BAB I - PENDAHULUAN. 1 Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 menciptakan konsep kedaulatan Westphalia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya perang dunia kedua menjadi titik tolak bagi beberapa negara di Eropa

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Eropa Barat membuat suatu kebijakan dengan memberikan

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar

BAB V. Kesimpulan. Identitas ini menentukan kepentingan dan dasar dari perilaku antar aktor. Aktor tidak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

Press Release The Asia Pacific Regional Parliamentarian and CSO Forum on MDG Acceleration and the Post 2015 Development Agenda

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

turut melekat bagi negara-negara di Eropa Timur. Uni Eropa, AS, dan NATO menanamkan pengaruhnya melalui ide-ide demokrasi yang terkait dengan ekonomi,

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG KERJA SAMA PEMERINTAH ACEH DENGAN LEMBAGA ATAU BADAN DI LUAR NEGERI

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2003, telah diterbitkan sebuah komisi independen untuk

BAB I PENDAHULUAN. < diakses 16 Juni 2016.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KAUM MINORITAS MUSLIM ATAS PERLAKUAN DISKRIMINATIF DI UNI EROPA

BAB IV KESIMPULAN. -Peter M. Haas. Council on Foreign Relations, < >, diakses pada , 1993, p.78.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pertemuan V : Perspektif Teoritis Regionalisme. Diplomasi HI di Kawasan Asia Pasifik Sylvia Octa Putri, S.IP

Keyword: Profesi Bidan, Hak Asasi Manusia, Perbedaan Gender

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan

HUBUNGAN INTERNASIONAL

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG KERJA SAMA PEMERINTAH ACEH DENGAN LEMBAGA ATAU BADAN DI LUAR NEGERI

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

AKTOR NEGARA DAN NON NEGARA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL. Pengantar Hubungan Internasional FISIP UMJ 2017

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. New York, 2007, p I. d Hooghe, The Expansion of China s Public Diplomacy System, dalam Wang, J. (ed.

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini menarik perhatian masyarakat Indonesia yang notabene negara

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM*

Kebijakan Jender. The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 1.0

BAB V KESIMPULAN. di berbagai belahan dunia. Di titik ini, norma-norma HAM menyebar luas ke seluruh

BAB I PENDAHULUAN. agar kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan, dan investasi dapat

ABSTRACT JURIDICAL REVIEW OF POSITION STATED OWNED ENTERPRISES AS A LEGAL INDEPENDENT ENTITY AND THE RESPONSIBILITIES IN THE MANAGEMENT OF STATED

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Akumulasi logam mulia adalah esensial bagi kekayaan suatu bangsa. Kebijakan ekonomi: mendorong ekspor dan membatasi impor

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi

Secara umum, perencanaan sosial dimaksudkan untuk:

Konsep Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

Materi Bahasan. n Pengertian HAM. n Generasi HAM. n Konsepsi Non-Barat. n Perdebatan Internasional tentang HAM.

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

BAB I. memiliki jumlah penduduk yang tinggi seperti Indonesia. Masalah. dan membutuhkan penanganan segera supaya tidak semakin membelit dan

GAMBARAN UMUM. Bergesernya paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari government ke

DEKLARASI BERSAMA TENTANG KEMITRAAN STRATEGIS ANTARA PERANCIS DAN INDONESIA

MATA KULIAH S-2 SOSIOLOGI UGM. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Teori Kritik Sosial dan Postmodernisme. Seminar Proposal Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya. Konflik etnis merupakan salah satu permasalahan yang masih terjadi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V. Kesimpulan. A. Pendahuluan

KONSTITUSI SEBAGAI LANDASAN POLITIK HUKUM. Muchamad Ali Safa at

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

I. Pendahuluan. Gambar I : Peta Schengen 1


BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

KEPENTINGAN AMERIKA SERIKAT TERHADAP PENYATUAN MONETER EROPA (EUROPEAN MONETARY UNION) SKRIPSI. Ole h : WANDI NPM :

PERAN MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG DEMOKRATIS

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan

Konstitusionalisme HAM. Herlambang P. Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2016

BAB V KESIMPULAN. Sebelum dipimpin oleh Erdogan, Hubungan Turki dengan NATO, dan Uni

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. masih tersisa di dunia. Sejak Uni Soviet runtuh pada 1991, negara ini kesulitan

MODUL IV PENGATURAN KEAMANAN REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Prinsip-Prinsip Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012.

ENVIRONMENT CHANGE, SECURITY & CONFLICT

Urgensi Pengembangan Indikator HAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peacebuilding. Tulisan-tulisan terebut antara lain Aid, Conflict, and Peacebuilding

Bisnis Internasional Pertemuan Pertama Bab 1 dan 2 Globalisasi dan Perbedaan Sistem Politik Ekonomi antar Negara

BAB I PENDAHULUAN. hal yang tak dapat dihindari lagi, disebabkan oleh pergolakan ekonomi dalam

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet

Oleh : Dr. Hj. Aelina Surya, Dra

Menakar Arah Kebijakan Pemerintah RI Dalam Melindungi Hak Asasi WNI di Luar Negeri

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM

Politik Global dalam Teori dan Praktik

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional.

KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) LATAR BELAKANG, KONSEP KEPEMERINTAHA, KONSEP GOOD GOVERNANCE

Indonesia dan Belanda Perkuat Kerja Sama di Bidang Perdagangan dan Pembangunan Infrastruktur Rabu, 23 November 2016

Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Pertanian

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI

Pendidikan Kewarganegaraan

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TUGAS KONSTITUSI MATERI MUATAN KONSTITUSI DAN ISI KONSTITUSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Unsur-Unsur Tata Kepemerintahan Global (Global Governance)

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG

2017, No penguatan basis data perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan

HAK DAN KEWAJIBAN INVESTOR ASING DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL

Transkripsi:

BAB I - PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini ingin melihat kebijakan eksternal Uni Eropa (UE) di Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai bentuk implementasi dari konsep kekuatan normatif. Konsep kekuatan normatif menarik untuk dibahas karena konsep ini, terlepas dari usianya yang masih muda, telah mendapat pengakuan dari akademisi ketika European Union Studies Association (EUSA) memilih tulisan Manners tentang kekuatan normatif sebagai satu dari lima tulisan terpenting mengenai studi regionalisme dan integrasi Eropa (European Union Student Association, 2007). Konsep ini juga menjadi satu perspektif baru dalam memandang Uni Eropa sebagai aktor hubungan internasional. Riset ini penting sebagai salah satu bentuk pengembangan kajian normative power yang masih memiliki potensi besar untuk dibahas, dikritik, dan diperkuat. Identitas UE sebagai aktor normative power pertama kali disampaikan oleh Ian Manners pada tahun 2002, melalui tulisannya dalam Journal of Common Market Studies sebagai berikut: the EU as a normative power has an ontological quality to it that the EU can be conceptualized as a changer of norms in the international system; a positivist quantity to it that the EU acts to change norms in the international system; and a normative quality to it that the EU should act to extend its norms into the international system (Manners, 2002). Konsep kekuatan normatif memiliki dua dasar argumen yang relatif berbeda dibanding konsep kekuatan (power) tradisional seperti hard power atau soft power. Argumen pertama adalah bahwa UE adalah aktor yang tidak memiliki latar belakang sejarah, sifat, dan bentuk yang berasal dari konsep kedaulatan Westphalia 1. Dengan kata lain, UE memiliki sifat dan bentuk 1 Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 menciptakan konsep kedaulatan Westphalia (Westphalian sovereignty) yang hingga sekarang digunakan untuk menjelaskan bentuk negara-bangsa modern. Perjanjian ini berisikan pengakuan bahwa setiap negara berkedudukan setara, serta komitmen agar masing-masing negara memiliki kedaulatan mutlak atas rakyat dan wilayahnya (tidak ada campur tangan dari entitas eksternal). Konsep kedaulatan Westphalia ini tentu kontras dengan Uni Eropa yang berusaha melebur kedaulatan negara-negara Eropa ke tingkat kerjasama regional, misalnya melalui visa schengen (penghilangan batas teritori negara), eurozone (satu mata uang dan pasar), serta common foreign policy (integrasi kebijakan luar negeri). 1

keaktoran yang berbeda dengan negara (state), yang selama ini menjadi bentuk aktor utama dalam Ilmu Hubungan Internasional. Pun, UE berbeda jika dibandingkan dengan institusi regional maupun internasional. EU adalah sebuah aktor dengan karakter yang belum pernah ada (Manners, 2002). Sedangkan dasar argumen yang kedua adalah pada proses difusi dari kekuatan tersebut kepada pihak ketiga atau aktor eksternal di luar UE. Selama ini proses difusi dari konsep kekuatan tradisional (hard power atau soft power) memiliki basis self-interest dan kepemilikan terhadap sumber-sumber kekuatan. Dalam kajian hard ataupun soft power, sebuah aksi atau kebijakan dilakukan demi memenuhi kepentingan dari aktor atau negara yang dimaksud. Konsep kekuatan tersebut menjadi cara atau metode dalam memenuhi kepentingan nasional. Tujuan itu dicapai melalui sumber-sumber kekuatan seperti militer (hard power) serta kemampuan berdiplomasi (soft power). Hal tersebut berbeda dibandingkan dengan kekuatan normatif yang disampaikan Manners. Uni Eropa tidak memiliki kedaulatan untuk mengatur apa yang mereka miliki di dalam wilayahnya, karena mereka terdiri dari individu negara yang mandiri dan memiliki kedaulatan masing-masing. Oleh karena itu, konsep seperti kedaulatan Westphalia dan kepentingan nasional tidak berlaku apabila kita ingin menelaah bagaimana Uni Eropa bertindak dan merumuskan kebijakan eksternal mereka. Manners menjelaskan bahwa bentuk kekuasaan yang dimiliki Uni Eropa berlandaskan pada bentuk ide (norma, nilai) dibanding bentuk materi atau fisik, dimana Uni Eropa menyatukan visi mereka bukan melalui kepentingan nasional melainkan melalui pemenuhan terhadap ide-ide universal (Manners, 2009, p. 1). Permasalahannya, apa yang disampaikan Ian Manners hanya terpusat pada pembentukan kerangka konseptual kekuatan normatif, dan belum banyak sisi yang menjelaskan mengenai pelaksanaan atau kasus empirik mengenai proses difusi norma-norma Eropa kepada pihak ketiga (aktor non-ue). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan sebagai usaha untuk memberikan satu kajian baru mengenai kasus difusi kekuatan normatif Uni Eropa kepada negara lain. Dalam penelitian ini, studis kasus yang akan diambil adalah hubungan kerjasama Uni Eropa dengan Indonesia, terutama pasca-jatuhnya rezim Orde Baru. Periode waktu ini menjadi menarik karena dapat memberikan informasi mengenai progres perkembangan serta peningkatan intensitas kerjasama 2

Indonesia-Uni Eropa. Terutama, di bidang-bidang yang terkait dengan normanorma Eropa (lihat sub-bab Landasan Konseptual, hal. 4). Indonesia mengalami proses transformasi dan demokratisasi pasca jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Dalam masa ini pula Uni Eropa meningkatkan intensitas hubungan mereka dengan Indonesia, dan bahkan terlibat langsung dalam beberapa kasus, misalnya, proses mediasi pemerintah Indonesia dengan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kini, Indonesia tampil sebagai salah satu aktor yang berhasil dalam melakukan proses demokratisasi. Tulisan ini nantinya akan melihat bagaimana Uni Eropa melakukan transfer norma-norma universal kepada Indonesia dalam masa reformasi tersebut. B. Rumusan Masalah Untuk mempersempit ruang lingkup penelitian, maka skripsi ini akan mengajukan rumusan masalah berupa: Bagaimana Uni Eropa menerapkan kekuatan normatif di Indonesia? C. Landasan Konseptual Dalam penelitian ini ada dua konsep yang akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah, yakni: 1. Norma-Norma Eropa Uni Eropa merupakan sebuah entitas yang sangat berpegang pada ikatan norma atau hukum formal, baik itu norma universal yang diterima masyarakat internasional maupun norma-norma yang mereka ciptakan sendiri. Hal ini yang membuat Uni Eropa seringkali diidentikkan sebagai aktor normatif. Sonia Lucarelli, misalnya, menyatakan bahwa: Europe is a normative actor because Europe itself is based on normative principle (Lucarelli, 2008). Ada beberapa isu yang menjadi kajian utama dari norma-norma yang menjadi fokus Uni Eropa. Isu tersebut dapat ditelusuri dari beberapa perjanjian yang pernah dilakukan oleh Uni Eropa, seperti misalnya Copenhagen Criteria. Copenhagen Criteria berisi serangkaian syarat dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebuah negara agar dapat bergabung dengan Uni Eropa. Kriteria ini berawal dari pertemuan Dewan Eropa di Copenhagen (ibukota Denmark) pada 3

bulan Juni 1993, guna membahas Pasal 49 Traktat Uni Eropa yang menyebutkan bahwa any European state which respects the principles on which the EU is based may apply for membership (EU Information Centre Denmark, 2005). Sejak itu, Copenhagen Criteria menjadi standar acuan bagi proses perluasan keanggotaan Uni Eropa. Copenhagen Criteria meliputi beberapa syarat sebagai berikut: Kriteria Politik Stabilitas institusi yang menjamin proses demokrasi, penegakan hukum, penghormatan terhadap kelompok minoritas dan hak asasi manusia (HAM); Kriteria Ekonomi Berfungsinya sistem ekonomi pasar serta kemampuan untuk bersaing dan berkompetisi dengan pasar bebas; Kriteria Administratif Memiliki kapabilitas untuk mengaktifkan instrumen institusi Uni Eropa serta menjalankan kewajiban sebagai anggota Uni Eropa. Ian Manners merangkum ide dan norma-norma Eropa ke dalam lima bidang, yakni (1) peace - perdamaian, (2) liberty kemerdekaan, (3) democracy demokrasi, (4) rule of law penegakan hukum, dan (5) human rights hak asasi manusia (Manners, 2002, hal. 242). Kelima norma tersebut ia kategorikan sebagai core atau inti dari prinsip-prinsip yang dibawa Eropa dalam kebijakan internal maupun eksternal. Selain kelima norma tersebut, masih ada pula beberapa norma sekunder 2 seperti: (1) social solidarity - solidaritas sosial, (2) anti discrimination anti diskriminasi, (3) sustainable development pembangunan berkelanjutan, dan (4) good governance tata kelola pemerintahan yang baik (Manners, 2002). 2 Ian Manners menyebut kelima norma inti sebagai core norms. Sedangkan norma sekunder ia sebut sebagai minor norms. Norma sekunder ini adalah norma-norma lain yang penting, namun dapat digeneralisasikan ke dalam satu atau dua norma inti 4

2. Kekuatan Normatif (Normative Power) Konsep normative power memiliki fungsi untuk menjelaskan definisi Uni Eropa sebagai aktor dalam dinamika hubungan internasional. Definisi Uni Eropa sebagai aktor normatif ditegaskan Lucarelli yang mengatakan bahwa. Artinya, Uni Eropa dapat dikategorikan sebagai aktor normatif karena dia dibangun dengan menggunakan satu set nilai dan norma yang disepakati bersama. Set norma tersebut juga sekaligus menjadi alat pengikat dan kerangka berpikir Uni Eropa dalam berinteraksi dengan aktor eksternal. Selain itu, Ian Manners mengatakan bahwa Uni Eropa adalah aktor normatif karena karakter mereka yang dibentuk oleh kumpulan norma universal. Dari karakterisasi ini, norma tidak hanya menjadi sebuah metode yang dilakukan Uni Eropa, melainkan menjadi sesuatu yang seharusnya atau idealnya dilakukan oleh mereka (Manners, 2009, hal. 1). Manners lebih lanjut menjelaskan bahwa ide-ide Eropa inilah yang menjadi basis kekuatan normatif, karena kekuatan ide ini membedakannya dari kekuatan-kekuatan lain yang berbasis pada sesuatu berbentuk materi, misalnya uang (economic power) dan militer (military power). Gambar 1. Unsur Kekuatan Normatif Eropa (Sugiono, 2012) Selain itu, kekuatan normatif dibangun oleh tiga unsur yang melekat dalam proses pelaksanaan kebijakan luar negeri (lihat Gambar 1). Pertama, adalah prinsip (principles), baik prinsip Eropa maupun prinsip umum yang diakui secara universal, sebagai dasar kebijakan. Kedua, adalah aksi atau tindakan (action) yang dilakukan untuk mempromosikan prinsip tersebut, 5

dengan menggunakan metode-yang cenderung persuasif. Ketiga, dampak (impact) dari proses aksi yang mampu menciptakan suatu hubungan berkesinambungan (Manners, 2009, pp. 2-4). Konsep ini akan digunakan untuk menjelaskan bahwa norma menjadi basis politik Uni Eropa dalam berinteraksi dengan aktor-aktor eksternal. Pembahasan dari konsep ini akan diperdalam dalam bab II. D. Hipotesa Normative power merupakan sebuah konsep kekuatan yang kompleks. Ia dilandasi oleh prinsip-prinsip universal yang diakui di tingkat internasional maupun regional; proses transfer kepada negara lain melalui metode yang persuasif dan tidak menekan; serta memiliki dampak yang berkelanjutan. Penelitian ini berargumen bahwa ketiga poin mendasar dari kekuatan normatif tersebut telah dilakukan oleh Uni Eropa di Indonesia. Yakni melalui berbagai program seperti proses bina-damai di Aceh, Human Rights Dialogue, penandatanganan Partnership and Cooperation Agreement 2009, serta kerjasama di bidang perdagangan kayu legal dalam kerangka FLEGT-VPA. Penelitian ini juga akan membahas inti dari kekuatan normatif seperti yang disampaikan Ian Manners, yakni bahwa ketiga poin dasar diatas harus mampu membawa ketertarikan dari negara partner untuk menerapkan norma-norma Eropa atas keinginan sendiri. E. Sistematika Penulisan Untuk membahas masalah tersebut di atas, penelitian ini akan dibagi ke dalam lima bab. Bab pertama membahas latar belakang masalah, pertanyaan riset, serta landasan konseptual yang dipakai dalam riset. Konsep kekuatan normatif dan hak asasi manusia menjadi dua konsep yang dijelaskan dalam bab ini. Bab kedua akan membahas konsep kekuatan normatif yang dikemukakan oleh Ian Manners. Penjelasan pertama akan dilakukan dengan melihat bagaimana dinamika kajian konsep power untuk memberikan pemetaan terma kekuatan normatif di antara kekuatan-kekuatan lain. Setelah itu bab ini akan menjelaskan konsep kekuatan normatif yang ditulis oleh Ian Manners dalam beberapa publikasinya, serta bagaimana Ian Manners meletakkan Uni Eropa 6

sebagai aktor kekuatan normatif. Bab ini diakhiri dengan gambaran umum pelaksanaan kekuatan normatif oleh UE dalam hubungan internasional. Bab ketiga akan membahas kebijakan-kebijakan eksternal yang dilakukan oleh Uni Eropa di Indonesia. Bab keempat akan berisi analisis mengenai hubungan antara program-program tersebut dengan konsep normative power yang diusung Ian Manners. Bab kelima akan berisi kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhan penelitian 7