BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan telah terjadi sejak kedatangan penjajah Barat di Nusantara. Perjuangan itu berawal sejak kedatangan bangsa Portugis di akhir abad ke-16 dan penjajahan Belanda di awal abad ke-17. Dalam periode ini perjuangan masih bersifat kedaerahan. Perjuangan kemerdekaan secara nasional baru terjadi setelah pergerakan nasional mulai dirintis yaitu pada abad ke-20. Sejak saat itu timbul cita-cita bahwa suku bangsa di bumi Nusantara harus bersatu sebagai satu bangsa di tanah merdeka. Masyarakat sudah jenuh dengan keadaan miskin, pembodohan, dan segala bentuk penderitaan. Cita-cita itu terus tumbuh dan mendapatkan bentuknya pada peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928. Dengan adanya peristiwa Sumpah Pemuda, tentu menandakan bahwa persatuan dan kesatuan makin dimantapkan. Para pemuda mengikrarkan bahwa mereka bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa yang satu yakni Indonesia. Penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun turut pula mematangkan kondisi di Indonesia untuk mewujudkan cita-cita tersebut melalui revolusi nasional 1945. Jika revolusi nasional diibaratkan sebagai suatu ledakan perubahan yang maha dahsyat, maka pergerakan nasional diibaratkan suatu mesiu yang memungkinkan terjadinya ledakan itu. Revolusi nasional Indonesia tak mungkin terjadi tanpa adanya pergerakan nasional sebelumnya (Moehkardi, 2008: 40-41). Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.30 teks proklamasi dibacakan oleh Ir. Soekarno di jalan Pegangsaan Timur no 56 Jakarta. Pasca proklamasi kemerdekaan, para tokoh Indonesia berusaha untuk membenahi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Suatu negara yang baru merdeka pastinya memerlukan suatu dasar negara dan pemimpin
yang mampu melaksanakan dan memimpin pemerintahan. Negara yang baru merdeka juga perlu membentuk badan badan atau lembaga yang berfungsi membantu pemimpin negara untuk menjalankan tugasnya. Hal ini dapat kita lihat dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tangal 18 Agustus 1945 yang hasilnya adalah mengesahkan Undang- Undang Negara, mengangkat Presiden dan wakil presiden. Adapun hasil- hasil rapat selanjutnya adalah membentuk alat alat perlengkapan negara seperti membentuk komite nasional, dan kabinet pertama Republik Indonesia (Sartono Kartodirdjo, 1975: 29). Pada tanggal 29 September 1945 tentara Sekutu yang ditugaskan untuk menduduki wilayah Indonesia dan melucuti tentara-tentara Jepang tiba di Jakarta. Pelaksana tugas ini adalah Komando Asia Tenggara (South East Asia Command) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten. Untuk melaksanakan tugas itu, Mountbatten membentuk suatu komando khusus yang diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) dibawah Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Tugas dari komando ini adalah menerima kekuasaan dari tangan Jepang, membebaskan tawanan perang dan interniran Sekutu, serta melucuti dan mengumpulkan orang Jepang kemudian dipulangkan. Kedatangan Sekutu semula disambut dengan tangan terbuka. Namun ketika diketahui bahwa pasukan Sekutu diboncengi oleh pasukan Netherlands Indies Civil Administration atau Pemerintahan sipil Belanda (NICA) yang hendak menguasai wilayah Indonesia, sikap Indonesia mulai curiga dan waspada. Situasi dengan cepat menjadi buruk ketika pasukan NICA mempersenjatai kembali bekas tentara Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) yang baru dilepaskan oleh Jepang. Orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta, Surabaya, dan Bandung mulai memancing kerusuhan dengan cara mengadakan provokasi. Melalui berbagai cara Belanda tetap ingin menjajah Indonesia. Bangsa Indonesia tidak tinggal diam. Dengan berbagai upaya, bangsa Indonesia tetap mempertahankan kemerdekaannya Rakyat Indonesia bangkit melawan tentara
Sekutu dan NICA. Akibatnya berkobarlah pertempuran di berbagai daerah di Indonesia antara lain adalah Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Ambarawa, Surabaya, Makasar, dan Bali. Peristiwa ini disebut sebagai delapan palagan yang menentukan. Dari delapan kota tersebut, Ambarawa merupakan kota yang paling kecil. Namun keberadaan kota ini memang sangat strategis. Ambarawa merupakan jalur utama yang menghubungkan antara Semarang, Magelang menuju Yogyakarta. Meskipun kota kecil namun para pejuang di Ambarawa mampu mengusir Sekutu terutama Inggris mundur ke Semarang. Ambarawa sebagai kota kecil,mampu mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah (Moehkardi, 2008 : 118). Kemenangan yang diperoleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan pasukan Rakyat di Ambarawa cukup mencengangkan dunia luar. Propaganda yang dilaksanakan oleh Sekutu terutama Belanda mengatakan bahwa apa yang dinamakan Tentara Keamanan Rakyat adalah tidak lebih dari gerombolan pengacau yang ekstrimis ternyata berbeda. Palagan Ambarawa merupakan suatu bukti pagelaran militer yang teratur dari sebuah taktik pertempuran yang diterapkan oleh pimpinan yang terampil. Namun di sisi lain pihak Belanda nampaknya tetap meremehkannya karena mereka merasa memiliki perwira-perwira yang sudah berpengalaman dalam Perang Dunia kedua (Tjokropranolo, 1992: 57). Kemenangan yang diperoleh Ambarawa tidak lepas dari tokoh yang bernama Jenderal Soedirman. Ia lahir di Rembang, Purbalingga pada 7 Februari 1912. Sosok yang sangat ringkih, kurus, lemah dan sama sekali tidak menampakkan keperkasaan fisiknya. Di sisi lain Soedirman mempunyai sifat peduli terhadap pendidikan, nasionalis, keislaman, dan bakat dalam hal militer. Soedirman juga dikenal sebagai orang yang pantang menyerah, berwatak keras untuk menegakkan prinsip. Kehadirannya di dunia militer mampu memberi motivasi yang tinggi bagi pasukan Indonesia yang berjuang mempertahankan kemerdekaan (Kholid. O. Santosa, 2007: 177-178).
Sejak Ambarawa berhasil dikuasai kembali oleh pasukan Sekutu, Soedirman mempunyai tekad bahwa Ambarawa harus direbut kembali. Ketika TKR dibentuk pada tanggal 15 Oktober 1945, Soedirman dipercaya memimpin Divisi V Banyumas dengan pangkat Kolonel. Soedirman mengirimkan Letkol Isdiman Komandan Resimen I Divisi V ke Ambarawa untuk membentuk pasukan TKR. Namun pada tanggal 26 November 1945 Isdiman gugur di desa Kelurahan. Mulai dari peristiwa itulah Soedirman terjun langsung ke medan laga Ambarawa. Kehadirannya memimpin langsung pertempuran di Ambarawa memberikan kesegaran bagi pasukan yang dipimpinnya. Bahkan nantinya akan menjadi titik balik yang akan menentukan jalannya pertempuran di Ambarawa itu. Dalam waktu singkat telah tercipta koordinasi dan konsolidasi yang kuat diantara pasukan-pasukan Indonesia. Pasukan Indonesia makin berhasil dalam setiap gerakan. Di samping itu penyusupan ke dalam kota semakin teratur dan penghadangan konvoi tentara Sekutu semakin teratur. Soedirman berhasil membuat strategi yang dikenal dengan Supit Udang. Pertempuran dengan strategi yang dibuat Soedirman ini, Ambarawa berhasil direbut kembali. Merujuk penjelasan tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa peran Jenderal Soedirman dalam pertempuran Ambarawa penting untuk diteliti. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana peran Jenderal Soedirman dalam pertempuran Ambarawa tahun 1945? C. Tujuan Penelitian Untuk mendeskripsikan peran Jenderal Soedirman dalam pertempuran Ambarawa pada tahun 1945. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan pada
umumnya, serta pendidikan sejarah pada khususnya. Penelitian ini bermanfaat untuk: 1. Manfaat akademis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penulisan sejarah Indonesia Baru, khususnya pembahasan mengenai perang kemerdekaan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya materi ajar dalam hal pendidikan khususnya pendidikan sejarah. 2. Manfaat praktis Secara praktis penelitian ini memberikan wawasan dan pemahaman kepada generasi muda tentang pertempuran Ambarawa dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan kepada semua pihak dalam rangka meningkatkan rasa cinta tanah air.