BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan penelitian dan pengembangan serta akan diuraikan juga mengenai

dokumen-dokumen yang mirip
BENTUK LATIHAN GERAK DASAR LOKOMOTOR (LOMPAT DAN LONCAT) MELALUI PERMAINAN UNTUK ANAK TUNAGRAHITA TINGKAT SMALB- C

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

BAB V KAJIAN DAN SARAN. Pada bab V ini akan dijelaskan tentang kajian produk yang direvisi, saran

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar,

PEDOMAN BENTUK LATIHAN GERAK DASAR LOKOMOTOR (LOMPAT DAN LONCAT) MELALUI PERMAINAN UNTUK ANAK TUNAGRAHITA TINGKAT SMALB- C

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

Bagaimana? Apa? Mengapa?

AKTIVITAS PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF SEBAGAI PENGEMBANGAN KETERAMPILAN GERAK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) 1

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya, oleh karena itu pendidikan harus ditanamkan kepada individu

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Manusia merupakan mahluk individu karena secara kodrat manusia

LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN PERKEMBANGAN DAN PROSES PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

2015 KESULITAN-KESULITAN MENGAJAR YANG DIALAMI GURU PENJAS DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF DI SEKOLAH LUAR BIASA SE-KABUPATEN CIREBON

Adaptif. Adaptif dapat diartikan sebagai, penyesuaian, modifikasi, khusus, terbatas, korektif, dan remedial.

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS. DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. normal, namun anak anak yang memiliki keterbelakangan mental juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Pendidikan pada dasarnya usaha sadar yang menumbuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Meirani Silviani Dewi, 2013

PENJAS ADAPTIF. Yuyun Ari Wibowo

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. budi pekerti, sikap, serta kecerdasan saja, melainkan juga meliputi kualitas

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

BAB I PENDAHULUAN. ketegangan hidup sehari-hari, (2) olahraga pendidikan yang menekankan pada

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Musik merupakan bahasa yang universal karena musik mampu dimengerti

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran pada dasarnya adalah suatu proses terjadinya interaksi antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. Deskripsi Kondisi Anak

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak berkebutuhan khusus merupakan anak luar biasa yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Diterapkanya pendidikan dasar Sembilan tahun berdasarkan UU Nomor 2

BAB I PENDAHULUAN. masih tanggung jawab orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yaitu membesarkan,

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan luar biasa

BAB I PENDAHULUAN. dasar/bekal ilmu untuk menghadapi tantangan dimasa yang akan datang dan

BAB I PENDAHULUAN. Ai Nuraeni, 2014 Pembelajaran PAI Untuk Siswa Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan generasi sumber daya manusia yang lebih baik. Pendidikan anak usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam pasal 31 UUD 1945 (Amandemen 4) bahwa setiap warga negara

NIM. K BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bayu Dwi Sulistiyo, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Millatulhaq, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan jasmani adaptif merupakan luasan dari kata pendidikan jasmani

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan merupakan salah satu mata

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Yana Nurohman, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Kelancaran proses pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia kearah

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN. terarah dan mencapai tujuannya. Seperti, pada fase kanak-kanak orang harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berbagai pihak diantaranya adalah guru dan siswa. Pembelajaran adalah pembelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda

I. PENDAHULUAN. secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan karya insan yang terbentuk dari bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENGEMBANGAN. proses dalam revisi produk yang dikembangkan. macam cara, yaitu data dari tinjauan ahli yang diujicobakan kepada kelompok

ALAT IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (AI ABK)

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik,

I. PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya merupakan kebutuhan setiap orang di dalam

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BAB I PENDAHULUAN. yang dituangkan melalui instrumen atau suara dengan unsur dasar melodi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat yang sangat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam proses pembelajarannya menekankan pada prinsip bermain

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Zulia Rachim, 2013

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG UJIAN SEKOLAH/MADRASAH TAHUN PELAJARAN 2009/2010 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BLANGKO IJAZAH. 1. Blangko Ijazah SD

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh bagaimana kebiasaan belajar peserta didik. Segala bentuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan lainnya. Setiap manusia memiliki kekurangan. Semua anak manusia tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG UJIAN SEKOLAH/MADRASAH TAHUN PELAJARAN 2009/2010 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Pada bab I ini, peneliti akan menguraikan tentang latar belakang masalah yang akan diteliti dan dikembangkan, tujuan penelitian dan pengembangan, spesifikasi produk yang diharapkan, pentingnya penelitian dan pengembangan, keterbatasan penelitian dan pengembangan serta akan diuraikan juga mengenai definisi istilah atau definisi operasional. A. Latar Belakang Kegiatan olahraga merupakan suatu bagian dari kegiatan hidup manusia, bahkan dapat dikatakan bahwa olahraga merupakan kegiatan yang sudah menjadi sebuah kebutuhan hidup masing-masing individu. Dengan berolahraga secara teratur dan dengan ukuran kebutuhan kapasitas fungsional tubuh yang tepat, maka hal itu akan berdampak pada kebugaran tubuh seseorang. Kegiatan olahraga harus dilakukan secara teratur dan terukur agar benarbenar dapat berdampak positif bagi tubuh, apalagi olahraga tersebut diberikan kepada anak-anak, maka kegiatan latihan tersebut harus memperhatikan kebutuhan dan kemampuan maksimal respon tubuh dari anak itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh (Sidik, 2010: 1) bahwa aspek latihan yang perlu dikembangkan pada anak usia muda (umur 6-18 tahun) adalah mengutamakan keterampilan teknik gerak dasar yang benar dengan kemampuan fisik dasar yang baik. 1

Dapat kita ketahui bersama bahwa tidak semua anak dilahirkan dalam keadaan sempurna, ternyata ada sebagian kecil yang mengalami kelainan sehingga mengalami hambatan-hambatan, baik dalam perkembangan fisik maupun dalam perkembangan mentalnya. Anak yang demikian diklasifikasikan sebagai anak luar biasa (berkebutuhan khusus). Seperti anak yang lain, anak-anak luar biasa juga merupakan bagian dari generasi yang harus memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan potensi yang dimiliki dan salah satunya dengan melalui pemberian perlakuan-perlakuan berupa gerakan yang dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam menjalankan hidup sehari-hari. Hal tersebut didukung dengan penjelasan Astuti (2011: 14) dalam bukunya bahwa: Resolusi PBB No. 48 tahun 1993, tentang peraturan standar persamaan kesempatan bagi para penyandang cacat, yang dimaksud dengan persamaan kesempatan adalah proses yang menyebabkan berbagi sistem yang terdapat di masyarakat dan lingkungan, seperti sistem pelayanan, kegiatan sosial, informasi dan dokumentasi dapat dinikmati oleh semua orang khususnya para penyandang cacat. Para penyandang cacat adalah anggota masyarakat, mempunyai hak untuk berada dalam lingkungan masyarakat. Mereka seyogyanya mendapat dukungan yang mereka butuhkan melalui sistem pendidikan, kesehatan, penyediaan lapangan kerja, dan pelayanan sosial yang berlaku umum. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam peraturan 6 (hal 20) tentang pendidikan, yakni: (1) Negaranegara hendaknya mengikuti prinsip persamaan. Kesempatan pendidikan bagi anak-anak, remaja, dan dewasa penyandang cacat pada tingkat pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi secara terintegrasi/ terpadu; (2) Negara-negara hendaknya menjamin bahwa pendidikan bagi para penyandang cacat merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Dinas Pendidikan Luar Biasa Propinsi Jawa Timur (2002: 2) memberikan definisi anak luar biasa adalah anak yang keadaan dan pertumbuhannya menyimpang dari rata-rata (normal) baik fisik, mental, perilaku dan sosial. 2

3 Penyimpangan kondisi tersebut dapat melebihi kemampuan rata-rata maupun yang di bawah rata-rata sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus. Anak luar biasa (berkebutuhan khusus) biasanya menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususan masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda (Wikipedia Bahasa Indonesia: 2011). Mengenai pengertian dari masing-masing anak luar biasa Direktorat Pendidikan Luar Biasa menjelaskan sebagai berikut. Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatan, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak tunalaras dapat diartikan sebagai perilaku tertentu yang menandakan adanya gangguan, berkaitan dengan perkembangan yang lambat atau adanya regresi pada kemampuan anak dalam menyesuaikan diri. Adapun definisi anak tunaganda yaitu anak yang menderita kombinasi atau gabungan dari dua atau lebih kelainan dalam segi fisik, mental, emosi, dan sosial (Mangunsong, 1998: 172-195). Adapun pengertian dari tunarungu diartikan sebagai suatu istilah umum yang menunjukkan ketidakmampuan mendengar dari yang ringan sampai yang berat sekali yang digolongkan kepada tuli dan kurang mendengar. Istilah ketunagrahitaan yaitu mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata

4 berada di bawah rata-rata bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri, dan semua ini berlangsung pada masa perkembangan ( Wardani dkk, 2007: 5.3-6.5). Apabila kegiatan olahraga diberikan kepada anak yang berkebutuhan khusus (dalam pembahasan ini adalah khusus anak tunagrahita). Maka kegiatan olahraga tersebut harus mengikuti karakteristik yang sesuai dengan kemampuan anak tunagrahita tersebut. Mengenai definisi anak tunagrahita itu sendiri Nuryadin (2005: 1-2) memberikan penjelasan juga dalam bukunya, yang mengatakan bahwa tunagrahita atau anak dengan hambatan perkembangan, dikenal juga dengan berbagai istilah yang selalu berkembang, sesuai dengan kebutuhan layanan terhadapnya. Istilah yang berkaitan dengan pemberian label terhadap tunagrahita, antara lain: mentally retarded, mental retardation, students with learning problem, intellectual disability, dan lian-lain. Istilah-istilah tersebut sering digunakan sebagai label terhadap mereka yang mempunyai kesulitan dalam memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan konsep-konsep dan keterampilan akademik (membaca, gerakan, menulis, menghitung angka dan masalah yang berhubungan dengan sosial). Perkembangan jasmani dan motorik anak tunagrahita tidak secepat perkembangan anak normal, Martasuta dalam Somantri (2007: 108) mengatakan bahwa dalam hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesegaran jasmani anak terbelakang mental atau tunagrahita yang memiliki kemampuan mental pada usia 2 tahun sampai dengan 12 tahun ada dalam kategori kurang sekali, sedang anak normal pada umur yang sama ada dalam kategori kurang. Dengan demikian

5 tingkat kesegaran jasmani anak tunagrahita setingkat lebih rendah dibandingkan dengan anak normal pada umur yang sama. Penjelasan Somantri (2010: 110) dalam bukunya mengatakan bahwa mempelajari bentuk-bentuk gerak fungsional anak tunagrahita merupakan dasar bagi semua keterampilan gerak yang lain. Keterampilan gerak fungsional memberikan dasar-dasar keterampilan yang diperlukan untuk socio-leisure, daily living, dan vocatinal tasks. Keterampilan gerak fundamental sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup anak tunagrahita. Anak normal dapat belajar keterampilan gerak-gerak fundamental secara instingtif pada saat bermain, sementara anak tunagrahita perlu dilatih secara khusus. Keterbatasan daya pikir yang dialami anak tunagrahita juga menyebabkan mereka sulit mengontrol, apakah perilaku yang ditampakkan dalam aktivitas sehari-hari wajar atau tidak wajar (menurut ukuran normal), baik perilaku yang berlebihan maupun perilaku yang kurang serasi. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, sebagai pokok pemecahannya bukanlah dengan jalan pengobatan saja, tetapi harus berkaitan dengan jalan mengadakan latihan-latihan dan perlu dilakukan modifikasi-modifikasi kegiatan sebagai terapi perilaku sehingga nantinya anak bisa lebih mandiri dalam kehidupan sehari-harinya (Widati dan Murtadlo, 2007: 265). Dalam memberikan terapi perilaku atau latihan pada anak tunagrahita, seorang terapis harus memiliki sikap sebagaimana yang dipersyaratkan dalam pendidikan humanistik, yaitu penerimaan secara hangat, antusias tinggi terhadap kondisi anak tunagrahita. Tanpa dilengkapi persyaratan tersebut, penerapan teknik

6 modifikasi perilaku pada anak tunagrahita tidak banyak memberikan hasil yang berarti (Efendi, 2006:104). Jenis terapi prilaku yang dapat dilakukan untuk anak tunagrahita yaitu melalui kegiatan bermain berupa kegiatan fisik atau psikis yang dilakukan dengan tidak sungguh-sungguh, karena dengan bermain tersebut merupakan salah satu cara seseorang untuk membebaskan diri dari berbagai tekanan yang kompleks. Melalui permainan perasaan akan menjadi lega, bebas dan berarti. Latihan permainan yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita bukan sembarang permainan, Prasedio dalam Efendi (2006: 105) mengatakan bahwa permainan yang bisa diberikan kepada anak tunagrahita paling tidak memiliki muatan antara lain, setiap permainan hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda serta sosok permainan yang diberikan tidak terlalu sulit untuk dicerna anak tunagrahita. Di SMALB- C Sumber Dharma Malang dari kelas X, XI, dan XII terdapat sembilan anak tunagrahita, adapun ciri-ciri masing-masing siswa berdasarkan hasil observasi yang di lakukan di SMALB- C Sumber Dharma Malang diperoleh ciri-ciri siswa yang diklasifikasikan berdasarkan ciri fisik, mental, dan sosial dari masing-masing siswa, diantaranya sebagai berikut: Siswa A mempunyai ciri-ciri fisik tubuh yang kurang seimbang (ketika berbicara sering memiring-miringkan tubuhnya), memiliki daya dengar yang normal, suka berolahraga. Mempunyai ciri mental percaya diri yang cukup kuat, kemampuan menghitung kira-kira sama dengan anak Sekolah Dasar kelas 3 anak normal, dan mempunyai kesulitan dalam belajar membaca. Untuk ciri-ciri

7 sosialnya yaitu mudah bersosialisasi dengan orang lain dan mudah dalam berkomunikasi. Siswa B mempunyai ciri-ciri fisik normal seperti anak normal pada umumnya dan suka berolahraga. Ciri-ciri mentalnya yaitu percaya diri cukup kuat serta kemampuan otaknya mendekati normal anak kelas lima Sekolah Dasar. Adapun ciri-ciri sosial siswa ini, dia mau bersosialisasi dengan orang lain dan mudah dalam berkomunikasi. Siswa C mempunyai ciri-ciri fisik yaitu wajah seperti anak idiot, tangannya kurang seimbang menyebabkan kekuatan tangannya lemah dan menyebabkan gerakan tubuhnya kurang seimbang. Ciri-ciri mentalnya yaitu mempunyai daya berpikir seukuran anak normal SD kelas 5, percaya diri cukup kuat. Ciri-ciri sosial dari anak ini adalah sedikit bermasalah dalam komunikasi namun dapat dengan mudah bersosialisasi dengan orang lain. Siswa D mempunyai ciri-ciri fisik seperti anak normal dan suka berolahraga. Ciri-ciri mentalnya yaitu mempunyai kemampuan menghitung dan membaca sangat rendah serta dalam mengikuti pelajaran tidak fokus. Ciri-ciri sosialnya yaitu suka bermain sendiri dan sulit untuk diajak berkomunukasi anaknya rajin bekerja, menyapu,mengepel, dan lain-lain namun anak ini tidak suka mengikuti kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan. Siswa E dengan ciri-ciri fisik yaitu mempunyai penyakit kejang-kejang, tangan kanan kurang berfungsi dengan baik sehingga pada saat berjalan tidak seimbang. Ciri-ciri mentalnya yaitu mempunyai kemampuan berpikir setara

8 dengan anak normal kleas lima Sekolah Dasar namun dia percaya diri. Anak ini kurang bisa bersosialisasi dengan teman-teman yang lain. Siswa F mempunyai ciri - ciri fisik yaitu badan seperti anak normal dan gerak aktif seperti anak normal. Kemampuan membaca dan menulis cukup namun daya tangkap pemikirannya kurang artinya apabila menjelaskan sesuatu terhadap anak ini harus dilakukan secara berulang-ulang. Anak ini bisa bersosialisasi baik dengan teman-temanya dan suka bekerja. Siswa G mempunyai ciri-ciri fisik tubuh seperti anak normal namun kondisi salah satu mata tidak bisa melihat. Kemampuan membaca kurang serta kesulitan dalam berhitung. Anak ini suka berteman dan bersosialisasi. Siswa H mempunyai ciri-ciri fisik yaitu ketika berjalan tidak seimbang atau sering memiring-miringkan tubuh, kemampuan berhitung lemah, sosialnya kurang, sering menyendiri, cepat tersinggung dan cepat marah. Siswa I mempunyai ciri-ciri fisik normal seperti anak biasa, kemampuan menghitung sangat lemah, sosialnya kurang, pendiam, dan kurang bergaul dengan teman-temannya. Adanya keterbatasan yang dimiliki anak tunagrahita di SMALB- C Sumber Dharma Malang, maka anak mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (Penjasorkes), selain karena keterbatasan kemampuan mental dan fisik yang mereka miliki, faktor tenaga pengajar Penjasorkes juga menjadi hal yang harus diperhatikan. Belum adanya tenaga pengajar secara khusus yang membidangi Penjasorkes menjadi salah satu hambatan dalam menjalankan kegiatan pembelajaran Penjasorkes secara optimal.

9 Salah satu Standrat Kompetensi yang ada pada kurikulum SMALB- C yaitu: 1. Mempraktikkan berbagai keterampilan permainan olahraga dalam bentuk sederhana dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Adapun kompetensi dasar yang harus dicapai adalah: 1.3 Mempraktikkan keterampilan atletik dengan menggunakan peraturan yang dimodifikasi serta nilai kerjasama, kejujuran, menghargai, semangat dan percaya diri (Direktorat Pembinaaan Sekolah Luar Biasa, 2006: 95). Realita yang ada bahwa meskipun di SMALB- C Sumber Dharma Malang sudah mempunyai acuan berupa Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar di atas, namun dalam pelaksanaannya sangat mengalami kesulitan. Belum adanya rancangan/ bahan ajar berupa permainan untuk dikembangkan dalam pembelajaran Penjasorkes yang bernilai terapi, edukatif, dan menyenangkan bagi anak tunagrahita juga menjadi faktor yang perlu dikembangkan sejalan dengan pelaksanaan pembelajaran Penjasorkes. Di sekolah ini pelaksanaan proses belajar pembelajaran pendidikan jasmani kurang terencana sesuai kebutuhan siswa. Dalam pelaksanaannya, setelah melakukan olahraga pemanasan, siswa langsung bermain bebas sesuai dengan kehendak masing-masing, dalam hal ini pendidik hanya bertugas sebagai pengamat siswa yang sedang melakukan aktifitas. Dampak dari hal di atas, maka dalam peningkatan kemampuan gerak dasar siswa belum bisa diperoleh disebabkan belum adanya suatu program khusus pembelajaran dan pelatihan yang efektif dan efisien sehingga dapat merangsang kemampuan gerak dasar anak tunagrahita, begitupun juga dengan kemampuan gerak dasar lokomotor berupa lompat dan loncat. Padahal sudah jelas ketika

10 berbicara tentang anak berkebutuhan khusus maka mereka juga mempunyai hak yang sama tentang pelayanan pendidikan. Atas dasar uraian latar belakang tersebut, dan dari hasil analisis kebutuhan melalui pemberian angket kepada guru pengajar dalam pelajaran Penjasorkes di SMALB- C Sumber Dharma Malang, dari 3 tenaga pengajar menyetujui untuk diadakannya pengembangan berupa permainan untuk melatih gerak dasar lokomotor lompat dan loncat, maka penulis bermaksud untuk meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana kegiatan yang dapat memberikan kesenangan pada anak tunagrahita melalui olahraga dalam bentuk permainan-permainan untuk melatih gerak dasar lokomotor berupa lompat dan loncat, dengan judul: Pengembangan Bentuk Latihan Gerak Dasar Lokomotor (Lompat dan Loncat) melalui Permainan untuk Anak Tunagrahita di SMALB- C Sumber Dharma Malang. Diharapkan dengan adanya pengembangan bentuk latihan ini maka dapat membantu pembimbing/ guru dalam menyampaikan materi terkait dengan pengembangan gerak dasar lokomotor (lompat dan loncat) secara efektif dan efisien. Disamping itu diharapkan siswa juga dapat menerapkan aktivitas pembelajaran gerak dasar lokomotor (lompat dan loncat) dengan langkah-langkah yang sederhana dan mudah dipahami dalam menerapkan di SMALB- C Sumber Dharma Malang.

11 B. Tujuan Penelitian dan Pengembangan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan bentuk latihan gerak dasar lokomotor berupa lompat dan loncat pada anak tunagrahita di SMALB- C Sumber Dharma Malang melalui permainan yang sesuai dengan karakteristik anak-anak tunagrahita. Adapun produk yang dikembangkan adalah pengembangan buku pedoman bentuk latihan gerak dasar lompat dan loncat bagi anak tunagrahita, sehingga dengan adanya buku pedoman ini, dapat membantu guru dalam penyampaian materi terkait dengan materi mempraktikkan gerak dasar lompat dan loncat secara efektif dan efisien dengan harapan nantinya bisa memberikan peningkatan kemampuan gerak dasar lokomotor khususnya gerak dasar lompat dan loncat yang dimiliki anak tunagrahita. C. Spesifikasi Produk yang Diharapkan Produk yang pernah dikembangkan sebelumnya adalah berupa modul pembelajaran gerak dasar lokomotor dengan menggunakan model PAKEM ( pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan ) berupa permainan gerak dasar jalan, permainan gerak dasr lari, permainan gerak dasar lompat untuk siswa kelas tiga Sekolah Dasar yang disusun oleh Mashud (2010) diajukan kepada Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya. Untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Olahraga. Adapun produk yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah bentuk latihan gerak dasar lokomotor berupa lompat dan loncat bagi anak tunagrahita di SMALB- C Sumber Dharma Malang. Dalam bentuk latihan yang dikembangkan, peneliti mengembangkan bentuk latihan dari Mashud yang diberikan untuk anak

12 SD, namun dalam hal ini peneliti memberikannya untuk anak tunagrahita. Alasan mengembangkan bentuk latihan ini yaitu karena pada latihan yang di kembangkan Mashud, bentuk gerakannya sangat sederhana karena diberikan hanya untuk anak SD kelas tiga. Gerakan itu akan sesuai apabila diberikan kepada anak tunagrahita setingkat SMA, mengingat anak tunagrahita yang mengalami beberapa hambatan baik secara intelegensi maupun sosial. Anak tunagrahita mempunyai karakteristik diantaranya mempunyai koordinasi yang kurang, gerakannya canggung/ kurang seimbang dan kurang terkendali, serta kesulitan ketika melakukan gerakan motorik kasar. Produk ini digunakan guru sebagai buku pedoman dengan berbagai bentuk latihan yang spesifik mengarah pada latihan gerak dasar lokomotor lompat dan loncat. Adapun spesifikasi produk ini adalah berupa buku pedoman bentuk latihan gerak dasar lokomotor lompat dan loncat melalui permainan untuk anak tunagrahita tingkat SMALB. Dengan adanya buku pedoman bentuk latihan ini, maka pembelajaran Penjas terkait dengan materi lompat dan loncat akan lebih menarik siswa untuk lebih antusias mengikuti pembelajaran dikarenakan adanya permainan-permainan yang disajikan secara menarik sehingga secara otomatis anak akan lebih aktif dalam mengikuti materi yang disampaikan, siswa lebih mudah melakukan gerakan-gerakan yang disajikan dalam buku pedoman karena telah disusun sesederhana mungkin untuk disesuaikan dengan karakteristik anak tunagrahita, alat yang digunakan mudah disediakan dan menarik minat siswa, nilai dalam peningkatan sosial antar siswa akan terbentuk dengan adanya gerakangerakan yang dilakukan secara bersama-sama.

13 Pedoman bentuk latihan ini diberikan untuk guru Penjas, dalam pedoman ini telah diuraikan beberapa variasi bentuk latihan gerak dasar lompat dan loncat, masing-masing variasi tersebut sudah dijelaskan dalam pelaksanaan, sehingga dapat diberikan sesuai dengan kemampuan atau karakteristik masing-masing anak tunagrahita. Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah berupa permainan yang dikhususkan dalam bentuk gerakan lompat dan loncat. D. Pentingnya Penelitian dan Pengembangan Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat antara lain : 1. Bagi Sekolah: Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan proses pelaksanaan pembelajaran Penjasorkes, khususnya dalam materi gerak dasar lokomotor berupa lompat dan loncat bagi anak tunagrahita. 2. Bagi Guru atau Tenaga Pendidik Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan di SMALB- C Sumber Dharma Malang: Sebagai pedoman pembelajaran materi lompat dan loncat dalam memberikan variasi penyampaian materi Dikjasorkes yang efektif, kreatif, serta menyenangkan. 3. Bagi Siswa: Dengan adanya buku ini, diharapkan siswa tidak jenuh dan bisa senang dalam mengikuti kegiatan berupa latihan olahraga yang diberikan, serta dapat mempercepat dalam penangkapan pemahaman latihan yang diberikan sesuai kemampuan anak tunagrahita.

14 E. Asumsi dan Keterbatasan Penelitian dan Pengembangan Asumsi dalam penelitian dan pengembangan ini adalah gerakan lompat dan loncat termasuk dari gerak dasar lokomotor. Adapun keterbatasan untuk pengembangan produk berupa model latihan dalam melatih gerak dasar lompat dan loncat melalui permainan pada anak tunagrahita di SMALB- C Sumber Dharma Malang, yaitu sebagai berikut: 1. Model latihan yang dikembangkan oleh peneliti ini hanya untuk ruang lingkup pelatihan gerak dasar lokomotor berupa lompat dan loncat bagi anak tunagrahita di SMALB- C Sumber Dharma Malang. 2. Model-model latihan hanya dispesifikasikan pada materi latihan gerak dasar lokomotor lompat dan loncat bagi anak tunagrahita. F. Definisi Operasional a. Permainan: kegiatan atau akifitas menyenangkan yang dapat menarik anak untuk lebih bereksplorasi dan aktif dalam melakukan aktifitas. b. Bentuk: acuan atau susunan wujud yg ditampilkan. c. Gerak Dasar Lokomotor: akifitas memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat yang lain, seperti jalan, lari, lompat dan loncat. d. Lompat: mendorong tubuh dengan daya tolakan menggunakan satu kaki. e. Loncat:. mendorong tubuh dengan daya tolakan menggunakan dua kaki. f. Anak Tunagrahita: Anak yang mengalami hambatan perkembangan dan kecerdasan, sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal seperti anak normal.