu yang sama. (2) Perpanjangan

- 12 - (2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan berdasarkan hasil evaluasi kinerja perusahaan yang dilakukan oleh Dinas kabupaten/kota. (3) Berdasarkan hasil evaluasi kinerja PPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dinas dapat menyetujui atau menolak permohonan perpanjangan izin. Pasal 19 (1) Dinas kabupaten/kota melaksanakan evaluasi setiap tahun atas kinerja perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. (2) Evaluasi kinerja tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban normatif kepada pekerja/buruh dan kepatuhan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan. (3) Hasil evaluasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Dinas dengan tembusan kepada pemohon izin dalam bentuk: a. surat rekomendasi pencabutan izin operasional; atau b. surat rekomendasi menyetujui/menolak perpanjangan izin operasional dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh mengajukan perpanjangan izin. BAB IV PENGAWASAN Pasal 20 (1) Pengawasan terhadap pelaksanaan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Dinas. (2) Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menindaklanjuti setiap laporan dugaan terjadinya pelanggaran terhadap penyelenggaraan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. (3) Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang telah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan tindakan serta memberikan sanksi yang diperlukan sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 21

- 13 - Pasal 21 (1) Dinas dan/atau Dinas Kabupaten/Kota menerima laporan pengaduan terkait pelanggaran atas penyelenggaraan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dinas dan/atau Dinas Kabupaten/Kota melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan tersebut. (3) Dinas Kabupaten/Kota memberikan rekomendasi kepada Dinas terkait pemberian sanksi administrasi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dinas bekerja sama dengan instansi terkait menjatuhkan sanksi administrasi kepada perusahaan sesuai dengan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB V SANKSI ADMINISTRASI Bagian Kesatu Jenis-jenis sanksi Administrasi Pasal 22 Perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan penerima pemborongan dan PPJP yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dikenakan sanksi administrasi. Pasal 23 Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha; d. pembatalan persetujuan; e. pembatalan pendaftaran; f. penghentian sementara sebagian atau seluruh proses produksi; g. pencabutan izin operasional PPJP; dan/atau h. penyegelan tempat usaha. Pasal 24

- 14 - Pasal 24 Sanksi berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, diberikan bagi perusahaan penerima pemborongan dan/atau PPJP yang tidak melaporkan perjanjian penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Pasal 25 Sanksi berupa pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b, diberikan bagi perusahaan pemberi pekerjaan yang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan selain kegiatan penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 11. Pasal 26 Sanksi berupa pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c, diberikan bagi perusahaan penerima pemborongan yang menerima pekerjaan pekerjaan selain kegiatan penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4). Pasal 27 Sanksi berupa pembatalan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d, diberikan bagi PPJP yang tidak mencantumkan syarat pengalihan dalam perjanjian kerja dengan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3). Pasal 28 Sanksi berupa pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e, diberikan bagi PPJP yang tidak berbentuk Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). Pasal 29 Sanksi berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf f, diberikan kepada: a. Perusahaan

- 15 - a. Perusahaan pemberi pekerjaan yang tidak melaporkan kegiatan penunjang kepada Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4); dan b. Perusahaan pemberi pekerjaan dan PPJP yang tidak melakukan perjanjian secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3). Pasal 30 Sanksi berupa pencabutan izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf g, diberikan kepada PPJP yang tidak memilki kantor tetap dan tidak memiliki tempat latihan kerja atau tidak bekerjasama dengan lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. Pasal 31 Sanksi berupa penyegelan tempat usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf h, diberikan kepada perusahaan penerima pemborongan yang mengalihkan pemborongan pekerjaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Bagian Kedua Tata Cara Pemberian Sanksi Administrasi Pasal 32 (1) Pemberian sanksi adminstrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 27 dan Pasal 28 dapat diberikan langsung pada saat terjadinya pelanggaran. (2) Pemberian sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 dilakukan dengan terlebih dahulu diberikan surat peringatan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut. (3) Masing-masing surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan jangka waktu selama 7 (tujuh) hari kerja. (4) Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterbitkannya surat peringatan ke 3 (tiga), masih tetap terjadi pelanggaran, maka kepada yang bersangkutan diberikan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31. BAB VI

- 16 - BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Peraturan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Jawa Timur. Ditetapkan di Surabaya Pada tanggal 23 April 2014 GUBERNUR JAWA TIMUR ttd Dr. H. SOEKARWO

- 17 - Diundangkan di Surabaya pada tanggal 23 April 2014 KEPALA BIRO HUKUM SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR ttd Dr. HIMAWAN ESTU BAGIJO, S.H.,M.H. Pembina Tingkat I NIP. 19640319 198903 1 001 BERITA DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2014 NOMOR 25 SERI E.