PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

dokumen-dokumen yang mirip
WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

-1- BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN KENDAL

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2016 SERI E. 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 810 TAHUN : 2011

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG IZIN LINGKUNGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI TOLITOLI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 10 TAHUN 2013 T E N T A N G PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT

PERENCANAAN PERLINDUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 5 TAHUN 2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan...

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR SULAWESI BARAT

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN PEMALANG

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN TAHUN: 2011 NOMOR : 2 SERI : E PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 4..TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 14 TAHUN 2012

Mata Ajaran : Manajemen Lingkungan Rumah Sakit Topik : Lingkungan Hidup & Sistem Manajemen Lingkungan RS Minggu Ke : II

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PENAATAN HUKUM LINGKUNGAN

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG NOMOR 02 TAHUN 2012

6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Re

BUPATI BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 02 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI GROBOGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU SELATAN NOMOR : 09.TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MUARA ENIM PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 19

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG IZIN LINGKUNGAN

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR TAHUN 2014 SERI E NOMOR TAHUN 2014

BUPATI MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI MAGELANG NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

BUPATI LUWU PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURANDAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

BUPATI TANA TORAJA PROVINSI SULAWESI SELATAN

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 066 TAHUN 2017

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR. TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa untuk menjaga kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat di wilayah Provinsi Banten perlu adanya peranan Pemerintah Provinsi dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup, pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup; b. bahwa semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup, telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan; c. bahwa untuk melaksanakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo Pasal 63 ayat ( 2) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu diatur dalam regulasi peraturan daerah. d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 1

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BANTEN dan GUBERNUR BANTEN MEMUTUSKAN: 2

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Pengertian Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Provinsi Banten. 2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan perangkat daerah Provinsi Banten sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. 3. Gubernur adalah Gubernur Banten. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD adalah DPRD Provinsi Banten. 5. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi selanjutnya disingkat RTRW adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah provinsi, yang merupakan penjabaran dari RTRWN, dan yang berisi: tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah provinsi, rencana struktur ruang wilayah provinsi, rencana pola ruang wilayah provinsi, penetapan kawasan strategis provinsi, arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi, dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. 6. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun. 7. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 8. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 3

9. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 10. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. 11. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. 12. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 13. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. 14. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. 15. Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. 16. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 17. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 4

18. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. 19. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. 20. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya. 21. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 22. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 23. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. 24. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. 25. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. 26. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. 27. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. 5

28. Limbah bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disebut Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. 29. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan. 30. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu. 31. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup. 32. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. 33. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup. 34. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. 35. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 36. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. 37. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat. 38. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. 39. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan. 6

40. Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada suatu sumber air untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar. 41. Pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air. 42. Pengendalian pencemaran udara adalah Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara. 43. Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman makhluk hidup di muka bumi dan peranan-peranan ekologisnya yang meliputi keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman spesies, dan keanekaragaman genetik. 44. Konservasi keanekaragaman hayati adalah pengelolaan keanekaragaman hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. 45. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah, yang selanjutnya disingkat PPLHD, adalah Pegawai Negeri Sipil yang pembinaannya berada pada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Provinsi Banten yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan pengawasan. Bagian Kedua Asas Pasal 2 Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berasaskan kelestarian dan berkelanjutan, keserasian dan keseimbangan, keanekaragaman hayati, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, keterpaduan, kehati-hatian, manfaat, ekoregion, kearifan lokal, tata kelola pemerintahan yang baik dan otonomi daerah. 7

Bagian Ketiga Tujuan Pasal 3 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan: a. mengantisipasi pemanasan global dan perubahan iklim; b. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; c. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan bijaksana; d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, ekosistem dan mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; e. menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia serta menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup. Bagian Keempat Ruang Lingkup Pasal 4 Ruang lingkup Peraturan Daerah ini, meliputi: a. tugas dan wewenang; b. perencanaan; c. pemanfaatan; d. pengendalian, pencemaran kerusakan lingkungan hidup; e. pemeliharaan dan perubahan iklim; f. pengelolaan limbah bahan beracun dan berbahaya; g. hak kewajiban dan larangan; h. peran serta masyarakat dan sistem informasi; i. hak gugat masyarakat dan pemerintah daerah; j. fasilitasi penyelesaian sengketa lingkungan;dan k. pengawasan dan permbinaan. BAB II TUGAS DAN WEWENANG Pasal 5 (1) Dalam Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah daerah bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan skala provinsi; b. menetapkan dan melaksanakan KLHS skala provinsi; 8

c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH provinsi; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada Skala provinsi; f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan; g. mengkoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten/kota; h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota; i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; j. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antar kabupaten/antar kota serta penyelesaian sengketa; l. melakukan pembinaan, bantuan teknis dan pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan; m. melaksanakan standar pelayanan minimal; n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada skala provinsi; o. mengelola informasi lingkungan hidup skala provinsi; p. mengembangkan dan mensosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup; q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; r. menerbitkan izin lingkungan pada skala provinsi; s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada skala provinsi. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9

BAB III PERENCANAAN Bagian pertama Umum Pasal 6 Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, kualitas air, kualitas udara, kualitas tanah dilaksanakan melalui tahapan: a. inventarisasi lingkungan hidup; b. penetapan wilayah ekoregion; dan c. penyusunan RPPLH. Bagian Kedua Inventarisasi Lingkungan Hidup Pasal 7 (1) Pemerintah Daerah melakukan inventarisasi lingkungan hidup yang meliputi kualitas air, kualitas udara, kualitas tanah. (2) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana ayat (1) dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai kualitas air, kualitas udara, kualitas tanah dan tingkat kemerosotannya yang meliputi: a. potensi dan ketersediaan; b. jenis yang dimanfaatkan; c. bentuk penguasaan; d. pengetahuan pengelolaan; e. bentuk kerusakan dan tingkat kerusakan; f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan. (3) Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan dengan mengacu kepada Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) (4) Inventarisasi lingkungan hidup sekurang-kurannya dapat menghasilkan : a. Inventarisasi dan pemetaan tipe ekosistem. b. Penatagunaan sumber daya alam hutan, tanah dan air, c. Pemetaan geologi dan hidrogeologi, d. Pemetaan agroekologi, e. Pemetaan vegetasi dan kawasan hutan, f. Pemetaan kemampuan tanah, g. Pemetaan dasar wilayah darat dan wilayah laut 10

Bagian Ketiga Penetapan Wilayah Ekoregion Provinsi Pasal 8 (1) Inventarisasi lingkungan hidup dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion. (2) Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada pasal 8 ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan: a. karakteristik bentang alam; b. daerah aliran sungai; c. iklim; d. flora dan fauna; e. sosial budaya; f. ekonomi; g. kelembagaan masyarakat; dan h. hasil inventarisasi lingkungan hidup. Bagian Keempat Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 9 (1) Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup disusun berdasarkan: a. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan b. inventarisasi tingkat ekoregion. (2) Penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup memperhatikan: a. keragaman karakter dan fungsi ekologis; b. sebaran penduduk; c. sebaran potensi sumber daya alam; d. kearifan lokal; e. aspirasi masyarakat; dan f. perubahan iklim. (3) Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup memuat rencana tentang: a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam skala provinsi; 11

b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup skala Provinsi; c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam skala provinsi; dan d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. (4) Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang daerah dan rencana pembangunan jangka menengah daerah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai RPPLH diatur dengan Peraturan Daerah tersendiri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. BAB IV PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM Pasal 10 (1) Pemanfaatan sumber daya alam di wilayah provinsi dilakukan berdasarkan Rencana Pengelolaan Sumber alam Provinsi. (2) Dalam hal Pemanfaatan sumber alam di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang sesuai dengan tata ruang. (3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup ditetapkan oleh. Gubernur, untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup provinsi dan ekoregion lintas kabupaten/kota; (4) Daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi komponen kapasitas penyediaan dan komponen kapasitas tampung limbah. (5) Kapasitas sumber daya alam tergantung pada kemampuan, ketersediaan, dan kebutuhan akan lahan dan air, penentuan daya dukung lingkungan hidup dalam kapasitas penyediaan dilakukan berdasarkan pendekatan, yaitu: a. kemampuan lahan untuk alokasi pemanfaatan ruang. b. perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan. c. perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air. (6) Daya tampung beban pencemaran air pada sumber air ditetapkan oleh Gubernur untuk sungai, muara, danau, waduk dan/atau situ yang lintas kabupaten/kota. (7) Penetapan daya tampung beban pencemaran air harus memperhitungkan: 12

a. kondisi hidrologi dan morfologi sumber air termasuk status mutu dan/atau status trofik sumber air yang ditetapkan daya tampung beban pencemarannya; b. baku mutu air untuk sungai dan muara; c. baku mutu air serta kriteria status trofik air untuk situ, danau,dan waduk; dan d. beban pencemaran pada masing-masing sumber pencemar air. (8) Penetapan daya tampung beban pencemaran air harus menunjukan besarnya kontribusi beban pencemar air dari masing-masing sumber pencemar air terhadap sumber air selanjutnya ditetapkan prioritas sumber air yang akan ditetapkan daya tampung beban pencemaran air. (9) Penentuan prioritas sumber air yang akan ditetapkan daya tampung beban pencemaran air didasarkan atas: a. status mutu air dan/atau status trofik air; b. sumber pencemar dari hasil inventarisasi dan identifikasi pada sumber pemanfaatan air baku untuk air minum (10) Penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air digunakan sebagai dasar: a. penetapan izin lokasi bagi usaha dan/atau b. penetapan izin lingkungan yang berkaitan dengan pembuangan air limbah ke sumber air c. penetapan baku mutu air limbah oleh menteri dan/atau pemerintahan daerah provinsi; d. penetapan kebijakan nasional dalam pengendalian pencemaran air, e. penyusunan rencana tata ruang wilayah; dan f. penentuan mutu air sasaran. (11) Dalam hal daya dukung dan daya tampung sumber daya alam belum ditetapkan maka pemberian ijin dilaksanakan secara selektif Daya Tampung Beban Pencemar Air Pasal 11 (1) Penetapan daya tampung beban pencemaran harus memperhitungkan: a. kondisi hidrologi dan morfologi sumber air termasuk status mutu dan/atau status trofik sumber air yang ditetapkan daya tampung beban pencemarannya; 13

b. baku mutu air untuk sungai dan muara; c. baku mutu air serta kriteria status trofik air untuk situ, danau, dan waduk; dan d. beban pencemaran pada masing-masing sumber pencemar air. (2) Penentuan prioritas sumber air yang akan ditetapkan daya tampung beban pencemaran air didasarkan atas: a. status mutu air dan/atau status trofik air; b. sumber pencemar dari hasil inventarisasi dan identifikasi pada sumber air c. pemanfaatan air baku untuk air minum. (3) Penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air digunakan sebagai dasar: a. penetapan baku mutu air limbah b. penetapan kebijakan dalam pengendalian pencemaran air c. penyusunan rencana tata ruang wilayah; dan d. penentuan mutu air sasaran. (4) Penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber dilaksanakan untuk menyesuaikan perubahan kondisi hidrologi dan morfologi sumber air serta jumlah beban dan jenis sumber pencemar air. (5) Penetapan beban pencemaran air pada sumber air dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (6) Penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber ditetapkan oleh Gubernur. BAB V PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP Bagian Kesatu Pencegahan Pasal 12 Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas: a. KLHS; b. tata ruang; c. baku mutu lingkungan hidup; 14

d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup; e. AMDAL; UKL-UPL ; f. perizinan lingkungan; g. instrumen ekonomi lingkungan hidup; h. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; i. anggaran berbasis lingkungan hidup; j. analisis risiko lingkungan hidup; k. audit lingkungan hidup; dan l. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu Pengetahuan. Paragraf 1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis Pasal 13 (1) Pemerintah Daerah wajib melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi yang meliputi: a. Rencana Tata Ruang Wilayah; b. RPPLH Provinsi; c. RPJM Provinsi; d. RPJP Provinsi; dan e. kebijakan, rencana dan program yang berpotensi menimbulkan dampak atau resiko lingkungan hidup. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Gubernur. Pasal 14 (1) Pemerintah daerah menyusun KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah. (2) KLHS digunakan untuk merencanakan dan mengevaluasi kebijakan, rencana dan program yang sudah dan akan ditetapkan agar dampak resiko lingkungan yang tidak di harapkan dapat diminimalkan serta digunakan untuk mengidentifikasi dan menetapkan penyempurnaan kebijakan dan program. 15

(3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme: a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana dan program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah; b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program; dan c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Pasal 15 KLHS memuat kajian antara lain: a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan; b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; c. kinerja layanan/jasa ekosistem; d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam; e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati. Pasal 16 (1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 menjadi dasar bagi kebijakan, rencana dan program pembangunan dalam suatu wilayah. (2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui maka: a. kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS; dan b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi. Pasal 17 (1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS diatur dengan Peraturan Gubernur. 16

Pasal 18 (1) KLHS dibangun melalui pendekatan persuasif dengan prinsip penilaian diri, penyempurnaan kebijakan rencana dan/atau program, peningkatan kapasitas, pembelajaran sosial, memberi pengaruh pada pengambilan keputusan, akuntabel dan partisipatif. (2) KLHS memuat pendahuluan, integritas KLHS dalam kebijakan, rencana dan program, tahapan pelaksanaan, metode pelaksanaan dan dokumen akses publik dan penjaminan KLHS. (3) Tahapan pelaksanaan KLHS terdiri dari: a. penapisan dalam arti tahapan pelaksanaan KLHS diawali dengan mengidentifikasi apakah perlu dilakukan KLHS terhadap suatu kebijakan,rencana dan/atau program. b. kebijakan, rencana dan/atau program yang wajib KLHS tanpa proses penapisan adalah RTRW dan rencana rincinya, serta RPJP dan RPJM nasional, provinsi dan kabupaten/kota. c. proses penapisan dilakukan dengan mempertimbangkan isu isu pokok sebagai berikut: 1. perubahan iklim; 2. kerusakan, kemerosotan dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati; 3. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan dan/atau kebakaran hutan dan lahan; 4. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam; 5. peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; 6. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia. Pasal 19 (1) Mekanisme pelaksanaan KLHS dilaksanakan dengan: a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana dan/atau Program terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Wilayah Perencanaan; b. identifikasi, pelibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya; c. identifikasi isu pembangunan berkelanjutan;dan 17

d. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program. (2) Metode pelaksanaan KLHS dengan kajian yang komprehensif dengan menelaah berbagai faktor terkait sehingga dapat memberikan hasil yang lebih jelas dan penyusunan kerangka acuan kajian. (3) Penilaian kualitas pelaksanaan KLHS antara lain: a. kejelasan tujuan kebijakan, rencana dan/atau program; b. kejelasan perumusan isu strategis pembangun berkelanjutan; c. keterkaitan antara kebijakan, rencana dan/atau program dengan isu strategis; d. kejelasan rumusan alternatif penyempurnaan dan rekomendasi; e. kelengkapan dokumentasi; dan f. terlaksananya seluruh proses KLHS. Paragraf 2 Tata Ruang Pasal 20 (1) Pemanfaatan ruang untuk usaha dan/atau kegiatan pertambangan, industri dan jasa, pertanian, peternakan, pariwisata, kehutanan dan pemukiman dilaksanakan sesuai dengan RTRW. (2) RTRW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Paragraf 3 Baku Mutu Lingkungan Hidup Pasal 21 (1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. (2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi: a. baku mutu air b. baku mutu air laut c. baku mutu air limbah d. baku mutu udara ambient e. baku mutu emisi f. baku mutu gangguan g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 18

(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan b. mendapat izin Gubernur. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur. Paragraf 4 Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Pasal 22 (1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. (2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. (3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi: a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa; b. kriteria baku kerusakan terumbu karang; c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan; d. kriteria baku kerusakan mangrove; e. kriteria baku kerusakan padang lamun; f. kriteria baku kerusakan daerah aliran sungai; dan/atau g. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada paramater antara lain: a. kenaikan temperatur; b. kenaikan muka air laut; c. badai;dan d. kekeringan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur. 19

Paragraf 5 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Pasal 23 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. (2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria: a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas: a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan; c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan serta lingkungan sosial dan budaya; e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan dan jasad renik; g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati; h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup. 20

(4) Usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup dikecualikan dari kewajiban menyusun Amdal apabila: a. lokasi rencana usaha dan/atau kegiatannya berada dalam kawasan yang telah memiliki Amdal kawasan; b. lokasi rencana usaha dan/atau kegiatannya berada pada kabupaten/kota yang telah memiliki rencana detil tata ruang dan/atau rencana tata ruang kawasan strategis. c. usaha dan/atau kegiatannya dilakukan dalam rangka tanggap darurat bencana. d. usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, wajib menyusun UKL-UPL berdasarkan dokumen RKL-RPL kawasan atau rencana detil tata ruang kabupaten/kota dan/atau rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota. (5) Amdal disusun oleh pemprakarsa pada tahap perencanaan suatu usaha dan/atau kegiatan wajib sesuai dengan rencana tata ruang. (6) Dalam hal lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan tidak sesuai dengan rencana tata ruang dokumen Amdal tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada pemprakarsa. (7) Penyusunan Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan ke dalam dokumen Amdal yang terdiri atas: a. kerangka acuan; b. Amdal; dan c. RKL-RPL. (8) Kerangka acuan menjadi dasar penyusunan Andal dan RKL-RPL. (9) Dokumen Amdal merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Pasal 24 (1) Dokumen Amdal memuat: a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan; c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan; 21

d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan; e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. (2) Dokumen Amdal disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. (3) Pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (2) harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. (4) Pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (3) meliputi: a. yang terkena dampak; b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. (5) Pelibatan masyarakat dilakukan melalui: a. pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan; dan b. konsultasi publik. (6) Pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (5) dilakukan sebelum penyusunan dokumen kerangka acuan. (7) Masyarakat berhak mengajukan saran, pendapat dan tanggapan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak pengumuman. (8) Saran, pendapat dan tanggapan seabagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan secara tertulis kepada Pemrakarsa dan Gubernur. Pasal 25 (1) Dalam menyusun dokumen Amdal, Pemrakarsa wajib menggunakan pendekatan studi: a. tunggal; b. terpadu; atau c. kawasan. 22

(2) Pendekatan studi tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan apabila Pemrakarsa merencanakan untuk melakukan 1 (satu) jenis usaha dan/atau kegiatan yang kewenangan pembinaan dan/atau pengawasannya berada di bawah 1 (satu) kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, satuan kerja pemerintah provinsi, atau satuan kerja pemerintah kabupaten/kota. (3) Pendekatan studi terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan apabila Pemrakarsa merencanakan untuk melakukan lebih dari 1 (satu) jenis Usaha dan/atau kegiatan yang perencanaan dan pengelolaannya saling terkait dalam satu kesatuan hamparan ekosistem serta pembinaan dan/atau pengawasannya berada di bawah lebih dari 1 (satu) kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, satuan kerja pemerintah provinsi, atau satuan kerja pemerintah kabupaten/kota. (4) Pendekatan studi kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan apabila pemrakarsa merencanakan untuk melakukan lebih dari 1 (satu) Usaha dan/atau Kegiatan yang perencanaan dan pengelolaannya saling terkait, terletak dalam satu kesatuan zona rencana pengembangan kawasan, yang pengelolaannya dilakukan oleh pengelola kawasan. Pasal 26 (1) Kerangka Acuan disusun oleh pemrakarsa sebelum penyusunan Andal dan RKL-RPL. (2) Kerangka acuan yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Gubernur melalui Komisi Penilai Amdal, untuk kerangka acuan yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal; (3) Berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Komisi Penilai Amdal memberikan pernyataan tertulis mengenai kelengkapan administrasi kerangka acuan. (4) Kerangka acuan yang telah dinyatakan lengkap secara administrasi dinilai oleh Komisi Penilai Amdal. (5) Untuk melakukan penilaian Komisi Penilai Amdal menugaskan tim teknis untuk menilai kerangka acuan. (6) Tim teknis dalam melakukan penilaian, melibatkan Pemrakarsa untuk menyepakati Kerangka Acuan selanjutnya tim teknis menyampaikan hasil penilaian Kerangka Acuan kepada Komisi Penilai Amdal. 23

(7) Dalam hal hasil penilaian tim teknis menunjukkan bahwa Kerangka Acuan perlu diperbaiki, tim teknis menyampaikan dokumen tersebut kepada Komisi Penilai Amdal untuk dikembalikan kepada Pemrakarsa. (8) Pemrakarsa menyampaikan kembali perbaikan Kerangka Acuan kepada Komisi Penilai Amdal, Kerangka Acuan yang telah diperbaiki sebagaimana dinilai oleh tim teknis selanjutnya tim teknis menyampaikan hasil penilaian akhir Kerangka Acuan kepada Komisi Penilai Amdal. Pasal 27 (1) Jangka waktu penilaian dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak Kerangka acuan diterima dan dinyatakan lengkap secara administras selanjutnya dalam hal hasil penilaian tim teknis menyatakan Kerangka acuan dapat disepakati, Komisi Penilai Amdal menerbitkan persetujuan kerangka acuan. (2) Kerangka acuan tidak berlaku apabila: a. perbaikan Kerangka Acuan tidak disampaikan kembali oleh Pemrakarsa paling lama 3 (tiga) tahun terhitu ng sejak dikembalikannya Kerangka Acuan kepada Pemrakarsa oleh Komisi Penilai Amdal; atau b. Pemrakarsa tidak menyusun Amdal dan RKL-RPL dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya persetujuan Kerangka Acuan. (3) Dalam hal Kerangka Acuan tidak berlaku, Pemrakarsa wajib mengajukan kembali Kerangka Acuan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. Pasal 28 (1) Pemrakarsa menyusun Amdal dan RKL-RPL berdasarkan: a. Kerangka Acuan yang telah diterbitkan persetujuannya; atau b. konsep Kerangka Acuan, dalam hal jangka waktu telah terlampaui dan Komisi Penilai Amdal belum menerbitkan persetujuan Kerangka Acuan. (2) Andal dan RKL-RPL yang telah disusun diajukan kepada Gubernur melalui Komisi Penilai Amdal. 24

(3) Komisi Penilai Amdal menugaskan tim teknis untuk menilai dokumen Andal dan RKL-RPL. (4) Tim teknis menyampaikan hasil penilaian atas dokumen Andal dan RKL-RPL kepada Komisi Penilai Amdal dan selanjutnya menyelenggarakan rapat Komisi Penilai Amdal. (5) Komisi Penilai Amdal menyampaikan rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL kepada Gubernur. (6) Rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL dapat berupa: a. rekomendasi kelayakan lingkungan;atau b. rekomendasi ketidak layakan lingkungan. (7) Rekomendasi ditetapkan berdasarkan pertimbangan paling sedikit meliputi: a. prakiraan secara cermat mengenai besaran dan sifat penting dampak dari aspek biogeofisik kimia, sosial, ekonomi, budaya, tata ruang, dan kesehatan masyarakat pada tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi, dan pascaoperasi Usaha dan/atau Kegiatan; b. hasil evaluasi secara holistik terhadap seluruh dampak penting hipotetik sebagai sebuah kesatuan yang saling terkait dan saling memengaruhi sehingga diketahui perimbangan dampak penting yang bersifat positif dengan yang bersifat negatif; dan c. kemampuan Pemrakarsa dan/atau pihak terkait yang bertanggung jawab dalam menanggulangi dampak penting yang bersifat negatif yang akan ditimbulkan dari usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan dengan pendekatan teknologi, sosial dan kelembagaan. (8) Dalam hal rapat Komisi Penilai Amdal menyatakan bahwa dokumen Andal dan RKL-RPL perlu diperbaiki, Komisi Penilai Amdal mengembalikan dokumen Andal dan RKL-RPL kepada Pemrakarsa. Pasal 29 (1) Pemrakarsa menyampaikan kembali perbaikan dokumen Andal dan RKL-RPL sesuai dengan ketentuan. (2) Berdasarkan dokumen Andal dan RKL-RPL yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Penilai Amdal melakukan penilaian akhir terhadap dokumen Andal dan RKL-RPL. 25

(3) Komisi Penilai Amdal menyampaikan hasil penilaian akhir berupa rekomendasi hasil penilaian akhir kepada Gubernur. (4) Jangka waktu penilaian sebagaimana dilakukan paling lama 75 (tujuhpuluh lima) hari kerja, terhitung sejak dokumen Andal dan RKL- RPL dinyatakan lengkap. (5) Gubernur berdasarkan rekomendasi penilaian atau penilaian akhir dari Komisi Penilai Amdal menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup. (6) Jangka waktu penetapan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya rekomendasi hasil penilaian atau penilaian akhir dari Komisi Penilai Amdal. (7) Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup paling sedikit memuat: a dasar pertimbangan dikeluarkannya penetapan; b. pernyataan kelayakan lingkungan; c. persyaratan dan kewajiban Pemrakarsa sesuai dengan RKL-RPL; dan d. kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak terkait sebagaimana dimaksud huruf c. (8) Dalam hal Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan Pemrakarsa wajib memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, keputusan kelayakan lingkungan hidup harus mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (9) Keputusan ketidaklayakan lingkungan hidup spaling sedikit memuat: a. dasar pertimbangan dikeluarkannya penetapan; dan b. pernyataan ketidaklayakan lingkungan. Pasal 30 (1) Di tingkat Provinsi dibentuk Komisi Penilai Amdal yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. (2) Susunan Komisi Penilai Amdal Provinsi sebagai berikut: a. ketua komisi Amdal berasal dari kepala satuan kepala perangkat daerah yang membidangi lingkungan hidup; b.sekretaris adalah kepala bidang/esselon III yang menangani Amdal; c. keanggotaan Komisi Penilai Amdal terdiri atas wakil dari unsur: 26

1. instansi lingkungan hidup; 2. instansi teknis terkait; 3. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; 4. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; 5. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan 6. organisasi lingkungan hidup. (3) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk oleh gubernur (4) Sekretariat komisi penilai Amdal provinsi mempunyai tugas dibidang kesekretariatan, perlengkapan, penyediaan informasi pendukung dan tugas lain yang diberikan oleh komisi penilai amdal provinsi. Pasal 31 (1) Komisi Penilai Amdal Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 di atas, menilai dokumen amdal untuk usaha dan/atau kegiatan yang: a. bersifat strategis provinsi; dan/atau b. berlokasi: 1. lebih dari satu wilayah kab/kota dalam satu provinsi; 2. dilintas kabupaten/kota; dan/atau 3. diwilayah laut paling jauh 12 mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. (2) Dalam melakukan penilaian, komisi penilai amdal provinsi menilai dokumen amdal yang disusun dengan menggunakan pendekatan terpadu atau kawasan, jika terdapat usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas. Pasal 32 (1) Dalam hal Satuan Kerja Perangkat Daerah lingkungan hidup kabupaten/kota bertindak sebagai Pemrakarsa dan kewenangan penilaian Amdalnya berada di kabupaten/kota yang bersangkutan, penilaian Amdal terhadap Usaha dan/atau Kegiatan tersebut dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal provinsi. 27

(2) Dalam hal Satuan Kerja Perangkat Daerah lingkungan hidup povirnsi bertindak sebagai Pemrakarsa dan kewenangan penilaian Amdalnya berada di provinsi yang bersangkutan, penilaian Amdal terhadap Usaha dan/atau Kegiatan tersebut dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal Pusat. Pasal 33 Anggota Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dan anggota tim teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilarang melakukan penilaian terhadap dokumen Amdal yang disusunnya. Paragraf 6 UKL-UPL Pasal 34 (1) Gubernur menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL yang berlokasi: a. lintas kabupaten/kota; dan/atau b. diwilayah laut 4 (empat) sampai dengan12 (dua belas) mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. (2) Penetapan UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ) didelegasikan kepada kepala satuan kerja perangkat daerah yang menangani pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 35 (1) Formulir UKL-UPL yang telah diisi oleh Pemrakarsa disampaikan kepada: Gubernur, untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang berlokasi di lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;di lintas kabupaten/kota; dan/atau di wilayah laut paling jauh 12 (duabelas) mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. (2) Gubernur, melakukan pemeriksaan kelengkapan administrasi formulir UKL- UPL, apabila hasil pemeriksaan kelengkapan administrasi formulir UKL-UPL dinyatakan tidak lengkap, Gubernur mengembalikan UKL- UPL kepada Pemrakarsa untuk dilengkapi. (3) Apabila hasil pemeriksaan kelengkapan administrasi formulir UKL-UPL dinyatakan lengkap, Gubernur melakukan pemeriksaan UKL-UPL dilakukan dalam jangka waktu 14 ( empatbelas) hari sejak formulir UKL-UPL dinyatakan lengkap secara administrasi. 28

(4) Berdasarkan pemeriksaan Gubernur, menerbitkan rekomendasi UKL- UPL, rekomendasi sebagaimana dapat berupa persetujuan atau penolakan. (5) Rekomendasi berupa persetujuan UKL-UPL paling sedikit memuat: a. dasar pertimbangan dikeluarkannya persetujuan UKL- UPL; b. pernyataan persetujuan UKL-UPL; dan c. persyaratan dan kewajiban Pemrakarsa sesuai dengan yang tercantum dalam UKL-UPL. (6) Dalam hal Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan Pemrakarsa wajib memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, harus mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 36 (1) Rekomendasi berupa penolakan UKL-UPL paling sedikit memuat: a. dasar pertimbangan dikeluarkannya penolakan UKL-UPL; dan b. pernyataan penolakan UKL-UPL. (2) Pemeriksaan UKL-UPL dan penerbitan Rekomendasi UKL-UPL dapat dilakukan oleh kepala instansi lingkungan hidup provinsi Paragraf 7 Izin Lingkungan Pasal 37 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL- UPL wajib memiliki izin lingkungan yang dikeluarkan oleh Gubernur. (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui tahapan kegiatan yang meliputi: a. penyusunan Amdal dan UKL UPL; b. penilaian Amdal dan pemeriksaan UKL UPL; dan c. permohonan dan penerbitan izin lingkungan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Persyaratan dan tata cara permohonan izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur. 29

Pasal 38 (1) Gubernur sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL. (2) Izin lingkungan dapat dibatalkan apabila: a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen dan/atau informasi; b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Pasal 39 Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara. Pasal 40 (1) Gubernur mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat. Pasal 41 (1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izinusaha dan/atau kegiatan. (2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. (3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan. 30

Pasal 42 (1) Permohonan Izin Lingkungan diajukan secara tertulis oleh penanggungjawab Usaha dan/atau Kegiatan selaku Pemrakarsa kepada Gubernur sesuai dengan kewenangannya. (2) Permohonan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian Andal dan RKL- RPL atau pemeriksaan UKL- UPL. (3) Permohonan izin lingkungan harus dilengkapi dengan dokumen Amdal atau formulir UKL-UPL; dokumen pendirian Usaha dan/atau Kegiatan; dan profil Usaha dan/atau Kegiatan. Pasal 43 (1) Setelah menerima permohonan Izin Lingkungan, Gubernur mengumumkan permohonan Izin Lingkungan. (2) Pengumuman untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal dilakukan oleh Gubernur dilakukan melalui multimedia dan papan pengumuman di lokasi Usaha dan/atau Kegiatan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen Andal dan RKL-RPL yang diajukan dinyatakan lengkap secara administrasi. (3) Masyarakat dapat memberikan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diumumkan. (4) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan melalui wakil masyarakat yang terkena dampak dan/atau organisasi masyarakat yang menjadi anggota Komisi Penilai Amdal. (5) Pengumuman untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib UKL-UPL dilakukan oleh Gubernur, dilakukan melalui multimedia dan papan pengumuman di lokasi Usaha dan/atau Kegiatan paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak formulir UKL-UPL yang diajukan dinyatakan lengkap secara administrasi. (6) Masyarakat dapat memberikan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap pengumuman dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diumumkan. (7) Saran, pendapat, dan tanggapan disampaikan kepada Gubernur. 31