FAKTOR-FAKTOR PADA IBU BERSALIN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN HIPERBILLIRUBIN PADA BAYI BARU LAHIR DI RUMAH SAKIT DUSTIRA CIMAHI TAHUN 2009

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN USIA GESTASI DAN JENIS PERSALINAN DENGAN KADAR BILIRUBINEMIA PADA BAYI IKTERUS DI RSUP NTB. Syajaratuddur Faiqah

BAB I PENDAHULUAN. Bayi menurut WHO ( World Health Organization) (2015) pada negara

HUBUNGAN INSIDEN IKTERUS NEONATORUM DENGAN PERSALINAN SECARA VAKUM EKSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN. bulan, 80% anak meninggal terjadi saat umur 1-11 bulan. 1 Menurut profil

HUBUNGAN BERAT LAHIR DENGAN KEJADIAN IKTERIK PADA NEONATUS TAHUN 2015 DI RSUD. DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah kelahiran hidup. Faktor-faktor yang mempengaruhi AKB

BAB I PENDAHULUAN. paling kritis karena dapat menyebabkan kesakitan dan kematian bayi. Kematian

Hubungan antara Apgar Score Dengan Ikterus Neonatorum Fisiologis di RSUD Al-Ihsan Kabupaten Bandung Tahun 2014

HUBUNGAN KEHAMILAN POSTTERM DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD ABDUL MOELOEK

HUBUNGAN ANTARA KEHAMILAN SEROTINUS DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD INDRAMAYU PERIODE 01 SEPTEMBER-30 NOVEMBER TAHUN 2014

HUBUNGAN ANTARA IBU HAMIL PRE EKLAMSI DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DI RSUD SLEMAN YOGYAKARTA TAHUN

Jurnal Keperawatan, Volume XII, No. 2, Oktober 2016 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan neonatal harus dimulai sebelum bayi dilahirkan

PENELITIAN HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN TERHADAP HASIL LUARAN JANIN. Idawati*, Mugiati*

HUBUNGAN PENAMBAHAN BERAT BADAN IBU SELAMA HAMIL DENGAN KEJADIAN BBLR DI RUMAH SAKIT DR. NOESMIR BATURAJA TAHUN 2014

Jurnal Keperawatan, Volume IX, No. 2, Oktober 2013 ISSN HUBUNGAN USIA IBU DENGAN KOMPLIKASI KEHAMILAN PADA PRIMIGRAVIDA

HUBUNGAN PREMATURITAS DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD JEND. AHMAD YANI KOTA METRO TAHUN 2016

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG IKTERUS FISIOLOGIS PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN ABSTRAK

HUBUNGAN KEJADIAN PRE EKLAMSIA DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DI RUMAH SAKIT ISLAM KLATEN

HUBUNGAN SENAM HAMIL TERHADAP LAMANYA PROSES PERSALINAN PADA IBU BERSALIN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAYAT KLATEN

Elli Hidayati, 2 Martsa Rahmaswari. Abstrak

HUBUNGAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DENGAN KEMATIAN NEONATAL DI RSUD. DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. yang sering dihadapi tenaga kesehatan terjadi pada sekitar 25-50% bayi

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU BERSALIN DENGAN INISIASI MENYUSU DINI DI BIDAN PRAKTEK SWASTA BENIS JAYANTO NGENTAK KUJON CEPER KLATEN. Wahyuningsih ABSTRAK

SISTEM RUJUKAN BIDAN DENGAN KASUS PRE EKLAMSIA DAN EKLAMSIA DI RSU DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Trisna Ebtanastuti 2, Anjarwati 3 INTISARI

BAB I PENDAHULUAN. salah satu strategi dalam upaya peningkatan status kesehatan di Indonesia.

Hubungan Usia Kehamilan dan Preeklampsia dengan Asfiksia Neonatorum Bayi Baru Lahir di RSUD Ambarawa Kabupaten Semarang

BAB I PENDAHULUAN. Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI DENGAN KEJADIAN IKTERUS PADA BAYI BARU LAHIR 0-7 HARI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

FAKTOR RISIKO KEJADIAN PERSALINAN PREMATUR (STUDI DI BIDAN PRAKTEK MANDIRI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GEYER DAN PUSKESMAS TOROH TAHUN 2011)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikterus neonatorum merupakan masalah yang sering dijumpai pada perawatan bayi baru lahir normal, khususnya di

Volume 4 No. 2, September 2013 ISSN : HUBUNGAN RIWAYAT PERSALINAN PADA IBU MULTIPARA DENGAN

HUBUNGAN ANTARA ANEMIA IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN BERAT BAYI LAHIR RENDAH DAN PERDARAHAN POSTPARTUM

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia yaitu sebesar 32

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap

HUBUNGAN UMUR DAN PARITAS DENGAN LAMANYA PELEPASAN PLASENTA PADA IBU BERSALIN DI RUMAH BERSALIN AL-AMIN DONOYUDAN KALIJAMBE SRAGEN

BERAT BADAN LAHIR RENDAH DENGAN KEJADIAN ASFIXIA NEONATORUM

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan umur bayi atau lebih dari 90 persen.

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu komplikasi atau penyulit yang perlu mendapatkan penanganan lebih

Dinamika Kesehatan Vol.6 No. 1 Juli 2015 Maolinda et al.,persalinan Tindakan...

BAB I PENDAHULUAN. Proses kehamilan, persalinan, nifas merupakan suatu proses fisiologis

HUBUNGAN INDUKSI PERSALINAN DENGAN ASFIKSIA BAYI BARU LAHIR DI RSU PKU MUHAMMADIYAH DELANGGU KLATEN TAHUN Sri Wahyuni 1), Titin Riyanti 2)

BAB I PENDAHULUAN. pelatihan medik maupun paramedik serta sebagai pelayanan peningkatan

Dinamika Kebidanan vol. 2 no.2. Agustus 2012

Volume 4 No. 1, Maret 2013 ISSN : HUBUNGAN PARITAS DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSUD R.A KARTINI JEPARA INTISARI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki banyak risiko

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERSALINAN SECTIO CAESAREA DI RSU PKU MUHAMMADIYAH KOTA YOGYAKARTA 2016

HUBUNGAN PERSALINAN KALA II LAMA DENGAN ASFIKSIA BAYI BARU. LAHIR DI RSUD.Dr.H. MOCH ANSARI SALEH BANJARMASIN TAHUN Husin :: Eka Dewi Susanti

BAB 1 PENDAHULUAN. pada ibu dan janin sehingga menimbulkan kecemasan semua orang termasuk

HUBUNGAN LINGKAR LENGAN ATAS (LILA) DAN KADAR HEMOGLOBIN (Hb) DENGAN BERAT BAYI LAHIR

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEMATIAN PERINATAL DI KABUPATEN LAMPUNG UTARA TAHUN 2014

KASUS FENOMENA ASFIKSIA PADA BAYI BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) (Di RSUD Kota Semarang Tahun )

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab tingginya angka kematian ibu terutama disebabkan karena faktor

BAB III METODE PENELITIAN. sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010). Variabel bebas yang. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr Moewardi.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. penurunan angka kematian ibu (AKI) dan bayi sampai pada batas angka

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PENDIDIKAN BIDAN DENGAN PENGGUNAAN PARTOGRAF DI PUSKESMAS PAGADEN PERIODE MARET SAMPAI JULI 2008

ANALISIS TINGKAT KECEMASAN IBU KEHAMILAN PERTAMA DALAM MENGHADAPI PERSALINAN

PARITAS DENGAN KEJADIAN BERAT BAYI LAHIR RENDAH DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN Sri Handayani, Umi Rozigoh

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang lainnya. Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi

I. PENDAHULUAN. asfiksia, hampir 1 juta bayi meninggal (WHO, 2002). Di Indonesia, dari

HUBUNGAN INISIASI MENYUSU DINI DENGAN PENINGKATAN SUHU TUBUH BAYI BARU LAHIR DI BIDAN PRAKTEK MANDIRI PUJI LESTARI MAWUNG TRUCUK

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN HIPERBILIRUBINEMIA

HUBUNGAN ANTARA INSIDEN IKTERUS NEONATORUM DENGAN PERSALINAN SECARA INDUKSI

BAB I PENDAHULUAN. bagi perkembangan dan pertumbuhan bayi selanjutnya. Salah satu masalah

Jurnal Keperawatan, Volume XII, No. 1, April 2016 ISSN HUBUNGAN UMUR DAN PARITAS DENGAN KEJADIAN PLASENTA PREVIA PADA IBU BERSALIN

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga ABSTRAK. Kata kunci: BBLR, kualitas, kuantitas, antenatal care. viii

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

Prosiding SNaPP2015 Kesehatan pissn eissn Mulyanti

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

periode April-Juni tahun 2013 sebanyak 38 responden dengan teknik Total

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA IBU HAMIL TRIMESTER III DI PUSKESMAS CIKAMPEK KABUPATEN KARAWANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diabetes, penyakit lupus, atau mengalami infeksi. Prematuritas dan berat lahir

HUBUNGAN ANTARA KETUBAN PECAH DINI DENGAN PERSALINAN PREMATUR DI RUMAH SAKIT MUTIARA BUNDA SALATIGA

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU BERSALIN DENGAN PELAKSANAAN INISIASI MENYUSUI DINI DIKAMAR BERSALIN PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2013

Cirebon, Jawa Barat, Indonesia, ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. terakhir (HPHT) atau, yang lebih akurat 266 hari atau 38 minggu setelah

UMUR DAN PENDIDIKAN IBU BERSALIN DENGAN KEJADIAN BBLR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG TANDA BAHAYA KEHAMILAN DENGAN KEPATUHAN PEMERIKSAAN KEHAMILAN DI BPS ERNAWATI BOYOLALI

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk pada ibu yang mengandung dan melahirkan bayi BBLR (Berat

HUBUNGAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN BAYI LAHIR. Nofi Yuliyati & Novita Nurhidayati Akademi Kebidanan Estu Utomo Boyolali

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Yeni Yuniarti 2, Suesti 3 INTISARI

BAB IV METODE PENELITIAN

HUBUNGAN USIA DAN PARITAS IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN PERDARAHAN ANTEPARTUM DI RSUD ABDOEL MOELOEK BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate merupakan. indikator yang lazim digunakan untuk menentukan derajat kesehatan

HUBUNGAN ANTARA PREEKLAMPSIA DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD ARJAWINANGUN TAHUN 2015

PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA NEONATUS DENGAN IBU PASCA SECTIO CAESAREA DI RUANG MAWAR RSUD dr.doris SYLVANUS, PALANGKA RAYA

BULAN. Oleh: J DOKTER

KARAKTERISTIK IBU HAMIL YANG MELAHIRKAN BAYI DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DI RSU RA KARTINI JEPARA. Gunawan, Anik Sholikah, Aunur Rofiq INTISARI

HUBUNGAN BERAT BADAN BAYI LAHIR DENGAN DERAJAT LASERASI JALAN LAHIR PADA IBU PRIMIPARA DI RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK

HUBUNGAN PARITAS DAN RIWAYAT SC DENGAN KEJADIAN PLASENTA PREVIA PADA IBU BERSALIN DI RSUD ABDOEL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB), dalam

Transkripsi:

FAKTOR-FAKTOR PADA IBU BERSALIN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN HIPERBILLIRUBIN PADA BAYI BARU LAHIR DI RUMAH SAKIT DUSTIRA CIMAHI TAHUN 2009 ABSTRAK Novie E. Mauliku dan Ade Nurjanah Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah Ikterus yaitu warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena peningkatan bilirubin. Hiperbillirubin merupakan suatu keadaan dimana kadar billirubin mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kern ikterus dan jika tidak ditanggulangi dengan baik akan menyebabkan keterbelakangan mental. Angka kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi pada pada tahun 2009 mencapai 278 kasus dari 1.139 persalinan. Faktor risiko terjadinya hiperbillirubin diantaranya pada bayi kurang bulan dan jenis persalinan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor-faktor pada ibu bersalin dengan kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Tingkat II Cimahi tahun 2009. Penelitian ini mengunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 92 ibu yang bersalin di Rumah Sakit Dustira Cimahi dengan teknik pengambilan sampel random sampling melalui teknik lotere. Pengumpulan data berupa data sekunder yaitu dari catatan rekam medik Ruang Perinatalogi Rumah Sakit Dustira Cimahi dan dianalisis secara univariat dan bivariat melalui chi square test. Hasil penelitian diperoleh bahwa kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Tingkat II Cimahi pada tahun 2009 masih relatif tinggi (34,8%) dengan sebagian besar usia kehamilan kurang bulan (77,2%), dan jenis persalinan normal (70,7%). Hasil uji statistik diperoleh p-value 0,001 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor usia kehamilan ibu bersalin dan jenis persalinan dengan kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi tahun 2009. Disarankan bagi ibu hamil agar memeriksakan kehamilannya secara rutin dan teratur dan asupan gizi yang seimbang, dan pada ibu bersalin disarankan untuk memberikan ASI Eksklusif sedini mungkin. Selain itu, kepada petugas kesehatan di Rumah Sakit Dustira agar menganjurkan setiap ibu bersalin untuk melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) sebagai upaya pencegahan Hiperbillirubin pada bayi baru lahir. Kata kunci : Cross sectional, Faktor-faktor Ibu Bersalin, Hiperbillirubin Kepustakaan : 29 (1995-2009) A. PENDAHULUAN Derajat kesehatan masyarakat dapat diukur dengan berbagai indikator kesehatan, antara lain angka kematian perinatal, angka kematian bayi, dan angka kematian balita. Kematian bayi adalah kematian yang terjadi saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi endogen atau yang umum disebut dengan kematian neonatal adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa selama kehamilan. Kematian bayi eksogen atau kematian post neonatal adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan pengaruh lingkungan luar (Depkes RI, 2008). Jurnal Kesehatan Kartika 16

Angka kematian bayi (AKB) merupakan indikator untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat. AKB merujuk kepada jumlah bayi yang meninggal pada fase antara kelahiran hingga bayi belum mencapai umur 1 tahun per 1.000 kelahiran hidup. Menurut World Health Organization (WHO) AKB sebagian besar disebabkan oleh asfiksia (20-60%), infeksi (25-30%), bayi dengan berat lahir rendah (25-30%), dan trauma persalinan (5-10%) (Depkes RI, 2008). Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah Ikterus yaitu warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena peningkatan bilirubin. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum 5 mg/dl. Ikterus biasanya fisiologis, namun pada sebagian kasus dapat menyebabkan masalah seperti yang paling ditakuti yaitu ensefalopati bilirubin (Sastroasmoro, 2007). Ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kemikterus) merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup (Sukadi, 2002) Hiperbillirubin adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium, yang menunjukkan peningkatan kadar billrubin yaitu kehamilan >37 minggu dengan hasil billirubin serum 12,5 mg/dl dan kehamilan <37 minggu dengan hasil serum >10 mg/dl. Hiperbillirubin merupakan suatu keadaan dimana kadar billirubin mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kemikterus dan jika tidak ditanggulangi dengan baik akan menyebabkan keterbelakangan mental (Wiknjosastro, 2002). Hiperbillirubin ditemukan dalam 24 jam pertama setelah lahir dengan mengenal faktor-faktor risiko yang mempengaruhi ikterus. Diharapkan penatalaksanaan oleh tenaga kesehatan dapat mencegah terjadinya ikterus yaitu dengan adanya pengawasan antenatal yang baik serta pertolongan persalinan yang aman dengan berpedoman pada asuhan sayang ibu sehingga mampu menurunkan angka kejadian ikterus neonatorum. Jika tidak ditanggulangi dengan baik maka 75% bayi hiperbillirubin akan meninggal dan dampak yang akan terjadi apabila bayi mengalami hiperbillirubin 80% dari bayi yang hidup akan mengalami keterbelakangan mental (Behman, 2006). Menurut Sukadi (2002) bahwa penyebab hiperbillirubin saat ini masih merupakan faktor predisposisi. Yang sering ditemukan antara lain dari faktor maternal seperti komplikasi kehamilan (inkontabilitas golongan darah ABO dan Rh), dan pemberian air susu ibu (ASI), faktor perinatal seperti infeksi, dan trauma lahir (cephalhermaton), dan faktor neonatus seperti prematuritas, rendahnya asupan ASI, hipoglikemia, dan faktor genetik (Sastroasmoro, 2007). Selain itu, faktor risiko terjadinya hiperbillirubin diantaranya pada bayi kurang bulan atau kehamilan usia <37 minggu, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) dan jenis persalinan (Sukadi, 2002). Menurut studi penelitian didapatkan ikterus dan hiperbillirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbillirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbillirubinemia. Penerimaan informasi bahwa alat vakum ekstraksi lebih aman dibandingkan forsep di Amerika Serikat lebih lambat dibandingkan dengan di negara Eropa. Akan tetapi pada tahun 1992, di Amerika Serikat, angka penggunaan vakum ekstraksi pada persalinan melebihi angka penggunaan forsep. Bagaimanapun, secara keseluruhan pada akhir dua dekade terakhir angka kelahiran dengan operasi atau tindakan persalinan pervaginam semakin menurun, sementara itu angka persalinan dengan seksio sesarea juga mengalami peningkatan. Meskipun demikian 10% dari seluruh kelahiran di Amerika Serikat tiap tahun menggunakan vakum ekstraksi (Widya, 2007). Hiperbillirubin pada bayi baru lahir sampai saat ini masih banyak terjadi bukan hanya dari persalinan yang ditolong oleh Bidan Praktek Swasta (BPS) dan atau dukun paraji saja, melainkan Jurnal Kesehatan Kartika 17

juga persalinan yang ditolong oleh Dokter di Rumah Sakit pun masih terdapat kejadian bayi baru lahir dengan hiperbillirubin, salah satunya adalah di Rumah Sakit Dustira Tingkat II Cimahi. Angka kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Tingkat II Cimahi pada tahun 2008 mencapai 126 kasus dari 1.096 persalinan, sedangkan pada tahun 2009 mencapai 278 kasus dari 1.139 persalinan yang terdiri dari 197 kasus yang lahir Rumah Sakit Dustira dan 81 kasus dari rujukan. Dari 278 kasus hiperbillirubin tersebut terdapat satu kasus kematian bayi yang diakibatkan oleh Kern Ikterus (Ruang Perinatalogi Rumah Sakit Dustira Cimahi Tahun 2009). Masih tingginya angka kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi, maka penulis tertarik untuk mengetahui Apakah ada hubungan faktor-faktor pada ibu bersalin dengan kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi tahun 2009. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1). mengetahui gambaran kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir, frekuensi umur kehamilan pada ibu hamil, dan frekuensi jenis persalinan; 2). mengetahui hubungan umur kehamilan dengan kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir. 3). mengetahui hubungan jenis persalinan dengan kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir. B. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yaitu suatu penelitian survei atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan terjadi. Kemudian melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena, baik antar faktor risiko dengan faktor efek (Notoatmodjo, 2005). Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian dengan pendekatan cross-sectional yaitu mempelajari hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir. Observasi atau pengukuran terhadap variabel bebas dan variabel tergantung dilakukan sekali dalam waktu bersamaan di Rumah Sakit Dustira Tingkat II Cimahi pada tahun 2010. Adapun kerangka konsep penelitian sebagai berikut di bawah ini: Faktor Maternal: - Komplikasi kehamilan - Umur Kehamilan Faktor Perinatal: - Jenis Persalinan - Infeksi dan trauma lahir HIPERBILLLIRUBIN Faktor Neonatus: - Prematuritas - Rendahnya asupan ASI - Hipoalbuminemia Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti Gambar 1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian Jurnal Kesehatan Kartika 18

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara optimal berdasarkan karakteristik yang diobservasi, memungkinkan peneliti melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu obyek atau fenomena (Notoatmodjo, 2003). Definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian di atas dapat dilihat pada tabel 3.1 di bawah ini. Tabel 1. Definisi Operasional No. Variabel 1. Umur kehamilan (masa gestasi) 2. Jenis persalinan Definisi Operasional Lamanya usia kehamilan ibu sampai dengan melahirkan Jenis persalinan yang dilakukan ibu di RS Dustira Alat Ukur Rekam medik Rekam medik Hasil Ukur 1. Kurang bulan (<37 minggu) 2. Cukup bulan (37-42 minggu) 1. Normal/Spontan 2. Tindakan (SC & Vakum) Skala Ordinal Nominal 3. Hiperbillirubin pada bayi baru lahir Adanya peningkatan billirubin pada bayi baru lahir Rekam medik 1. Ya (>10 mg/dl) 2. Tidak ( 10 mg/dl) Ordinal Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang menjadi kuantitas dan karakterisik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang melahirkan di Rumah Sakit Dustira Cimahi pada tahun 2009 yaitu sebanyak 1.139 orang. Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Berdasarkan hasil perhitungan, maka jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 92 orang.teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah random sampling dengan cara mengundi anggota populasi (lottery technique). Analisis data adalah mengolah data yang telah terkumpul dengan menggunakan rumus atau aturan yang sesuai dengan desain penelitian yang digunakan sehingga diperoleh suatu kesimpulan (Arikunto, 2006). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis analisis yaitu Analisis Univariat, yaitu analisis dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari masingmasing variabel yang diteliti sehingga akan diperoleh hasil analisis untuk masing-masing variabel yang diteliti dalam bentuk tabel univarian dan setelah itu dilakukan penafsiran dengan asumsi-asumsi pribadi sehingga membentuk penemuan ilmiah (Scientific Finding) (Notoatmodjo, 2003). Sedangkan Analisis bivariat adalah analisis untuk membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara variabel bebas dengan variabel terikat maka dilakukan uji statistik dengan metoda Chi Square (x2). Jurnal Kesehatan Kartika 19

C. HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN 1. Analisis Univariat Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kejadian Hiperbillirubin pada Bayi Baru Lahir dan Karakteristik Ibu Bersalin di Rumah Sakit Dustira Cimahi Tahun 2009 Variabel Frekuensi (n) Prosentase (%) 1. Kejadian Hiperbillirubin Hiperbillirubin 32 34,8 Tidak Hiperbillirubin 60 65,2 Total 92 100 2. Usia Kehamilan Kurang bulan (<37 minggu) 21 22,8 Cukup bulan (37-42 minggu) 71 77,2 Total 92 100 3. Jenis Persalinan Normal 65 70,7 Tindakan 27 29,3 Total 92 100 Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 92 responden yang bersalin di RS Dustira sebanyak 32 orang (34,8%) bayinya mengalami Hiperbillirubin. Dan Berdasarkan karakteristik Ibu bersalin, sebagian besar yaitu 71 orang (77,2%) bersalin dengan usia kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), dan sebagian besar yaitu 65 orang (70,7%) bersalin secara normal atau spontan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Behman (2006) bahwa Hiperbillirubin ditemukan dalam 24 jam pertama setelah lahir dengan mengenal faktor-faktor risiko yang mempengaruhi ikterus dan jika tidak langsung ditanggulangi dengan baik maka 75% bayi Hiperbillirubin akan meninggal dan dampak yang akan terjadi apabila bayi mengalami Hiperbillirubin 80% bayi yang hidup akan mengalami keterbelakangan mental. Selain itu, Sastroasmoro (2007) menyebutkan bahwa salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah Ikterus yaitu warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena peningkatan bilirubin. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum 5 mg/dl. Ikterus biasanya fisiologis, namun pada sebagian kasus dapat menyebabkan masalah seperti yang paling ditakuti yaitu ensefalopati bilirubin. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek (Surjono, 2007). Menurut Sukadi (2002) bahwa penyebab hiperbillirubin saat ini masih merupakan faktor predisposisi. Yang sering ditemukan antara lain dari faktor maternal seperti komplikasi kehamilan (inkontabilitas golongan darah ABO dan Rh), dan pemberian air susu ibu (ASI), faktor perinatal seperti infeksi, dan trauma lahir (cephalhermaton), dan faktor neonatus seperti prematuritas, rendahnya asupan ASI, hipoglikemia, dan faktor genetik (Sastroasmoro, 2007). Selain itu, faktor risiko terjadinya hiperbillirubin diantaranya pada bayi kurang bulan atau kehamilan usia <37 minggu, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) dan jenis persalinan (Sukadi, 2002). Jurnal Kesehatan Kartika 20

Kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi tahun 2009 berdasarkan catatan rekam medik sebagian besar disebabkan oleh trauma lahir dan inkompatibilitas golongan darah. Sedangkan bayi kejadian Hiperbillirubin dari pasien rujukan sebagian besar disebabkan oleh penundaan pemberian makan atau Late Feeding dan rendahnya asupan ASI. 2. Analisis Bivariat a. Hubungan Faktor Usia Kehamilan dengan Kejadian Hiperbillirubin pada Bayi Baru Lahir Tabel 3. Hubungan Faktor Usia Kehamilan dengan Kejadian Hiperbillirubin pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi Tahun 2009 Kelompok Usia Kehamilan Kejadian Hiperbillirubin Tidak Hiperbillirubin Total Hiperbillirubin n % n % n % Kurang bulan 20 95,2 1 4,8 21 100 Cukup bulan 12 16,9 59 83,1 71 100 Jumlah 32 34,8 60 65,2 92 100 p value 0,001 OR (95% CI) 0,010 (0,001-0,083) Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa dari 21 responden yang bersalin dengan umur kehamilan kurang bulan (<37 minggu) sebagian besar yaitu sebanyak 20 orang (95,2%) bayinya mengalami Hiperbillirubin, sedangkan pada 71 responden yang bersalin dengan umur kehamilan cukup bulan (37-42 minggu) sebagian besar yaitu sebanyak 59 orang (83,1%) bayinya tidak mengalami Hiprebillirubin. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,001 dimana lebih kecil dari nilai alpha (α=0,05), hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara faktor umur kehamilan dengan kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir. Pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai odd ratio (OR) atau peluang risiko sebesar 0,010 dengan interval 0,001-0,083, hal ini berarti bayi baru lahir dengan masa gestasi kurang bulan (37-42 minggu) mempunyai peluang risiko sebesar 0,010 kali mengalami Hiperbillirubin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang bersalin dengan usia kehamilan kurang bulan (<37 minggu) sebagian besar (95,2%) bayinya mengalami Hiperbillirubin, sedangkan responden yang bersalin dengan usia kehamilan cukup bulan (37-42 minggu) sebagian besar (83,1%) bayinya tidak mengalami Hiprebillirubin. Hal ini menjelaskan bahwa usia kehamilan ibu bersalin merupakan faktor risiko terhadap kejadian Hiperbillirubin pada bayi lahir, karena usia kehamilan merupakan faktor yang penting dan penentu kualitas kesehatan bayi yang dilahirkan, karena bayi baru lahir dari usia kehamilan yang kurang berkaitan dengan berat lahir rendah dan tentunya akan berpengaruh kepada daya tahan tubuh bayi yang belum siap menerima dan beradaptasi dengan lingkungan di luar rahim sehingga berpotensi terkena berbagai komplikasi salah satunya adalah Ikterus Neonatorum yang dapat menyebabkan Hiperbillirubin. Hal ini sesuai dengan penelitian Widya (2007) bahwa ikterus dan hiperbillirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbillirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1.509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait Jurnal Kesehatan Kartika 21

Hiperbillirubinemia. Berdasarkan hal tersebut, maka umur kehamilan kurang bulan mempunyai keeratan hubungan dengan kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir Wiknjosastro (2002) menyebutkan bahwa bayi yang lahir dengan kehamilan kurang dari 37 minggu terjadi imaturitas enzimatik, karena belum sempurnanya pematangan hepar sehingga menyebabkan hipotiroidismus, dan menurut Behman (2006) bahwa bayi prematur lebih sering mengalami hiperbillirubin dibandingkan bayi cukup bulan. Hal ini disebabkan oleh faktor kematangan hepar sehingga konjugasi billirubin indirek menjadi billirubin direk belum sempurna. Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir <2500 gram atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu-minggu pertama kehidupannya. Hiperbillirubin pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. Ikterus pada bayi baru lahir merupakan suatu gejala fisiologis atau dapat merupakan hal patologis (Saifuddin, 2002). Menurut Siswono (2004) bahwa usia kehamilan sangat menentukan kualitas tumbuh kembang bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan dini dengan berat lahir yang sangat rendah berpotensi terkena berbagai komplikasi yang bisa dibawa hingga menjadi manusia dewasa. Karena itu, memperpanjang kehidupan dalam rahim merupakan jalan terbaik agar bayi dapat bertumbuh kembang secara optimal. Dua dari tiga kematian pada masa neonatus (bayi baru lahir sampai usia empat minggu) biasanya terkait dengan kelahiran prematur dan berat lahir rendah. b. Hubungan Faktor Jenis Persalinan dengan Kejadian Hiperbillirubin pada Bayi Baru Lahir Tabel 4. Hubungan Faktor Jenis Persalinan dengan Kejadian Hiperbillirubin pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi Tahun 2009 Jenis Persalinan Kejadian Hiperbillirubin Tidak Hiperbillirubin Total Hiperbillirubin n % n % n % Normal 17 26,2 48 73,8 65 100 Tindakan 15 55,6 12 44,4 27 100 Jumlah 32 34,8 60 65,2 92 100 p value 0,014 OR (95% CI) 0,283 (0,111-0,725) Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa dari 65 responden yang bersalin dengan proses persalinan normal sebagian besar yaitu sebanyak 48 orang (73,8%) bayinya tidak mengalami Hiperbillirubin, sedangkan pada 27 responden yang bersalin dengan dengan proses persalinan tindakan sebagian besar yaitu sebanyak 15 orang (55,6%) bayinya mengalami Hiprebillirubin. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,014 dimana lebih kecil dari nilai alpha (α=0,05), hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara faktor jenis persalinan dengan kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir. Pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai odd ratio (OR) atau peluang risiko sebesar 0,283 dengan interval 0,111-0,725, hal ini berarti ibu bersalin dengan proses persalinan normal memiliki peluang risiko sebesar 0,283 kali terhadap kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir. Jurnal Kesehatan Kartika 22

Sesuai dengan penelitian Widya (2007) yang melaporkan bahwa ikterus neonatorum dan Hiperbillirubin dapat terjadi pada setiap proses persalinan, baik persalinan normal maupun persalinan dengan tindakan. Sedangkan menurut Savitri (2009) dalam penelitiannya melaporkan bahwa persalinan dengan tindakan dapat menimbulkan komplikasi baik pada ibu maupun janin. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu antara lain adanya perdarahan, trauma jalan lahir, dan infeksi. Hal serupa dikemukakan oleh Indiarti (2006) dalam penelitiannya bahwa bayi yang dilahirkan dengan tindakan, kemungkinan pada saat lahir tidak langsung manangis dan keterlambatan menangis ini mengakibatkan kelainan hemodinamika sehingga depresi pernapasan dapat menyebabkan hipoksia di seluruh tubuh yang berakibat timbulnya asidosis respiratorik/metabolik yang dapat mengganggu metabolisme billirubin. Sarjono (2007) menyebutkan bahwa komplikasi yang terjadi akibat persalinan dengan tindakan dapat menimbulkan berbagai gangguan dalam masa perinatal, dimana pada masa ini merupakan masa penting dalam awal kehidupan neonatus dan merupakan masa-masa rawan karena organ-organ tubuh belum matur sehingga apabila terjadi gangguan pada masa perinatal dapat mengakibatkan hambatan tumbuh kembang neonatus itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas maka penulis mengasumsikan bahwa jenis persalinan dapat mempengaruhi status kesehatan bayi yang akan lahir baik itu persalinan normal maupun tindakan, karena kedua jenis persalinan tersebut mempunyai peluang risiko terhadap kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir. D. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: a. Kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi Tahun 2009 masih relatif tinggi yaitu sebesar 34,8% dengan sebagian besar usia kehamilan kurang bulan (37 minggu) yaitu sebesar 77,2%, dan jenis persalinan normal sebesar 70,7%. b. Terdapat hubungan yang signifikan (p=0,001) antara faktor usia kehamilan ibu bersalin (kurang bulan) dengan kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi tahun 2009. c. Terdapat hubungan yang signifikan (p=0,014) antara jenis persalinan (persalinan tindakan) dengan kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi tahun 2009. 2. Saran a. Kepada ibu hamil disarankan untuk memeriksakan kehamilannya secara rutin dan teratur dan asupan gizi yang seimbang, dan pada ibu bersalin disarankan untuk memberikan ASI Eksklusif sedini mungkin sebagai upaya pencegahan Hiperbillirubin pada bayi baru lahir. b. Kepada petugas kesehatan khususnya di Rumah Sakit Dustira disarankan agar menganjurkan kepada setiap ibu bersalin untuk melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dan memberikan pendidikan kesehatan pada ibu bersalin khususnya mengenai cara menyusui yang benar, pemberian ASI Eksklusif tanpa jadwal, dan mengenai tanda bahaya pada bayi baru lahir. Selain itu, dalam upaya mencegah dan mengantisipasi timbulnya ikterus patologis yang akan menyebabkan Hiperbillirubin maka disarankan agar melakukan berbagai penanganan yang cepat dan akurat sedini mungkin. Jurnal Kesehatan Kartika 23

c. Kepada peneliti lain diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penelitian berikutnya dan dalam penelitian selanjutnya diharapkan agar lebih menggali faktor-faktor lain yang berhubungan dan mempengaruhi terhadap kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir sehingga mendapatkan hasil penelitian yang lebih komprehensif dan akurat. DAFTAR PUSTAKA Arikunto (2003). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi V. Jakarta : Rineka Cipta. Ayurai (2009). Ikterus Neonatorum. Tersedia di http://askep-askeb-kita.blogspot.com/ (diperoleh tanggal 23 Februari 2010). Behman, dkk (2006). Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. Edisi Revisi. Jakarta EGC. Comprehensive Maternity Nursing. Philadelphia : J.B. Lippincot Company. Depkes RI (2007). Profil Kesehatan Indonesia 2006. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Tersedia di http://www.depkes.go.id. (2008). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Tersedia di http://www.depkes.go.id Dinkes Kab. Bandung (2009). Profil Kesehatan Kabupaten Bandung Tahun 2008. Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung. Handoko, I.S. (2003). Hiperbilirubinemia. Klinikku. Cermin Dunia Kedokteran. Tersedia di http://www.klinikku.com/pustaka/dasar/hati/hiperbilirubinemia3.html. (diakses tanggal 27 Februari 2010). Harahap (2000). Kegawatan Medis Neonatus. Seminar Sehari Peranan Rujukan dalam Meningkatkan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta. Hal 1-13. Cermin Dunia Kedokteran (Nuchsan Umar Lubis) : Penanggulangan Perinatal Risiko Tinggi. Staf Penanggulangan Bayi Risiko Tinggi, Bagian Perinatologi Anak Rumah Sakit Umum Langsa, Aceh Timur (Diakses tanggal 8 Maret 2010). Jumiarni (1995). Asuhan Perawatan Perinatal. Jakarta : EGC. Justi (2010). Landasan Teori Persalinan. http://www.wordpress.com.weblog. (Diakses tanggal 02 Maret 2010). Kartono (2000). Kembung pada Bayi Baru Lahir. Radiologi Klinis dan Ultrasonografi pada Bayi dan Anak. Pendidikan Tambahan Berkala Ilmu Kesehatan Anak ke XII FKUI. Jakarta. Hal 45-55. Cermin Dunia Kedokteran (Nuchsan Umar Lubis) : Penanggulangan Perinatal Risiko Tinggi. Staf Penanggulangan Bayi Risiko Tinggi, Bagian Perinatologi Anak Rumah Sakit Umum Langsa, Aceh Timur (Diakses tanggal 8 Maret 2010). Kosim, dkk. (2008). Buku Ajar Neonatologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Ikatan Dokter Indonesia. Markum (2000). Ilmu Kesehatan Anak. Buku I. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jurnal Kesehatan Kartika 24

Milis (2004). Hubungan Bayi Kuning dengan Bilirubin. (Available at http://www.kafemuslimah.com. 22 Maret 2010) Monintja, H.E. (2000). Peningkatan Pelayanan Kesehatan pada Janin dan Neonatus. Simposium Perinatologi Nasional II. Semarang. Hal 72-3. Cermin Dunia Kedokteran (Nuchsan Umar Lubis) : Penanggulangan Perinatal Risiko Tinggi. Staf Penanggulangan Bayi Risiko Tinggi, Bagian Perinatologi Anak Rumah Sakit Umum Langsa, Aceh Timur (Diakses tanggal 8 Maret 2010). Mochtar (2001). Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi dan Obstetri Patologi. Jakarta : EGC. Notoatmodjo (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Saifuddin (2002). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : JNPKKR POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Sastrawinata (2005). Obstetri Fisiologi. Bandung : Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Solahudin, G. (2006). Kapan Bayi Kuning Perlu Terapi?. Tersedia di http://tabloidnakita.com/artikel.php3?edisi=08392&rubrik=bayi. (diakses tanggal 27 Februari 2010). Sukadi (2002). Diktat Kuliah Perinatologi: Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Padjdjaran. Rumah Sakit Hasan Sadikin. Bandung. Surjono, A. (2007). Hiperbilirubinemia pada Neonatus: Pendekatan Kadar Bilirubin Bebas. Berkala Ilmu Kedokteran. Suradi (2007). The Association of Neonatal Jaundice and Breast-Feeding. Paedatri Indonesia. Surasmi (2003). Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Cetakan I. Jakarta : EGC. Wanamarta (2000). Diagnosa dan Penatalaksanaan Ileus Obstruktif Acut. Simposium Gastro Enterologi. Surabaya. Hal 49-51. Cermin Dunia Kedokteran (Nuchsan Umar Lubis) : Penanggulangan Perinatal Risiko Tinggi. Staf Penanggulangan Bayi Risiko Tinggi, Bagian Perinatologi Anak Rumah Sakit Umum Langsa, Aceh Timur (Diakses tanggal 8 Maret 2010). Widya (2007). Kelainan pada Bayi Baru Lahir : Dari Bayi Kuning Sampai Penyakit Warisan. http://askepaskeb-kita.blogspot.com/ (diperoleh tanggal 23 Februari 2010). Wiknjosastro (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta : JNPKKR POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. (2005). Ilmu Kebidanan. Edisi Revisi. Jakarta : JNPKKR POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jurnal Kesehatan Kartika 25