REPUBLIK INDONESIA DEPARTMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (PKPS)

dokumen-dokumen yang mirip
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : KP 247 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN DAN STANDAR BAGIAN (MANUAL OF STANDARD

Memmbang. a. perhubungan NomQr KM 21 Tahun 2009 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 173

2016, No Penerbangan (Aeronautical Meteorological Information Services); Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 14 TAHUN 1989 TENTANG PENERTIBAN PENUMPANG, BARANG DAN KARGO YANG DIANGKUT PESAWAT UDARA SIPIL

kegiatan angkutan udara bukan niaga dan lampirannya beserta bukti

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengoperasian Sistem Pesawat Tanpa Awak di Wilayah Ruang Udara Indonesia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Indonesia Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

Advisory Circular 92-01

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR 300.K/38/M.pe/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP. 271 TAHUN 2012

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR: 300.K/38/M.PE/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Keselamatan Pekerjaan Bandar Udara

REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERHUBUNGAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOM OR : KP 038 TAHUN 2017 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S)

KETENTUAN HUKUM DALAM PENGGUNAAN DRONE DI INDONESIA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 20/PRT/M/2010 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN DAN PENGGUNAAN BAGIAN-BAGIAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 200 Tanggal 15 Februari 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran N

yang tidak menyediakan bahan pemadam api sesuai dengan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 1986 TENTANG PENYEDIAAN DAN PENGGUNAAN TANAH SERTA RUANG UDARA DI SEKITAR BANDAR UDARA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 82 TAHUN 2015 TENTANG

2015, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200

-9- keliru. Personel AOC melakukan landing yang menyimpang dari prosedur

Seseorang dapat mengajukan Perancangan Prosedur Penerbangan

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 578 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dibuat Oleh : Sinta Suciana Rahayu P / Dosen Pembimbing : Ir. Fitri Sjafrina, MM

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/VII/2010 TAHUN 2010 TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 077 TAHUN 2018 TENTANG STANDAR TEKNIS DAN OPERASI (MANUAL OF STANDARD CASR PART

NOMOR: KP 081 TAHUN 2018 PROSEDUR PENETAPAN, PENGGUNAAN DAN PENUTUPAN

2016, No Republik Indonesia Nomor 3601) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000 tentang.perubahan atas

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai angkutan udara perintis. Penyelenggaraan Angkutan Udara Perintis;

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar

Terminal kargo bandar udara

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KP.288 TAHUN 2008 TENTANG

2015, No Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468); 4. Peraturan Presiden Nomor 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

2 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2014; 3. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fung

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JENIS-JENIS SISTEM PENGENDALIAN TRANSPORTASI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

b. bahwa dalam rangka memberikan pedoman terhadap tata

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5058); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tah

BAB I PENDAHULUAN. Bandar Udara Rahadi Osman yang terletak di Kota Ketapang, Provinsi

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

2 Ke Dan Dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republi

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP-447 TAHUN 2014 TENTANG PEMBAYARAN PASSENGER SERVICE CHARGE (PSC) DISATUKAN DENGAN

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

PEDOMAN PENGOPERASIAN, PERAWATAN, DAN PEMELIHARAAN PESAWAT TERBANG MICROLIGHT TRIKE

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 216 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 41 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

tanpa persetujuan khusus Ditjen Hubud.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

Transkripsi:

REPUBLIK INDONESIA DEPARTMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (PKPS) BAGIAN 101 BALON UDARA YANG DITAMBATKAN, LAYANG- LAYANG, ROKET TANPA AWAK DAN BALON UDARA BEBAS TANPA AWAK

LAMPIRAN : PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 9 TAHUN 2009 TANGGAL : 12 Februari 2009 PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (PKPS) BAGIAN 101 BALON UDARA YANG DITAMBATKAN, LAYANG-LAYANG, ROKET TANPA AWAK DAN BALON UDARA BEBAS TANPA AWAK REPUBLIK INDONESIA DEPARTMEN PERHUBUNGAN

DAFTAR ISI SUB BAGIAN A UMUM 101.1 Penerapan... 1 101.3 Pengecualian yang diizinkan... 2 101.5 Operasi Dalam Area Terlarang atau Area yang Dibatasi... 2 101.7 Operasi yang Membahayakan... 2 SUB BAGIAN B BALON UDARA YANG DITAMBATKAN DAN LAYANG-LAYANG 101.11 Penerapan... 3 101.13 Limitasi Operasi... 3 101.15 Persyaratan wajib dilaporkan... 3 101.17 Persyaratan Penerangan dan Penandaan... 4 101.19 Peralatan Deflasi Cepat... 4 SUB BAGIAN C ROKET TANPA AWAK 101.21 Penerapan... 5 101.22 Ketentuan Khusus Untuk Roket Model Besar... 5 101.23 Limitasi Operasi... 5 101.25 Persyaratan Wajib Dilaporkan... 6 SUB BAGIAN D BALON UDARA BEBAS TANPA AWAK 101.31 Penerapan... 7 101.33 Limitasi Operasi... 7 101.35 Persyaratan Perlengkapan dan Penandaan... 7 101.37 Persyaratan Wajib Dilaporkan... 8 101.39 Laporan Posisi Balon Udara... 9 CASR 101 Page i

SUB BAGIAN A UMUM 101.1 Penerapan (a) Bagian ini menjelaskan peraturan pengoperasian di dalam wilayah Republik Indonesia, meliputi tentang : (1) Kecuali persyaratan pada paragraf 101.7, semua balon udara yang ditambatkan di atas permukaan tanah atau suatu obyek yang mempunyai garis tengah lebih dari 6 kaki (1,83 m) atau suatu yang mempunyai kapasitas gas lebih dari 115 kaki kubik (35,75 m3). (2) Kecuali persyaratan pada bagian 101.7, semua layang-layang yang beratnya lebih dari 5 pon (2,27 kg) dan dimaksudkan untuk diterbangkan yang ditambatkan pada kabel atau tali. (3) Semua roket tanpa awak, kecuali : (i) pertunjukan kembang api, dan (ii) roket-roket model : (A) menggunakan bahan bakar tidak lebih dari 4 ons; (B) menggunakan bahan bakar dengan titik bakar lambat; (C) dibuat dari kertas, kayu, atau plastik yang mudah patah, berisi bagian-bagian tanpa substansi logam dan mempunyai berat tidak lebih dari 16 ons, termasuk bahan bakar; dan (D) dioperasikan dengan cara yang berakibat membahayakan terhadap orang, properti atau pesawat udara lainnya. (4) Kecuali sebagaimana tertuang pada paragraf 101.7, semua balon udara bebas tanpa awak yang : (i) membawa paket muatan dengan berat tidak lebih dari 4 pon dan mempunyai suatu berat/ukuran dengan perbandingan lebih dari 3 ons per inci persegi tiap-tiap permukaan paket, ditentukan dengan pembagian total berat/beban dalam ons beban paket dengan luas (dalam inci persegi) permukaan terkecil. (ii) (iii) membawa paket muatan tidak lebih dari pada 6 pon (2,72 kg); membawa paket muatan dua atau lebih, bahwa berat tidak lebih dari 12 pon (5,45 kg); atau (iv) menggunakan tali atau alat lain untuk mengikat yang memerlukan dampak kekuatan lebih dari 50 pon (22,7 kg) untuk memisahkan muatan yang diikat dari balon udara itu. (b) Untuk penerapan bagian ini, sebuah gyroglider yang dihubungkan dengan sarana angkutan di atas permukaan bumi dianggap sebagai layang-layang. 1

101.3 Pengecualian yang diizinkan Tidak seorangpun boleh melakukan operasi yang memerlukan penyimpangan dari peraturan ini kecuali dengan sertifikat izin pengecualian yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara. 101.5 Operasi Dalam Area Terlarang atau Area yang Dibatasi Tidak seorangpun boleh mengoperasikan balon udara yang ditambatkan, layang-layang, roket tanpa awak, atau balon udara bebas tanpa awak di dalam area terlarang atau area restricted (terbatas) kecuali telah mendapat izin dari penguasa area tersebut atau instansi yang mengawasi, sebagaimana mestinya. 101.7 Operasi yang Membahayakan (a) (b) Tidak seorangpun boleh mengoperasikan balon udara yang ditambatkan, layang-layang, roket tanpa awak, atau balon udara bebas tanpa awak dengan cara yang dapat membahayakan orang lain atau properti milik mereka. Tidak seorangpun boleh mengoperasikan balon udara yang ditambatkan, layang-layang, roket tanpa awak, atau balon udara bebas tanpa awak diizinkan menjatuhkan barang atau obyek darinya, jika tindakan tersebut dapat membahayakan orang lain atau properti milik mereka. 2

SUB BAGIAN B BALON-BALON UDARA YANG DITAMBATKAN DAN LAYANG-LAYANG 101.11 Penerapan Sub bagian ini diterapkan untuk pengoperasian balon-balon udara yang ditambatkan dan layang-layang. Bagaimanapun, seseorang yang mengoperasikan balon-balon udara yang ditambatkan dan layang-layang di dalam area yang dibatasi harus memenuhi paragraf 101.19 dan dengan limitasi tambahan yang dikenakan pengguna area tersebut atau agen yang mengontrol, sesuai aturan yang berlaku. 101.13 Limitasi Operasi (a) Kecuali sebagaimana tercantum pada paragraf (b) bagian ini, tidak seorangpun boleh mengoperasikan sebuah balon udara yang ditambatkan atau layang-layang : (1) Kurang dari 500 kaki (152,5 m) dari dasar awan; (2) Lebih dari 500 kaki (152,5 m) di atas permukaan tanah; (3) Dari suatu area dimana jarak pandang di tanah adalah kurang dari 3 mil; atau (4) Dalam radius 5 mil (8.045 m) dari setiap Bandar Udara. (b) Paragraf (a) bagian ini tidak berlaku untuk pengoperasian balon udara dilindungi jaring (shielded) atau layang-layang dimana ujung atas struktur mencapai 250 kaki (76,25 m) jika pelindung (shielded) pengoperasian tersebut tidak menutupi/mengaburkan semua penerangan pada struktur. 101.15 Persyaratan Wajib Dilaporkan Tidak seorangpun boleh mengoperasikan sebuah balon udara tanpa pelindung (shielded) yang ditambatkan atau layang-layang lebih dari 150 kaki (45,75 m) di atas permukaan tanah kecuali, paling tidak 72 jam sebelum mulai dioperasikan, dia harus sudah meng-informasikan ke Otoritas Bandar Udara dan fasilitas ATC terdekat untuk tempat operasi yang dikehendaki sebagai berikut : (a) Nama dan alamat pemilik dan operator. (b) Ukuran balon udara atau ukuran dan berat layang-layang. (c) Lokasi dimana dioperasikan. (d) Ketinggian di atas permukaan tanah yang mana balon udara atau layanglayang akan dioperasikan. (e) Tanggal, waktu dan durasi pengoperasian. 3

101.17 Persyaratan Penerangan dan Penandaan. (a) Tidak seorangpun boleh mengoperasikan balon udara yang ditambatkan atau layang-layang, antara matahari terbenam dan matahari terbit (waktu malam) kecuali balon udara atau layang-layang, dan sepanjang tambatan (tali), tersinari agar dapat menjadi tanda peringatan visual (terlihat) yang sepadan dengan yang diperlukan untuk menghalangi terhadap navigasi udara di dalam Publikasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Obstruction Marking and Lighting (Tanda dan Penerangan Penghalang). (b) Tidak seorangpun boleh mengoperasikan balon udara yang ditambatkan atau layang-layang, antara matahari terbenam dan matahari terbit (waktu malam) kecuali tali tambatan diwarnai belang-belang atau dipasang panjipanji pada sepanjang tidak lebih dari 50 kaki interval dimulai dari 150 kaki di atas permukaan tanah dan jarak pandang tidak kurang dari 1 mil. 101.19 Peralatan Pengosongan (deflasi) Cepat. Tidak seorangpun boleh mengoperasikan balon udara yang ditambatkan kecuali dilengkapi peralatan yang akan secara otomatis dan mengosongkan cepat balon udara jika lepas dari tali tambatan, jika peralatan tidak berfungsi dengan baik, operator segera melapor ke fasilitas ATC terdekat dari lokasi dan waktu lepasnya dan perkiraan alur penerbangan balon. 4

SUB BAGIAN C ROKET-ROKET TIDAK BERAWAK 101.21 Penerapan Sub bagian ini diterapkan untuk pengoperasian roket-roket tanpa awak. Sebagaimana, seseorang mengoperasikan roket tanpa awak di dalam area restricted harus mematuhi aturan pada paragraf 101.23 (g) dan dengan limitasi tambahan yang dikenakan oleh penguasa atau instansi yang mengawasi, sebagaimana disesuaikan. 101.22 Peraturan Khusus untuk Roket Model Besar Orang yang mengoperasikan roket-roket model yang menggunakan tidak lebih dari 125 gram bahan bakar, terbuat dari kertas, kayu, plastik yang mudah patah, berisi bagian-bagian tanpa substansi logam, dan dengan berat tidak lebih dari 1.500 gram termasuk bahan bakar, tidak perlu memenuhi 101.23 (b), (c), (g), dan (h) tercantum : (a) Bahwa orang mematuhi semua aturan paragraf 101.25; (b) Pengoperasian tidak terkait dalam radius 5 mil dari landasan pacu Bandar Udara atau area landasan yang lain kecuali informasi yang diperlukan dalam paragraf 101.25 dan juga disampaikan ke Kepala Bandar Udara. 101.23 Limitasi Operasi Tidak seorangpun boleh mengoperasikan roket tanpa awak : (a) Dengan cara yang dapat menimbulkan bahaya tabrakan dengan pesawat udara lain; (b) Di dalam wilayah udara terkontrol; (c) Di dalam radius 5 mil dari setiap Bandar udara; (d) Pada tiap-tiap ketinggian dimana awan atau gejala awan gelap lebih dari memenuhi 5 per 10 yang terjadi; (e) Pada tiap-tiap ketinggian dimana jarak pandang horizontal adalah kurang dari 5 mil; (f) Hingga mencapai awan; (g) Dalam jarak 1500 kaki dari tiap-tiap orang atau properti yang tidak terkait dengan pengoperasian tersebut; atau (h) Antara matahari terbenam dan matahari terbit. 5

101.25 Persyaratan Wajib Dilaporkan Tidak seorangpun boleh mengoperasikan sebuah roket tanpa awak kecuali bahwa orang tersebut dalam 48 sampai dengan 72 jam sebelum dimulai pengoperasian, memberikan informasi untuk persetujuan ke Otoritas Bandar Udara dan fasilitas ATC terdekat dengan tempat pengoperasian yang diharapkan sebagai berikut : (a) Nama dan alamat pemilik dan operator, kecuali terdiri dari berbagai peserta pada suatu acara tunggal, nama dan alamat peserta dikoordinasi oleh koordinator acara peluncuran, barang siapa yang bertanggung jawab termasuk mengkoordinasi perkiraan data peluncuran yang diperlukan dan mengkoordinir acara peluncuran; (b) Perkiraan jumlah roket yang akan dioperasikan; (c) Perkiraan ukuran dan perkiraan berat masing-masing roket yang akan diluncurkan; dan (d) Perkiraan ketinggian paling tinggi atau terbang pada ketinggian konstan yang mana roket akan dioperasikan; (e) Lokasi pengoperasian; (f) Tanggal, waktu, dan durasi pengoperasian; (g) Informasi terkait lainnya yang diperlukan oleh fasilitas ATC. 6

SUB BAGIAN D BALON UDARA BEBAS TANPA AWAK 101.31 Penerapan Sub bagian ini diterapkan terhadap pengoperasian balon-balon udara bebas tanpa awak. Walaupun demikian, seseorang yang mengoperasikan balon udara bebas tanpa awak di dalam area terlarang harus memenuhi paragraf 101.33 (d) dan (e) dan dengan limitasi tambahan yang dikenakan oleh penguasa atau instansi yang mengawasi, sebagaimana mestinya. 101.33 Limitasi Operasi Tidak seorangpun boleh mengoperasikan balon udara bebas tanpa awak : (a) Kecuali jika diberi hak oleh ATC, di bawah 2.000 kaki di atas permukaan di dalam batasan-batasan lingkar lateral area permukaan Kelas B, Kelas C, Kelas D, atau Kelas E airspace menunjuk suatu bandar udara; (b) Pada tiap-tiap ketinggian dimana awan atau gejala awan gelap lebih dari memenuhi 5 per 10 yang terjadi; (c) Pada tiap-tiap ketinggian di bawah 60.000 kaki tekanan ketinggian standar dimana jarak pandang horizontal adalah kurang dari lima mil; (d) Sepanjang 1.000 kaki pertama pendakian, di atas suatu area kota besar, kota, atau perkampungan atau suatu sekelompok orang di udara terbuka yang tidak berhubungan dengan operasi tersebut; (e) Sedemikian rupa yang berdampak dari balon, atau daripada bagiannya termasuk muatan, dengan permukaan yang dapat membahayakan terhadap orang atau properti yang tidak terkait dengan pengoperasian. 101.35 Persyaratan-persyaratan Peralatan dan Penandaan (a) Tidak seorangpun boleh mengoperasikan balon udara bebas tanpa awak kecuali : (1) Dipasang paling tidak dua sistem pemutus/pengurangan muatan atau peralatan yang beroperasi independen antara satu dengan lainnya; (2) Paling sedikit 2 metode, sistem, peralatan, atau kombinasi dari keduaduanya, bahwa berfungsi independen antara satu dengan lainnya dan bekerja untuk menghentikan batasan jalur penerbangan; dan (3) Batasan jalur balon dipasang dengan peralatan radar yang dapat memantulkan sinyal atau material yang akan memancarkan gelombang ke permukaan radar yang beroperasi pada frekwensi antara 200 2700 MHz.Balon. Operator harus mengaktifkan peralatan yang sesuai sebagaimana dipersyaratkan pada paragraf (a) (1) dan (2) pada bagian ini ketika kondisi cuaca kurang baik dari yang ditentukan untuk pengoperasian sebagaimana dijelaskan pada sub bagian ini atau jika terjadi tidak berfungsinya sistem atau penyebab lain yang dapat membahayakan operasi terhadap lalu lintas udara atau orang-orang dan properti di sekitarnya. 7

(b) Tidak seorangpun boleh mengoperasikan balon udara bebas tanpa awak di bawah 60.000 kaki ketinggian tekanan udara standar antara matahari terbenam dan matahari terbit (sebagai koreksi ketinggian operasi) kecuali balon dan yang terpasang dan muatannya, apakah terjadi atau tidak pemisahan selama operasi, dipasang penerangan dengan jarak pandang paling sedikit 5 mil dan mempunyai frekwensi kilat paling sedikit 40, dan atau tidak lebih dari 100 siklus per menit. (c) Tidak seorangpun boleh mengoperasikan balon udara bebas tanpa awak yang dipasang trailing antenna yang memerlukan dampak tekanan lebih dari 50 pon terhadap tiap-tiap titik pemberhentian, kecuali antenna yang mempunyai tanda warna-warni atau panji-panji yang dipasang diwarnai interval tidak lebih dari 50 kaki dan jarak pandang tidak kurang dari 1 mil. (d) Tidak seorangpun boleh mengoperasikan antara matahari terbenam dan matahari terbit sebuah balon udara bebas tanpa awak yang terpasang padanya peralatan peredam (selain dari parasut terbuka yang jelas dengan warna yang tajam) lebih dari 50 kaki panjangnya, kecuali alat peredam tersebut diwarnai dalam variasi pilihan warna (alternate bands) yang tajam atau ular-ular berwarna atau panji-panji dipasang dengan jarak pandang tidak kurang dari 1 mil. 101.37 Persyaratan Wajib Dilaporkan (a) Lapor Sebelum Peluncuran : Kecuali disebutkan pada paragraf (b) bagian ini, tidak seorangpun boleh mengoperasikan sebuah balon udara bebas tanpa awak kecuali, dalam 48 sampai dengan 72 jam sebelum dimulai pengoperasian, memberikan informasi untuk persetujuan ke Otoritas Bandar Udara dan fasilitas ATC terdekat dengan tempat pengoperasian yang diharapkan sesuai informasi sebagai berikut : (1) Identifikasi jenis balon. (2) Perkiraan tanggal dan jam peluncuran, jika memerlukan perubahan harus dilaporkan kembali dalam waktu lebih atau kurang dari 30 menit. (3) Lokasi peluncuran. (4) Ketinggian jelajah. (5) Perkiraan jalur/rute dan perkiraan waktu ketinggian jelajah atau 60.000 kaki tekanan ketinggian standar, yang mana lebih rendah. (6) Panjang dan diameter balon, panjang peralatan suspensi, berat muatannya, dan panjang trailing antenna. (7) Durasi penerbangan. (8) Perkiraan waktu dan lokasi pendaratan di permukaan tanah. (b) Untuk penyelidikan gangguan cahaya matahari (solar) atau kosmis (cosmic) serta elemen waktu kritis, informasi pada paragraf (a) bagian ini harus disampaikan dalam kurun waktu 30 menit sampai dengan 24 jam sebelum dimulainya pengoperasian. 8

(c) Pembatalan laporan : Jika pengoperasian dibatalkan, orang yang bertanggung jawab terhadap pengoperasian tersebut harus segera melaporkan ke Otoritas Bandar Udara dan fasilitas ATC. (d) Laporan Peluncuran : Setiap orang yang mengoperasikan sebuah balon udara bebas tanpa awak harus melapor segara Otoritas Bandar Udara dan fasilitas ATC waktu peluncuran setelah balon diluncurkan. 101.39 Laporan Posisi Balon (a) Setiap orang yang mengoperasikan sebuah balon udara bebas tanpa awak harus : (1) Kecuali ATC memerlukan persyaratan lain, laporan monitor jalur penerbangan balon dan catatan posisi paling sedikit setiap 2 jam; dan (2) Melanjutkan laporan setiap posisi yang diperlukan oleh ATC. (b) Satu jam sebelum mulai turun, setiap orang yang mengoperasikan sebuah balon udara bebas tanpa awak harus segera melaporkan ke fasilitas ATC mengenai informasi berikut yang terkait balon : (1) Posisi geografis terkini. (2) Ketinggian. (3) Perkiraan waktu penetrasi 60.000 kaki tekanan ketinggian standar (jika diperlukan). (4) Perkiraan jalur keseimbangan penerbangan. (5) Perkiraan waktu dan lokasi pendaratan di atas permukaan tanah. (c) (d) Jika posisi balon tidak tercatat setiap periode 2 jam penerbangan, seseorang yang mengoperasikan balon udara bebas tanpa awak segera melapor ke fasilitas ATC terdekat. Laporan harus termasuk catatan posisi terakhir dan perkiraan setiap perubahan jalur penerbangan. Fasilitas ATC terdekat harus segera mengumumkan ketika jalur penerbangan balon diketahui kembali. Setiap orang yang mengoperasikan sebuah balon udara bebas tanpa awak harus melapor ke fasilitas ATC terdekat ketika operasi berakhir. MENTERI PERHUBUNGAN ttd Ir. JUSMAN SYAFII DJAMAL 9