BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi seperti sekarang ini, pembangunan kepariwisataan

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang sifatnya kompleks, mencakup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pariwisata pada saat ini, menjadi harapan bagi banyak negara termasuk

OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lebih dari dua per tiga permukaan bumi tertutup oleh samudera. Ekosistem

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 di PPN Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 2007). Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar yang memiliki

BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN

RANCANGAN STRATEGI DAN PROGRAM

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V ARAHAN PENGEMBANGAN WISATA KAMPUNG NELAYAN KELURAHAN PASAR BENGKULU

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam

BAB I PENDAHULUAN. tempat obyek wisata berada mendapat pemasukan dari pendapatan setiap obyek

BAB I PENDAHULUAN. sosialnya yang berbeda seperti yang dimiliki oleh bangsa lain. Dengan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berkumpulnya nelayan dan pedagang-pedagang ikan atau pembeli ikan dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

I.PENDAHULUAN. Komoditas minyak dan gas (migas) merupakan penghasil devisa utama bagi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang begitu kaya, indah dan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. biasa disebut faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG

RANCANGAN: PENDEKATAN SINERGI PERENCANAAN BERBASIS PRIORITAS PEMBANGUNAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2017

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. artinya bagi usaha penanganan dan peningkatan kepariwisataan. pariwisata bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan rekreasi atau wisata sering digunakan sebagai sarana melepas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN PRIORITAS PENYEDIAAN KOMPONEN WISATA BAGI PENGEMBANGAN PARIWISATA DI PULAU NIAS TUGAS AKHIR. Oleh: TUHONI ZEGA L2D

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara negara di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian diperoleh dari survei primer dan sekunder terhadap ketersediaan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diandalkan pemerintah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Secara harfiah arti kata Boom sama dengan Haven dalam bahasa Belanda atau

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Jawa Tengah, Cilacap

DEFINISI- DEFINISI A-1

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II URAIAN TEORITIS. yaitu : pari dan wisata. Pari artinya banyak, berkali-kali atau berkeliling.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERITA NEGARA. No.955, 2011 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Juknis. DAK. Tahun 2012 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata,

VISI DAN MISI H. ARSYADJULIANDI RACHMAN H. SUYATNO

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI...

Kegiatan Belajar 1: Mengkonstruksi Industri Pariwisata

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu hal yang penting bagi suatu negara.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk

DAFTAR ISI PENGANTAR

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang sifatnya kompleks, mencakup

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Nelayan Secara geografis, nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu transisi antara wilayah darat dan laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbolsimbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan inilah yang menjadi pembeda antara masyarakat nelayan dengan kelompok sosial lainnya (Sawitri 2012). Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya kelautan. Berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, nelayan diklasifikasikan sebagai berikut (Monintja dan Yusfiandayani 2011) : 1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air/tanaman air. 2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air/tanaman air. 3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan/binatang air/tanaman air. Pengembangan sistem penangkapan ikan dapat terwujud bilamana ada peran aktif pemerintah didalamnya. Pemerintah dapat mengarahkan kepada para nelayan dengan memberikan gambaran langkah-langkah yang harus dilakukan secara terkontrol dan terpadu sehingga terciptanya sistem penangkapan ikan yang baik (Yuliriane 2012). 7

8 Kategori Nelayan dibedakan dalam 3 kelompok (Subri 2005), diantaranya yaitu : 1) Nelayan buruh, yaitu nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. 2) Nelayan juragan, yaitu nelayan yang memiliki alat tangkap dan dioperasikan oleh orang lain. 3) Nelayan perorangan, yaitu nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain. Masyarakat nelayan pada umumnya tidak lebih dari masyarakat tradisional dengan kondisi sosial ekonomi yang memprihatinkan terutama nelayan buruh. Permasalahan yang kompleks, produktivitas, pendidikan, tingkat pendapatan yang rendah serta teknologi yang bersifat tradisional, menjadikan sulitnya menerima sesuatu yang baru dan kurang dapat mengambil inisiatif dalam permasalahan hidupnya (Irwandi dalam Hurlan 2007) Kehidupan masyarakat pesisir sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya pencemaran, karena limbah industri maupun budidaya yang berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Karakteristik lain yang sangat mencolok dikalangan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat nelayan adalah tergantungnya pada musim. Pada musim penangkapan para nelayan sangat sibuk ke laut. Sebaliknya, pada musim paceklik kegiatan melaut menjadi berkurang, sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur. Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pantai secara umum dan kaum nelayan khususnya (Dahuri 2000). Karakteristik dan mentalitas nelayan kecil yaitu umumnya berpartisipasi sosial ke samping dengan sesamanya atau kebawah. Tidak atau jarang bergaul dengan orang-orang atau pemimpin yang peranannya menyebar unsur-unsur modernisasi. Karakteristik dan mentalitas lain yang ditemui nelayan kecil adalah dalam memperlakukan kekayaan atau pendapatan jarang diantaranya memperhitungkan ke depan, atau berusaha menanamkan pendapatannya itu untuk tujuan yang sifatnya produktif (Primayuda 2002).

9 Mentalitas lain yang tidak mendukung pembangunan adalah adanya keyakinan bahwa tidak seorangpun dapat berusaha untuk memperbaiki nasibnya. Akibatnya, nelayan kurang terdorong untuk bekerja keras dan berprestasi, serta hidup hemat dan beriorentasi ke masa depan. Sikap lain yang cukup menghambat kemajuan adalah adanya sikap pasif dan menunggu, serta tidak memiliki keberanian mengutarakan pendapat karena khawatir tidak sejalan dengan orang lain menjadikan nelayan tidak respon terhadap pembaharuan. Nelayan kecil di dalam dirinya memiliki kelemahan baik tingkat pendidikan, kedudukan ekonomi, sosial, dan budaya, serta mentalitas yang terisolasi. Adanya kelemahan tersebut berakibat tidak atau kurang mampu berpartisipasi dalam pembangunan pertanian (Rasdani dalam Primayuda 2002). 2.1.1. Keterlibatan Nelayan pada Kegiatan Wisata Bahari Palabuhanratu Dipandang dari sudut sosial ekonomi wilayah pesisir dan laut memiliki arti yang sangat penting karena mampu mendukung pemenuhan kebutuhan masyarakat di kawasan pesisir melalui berbagai pemanfaatan sumber daya pesisir dan penawaran berbagai jasa lingkungan (Amanah 2005). Pantai Palabuhanratu merupakan salah satu tujuan wisata yang eksotik yang dapat menawarkan kepuasan wisatawan akan keindahannya karena terdiri dari perpaduan antara pantai yang curam dan landai, batu-batu karang yang terjal, hempasan ombak, dan hutan cagar alam. Adapun kegiatan wisata bahari diantaranya, menikmati keindahan pantai dengan jasa menggunakan perahu, olahraga air serta penunjang wisata lainnya seperti kios makanan dan penjual accesoris di sekitar pesisir pantai. Kondisi ini mampu mengefektifkan dan mengoptimalkan kinerja sektor yang ada, guna meningkatkan pemasukan daerah (Sobari dalam Yuliriane 2012). Nelayan di pantai Palabuan Ratu kegiatannya selain menangkap ikan mereka juga menyewakan perahu kepada pengunjung untuk pergi memancing, menyewakan bogie dan banana boat, selain itu juga menjual makanan ringan dengan maksud menambah sumber pendapatan rumah tangga nelayan. 2.2 Nelayan Perikanan Tangkap

10 Untuk mendukung kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu pemerintah kabupaten Sukabumi melalui Dinas Kelautan dan Perikanan beserta Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) RI, menyediakan sarana dan prasarana kegiatan perikanan tangkap. Sarana yang disediakan adalah dengan didirikannya Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN). Pembangunan PPN Palabuhanratu pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan produksi dan produktivitas usaha perikanan dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahtraan masyarakat khususnya nelayan melalui kemudahan beraktivitas sekaligus pusat pelaksanaan pengawasan sumberdaya ikan (SDI) dan untuk menjaga kelestarian SDI serta lingkungannya. PPN Palabuhanratu diresmikan oleh Presiden RI Bapak Soeharto pada tanggal 18 Februari 1993 dengan dana pembangunan pada tahap awal bersumber dari Asian Develovment Bank (ADB) dan Islamic Development Bank (IDB) (Indrayanti 2010). Hal-hal yang melatarbelakangi pembangunan PPN Palabuhanratu antara lain: Sebagian besar penduduknya mencari nafkah ke laut sebagai nelayan. Lokasi terlindung dari ombak besar (Teluk Palabuhanratu). Mengakomodir kegiatan masyarakat pesisir pantai kabupaten Sukabumi. Adanya peluang untuk pemanfaatan stock ikan di WPP IX (Pansela Jabar). Jarak teluk yang dekat dengan fishing ground. Akses pemasaran yang cukup dekat (Bandung, Bogor, Jakatra). Pelaksanaan fungsi PPN Palabuhanratu selama program revitalisasi pelabuhan perikanan dijalankan sejak periode tahun 2003-2009 adalah : Sebagai tempat tambat labuh kapal Tempat pendaratan ikan Tempat untuk memperlancar kegiatan kapal-kapal perikanan Tempat pemasaran dan distribusi hasil tangkapan Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Palabuhanratu menggunakan alat-alat penangkapan seperti, pancing ulur, payang rawai, bagan, gillnet, pancing tonda, tuna longline, jaring rampus, jaring klitik, trammel net, dan purse seine (Indrayanti 2010).

11 Kapal penangkapan ikan yang beroprasi di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu terdiri dari perahu motor tempel dan kapal motor. Perahu motor tempel menggunakan mesin motor tempel (outboard engine) dengan solar atau campuran solar dengan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Sementara kapal motor menggunakan mesin yang disimpan di dalam badan kapal (inboard engine) dengan solar sebagai bahan bakarnya. Perahu motor tempel biasanya mengoprasikan alat tangkap berupa pancing, jarring rampus, trammel net dan gillnet, rawai, pancing tonda, tuna longline, dan untuk angkutan bagan. Adapun karakteristik yang nampak apabila pengelolaan perikanan tangkap berjalan dengan baik (Monintja dan Yusfiandayani 2011), diantaranya: 1) Proses penangkapan ramah lingkungan, dengan indikator hasil tangkapan terbuang minim, tidak membahayakan keanekaragaman hayati, tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan target, tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan nelayan. 2) Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai tetap). 3) Pasar tetap/terjamin. 4) Usaha penangkapan masih menguntungkan. 5) Memenuhi persyaratan legal. 2.2.1 Nilai Produksi Produksi perikanan laut sangat tergantung pada perahu atau kapal yang digunakan nelayan. Mengingat sifat ikan yang bermigrasi atau berpindah tempat, maka fishing ground juga berpindah. Oleh karena itu hasil tangkapan nelayan berfluktuasi sehingga akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh. Selain itu dari aspek pemasaran, produk perikanan juga mengikuti mekanisme pasar, karena harga dari suatu hasil produksi perikanan lebih banyak ditentukan oleh tingkat konsumen di tingkat eceran, sedangkan produsen atau nelayan tidak dapat menentukan harga terhadap hasil tangkapannya. Bila harga tinggi maka jumlah barang yang dibeli menurun sedangkan bila harga rendah, maka barang yang dibeli bertambah (Soemarsono dalam Hurlan 2007). 2.2.2 Pendapatan Nelayan

12 Sukirno (2006), pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diterima atas kerjanya selama satu periode tertentu, baik harian, mingguan, bulanan maupun tahunan. Pendapatan masyarakat nelayan bergantung kepada pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan yang terdapat dilautan. Pendapatan masyarakat nelayan secara langsung maupun tidak akan sangat mempengaruhi kualitas hidup mereka, karena pendapatan dari hasil berlayar merupakan sumber pemasukan utama atau bahkan satu-satunya bagi mereka, sehingga besar kecilnya pendapatan akan sangat memberikan pengaruh terhadap kehidupan mereka, terutama terhadap kemampuan mereka dalam mengelola lingkungan tempat hidup mereka. Tingkat pendapatan nelayan juga bisa dilakukan dengan melihat proporsi produksi ikan dengan jumlah nelayan per hari. Besarnya pendapatan akan mampu mendorong para nelayan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka maka kebutuhan-kebutuhan lain seperti peningkatan pengelolaan permukiman serta sarana dan prasarananya akan ikut mengalami peningkatan, hal ini akan mengakibatkan peningkatan kualitas lingkungan permukiman mereka, seperti: kondisi rumah layak dan jalan-jalan lokal yang baik (Hudoyo 2006). 2.3 Wisata Bahari Wisata bahari adalah jenis minat khusus yang memiliki aktivitas yang berkaitan dengan kelautan, baik diatas permukaan laut, pesisir maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan laut (DKP dalam Yuliriane 2012). Pembangunan pariwisata bahari, yang pada hakekatnya adalah upaya mengembangkan dan memanfaatkan obyek dan daya tarik wisata bahari di kawasan pesisir dan lautan Indonesia, berupa kekayaan alam yang indah, keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias. Beberapa jenis kegiatan wisata bahari yang pada saat ini sudah dikembangkan oleh pemerintah dan swasta diantaranya wisata selam, pemancingan, berenang, selancar, ski air, berlayar, rekreasi, pantai dan wisata pesisir (Dahuri 2000). Obyek wisata bahari lainnya yang berpotensi besar adalah wilayah pantai. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, tempat pemandian yang bersih, serta tempat untuk melakukan

13 kegiatan berselancar air (surfing), terutama pada pantai yang landai, memiliki ombak yang besar dan berkesinambungan (Hurlan 2007). 2.4 Pengembangan Pariwisata Berkembangnya suatu daerah menjadi tempat wisata sehingga menarik wisatawan untuk berkunjung dapat dikaji dari hal-hal yang dapat dilihat dan dinikmati, wisatawan dapat beraktivitas dan membeli makanan atau cinderamata serta tempat tinggal sementara (Yuliriane 2012). Kegiatan pariwisata yang baik harus dapat membuat para wisatawan betah untuk tinggal lebih lama dan membelanjakan uangnya dalam jumlah sebanyak-banyaknya, dengan kata lain keperluan wisatawan dalam suatu perjalanan wisata harus dapat terpenuhi dengan baik. Berdasarkan tujuan tersebut maka pengembangan suatu objek wisata harus berdasarkan syarat-syarat tertentu. Pengembangan wisata pada suatu daerah agar dapat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan dapat dilihat dari (Maryani dalam Santoso 2013) : 1) How to arrive, termasuk didalamnya aksesibilitas yaitu, bagaimana dapat dikunjungi objek wisata tersebut, kendaraan apa yang digunakan dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk dapat tiba di tempat wisata tersebut. 2) Something to see, maksudnya di tempat tersebut harus terdapat objek wisata yang berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah lain. Dengan kata lain daerah itu harus mempunyai daya tarik khusus dan atraksi budaya yang dapat dijadikan entertainment bagi wisatawan. 3) Something to do, maksudnya di suatu objek wisata, wisatawan dapat beraktivitas misalnya berenang, berselancar, berjemur, makan-makan dan aktivitas lainnya. 4) Something to buy, maksudnya di tempat tujuan wisata harus tersedia fasilitas untuk berbelanja terutama barang souvenir dan kerajinan rakyat sebagai oleholeh untuk dibawa pulang ke tempat asal. 5) How to stay, artinya bagaimana wisatawan akan tinggal untuk sementara waktu selama berlibur di objek wisata tersebut, untuk itu diperlukan

14 penginapan-penginapan baik hotel berbintang maupun losmen dan sebagainya. Secara teknis upaya-upaya yang harus dilakukan dalam membenahi strategi pembangunan pariwisata bahari antara lain adalah pengembangan sarana dan prasarana wisata bahari, peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang pengembangan wisata bahari dan penyediaan sistem informasi pariwisata dan program promosi yang tepat. Dilain pihak faktor-faktor non teknis yang berasal dari kebijakan pemerintah dan turut mempengaruhi daya tarik kegiatan wisata yang juga perlu dibenahi antara lain kebijakan dalam kemudahan mendapatkan visa bagi kunjungan wisata, menetapkan Palabuhan sebagai pintu masuk wisata dan mengembangkannya sesuai standar internasional, serta menciptakan suasana aman dan nyaman sebagai iklim yang kondusif berlangsungnya kegiatan pariwisata (Dahuri 2000). 2.5 Kebutuhan Fisik Minimum Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) adalah kebutuhan minimum selama sebulan dari seorang pekerja yang diukur menurut jumlah kalori, protein, vitamin, dan bahan mineral lainnya yang diperlukan sesuai dengan tingkat kebutuhan minimum seorang pekerja dan syarat-syarat kesehatan. Komponen kebutuhan hidup layak digunakan sebagai dasar penentuan upah minimum, dimana dihitung berdasarkan kebutuhan hidup pekerja dalam memenuhi kebutuhan mendasar yang meliputi kebutuhan akan pangan 2100 kkal perhari, perumahan, pakaian, pendidikan dan sebagainya (Takziah 2009). Awalnya penghitungan upah minimum dihitung didasarkan pada Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), kemudian terjadi perubahan penghitungan didasarkan kepada Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Perubahan itu disebabkan tidak sesuainya lagi penetapan upah berdasarkan kebutuhan fisik minimum, sehingga timbul perubahan yang disebut dengan KHM. Kemudian, penetapan upah minumum berdasarkan KHM mendapat koreksi cukup besar dari pekerja yang beranggapan terjadi implikasi pada rendahnya daya beli dan

15 kesejahteraan masyarakat terutama pada pekerja tingkat level bawah. Dengan beberapa pendekatan dan penjelasan langsung terhadap pekerja, penetapan upah minimum berdasarkan KHM dapat berjalan dan diterima pihak pekerja dan pengusaha. Perkembangan teknologi dan sosial ekonomi yang cukup pesat menimbulkan pemikiran, kebutuhan hidup pekerja berdasarkan kondisi "minimum" perlu diubah menjadi kebutuhan hidup layak. Kebutuhan hidup layak dapat meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas nasional. 2.6 Tingkat Kesejahteraan Kesejateraan berbeda makna dengan tingkat kepuasan walaupun diantara keduanya memiliki saling keterkaitan, tingkat kepuasan merujuk kepada keadaan individu atau kelompok, sedangkan tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi keseluruhan dari kepuasan individu-individu. Kementrian tenaga kerja dan transmigrasi melalui gubernur pada setiap provinsi di Indonesia secara berkala menerbitkan keputusan tentang Upah Minimum Regional (UMR) yang memuat nilai upah minimum masing-masing Kabupaten (UMK) sebagai acuan standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. UMR dihitung berdasarkan acuan analisis Komponen Hidup Layak (KHL) dalam Undang-Undang ketenagakerjaan yaitu UU No 13 tahun 2003. UMR dapat digunakan sebagai ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat. Purnomo (1999) mengemukakan bahwa kesejahteraan bersifat subjektif, sehingga ukuran kesejahteraan bagi setiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain. Namun pada prinsipnya kesejahteraan itu berkaitan dengan kebutuhan dasar. Apabila kebutuhan dasar bagi individu atau keluarga sudah dapat dipenuhi, maka dikatakan bahwa tingkat kesejahtraan dari individu atau keluarga tersebut

16 sudah tercapai. Berdasarkan tingkat kepentingannya, kebutuhan dibagi menjadi 3 macam yaitu: Kebutuhan primer, disebut juga kebutuhan pokok atau dasar, yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi karena sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan ini meliputi makanan, pakaian, dan perumahan (pangan, sandang dan papan). Apabila kebutuhan primer ini tidak terpenuhi, maka manusia sulit untuk melangsungkan kehidupan dan mewujudkan jati diri sesuai dengan kodratnya. Kebutuhan sekunder, timbul setelah manusia dapat memenuhi kebutuhan primer. Kebutuhan sekunder sebenarnya tidak begitu penting untuk diwujudkan, karena tanpa pemenuhan kebutuhan inipun manusia dapat tetap hidup. Kebutuhan sekunder antara lain radio, televisi, meja dan kursi, tempat tidur, dan sebagainya. Kebutuhan tersier, adalah kebutuhan ketiga yang dipenuhi, setelah kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi. Kebutuhan ini umumnya dipenuhi oleh orang yang berpendapatan tinggi dan dilakukan untuk meningkatkan prestise atau kebanggaan di mata masyarakat. Contoh kebutuhan tersier, yaitu komputer, handphone, mobil mewah, rumah mewah, dan kapal pesiar mewah. Pada dasarnya yang menjadi ukuran tingkat kesejahteraan pada setiap orang berbeda-beda. Namun kebutuhan primer, sekunder dan tersier dapat menjadi salah satu ukuran untuk menentukan kesejahteraan seseorang.