KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB/HIV

dokumen-dokumen yang mirip
PPK PPTI. Surveilans Sentinel TB- HIV TRM. UNAIDS Unlinked anonymous testing

KOLABORASI TB-HIV PELATIHAN BAGI PETUGAS KTS DAN PDP MODUL G:

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

1 Universitas Kristen Maranatha

BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2008 NOMOR 4-A PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 4-A TAHUN 2008 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 03 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA BEKASI

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL

MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

MATERI INTI 1 INFORMASI TENTANG TB, HIV DAN KOINFEKSI TB-HIV

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015

komisi penanggulangan aids nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN,

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV-AIDS

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

EVALUASI PROGRAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS DAN

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS/ ACQUIRED IMUNODEFICIENCY SYNDROME

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 6

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB HIV

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) ,

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 71 TAHUN 2013 TENTANG

Jangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN. berbagai lapisan masyarakat dan ke berbagai bagian dunia. Di Indonesia,

BUPATI LAMPUNG TENGAH PROVINSI LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kegiatan penanggulangan Tuberkulosis (TB), khususnya TB Paru di

MANAJEMEN PELAKSANAAN KOLABORASI TB-HIV DI INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN MOTIVASI PETUGAS TBC DENGAN ANGKA PENEMUAN KASUS TBC DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUPATEN BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan masyarakat yang yang dialami Indonesia saat ini sangat

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 25 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

KERANGKA ACUAN KLINIK MS DAN VCT PENDAHULUAN

RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

PENANGGULANGAN HIV / AIDS

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini di berbagai belahan bumi mengalami masalah kesehatan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS- ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME

KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. pengobatan. Pada era Jaminan Kesehatan Nasional saat ini pembangunan

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit!

BAB I PENDAHULUAN. (AIDS) pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan. (UNAIDS) dalam laporannya pada hari AIDS sedunia tahun 2014,

BUPATI BELITUNG. Selatan. C:\Users\user\Dropbox\BAGIAN HUKUM\RAPERDA 2017\HIV & AIDS\_Raperda HIV-AIDS (30-3).doc 1

PROGRAM KERJA PENERAPAN STRATEGI DOTS

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

PEMERINTAH PROPINSI JAWATIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWATIMUR NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS Dl JAWA TIMUR

Transkripsi:

KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB/HIV edisi pertama Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2007 1

Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV di Indonesia Departemen Kesehatan Kesehatan Republik Indonesia 2

SURAT KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... Menimbang : a. TENTANG KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB-HIV MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Mengingat b. a. b. c. Mengingat : 1. 2. 3 MEMUTUSKAN : Menetapkan Kesatu Kedua 3

Daftar Istilah AIDS Anonymous PAR AKMS ARV BTA Confidential CD4 DOTS PDP/ Informed Consent FHI Gerdunas TB HIV IDU INH PPI IMS MDR-TB NAPZA KPAN(D) KIA KNCV Foundation KTS OAT Lapas/Rutan Acquired Immune Deficiency Syndrome Tanpa nama (anonim, awanama) Pengobatan antiretroviral (Antiretroviral Therapy = ART) Advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial Obat antiretroviral Basil Tahan Asam Rahasia limfosit-t CD4+ Directly Observed Treatment Short course (Pengobatan TB yang diawasi secara langsung) Perawatan, dukungan dan pengobatan (Care, Support and Treatment = CST) persetujuan secara sukarela setelah memahami sepenuhnya terhadap tindakan yang akan dilakukan Family Health International Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB Singkatan dari human immunodeficiency virus, penyebab AIDS Injecting drug user (pengguna NAPZA suntik) Isoniazide Pengobatan Pencegahan Isoniazid (Isoniazid Preventive Therapy=IPT) Infeksi menular seksual Multiple Drug Resistance TB, kekebalan ganda kuman TB terhadap OAT Narkotik, alkohol, psikotropik dan zat adiktif lain Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (Daerah) Kesehatan ibu anak Yayasan Tuberkulosis Belanda Konseling dan Tes Sukarela / voluntary counseling and testing = VCT Obat anti tuberculosis Lembaga pemasyarakatan/ Rumah tahanan 4

LSM ODHA PDB PPIKA PPTI SDM Surveilans Sentinel TB-HIV TB UNAIDS Unlinked anonymous UPK WHO Lembaga swadaya masyarakat Orang dengan HIV/AIDS Pengurangan Dampak Buruk (harm reduction), ditujukan terhadap penggunaan narkoba suntik pencegahan penularan dari ibu ke anak (prevention of mother-to-child transmission = PMTCT) Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia Sumber daya manusia kegiatan surveilans rutin pada sekelompok pasien TB pada beberapa lokasi (UPK) tertentu untuk memantau dan menggambarkan kecenderungan koinfeksi TB-HIV. Tuberkulosis Joint United Nations Programme on HIV/AIDS Tes HIV dilakukan secara tanpa nama (anonim) dengan cara data identitas dari spesimen dihilangkan sehingga tidak dapat dikaitkan dengan pemilik spesimen tersebut (unlinked) Unit Pelayanan Kesehatan World Health Organization 5

6

Kata Pengantar Perkembangan epidemi HIV di Indonesia, termasuk yang tercepat di kawasan Asia, sementara jumlah kasuh TB masih menempatkan Indonesia sebagai negara ke tiga dengan kasus TB terbanyak di dunia. Epidemi HIV di Indonesia merupakan tantangan bagi keberhasilan penanggulangan TB dan sebaliknya TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA. Kolaborasi kegiatan bagi kedua program merupakan keharusan agar mampu menanggulangi kedua penyakit tersebut secara efektif dan efiisien. Kegiatan kolaborasi TB-HIV telah diujicoba sebagai pilot di beberapa Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) di beberapa wilayah prioritas. Pada triwulan pertama 2007 di Indonesia dilaksanakan external review HIV/AIDS (Februari 2007) dan Joint external Monitoring Mission TB (JEMM, April 2007). Keduanya merekomendasikan perlu dilakukan percepatan upaya kolaborasi TB-HIV dan segera disusun Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV sebagai pedoman pelaksanaan program di seluruh Indonesia. Lokakarya nasional yang pertama dilaksanakan dengan mengundang berbagai sektor dan mitra terkait dari pusat dan beberapa propinsi dengan epidemi HIV tinggi. Lokakarya ini bertujuan mengidentifikasi hal-hal penting yang akan dijadikan dasar penyusunan kebijakan nasional dan menetapkan prioritas pelaksanaan, berdasar situasi HIV dan TB di masing masing propinsi tersebut. Lokakarya dilanjutkan dengan melakukan kunjungan ke beberapa propinsi prioritas untuk melakukan kajian dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih akurat tentang kondisi spesifik daerah. Disamping itu pengalaman uji coba penerapan kolaborasi di beberapa daerah juga menjadi bahan penyusunan kebijakan nasional ini. Kemudian dilaksanakan lokakarya kedua yang pesertanya diperbanyak dengan mengikutsertakan beberapa propinsi dengan tingkat epidemi HIV yang terkonsentrasi lainnya untuk membahas rancangan/konsep dari kebijakan nasional pelaksanaan kolaborasi TB-HIV ini. Kebijakan nasional ini sangat penting untuk memberikan arah dalam pelaksanaan kolaborasi TB-HIV, dengan demikian semua kegiatan yang terkait dengan kolaborasi TB-HIV yang dilaksanakan di Indonesia harus mengacu pada pedoman kebijakan ini. Kebijakan nasional ini disusun oleh tim yang terdiri dari berbagai sektor dan mitra yang terkait antara lain Departemen Kesehatan, WHO, FHI dan KNCV dan beberapa LSM lainnya. 7

Akhirnya diucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berjerih payah menyelesaikan pedoman kebijakan ini. Segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan pedoman ini pada edisi mendatang sangat diharapkan. Jakarta, Oktober 2007 Direktur Jenderal PP&PL Departemen Kesehatan RI Dr. I Nyoman Kandun, MPH 8

9

Daftar Isi Pengantar...7 Daftar Isi... 10 1. Dasar Pemikiran... 11 2. Tujuan... 12 3. Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV... 13 A. Membentuk Mekanisme Kolaborasi... 13 A.1. Membentuk kelompok kerja (POKJA) TB-HIV di semua lini... 13 A.2. Pelaksanaan surveilans untuk mengetahui prevalensi HIV di antara pasien TB... 15 A.3. Melaksanakan perencanaan bersama TB-HIV... 15 A3.1 Mobilisasi sumber daya untuk TB-HIV... 16 A3.2 Membangun kapasitas TB-HIV termasuk pelatihan... 16 A3.3 Komunikasi TB-HIV: advokasi, komunikasi program dan mobilisasi sosial... 16 A3.4 Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan kolaborasi TB- HIV... 16 A3.5 Penelitian operasional untuk meningkatkan kegiatan kolaborasi TB- HIV... 17 A.4. Monitoring dan Evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV... 17 A4.1 Menjamin kerahasiaan diagnosis pasien TB-HIV.. Error! Bookmark not defined. B. Menurunkan beban TB pada ODHA... 18 B.1. Mengintensifkan penemuan kasus TB... 18 B1.1 Diagnosis dan pengobatan TB...Error! Bookmark not defined. B.2. Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat orang terkumpul (Rutan/Lapas, panti rehabilitasi napza)... 18 C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB... 19 C.1. Menyediakan pelayanan KTS untuk pasien TB... 19 C.2. Metode pencegahan HIV dan IMS... 20 C.3. Pengobatan preventif dengan kotrimoksasol dan infeksi oportunistik lainnya... 20 C.4. Perawatan, dukungan dan pengobatan ARV untuk ODHA... 21 4. Skala prioritas untuk pelaksanaan kolaborasi TB-HIV... Error! Bookmark not defined. 5. Daftar Pustaka... 23 10

1. Dasar Pemikiran Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah penderita TB di tengah masyarakat. Pandemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA. Oleh karena itu WHO bekerja sama dengan Stop TB Partnership mengembangkan pedoman untuk pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV yang disusun berdasarkan tingkat prevalensi HIV 1. Di banyak negara yang telah melaksanakan kegiatan perawatan, dukungan dan pengobatan HIV, kegiatan kolaborasi ini dimulai sebagai bagian dari upaya pengendalian TB dan upaya meningkatkan keberhasilan Program AIDS. Perkembangan epidemi HIV di Indonesia, termasuk yang tercepat di kawasan Asia meskipun secara nasional angka prevalensinya masih termasuk rendah, diperkirakan pada tahun 2006 sekitar 0,16% pada orang dewasa. Dengan estimasi ini, maka pada tahun 2006 di Indonesia diperkirakan ada 193.000 ODHA (169.000-216.000). Penggunaan jarum suntik merupakan cara transmisi HIV yang terbanyak (53%) diikuti dengan transmisi heteroseksual (42%). Salah satu faktor yang berpengaruh dalam epidemiologi HIV di Indonesia adalah variasi antar wilayah, baik dalam hal besarnya masalah maupun faktor-faktor yang berpengaruh. Epidemi HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemi terkonsentrasi dengan kecenderungan menjadi epidemi meluas pada beberapa propinsi. Skema 1 : Klasifikasi untuk Epidemi HIV/AIDS 2 Rendah Terkonsentrasi Meluas Prevalensi HIV dalam suatu sub-populasi tertentu belum melebihi 5% Prevalensi HIV secara konsisten lebih dari 5% di subpopulasi tertentu dan Prevalensi HIV di bawah 1% di populasi umum atau ibu hamil Prevalensi HIV lebih dari 1 % di populasi umum atau ibu hamil Indonesia termasuk salah satu negara dengan masalah TB terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Cina, tetapi dengan prevalensi HIV tidak terlalu tinggi dan tidak menyebar merata di seluruh wilayah. 1 Interim Policy on Collaborative TB/HIV activities, WHO, 2004 2 Guidelines for second Generation HIV Surveillance, UNAID/WHO, Geneva, 2004 11

Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus baru TB per 100.000 penduduk dengan estimasi prevalensi HIV diantara pasien TB sebesar 0,8% secara nasional (WHO Report 2007). Survei yang dilaksanakan oleh Balitbang Depkes (2003) menunjukkan bahwa pasien dengan koinfeksi TB-HIV pada umumnya ditemukan di RS dan Rutan/Lapas di beberapa propinsi dan TB ditemukan sebagai infeksi oportunis utama pada pasien AIDS di RS. Sampai saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran HIV di antara pasien TB. Studi pertama tentang sero prevalensi yang dilaksanakan di Yogyakarta menunjukkan angka 2%. Data dari RS propinsi di Jayapura menunjukkan pada triwulan pertama 2007, 13 di antara 40 pasien TB ternyata positif HIV. Data dari klinik PPTI di Jakarta sejak 2004-2007 menunjukkan prevalensi HIV pada suspek TB dengan faktor risiko antara 3-5% dan prevalensi pada pasien TB antara 5-10% dengan kecenderungan meningkat setiap tahunnya. 2. Tujuan Tujuan umum : memberikan arah dalam pelaksanaan kolaborasi TB-HIV untuk mengurangi beban TB dan HIV pada masyarakat akibat kedua penyakit ini. Tujuan khusus dari pelaksanaan kolaborasi TB-HIV: A. Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV/AIDS B. Menurunkan beban TB pada ODHA C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB 12

3. Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV Kegiatan kolaborasi TB-HIV dilaksanakan sebagaimana digambarkan dalam tabel 2 dibawah ini. Tabel 2: Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia A. Membentuk mekanisme kolaborasi A.1 Membentuk kelompok kerja (POKJA) TB-HIV di semua lini A.2 Melaksanakan surveilans HIV pada pasien TB A.3 Melaksanakan perencanaan bersama TB-HIV A.4 Melaksanakan monitoring dan evaluasi B. Menurunkan beban TB pada ODHA B.1 Mengintensifkan penemuan kasus TB dan pengobatannya B.2 Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat orang terkumpul (rutan/lapas, panti rehabilitasi napza) C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB C.1 Menyediakan konseling dan tes HIV C.2 Pencegahan HIV dan IMS C.3 Pengobatan preventif dengan kotrimoksasol dan infeksi oportunistik lainnya C.4 Perawatan, dukungan dan pengobatan ARV untuk HIV/AIDS Uraian berikutnya menjelaskan rincian kegiatan yang akan dilakukan untuk menanggulangi epidemi TB dan HIV/AIDS. Sebagian terkait dengan pelaksanaan program TB di lapangan, sedangkan yang lain terkait dengan pelaksanaan program HIV/AIDS khususnya integrasi dengan layanan KTS, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV serta layanan ART. Keduanya membutuhkan kerjasama erat antara kedua program di semua tingkat, termasuk sistem rujukan dan mekanisme koordinasi yang baik antar petugas kesehatan di setiap tingkat Unit Pelayanan Kesehatan (UPK). A. Membentuk Mekanisme Kolaborasi A.1. Membentuk kelompok kerja (POKJA) TB-HIV di semua lini Kelompok kerja in bertugas melaksanakan koordinasi dan kolaborasi kegiatan TB- HIV, dengan menunjuk seorang koordinator kolaborasi TB-HIV Kelompok kerja TB-HIV dibentuk pada tingkat nasional dan pada tingkat provinsi. Di daerah prioritas, kelompok kerja dibentuk di tingkat kabupaten/kota dan tingkat UPK (rumah sakit, puskesmas dan klinik dalam bentuk tim TB-HIV). 13

Pokja di tingkat nasional beranggotakan para penentu kebijakan dan unit teknis: Instansi Pemerintahan terkait. Program TB, Program AIDS, Yanmedik dan unsur Rumah Sakit, Binkesmas dan unsur Puskesmas, Pakar/Ahli TB dan HIV dari Organisasi Profesi, KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) dan KPAD, Gerdunas TB, WHO, Perwakilan LSM dan donor, Tugas kelompok kerja di tingkat pusat : Mengembangkan strategi TB-HIV berdasarkan kebijakan nasional dan menyusun rencana strategis nasional, Membuat pedoman, bahan AKMS dan bahan pelatihan, Memobilisasi sumber daya dan dana, Memonitor dan mengevaluasi kegiatan. Menindak lanjuti dan menyelesaikan masalah. Tugas kelompok kerja di tingkat Daerah adalah: Menyusun rencana kerja, penanggung jawab setiap kegiatan dan menetapkan mitra kerjanya, Menetapkan target khusus untuk provinsi atau kabupaten/kota tersebut, Menyusun rencana kerja sesuai pedoman nasional, pelatihan dan mengadaptasi bahan AKMS jika diperlukan, Meningkatkan jumlah dan kemampuan SDM sesuai kebutuhan, Memonitor dan mengevaluasi kegiatan. Menindak lanjuti dan menyelesaikan masalah. Koordinator kolaborasi TB-HIV ditunjuk pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, yang bertugas purna waktu, harus berasal dari program TB atau program AIDS. Tugas koordinator: Mengkoordinasikan kelompok kerja, memfasilitasi pertemuan regular dan mengatur jadwal termasuk membuat laporan rapat, Mendukung pelaksanaan kolaborasi TB-HIV sesuai dengan rencana kerja, Mengkoordinasikan rencana pengembangan SDM untuk TB-HIV, Mengkoordinasikan supervisi TB-HIV, Memonitor kegiatan TB-HIV dan memastikan tersedianya data TB-HIV serta analisisnya (surveilans). 14

A.2. Pelaksanaan surveilans untuk mengetahui prevalensi HIV di antara pasien TB Metoda surveilans pada keadaan prevalensi HIV yang berlainan sesuai dengan tabel di bawah ini Tabel 1: Tabel alur untuk memilih metoda surveilans: KRITERIA METODA SURVEILANS YANG DIANJURKAN I. Keadaan epidemi HIV meluas Data dari tes HIV rutin pada pasien tuberkulosis. dan Survei sentinel atau periodik (khusus) untuk mengkalibrasi data dari testing HIV rutin. II. Keadaan epidemi HIV Terkonsentrasi Data dari tes HIV rutin pada pasien tuberkulosis. atau Survei sentinel atau periodik (khusus) didaerah pelaksanaan dimana tingkat HIV tidak diketahui (data rutin belum ada). Survei ini dapat dipakai untuk mengkalibrasi data dari testing HIV rutin. III. Keadaan epidemi HIV rendah Survei sentinel atau periodik (khusus) Penetapan UPK DOTS sebagai tempat pelaksanaan surveilans sentinel harus sesuai pedoman yang berlaku (yaitu pada tempat dan dengan metode yang sama). Semua surveilans dilaksanakan dengan informed consent dari pasien, tes HIV dengan metode unlinked anonymous dan tetap menghormati prinsip-prinsip etika. A.3. Melaksanakan perencanaan bersama TB-HIV Program TB dan HIV/AIDS memerlukan perencanaan strategis secara bersama untuk melakukan kerjasama secara sistematis dan berhasil. Mereka harus melengkapi dengan rencana TB-HIV bersama, atau memperkenalkan komponen TB-HIV pada rencana pengendalian nasional TB dan rencana pengendalian nasional HIV/AIDS. Peran dan tanggung jawab masing-masing program dalam pelaksanaan kegiatan TB-HIV yang spesifik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah harus dinyatakan dengan jelas. Unsur yang penting dalam perencanaan bersama adalah kegiatan-kegiatan yang tersebut pada kegiatan butir A, B dan C, demikian juga mobilisasi sumber daya, 15

membangun kapasitas dan pelatihan, komunikasi TB-HIV (advokasi, program komunikasi dan mobilisasi sosial), memperkuat keterlibatan masyarakat, dan penelitian operasional. Perencanaan bersama TB-HIV dilaksanakan dalam bidang bidang sebagai berikut: A3.1 Mobilisasi sumber daya untuk TB-HIV Rencana bersama harus menjelaskan peran dan tanggung jawab masing-masing program dalam pelaksanaan kegiatan TB-HIV yang spesifik pada tingkat pusat maupun daerah seperti terlihat dalam Tabel 1 (sebagaimana dijelaskan dalam pedoman pelaksanaan kerjasama kegiatan TB-HIV (2) Daerah harus menjamin mobilisasi dan penyebaran sumber daya manusia yang terlatih untuk melaksanakan kegiatan kerjasama TB-HIV sesuai dengan hasil kajian setempat POKJA TB-HIV harus bertanggung jawab untuk menentukan dan memobilisasi sumber daya untuk melaksanakan kegiatan kerjasama TB-HIV, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya yang ada. A3.2 Membangun kapasitas TB-HIV termasuk pelatihan Program TB dan HIV/AIDS harus menyusun rencana peningkatan kapasitas SDM bersama untuk memberikan pelatihan pra-layanan dan dalam-layanan (in-service) serta pendidikan kedokteran berkelanjutan mengenai kegiatan kolaborasi TB-HIV untuk semua kategori tenaga kesehatan. Program TB dan HIV/AIDS harus menjamin bahwa kapasitas layanan kesehatan sudah mencukupi (misalnya, laboratorium, obat dan rujukan) demi efektifitas pelaksanaan kegiatan kerjasama TB-HIV. A3.3 Komunikasi TB-HIV: advokasi, komunikasi program dan mobilisasi sosial Kegiatan advokasi TB-HIV yang direncanakan bersama untuk menjamin kesinambungan pesan TB dan HIV, ditujukan pada pihak yang berkepentingan dan pengambil keputusan. Kegiatan tersebut dilaksanakan di semua tingkat; pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Pengembangan komunikasi program TB-HIV dan strategi mobilisasi sosial secara bersama ditujukan pada kebutuhan pasien secara individu dan masyarakat yang terkena dampak HIV/AIDS dan TB. A3.4 Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV 16

Integrasi layanan HIV ke dalam DOTS harus didukung oleh strategi komunikasi untuk meningkatkan perhatian masyarakat tentang beban ganda TB dan HIV pada pasien TB dan di masyarakat. Kurangnya informasi berdampak meningkatnya stigma terkait TB-HIV dan rendahnya penerimaan pasien TB untuk menjalani test HIV. Pengalaman awal PMTCT di Papua menunjukkan bahwa peningkatan kesadaran ibu hamil menyebabkan banyaknya permintaan KTS oleh ibu hamil. Strategi yang sama dapat dikembangkan untuk kegiatan TB-HIV ini. Informasi tentang TB-HIV perlu diintegrasikan ke dalam saluran komunikasi yang telah ada, contohnya : KPA dan KPAD, pada saat koordinasi komunikasi HIV juga menyampaikan informasi tentang TB, PPTI pada saat melakukan kegiatan penyuluhan tentang TB juga menyampaikan informasi tentang HIV, Layanan pengurangan dampak buruk (Harm Reduction) yang menjangkau penasun (IDU s) di dalam masyarakat, juga menyampaikan informasi tentang TB Program PMTCT melalui pelayanan KIA, juga menyampaikan informasi tentang TB-HIV Organisasi kemasyarakatan pada saat kegiatan penjangkauan juga menyampaikan informasi tentang TB-HIV. A3.5 Penelitian operasional untuk meningkatkan kegiatan kolaborasi TB-HIV Untuk melaksanakan kegiatan kerjasama TB-HIV yang efisien dan efektif berbasis bukti (evidence base) maka semua pihak yang berkepentingan dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV harus mendukung dan mendorong penelitian operasional TB-HIV berdasarkan kekhususan daerah. A.4. Monitoring dan Evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV Dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi kegiatan kolaborasi, program AIDS dan TB harus menyepakati seperangkat indikator bersama dan piranti pengumpul data untuk menilai kualitas, efektifitas, cakupan dan layanan kegiatan kerjasama TB- HIV. Informasi pasien TB-HIV harus dapat diakses oleh petugas TB maupun petugas HIV untuk kepentingan perawatan, dukungan dan pengobatan pasien. Monitoring dan evaluasi ini akan menjamin perbaikan mutu program secara terus menerus. Dalam pelaksanaannya harus diintegrasikan dengan sistem monitoring dan evaluasi yang sudah ada serta harus menjamin kerahasiaan. 17

B. Menurunkan beban TB pada ODHA B.1. Mengintensifkan penemuan kasus TB Kebijakan nasional layanan terpadu TB-HIV adalah layanan dalam satu atap bagi pasien (one stop service). Skrining TB (paru dan ekstra paru) perlu dilakukan secara rutin untuk setiap ODHA. Prosedur skrining harus standar dengan menggunakan alat skrining (kuesioner) yang sederhana terhadap tanda dan gejala (penilaian risiko terhadap TB). Skrining dikerjakan oleh konselor, manajer kasus atau para medis lainnya, dan harus dilakukan pada semua ODHA setelah KTS (konseling post test) dan secara berkala selama pelayanan HIV termasuk sebelum memulai ART, atau selama pemberian ART. Dalam kasus dengan gejala TB, pasien harus diperiksa sesegera mungkin oleh dokter untuk segera didiagnosis dan diterapi. Harus dibentuk mekanisme rujukan antara layanan konseling dan testing HIV dengan unit DOTS yang memudahkan pasien. Skrining TB juga harus dilakukan pada kontak serumah, pada kelompok dengan resiko HIV dan pada kondisi khusus seperti di rutan/lapas. Berkaitan dengan prevalensi TB yang tinggi di antara pengguna napza suntik (Injecting drug users), pelayanan harm reduction dan pusat rehabilitasi harus melakukan skrining TB secara rutin dan segera merujuk ke UPK. Diagnosis TB dan diagnosis HIV harus sesuai Pedoman Nasional Depkes yang berlaku. Sebelum memulai ART, semua ODHA harus dipastikan status TB - nya, bila ternyata juga mengidap TB atau sebaliknya maka penatalaksanaannya sesuai Pedoman Tatalaksana TB-HIV. Pengobatan pencegahan INH (IPT = Isoniazid Preventive Therapy) saat ini belum dapat direkomendasikan karena tingginya prevalensi TB dan sulitnya untuk menyingkirkan kemungkinan TB aktif di Indonesia. B.2. Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat orang terkumpul (Rutan/Lapas, panti rehabilitasi napza) Kebijakan layanan TB-HIV di lapas/rutan dan tempat-tempat rawan lainnya misalnya, rehabilitasi napza, sama dengan pelayanan di UPK lainnya. Mengingat keterbatasan sumberdaya pelayanan kesehatan di tempat tersebut, dibutuhkan jejaring kerja dengan UPK terdekat. Pengendalian infeksi TB pada tempat-tempat tersebut harus menjadi perhatian bagi petugas kesehatan untuk meminimalkan risiko penularan TB. Upaya khusus ini harus dilakukan secara bersama dengan ekspansi kolaborasi TB-HIV. Di tempat-tempat ini, diterapkan skrining gejala TB secara berkala, memperkuat jejaring rujukan pelayanan DOTS dan memisahkan pasien TB BTA positif selama masa pengobatan TB fase intensif. 18

Setiap pasien yang diduga atau didiagnosis MDR-TB, harus mendapat perlakuan khusus dalam pelayanan HIV karena risiko penularan yang lebih berbahaya dan risiko kematian yang tinggi. C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB C.1. Menyediakan pelayanan Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS) untuk pasien TB Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui status HIV-nya dan mereka akan mencari pengobatan ke pelayanan kesehatan umum. KTS merupakan pintu masuk yang penting bagi pasien TB untuk mendapatkan pelayanan HIV. Test HIV harus mendapatkan persetujuan dari pasien, melalui konseling pra dan pasca tes. Strategi KTS untuk pasien TB mengacu pada tingkat epidemi HIV: C1. 1 Di wilayah dengan epidemi HIV yang rendah dan terkonsentrasi dilakukan pengkajian faktor risiko menggunakan alat skrining (kuesioner) pada setiap pasien TB. Pasien TB dengan faktor risiko dirujuk ke UPK KTS. Strategi ini lebih efektif dibandingkan pemeriksaan rutin KTS ke seluruh pasien TB. Kriteria penilaian untuk menawarkan KTS pada pasien TB: 1. Faktor risiko HIV (pasien atau pasangan) Penasun, Pekerja Seks (Wanita, Pria termasuk Waria dan Lelaki Suka Lelaki), Berganti-ganti pasangan Riwayat Infeksi Menular Seksual (IMS) Jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, misalnya: orang yang karena pekerjaannya berpindah-pindah tempat (supir, pelaut), migran, tuna wisma, pekerja bar/salon Riwayat transfusi darah dan produk darah 2. Penilaian klinis HIV Kematian pasangan akibat penyakit kronis Kandidiasis oral, diare kronis, penurunan berat badan secara drastis (>10%) 3. Penilaian klinis TB Kasus sulit (komplikasi) atau tidak adanya respons terhadap pengobatan. Pasien TB yang dirawat inap Pasien TB ekstra paru Bila hasil pemeriksaan dahak BTA negatif dan ada keraguan dalam penilaian faktor risiko HIV, maka menjadi alasan kuat untuk menawarkan KTS. Sebab 19

sebagian besar kasus TB-HIV ditemukan dengan hasil pemeriksaan dahak BTA negatif. C1.2 Di wilayah dengan epidemi HIV yang meluas, KTS ditawarkan kepada seluruh pasien TB pada UPK DOTS secara rutin. Di seluruh UPK dengan prevalensi HIV pada pasien TB >5%, KTS harus ditawarkan secara rutin (tidak lagi penilaian risiko). KTS dapat dilaksanakan setiap saat selama pengobatan TB. Karena itu seorang pasien yang pada awalnya menolak tes HIV dapat ditawarkan kembali setelah penyuluhan/penjelasan. C.2. Pencegahan HIV dan IMS Pelayanan DOTS di rumah sakit dan puskesmas harus melakukan KIE tentang HIV selama masa pengobatan TB, dan pada saat rujukan jika layanan HIV tersebut tidak tersedia di puskesmas. KIE mengacu pada pelayanan pencegahan HIV (IMS, pengurangan dampak buruk napza suntik, PPIKA, dalam bentuk konseling. DOTS merupakan peluang yang baik untuk memperkuat KIE tentang HIV selama masa pengobatan TB. Kegiatan KIE harus dilaksanakan secara berkala. Dalam kegiatan KIE ini diperkenalkan tentang: Ko-infeksi TB-HIV; pesan harus terfokus pada kemungkinan ko-infeksi TB- HIV, ketersediaan layanan TB dan HIV, serta manfaat dan pentingnya KTS bagi pasien TB. Pencegahan HIV menggunakan strategi ABCD (A: abstinence (puasa seks), B: Be faithfull (bersikap saling setia), C: Condom (Kondom) dan D: Drug (tidak menggunakan napza suntik). Promosi kondom sebagai upaya untuk pencegahan IMS harus ditekankan di pelayanan DOTS. Pasien TB harus diskrining untuk gejala IMS. Mereka dengan gejala IMS harus ditangani dan dirujuk ke layanan IMS. Pasien penasun harus dirujuk ke unit pengurangan dampak buruk napza suntik dan layanan terapi rumatan methadone. C.3. Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol (PPK) dan infeksi oportunistik lainnya Program TB dan HIV/AIDS harus menyediakan pengobatan pencegahan kotrimoksasol (PPK) bagi ODHA yang memenuhi syarat serta menderita TB aktif. Pada wilayah (propinsi dan kab/kota) dengan epidemi HIV yang meluas, PPK sebaiknya disediakan di UPK KTS/PDP, semua pasien TB-HIV harus mendapatkan PPK di unit tersebut 20

C.4. Perawatan, dukungan dan pengobatan HIV Akses kepada layanan kesehatan bagi ODHA merupakan hak dasar setiap orang yang meliputi layanan AIDS secara komprehensif dan berkesinambungan. Layanan komprehesif tersebut meliputi: manajemen klinis (profilaksis, diagnosis dini, pengobatan yang rasional dan tatalaksana infeksi oportunistik), asuhan keperawatan (dukungan higiene dan nutrisi), perawatan paliatif, perawatan berbasis rumah (termasuk perawatan oleh keluarga dan lingkungan, penerapan kewaspadaan universal), dukungan konseling dan sosial sistem rujukan pasien. Pengobatan Antiretroviral harus ditawarkan pada seluruh pasien TB dengan HIV positif yang memenuhi syarat atau kriteria yang ditetapkan. Pemberian ART dan OAT pada pasien TB-HIV harus sesuai dengan pedoman yang berlaku. 4. Skala prioritas pelaksanaan kolaborasi TB-HIV Provinsi dengan epidemi HIV terkonsentrasi, kegiatan kolaborasi TB-HIV dilaksanakan pada: Semua UPK dengan KTS, Rumah Sakit DOTS, kolaborasi dikembangkan secara bertahap, Puskesmas dengan kriteria tertentu: o Di kabupaten/kota yang memiliki layanan KTS. o Besarnya masalah TB (misalnya, Notification Rate >100 per 100.000 penduduk). o Siap dan berkomitmen untuk melaksanakan kolaborasi TB-HIV. Rutan/lapas dan panti rehabilitasi pengguna napza suntik (penasun) yang memiliki unit pelayanan kesehatan. Provinsi dengan epidemi HIV yang meluas, kegiatan kolaborasi TB-HIV dilaksanakan pada: Semua UPK dengan KTS, Semua Rumah Sakit DOTS Semua Puskesmas Rutan/lapas dan panti rehabilitasi pengguna napza suntik (penasun) yang memiliki unit pelayanan kesehatan 21

22

5. Daftar Pustaka 1. Interim policy on collaborative TB-HIV activities. WHO. 2004. http://whqlibdoc.who.int/hq/2004/who_htm_tb_2004.330.pdf 2. Guidelines for Implementing Collaborative TB and HIV Programme Activities. Stop TB Partnership: Working Group on TB-HIV. WHO. 2004. http://www.who.int/hiv/pub/tb/en/ 3. A guide to monitoring and evaluation for collaborative TB-HIV activities. http://whqlibdoc.who.int/hq/2004/who_htm_tb_2004.342.pdf 4. TB-HIV: a clinical manual. 2 nd edition. WHO. 2004. http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf 5. Guidelines for HIV surveillance among tuberculosis patients. Second edition. WHO. 2004. http://www.who.int/hiv/pub/tb/en/ 6. TB-HIV Research Priorities in Resource-Limited Settings. WHO. 2005. http://www.who.int/hiv/pub/tb/en/ 7. Management of collaborative TB-HIV activities: training for managers at national and sub-national levels. WHO. 2005. http://www.who.int/tb/publications/who_htm_tb_2005_359/en/index.html 8. Improving the diagnosis and treatment of smear-negative pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adults and adolescents. WHO 2007. http://www.who.int/hiv/pub/tb/en/ 9. Tuberculosis infection control in the era of expanding HIV care and treatment. WHO 2007. http://www.who.int/hiv/pub/tb/en/ ****** 23